Pendahuluan
Tahun 2009 sebagai tahun politik, setelah usai pemilu legislatif dan presiden, suasana politik nasional masih gaduh. Sebuah kegaduhan akibat ketidakpuasan dalam pembagian kue kekuasaan.
Tak heran, soal politik kerakyatan yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat, sebagai pekerjaan rumah pemerintah, masih alpa dikerjakan. Bahkan oleh kegaduhan politik tersebut, seolah lupa ditagih oleh rakyat. Berkenaan dengan kondisi agraria nasional, sepanjang tahun 2009, beberapa catatan pokok yang dapat dirangkum oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) adalah sbb:
1. Masih Digunakannya Cara-cara Primitif Dalam Menyelesaikan Konflik Agraria
Tertembaknya 12 petani di Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan oleh pihak kepolisian Desember 2009, sebelumnya 10 petani Takalar di Sulawesi Selatan juga dilaporkan tertembak pada Agustus 2009, dan dua orang Petani Ujung Kulon, Banten pada Mei 2009. Tahun ini dilaporkan 3 orang petani Bangun Purba, Rokan Hulu, tewas akibat penganiayaan security (pamswakarsa) PT.SSL.
Ini adalah bukti masih dipakainya cara-cara primitif oleh pemerintah seperti penembakan, pembakaran, penganiayaan, penculikan dan bentuk intimidasi lainnya untuk menakut-nakuti rakyat ketika memperjuangkan hak-haknya dalam menyelesaikan sengketa agraria. Sementara, dipenjarakannya nenek Minah, pemuda tani di Batang adalah bukti kerasnya hukum yang harus diterima rakyat dalam kasus-kasus hukum yang sepele saat berhadapan dengan perkebunan.
Tahun ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam 89 laporan kasus konflik agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini tidak kurang dari 7.585 KK. Ini tetap saja angka minimal, sebab metode yang dipakai dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa.
KPA sangat menyesalkan masih dipakainya cara-cara primitif oleh kepolisian khususnya kesatuan Brimob, pam-swakarsa perusahaan perkebunan selama ini. Bahkan, cara-cara kekerasan tersebut lebih mendominasi ketimbang cara-cara mediasi yang diprioritaskan dalam kasus-kasus konflik agraria.
Menurut kami, MoU antara Badan Pertanahan Nasional dan Mabes Polri yang diperpanjang tahun Maret 2009 ini, adalah salah satu sebab mengapa polisi menjadi lebih sering terlibat dalam konflik agraria. Sebab, dengan MoU ini kasus-kasus pertanahan yang semula adalah perdata selalu ditarik ke arah pidana oleh kepolisian. Pemidanaan atau kriminalisasi petani kerap terjadi akibat MoU ini.
2. Lambannya Reformasi Birokrasi Agraria
a. Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan (LARASITA)
Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Pertanahan (Larasita) ini sering diklaim oleh BPN sebagai pionir dunia. Bahkan Kepala BPN mengakui di depan DPR-RI telah mendapat penghargaan dari Bank Dunia karena program ini.
BPN kerap memberi penjelasan bahwa LARASITA adalah mobile office atau kantor bergerak yang melayani sertifikasi pertanahan rakyat. Menurut BPN, latar belakang program ini disebabkan unit terendah kantor pertanahan hanya terdapat di ibukota kabupaten. Sementara, sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan. Sehingga, dengan terobosan ini mayoritas rakyat dapat terlayani dalam program sertifikasi pertanahan. Sebab, dengan mobile office petugas BPN dapat melayani rakyat hingga ke pelosok dengan mobil atau sepeda motor program Larasita.
Setelah setahun berjalan, kritik KPA kepada BPN soal program ini terbukti kebenarannya. Pertama, mayoritas rakyat memang berada di pedesaan, oleh sebab itu yang diperlukan adalah koordinasi BPN dengan pemerintah daerah yang mempunyai tangan hingga ke pemerintah desa bahkan RT. Jadi program ini sesungguhnya boros mulai dari pengadaan, operasional hingga efektifitas sasaran.
Kedua, jika kita membaca Peraturan Kepala BPN tentang Larasita, program ini juga ditujukan untuk menemukan objek reforma agraria pada saat petugas BPN turun ke desa-desa. Ini juga dapat dipastikan mustahil tercapai, sebab jika itu sasaran pekerjaannya (baca: menemukan objek RA) bukanlah sertifikasi tanah, tetapi melakukan registrasi tanah-tanah khususnya di pedesaan. BPN bisa merujuk pada jiwa PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah. Registrasi dalam PP ini bukanlah sertifikasi, sehingga melalui proses registrasi akan ditemukan ketimpangan struktur agraria di desa sekaligus tanah objek land reform.
Ketiga, sertifikasi pada struktur agraria yang timpang (kepemilikan, penguasaan dan tataguna tanah) justru akan melegalkan struktur yang timpang tersebut. Keempat, ini adalah program yang menjadi fondasi utama pasar tanah liberal, dan tentu saja sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Menurut KPA, penghargaan Bank Dunia kepada BPN soal Larasita adalah sinyalemen yang jelas bahwa BPN telah menjalankan praktek pertanahan seperti yang disarankan oleh Bank Dunia. Program ini semata bertujuan mewujudkan pasar tanah bebas di Indonesia sesuai dengan proyek hutang Land Administration Project (LAP) dan Land Management and Policy Development Project (LMPDP) yang telah dijalankan sejak tahun 2005 – 2009.
Kenyataannya, program ini telah menyeret petani yang bertanah kecil semakin cepat kehilangan tanahnya, karena tanah tersebut semakin mudah dijual atau diagunkan kepada perbankan. Dalam keadaan bertanah sempit dan situasi makro ekonomi yang tidak berpihak kepada petani, maka sertifikasi pertanahan –sebut Larasita, tanpa didahului oleh Pembaruan Agraria adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanah petani semakin cepat terjual dan jatuh kepada pemodal besar, sehingga ketimpangan tanah pun semakin lebar. Itulah sebabnya tanah pertanian sekarang ini semakin banyak dimiliki oleh kelompok non petani yang tinggal di kota, sementara petani gurem telah menjadi buruh tani.
b. Tingginya Pungli, Mal Administrasi Dalam Birokrasi Pertanahan
Pungutan tidak resmi dalam mendapatkan pelayanan pertanahan adalah keluhan umum yang belum ditangani oleh BPN secara menyeluruh. Pada tahun 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi menempatkan BPN sebagai lembaga pemerintah nomor dua terkorup di Indonesia. Padahal, pelayanan publik di bidang apapun akan terlaksana dengan baik jika mampu menegakkan azas pemerintahan yang baik dan bersih.
Menurut hasil penelitian Komisi Ombudsman RI, bahwa Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) di BPN belum memenuhi kaidah-kaidah dan standar yang ditetapkan oleh UU Pelayanan Publik.
3. Janji Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Tanpa Implementasi
Pada masa kampanye, SBY mengklaim bahwa pembaruan agraria telah dijalankan pemerintahnya melalui berbagai iklan di media massa semasa pilpres. Program tersebut, adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Ini adalah sebuah klaim yang menyesatkan. Sepanjang 2009, tidak ada UU atau pun Kebijakan Operasional yang ditandatangani oleh SBY yang berisi tentang pelaksanaan Reforma Agraria.
Harus diakui pemerintahan memang mencantumkan Pembaruan Agraria sebagai salah satu program pemerintahannya. Bahkan, wacana yang digulirkan oleh Presiden tentang program ini telah dilakukan sejak awal tahun 2007 tentang rencana melakukan redistribusi tanah seluas 8.1 juta hektar kepada rakyat miskin. Namun, rencana tersebut sampai sekarang masih sebatas wacana politik yang belum melangkah ke tingkat implementasi.
Ketika Pemilihan Presiden usai, dan kembali SBY terpilih sebagai Presiden, langkah awal Presiden tidak menggambarkan keinginan untuk menjalankan Reforma Agraria. Tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari SBY tentang komitmen untuk menjalankan Reforma Agraria. Yang terjadi, SBY dan Kabinet terpilih menyelenggarakan National Summit dan menetapkan agenda 100 hari kerja pemerintahan adalah menyediakan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan investasi, tanpa sekalipun menyebut PPAN sebagai langkah penyediaan tanah bagi rakyat miskin.
4. Program Legislasi di Bidang Pertanahan 2010 Berpotensi Meningkatkan Penggusuran Tanah Rakyat
Pada masa SBY jilid pertama, pemerintah mengawali dengan program infrastructure summit. Hasil dari rembug ini adalah Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepetingan Umum dan Pembangunan. Karena protes keras dari masyarakat, peraturan ini kemudian direvisi menjadi Perpres 65/2006 tanpa perubahan substansi yang berarti.
Seolah mengulang, SBY bersama Boediono atau SBY jilid ke dua memulai pemerintahannya dengan menggelar National Summit. Salah satu rekomendasi dari pertemuan ini adalah menaikkan Perpres 65/2006 menjadi sebuah UU dan telah menjadi prioritas dalam Program 100 hari SBY-Boediono.
Menurut kami, RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY dalam bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Keluhan para investor tentang sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia sangatlah subjektif. Sebab, saat ini banyak sekali ditemukan izin lokasi dan atau tanah yang sudah dibebani hak (HGU, HGB, HP) ditelantarkan oleh para investor. BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7.1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan.
Sementara itu, maraknya penggusuran dan penyerobotan tanah perkebunan dan hutan milik masyarakat adat juga mengindikasikan masih belum dilindunginya hak-hak masyarakat atas tanah, sekaligus juga bukti mudahnya para investor mendapatkan tanah.
Selanjutnya, perdefenisi kepentingan umum dan pembangunan saat ini sangatlah kabur. Sebab, di masa lalu yang disebut dengan kepentingan umum dan pembangunan adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat secara luas dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan.
Sementara saat ini, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar dimiliki serta dioperasionalkan oleh investor swasta nasional dan asing yang berorientasi mencari keuntungan maksimal, padahal sudah selayaknya penggantian tanah menguntungkan rakyat.
Selain itu, menurut kami, yang sangat dibutuhkan rakyat saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.
5. Bertahannya Kemiskinan Petani dan Rakyat Desa
Menurut BPS, penduduk miskin kita telah turun sebesar 2,43 juta jiwa, meski begitu jumlah penduduk miskin kita masih sangat besar yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Padahal angka ini diperoleh dengan menghitung basis konsumsi US$.1 per hari. Tentu jika menggunakan parameter US$.2 angka tersebut akan membengkak luar biasa.
Angka-angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenal siapa kaum miskin itu sesungguhnya. Sampai sakarang, sebagian besar orang miskin bertempat dan menetap di pedesaan, dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten.
Mereka, sampai sekarang belum pernah mendapatkan program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama yang dihadapi mereka, yaitu ketiadaan lahan.
Rekomendasi ke Depan
A. Segera Dilaksanakan Pembaruan Agraria
Konsorsium Pembaruan Agraria menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pembaruan Agraria sejati adalah jawaban yang paling dibutuhkan rakyat saat ini. Selain sudah dimandatkan oleh UUD 1945, UU Pokok Agraria 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok, pembaruan agraria adalah jalan menghentikan berbagai persoalan sistemik di pedesaan seperti kemiskinan dan pengangguran, persoalan desa-kota dan industri-pertanian yang selama ini tidak terkait dan saling melemahkan.
Pembaruan Agraria yang sudah selesai dijalankan di negara-negara seperti Taiwan, Korea, China, Vietnam, Thailand, Malaysia ternyata telah mampu menjadi pijakan yang kokoh dalam mempersiapkan negara tersebut menjadi negara yang maju dan kuat.
Sementara, tidak dijalankannya Pembaruan Agraria seperti di Indonesia, Philipina telah terbukti membawa persoalan politik, ekonomi, dan sosial yang tidak kunjung usai.
B. Dibutuhkan Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria
Jatuhnya ribuan korban setiap tahun dalam setiap konflik agraria sesungguhnya mempunyai dua pesan yang jelas, yaitu besarnya tuntutan pelaksanaan pembaruan agraria dan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga hukum yang ada.
Menurut kami, sangat dibutuhkan lembaga penyelesaian konflik agraria seperti yang pernah diusulkan oleh Komnas HAM dan masyarakat sipil pada tahun 2005. yaitu, perlu dibentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)
C. Mencabut dan Menghentikan Program Kontra Reforma Agraria
Seperti telah diulas di muka, menurut kami BPN harus menghentikan dan mencabut MoU antara BPN dengan Mabes Polri. Sebab kebijakan ini terbukti telah mendorong banyaknya kriminalisasi terhadap petani. Selanjutnya, pemerintah harus menghentikan RUU Pengadaan Tanah sebelum ada kejelasan rencana pengadaan tanah bagi rakyat miskin dan petani tunakisma di Indonesia.
Penutup
Demikian Laporan Akhir Tahun 2009 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Jakarta, 22 Desember 2009
Idham Arsyad
Sekretaris Jenderal
December 30, 2009
Soekarno dan Land Reform
Tanpa bermaksud menyederhakan, terdapat dua buah blok besar kebijakan agraria nasional selama 64 tahun Indonesia merdeka. Pertama, kebijakan agraria (neo) populis yang dimulai semenjak disahkannya UUPA 1960 hingga dipenghujung kekuasaan rezim Soekarno. Kedua, kebijakan agraria pro-pasar (kapitalisme) semasa pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga seluruh pemerintahan di masa reformasi.
Memang, semua presiden di negara kita secara formal sesungguhnya menggunakan UUPA 1960 sebagai payung pelaksanaan hukum agraria nasional. Namun dengan pendulum yang sama sekali berlainan. Soekarno di sisi kiri dan Seoahrto dan penerusnya di sisi kanan. Pilihan-pilihan ini memberi gambaran kepada kita semua, bahwa dasar ekonomi politik nasional yang secara sadar dipilih oleh pemerintah yang berkuasa menentukan model rezim agraria yang berlaku.
Soekarno dan Land Reform
Soekarno memahami, bahwa membangun ekonomi bangsa harus dimulai dari menata struktur penguasaan tanah khususnya lahan pertanian. Selama periode transisi 45-60, politik agraria kita masih menggunakan dasar hukum Belanda dan sebagian tata cara pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan ala Jepang. Pola penguasaan tanah belum diatur dalam undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah tidak berada dalam strategi pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih bersifat temporer dan reaktif.
Memang di masa 1945 sampai diberlakukannya UUPA 24 September 1960, sempat juga dilahirkan beberapa UU yang mengatur soal-soal pertanahan seperti penghapusan tanah partikelir dan desa perdikan.
Land reform di masa Soekarno dijalankan melalui ”Paket UU Landreform” seperti UUPA, UU Pokok Bagi Hasil. UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
Menurut penulis, secara mudah operasionalisasi dari UU dan peraturan-peraturan tersebut adalah: Pertama, untuk membatasi kepemilikan tanah pertanian oleh para tuan tanah, maka dilakukan pembatasan luas maksimum yang diperbolehkan petani untuk dimiliki.
Kedua, Diberlakukan penentuan bagi hasil pertanian yang menguntungkan bagi penggarap, sehingga para pemilik tanah yang tidak menggarapnya secara langsung terdorong untuk menjual tanahnya melalui kebijakan ini. Penentuan Bagi Hasil pertanian ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan harga tanah yang diambil oleh pemerintah dari para pemilik tanah lama.
Ketiga, untuk mencari tanah objek land reform di berbagai wilayah khususnya desa-desa, dilakukan pendaftaran atau registrasi tanah oleh pemerintah desa dan organisasi petani. Sehingga melalui proses pendaftaran ini ditemukan tanah guntai, tanah kelebihan maksimum dan tanah negara bebas lainnya untuk dijadikan objek land reform.
Keempat, dibentuk Panitia Land Reform yang melibatkan unsur pemerintah dan organisasi petani mulai dari tingkat nasional hingga tingkat desa. Panitia ini yang melaksanakan land reform khususnya menentukan objek, subjek dan mekanisme redistribusi.
Terakhir, meskipun terlambat disahkan, Jika terjadi konflik dalam pelaksanaan land reform apakah itu soal penentuan objek, subjek, mekanisme redistribusi dan keluhan lainnya diselesaikan melalui pengadilan landreform.
Wolf Ladejinsky, arsitek land reform Jepang yang menjadi asisten Jenderal Mac Arthur dan bertindak juga sebagai penasehat di Taiwan, mengunjungi Indonesia tiga kali atas undangan Menteri Agraria Mr.Sadjarwo. Ia memberikan ulasan singkat mengapa pelaksanaan land reform di Indonesia pada masa itu sulit dilakukan.
Pertama, ketentuan mengenai batas maksimum pemilikan tanah yang tidak realistis (terlalu luas) khususnya di Jawa tidak memungkinkan pemerintah mendapatkan tanah yang cukup untuk dapat dibagikan. Sementara batas minimum juga tidak realistis sebab tidak terdapat cukup tanah untuk menjamin setiap keluarga petani di Jawa mempunyai tanah dua hektar. Selain itu, menurut Ladejinsky sistem proses yang rumit, administrasi yang buruk dan kecakapan panitia landreform yang rendah adalah sebab lainnya (Rajagukguk:1995).
Senada dengan ladejinsky, dalam laporan mengenai hambatan-hambatan pokok pelaksanaan land reform, Menteri Agraria Republik Indonesia Mr. Sadjarwo, menjelaskan antara lain:
Adanya administrasi tanah yang tidak sempurna, mengakibatkan sukarnya mengetahui secara tepat luas tanah yang akan dibagikan dalam land reform. Kelemahan administrasi ini sering membuka peluang bagi penyelewengan-penyelewengan.
Masih ada orang-orang yang belum menyadari penting dan perlunya land reform bagi penyelesaian revolusi. Kadang-kadang terjadi tindakan-tindakan merintangi land reform dengan berbagai dalih.
Sebagian anggota panitia tidak menaruh perhatian sepenuhnya terhadap pelaksanaan land reform, karena kesibukan tugas atau kepentingan dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan ada tanah yang dibebaskan/dikeluarkan dari daftar tanpa alasan yang benar, sehingga menimbulkan salah alamat dan sebagainya.
Organisasi-organisasi massa tani yang diharapkan memberikan dukungan dan kontrol di sejumlah daerah belum diberi peranan dalam kepanitiaan land reform.
Adanya tekanan-tekanan psikologi dan ekonomis dari tuan-tuan tanah kepada para petani di sejumlah daerah, membuat para petani belum merupakan kekuatan sosial untuk memperlancar pelaksanaan land reform.
Dalam penetapan prioritas, panitia sering menghadapi kesukaran-kesukaran karena penggarap yang tidak tetap, perubahan administrasi pemerintahan sehingga tanah itu menjadi absentee (guntai). Hal ini sering menimbulkan konflik antar petani atau antar golongan.
Dari penjelasan Menteri Agraria tersebut, dapat dilihat adanya beberapa masalah yang cukup penting: Pertama, masalah yang bersifat ke dalam, dari soal kesadaran, pengetahuan, sampai pada kesungguhan, dan komitmen waktu. Kedua, masalah yang bersifat politik, khususnya menyangkut pengorganisasian dukungan politik yang dibutuhkan untuk menjalankan program land reform. Ketiga, menyangkut masalah administrasi, yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai masalah kebijakan.
Karena terjadinya hambatan-hambatan ini, maka kemudian terjadilah apa yang dikenal sebagai gerakan aksi sepihak (unilateral actions). Aksi-aksi sepihak ini menjadi pusat persengketaan. Namun, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan aksi sepihak ini dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Menurut Erpan Faryadi, Anggota Dewan Pakar KPA, aksi-aksi kedua belah pihak sama-sama dapat dikategorikan sebagai aksi sepihak. Karena, aksi-aksi petani untuk melaksanakan Undang-Undang Land Reform secara sepihak dimulai sebagai reaksi atas provokasi dan rintangan dari pihak tuan tanah. Jadi, hampir seluruh gerakan kedua pihak dapat didefinisikan sebagai aksi sepihak. Karena diadakan tanpa menghiraukan prosedur yang normal, misalnya tanpa menunggu keputusan Panitia Land Reform, atau bertentangan dengan keputusan Panitia Land Reform.
Hasil-hasil pembagian tanah landreform dari tahun 1963-1969 di Jawa berjumlah 197.395,6531 hektar kepada 307.904 keluarga. Ini berarti hanya 3,49 persen dari 5.647.000 hektar luas tanah pertanian yang ada. Sementara itu, hanya 8,14 persen rumah tangga dari perkiraan 4.761.065 juta petani pada masa itu.
Memang, semua presiden di negara kita secara formal sesungguhnya menggunakan UUPA 1960 sebagai payung pelaksanaan hukum agraria nasional. Namun dengan pendulum yang sama sekali berlainan. Soekarno di sisi kiri dan Seoahrto dan penerusnya di sisi kanan. Pilihan-pilihan ini memberi gambaran kepada kita semua, bahwa dasar ekonomi politik nasional yang secara sadar dipilih oleh pemerintah yang berkuasa menentukan model rezim agraria yang berlaku.
Soekarno dan Land Reform
Soekarno memahami, bahwa membangun ekonomi bangsa harus dimulai dari menata struktur penguasaan tanah khususnya lahan pertanian. Selama periode transisi 45-60, politik agraria kita masih menggunakan dasar hukum Belanda dan sebagian tata cara pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan ala Jepang. Pola penguasaan tanah belum diatur dalam undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah tidak berada dalam strategi pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih bersifat temporer dan reaktif.
Memang di masa 1945 sampai diberlakukannya UUPA 24 September 1960, sempat juga dilahirkan beberapa UU yang mengatur soal-soal pertanahan seperti penghapusan tanah partikelir dan desa perdikan.
Land reform di masa Soekarno dijalankan melalui ”Paket UU Landreform” seperti UUPA, UU Pokok Bagi Hasil. UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
Menurut penulis, secara mudah operasionalisasi dari UU dan peraturan-peraturan tersebut adalah: Pertama, untuk membatasi kepemilikan tanah pertanian oleh para tuan tanah, maka dilakukan pembatasan luas maksimum yang diperbolehkan petani untuk dimiliki.
Kedua, Diberlakukan penentuan bagi hasil pertanian yang menguntungkan bagi penggarap, sehingga para pemilik tanah yang tidak menggarapnya secara langsung terdorong untuk menjual tanahnya melalui kebijakan ini. Penentuan Bagi Hasil pertanian ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan harga tanah yang diambil oleh pemerintah dari para pemilik tanah lama.
Ketiga, untuk mencari tanah objek land reform di berbagai wilayah khususnya desa-desa, dilakukan pendaftaran atau registrasi tanah oleh pemerintah desa dan organisasi petani. Sehingga melalui proses pendaftaran ini ditemukan tanah guntai, tanah kelebihan maksimum dan tanah negara bebas lainnya untuk dijadikan objek land reform.
Keempat, dibentuk Panitia Land Reform yang melibatkan unsur pemerintah dan organisasi petani mulai dari tingkat nasional hingga tingkat desa. Panitia ini yang melaksanakan land reform khususnya menentukan objek, subjek dan mekanisme redistribusi.
Terakhir, meskipun terlambat disahkan, Jika terjadi konflik dalam pelaksanaan land reform apakah itu soal penentuan objek, subjek, mekanisme redistribusi dan keluhan lainnya diselesaikan melalui pengadilan landreform.
Wolf Ladejinsky, arsitek land reform Jepang yang menjadi asisten Jenderal Mac Arthur dan bertindak juga sebagai penasehat di Taiwan, mengunjungi Indonesia tiga kali atas undangan Menteri Agraria Mr.Sadjarwo. Ia memberikan ulasan singkat mengapa pelaksanaan land reform di Indonesia pada masa itu sulit dilakukan.
Pertama, ketentuan mengenai batas maksimum pemilikan tanah yang tidak realistis (terlalu luas) khususnya di Jawa tidak memungkinkan pemerintah mendapatkan tanah yang cukup untuk dapat dibagikan. Sementara batas minimum juga tidak realistis sebab tidak terdapat cukup tanah untuk menjamin setiap keluarga petani di Jawa mempunyai tanah dua hektar. Selain itu, menurut Ladejinsky sistem proses yang rumit, administrasi yang buruk dan kecakapan panitia landreform yang rendah adalah sebab lainnya (Rajagukguk:1995).
Senada dengan ladejinsky, dalam laporan mengenai hambatan-hambatan pokok pelaksanaan land reform, Menteri Agraria Republik Indonesia Mr. Sadjarwo, menjelaskan antara lain:
Adanya administrasi tanah yang tidak sempurna, mengakibatkan sukarnya mengetahui secara tepat luas tanah yang akan dibagikan dalam land reform. Kelemahan administrasi ini sering membuka peluang bagi penyelewengan-penyelewengan.
Masih ada orang-orang yang belum menyadari penting dan perlunya land reform bagi penyelesaian revolusi. Kadang-kadang terjadi tindakan-tindakan merintangi land reform dengan berbagai dalih.
Sebagian anggota panitia tidak menaruh perhatian sepenuhnya terhadap pelaksanaan land reform, karena kesibukan tugas atau kepentingan dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan ada tanah yang dibebaskan/dikeluarkan dari daftar tanpa alasan yang benar, sehingga menimbulkan salah alamat dan sebagainya.
Organisasi-organisasi massa tani yang diharapkan memberikan dukungan dan kontrol di sejumlah daerah belum diberi peranan dalam kepanitiaan land reform.
Adanya tekanan-tekanan psikologi dan ekonomis dari tuan-tuan tanah kepada para petani di sejumlah daerah, membuat para petani belum merupakan kekuatan sosial untuk memperlancar pelaksanaan land reform.
Dalam penetapan prioritas, panitia sering menghadapi kesukaran-kesukaran karena penggarap yang tidak tetap, perubahan administrasi pemerintahan sehingga tanah itu menjadi absentee (guntai). Hal ini sering menimbulkan konflik antar petani atau antar golongan.
Dari penjelasan Menteri Agraria tersebut, dapat dilihat adanya beberapa masalah yang cukup penting: Pertama, masalah yang bersifat ke dalam, dari soal kesadaran, pengetahuan, sampai pada kesungguhan, dan komitmen waktu. Kedua, masalah yang bersifat politik, khususnya menyangkut pengorganisasian dukungan politik yang dibutuhkan untuk menjalankan program land reform. Ketiga, menyangkut masalah administrasi, yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai masalah kebijakan.
Karena terjadinya hambatan-hambatan ini, maka kemudian terjadilah apa yang dikenal sebagai gerakan aksi sepihak (unilateral actions). Aksi-aksi sepihak ini menjadi pusat persengketaan. Namun, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan aksi sepihak ini dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Menurut Erpan Faryadi, Anggota Dewan Pakar KPA, aksi-aksi kedua belah pihak sama-sama dapat dikategorikan sebagai aksi sepihak. Karena, aksi-aksi petani untuk melaksanakan Undang-Undang Land Reform secara sepihak dimulai sebagai reaksi atas provokasi dan rintangan dari pihak tuan tanah. Jadi, hampir seluruh gerakan kedua pihak dapat didefinisikan sebagai aksi sepihak. Karena diadakan tanpa menghiraukan prosedur yang normal, misalnya tanpa menunggu keputusan Panitia Land Reform, atau bertentangan dengan keputusan Panitia Land Reform.
Hasil-hasil pembagian tanah landreform dari tahun 1963-1969 di Jawa berjumlah 197.395,6531 hektar kepada 307.904 keluarga. Ini berarti hanya 3,49 persen dari 5.647.000 hektar luas tanah pertanian yang ada. Sementara itu, hanya 8,14 persen rumah tangga dari perkiraan 4.761.065 juta petani pada masa itu.
December 14, 2009
Urgensi Pembaruan Agraria
Romanus Ndau Lendong
Keselamatan kita hanya datang dari petani, bukan pengacara, dokter atau tuan tanah kaya. (Mohandas Karamchand Gandhi).
Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan peran profesi lain, Gandhi memang memberikan tempat terhormat bagi petani. Alasannya, di negara-negara agraris petani merupakan kelompok masyarakat terbesar. Petani merupakan kekuatan yang amat menentukan karena memproduk kebutuhan dasar manusia, yakni pangan. Dengan itu, Gandhi hendak mengingatkan berbagai rezim di dunia agar harkat dan martabat petani mendapat tempat proporsional.
Apa yang dikatakan Gandhi relevan untuk Indonesia, saat ini. Di negeri ini, petani, nelayan, dan perempuan adalah kekuatan ekonomi produktif yang amat menentukan. Karya petani berperan utuk menyediakan makanan kepada segenap elemen bangsa. Ironisnya, nasib petani, nelayan, dan perempuan selalu tergusur dan terlupakan.
Soal agraria (tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah merupakan asal dan sumber makanan. (Tauchid, 1952;6-7). Kepemilikan tanah adalah masalah hak asasi manusia (HAM), karena menjadi pangkal bagi terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi dan politik. Itu berarti, pengabaian terhadap hak atas tanah merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Sadar akan hal tersebut, Mohammad Hatta menegaskan bahwa kepemilikan lahan bagi petani, nelayan, dan perempuan miskin sejalan dengan dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan melawan kolonialisme tidak lain adalah perjuangan merebut hak atas tanah.
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Agraria juga menyatakan secara tegas bahwa tanah adalah napas dan hidup rakyat. Kepemilikan tanah merupakan hak mutlak yang harus dipenuhi oleh negara agar rakyat tidak terjebak dalam belitan kemiskinan dan keterbelakangan. Ironisnya, kemerdekaan yang kita capai belum berarti buat petani, nelayan, dan perempuan miskin. Kepemilikan lahan di kalangan petani hanya berkisar 0,250 hektare, sehingga sekadar bertahan hidup pun sudah tidak memadai lagi. Penelitian Sekretariat Bina Desa Sadajiwa di Karawang tahun 2004 menunjukkan, lebih dari 70 persen buruh tani tidak memiliki lahan sendiri.
Komoditas Politik
Ada tiga tekad yang hendak dicapai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, yakni mewujudkan kesejahteraan umum, menegakkan keadilan, dan mendewasakan demokrasi. Bagi petani, nelayan, dan perempuan, harapan tersebut bisa dicapai, bila hak atas tanah dijamin oleh negara. Di sinilah arti penting janji pemerintahan SBY untuk mendistribusikan lahan seluas 8,15 juta hektare kepada petani. Janji ini satu paket dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang diluncurkan dua tahun silam, namun hingga kini masih belum jelas realisasinya.
Terjaminnya kecukupan pangan merupakan agenda serius bagi bangsa ini. Selain untuk menopang kehidupan dan kesejahteraan rakyat juga untuk memastikan bahwa kekuasaan politik tetap terjaga dan bisa bekerja optimal. Harus diakui, pangan atau sembako merupakan fenomena politik yang sangat dirasakan rakyat kecil. Pangan memiliki pengaruh kuat terhadap politik. Kelaparan adalah sumber keberingasan, kekerasan, dan kehancuran. (Fahmid, 2004;vi). Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada 1998 merupakan buah dari pergerakan rakyat yang lapar, karena harga sembako melangit, pengangguran meluas, dan kemiskinan akut.
Ceita tentang berakhirnya kekuasaan, karena rakyat yang lapar dan tak berdaya bukan khas Indonesia. Krisis pangan sempat melanda dunia tahun 2008, yang meruntuhkan kekuasaan di banyak negara. Kenyataan tersebut sering luput dari perhatian elite politik di negeri ini. Persoalan agraria umumnya dan pangan khususnya belum mendapat perhatian optimal.
Salah satu kritik terhadap SBY-Boediono adalah soal paham neoliberal yang memayungi kebijakan ekonominya. Wajah nyata ekonomi neoliberal adalah deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi di semua sektor termasuk pertanian. Wakil Presiden
Boediono dinilai sebagai tokoh penting di balik kebijakan ekonomi yang berpotensi menganaktirikan kepentingan rakyat kecil dan sebaliknya menguntungkan pemilik modal. Kritik terhadap sistem ekonomi neoliberal sudah lama dikibarkan berbagai kalangan, terutama aktivis LSM, dan akademisi.
Di bidang pertanahan, neoliberalisme menyentuh pasar harga tanah untuk kepentingan industri. Kini, agraria berada dalam tarikan dua kelompok kepentingan besar, yakni rezim kapitalis-global yang menghendaki soal agraria dipersiapkan masuk ke pasar bebas sejagad yang meminimalkan intervensi negara dalam investasi di satu pihak dan kekuatan birokrasi, serta pengusaha yang masih berusaha untuk mempertahankan mekanisme investasi melalui intervensi negara. Kedua rezim ini memiliki karakter yang sama dalam hal memperlakukan rakyat. Ketimpangan agraria, bagi kedua kekuatan ini dianggap taken for granted, bahkan cenderung dipertajam. Agraria diidap industrial dan urban biases. (KRHN dan KPA, 1998; v).
Jika demikian, kesenjangan kepemilikan lahan antara kelompok kaya dan miskin merupakan keniscayaan yang sulit diantisipasi. Penelitian Noer Fauzi dkk tahun 1998 tentang kepemilikan lahan menunjukkan dua fenomena berikut.
Pertama, terjadinya penyusutan lahan pertanian secara sistematis yang membuat petani kehilangan lahan dan produksi pertanian terus merosot tajam. Setidaknya 2 persen lahan pertanian setiap tahun dialihfungsikan untuk kebutuhan pengembangan proyek jalan tol, real estate, dan lapangan golf. Kedua, meningkatnya ketimpangan penguasaan lahan pertanian antara kelompok kaya dan kaum miskin. Tercatat 20 persen orang kaya (tuan tanah, pemilik modal, dan pejabat) menguasai 69 persen dari seluruh luas lahan pertanian. Sebaliknya, 80 persen warga miskin (petani, nelayan, dan perempuan miskin) hanya menguasai 31 persen.
Argumen Penting
Tekad KIB II untuk mewujudkan kemakmuran di satu sisi dan merosotnya kepemilikan lahan bagi rakyat miskin di sisi lain menjadi argumen penting untuk mewujudkan pembaruan agraria (PA). Pertama, merombak bentuk ketidakadilan agraria dengan menghancurkan monopoli penguasaan tanah dan kekayaan alam oleh penguasa dan tuan tanah. Kedua, membagikan (meredistribusikan) tanah dan kekayaan alam (sumber-sumber agraria) secara adil kepada petani dan golongan sosial lain. Ketiga, membuka peluang bagi petani untuk mengelola sumber-sumber agraria, menata produksi, mempromosikan penggunaan bahan-bahan pertanian lokal, dan sebagainya.
Jadi, PA adalah pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi, dan struktur pelayanan pendukung. PA menjadi model perubahan atau perombakan sosial guna mengubah struktur agraria ke sistem yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan bangsa. Dewasa ini, berkembang pemikiran tentang pembaruan agraria yang didasarkan pada inisiatif rakyat, bukan pada kedermawanan dan inisiatif negara. Hal tersebut merupakan agenda strategis untuk memulihkan hak-hak petani, yang sejauh ini sulit diwujudkan, karena lemahnya komitmen negara.
Inisiatif rakyat berperan untuk menegakkan prinsip-prinsip pokok PA sebagai berikut. Pertama, PA harus mampu mewujudkan keadilan bagi semua, termasuk perempuan dalam hal kepemilikan lahan dan sumber-suber agraria. Kedua, mendorong kesejahteran. Konsekuensinya, tanah dan kekayaan alam harus dikembalikan pada fungsi hakikinya, yakni sebagai jiwa dan napas hidup rakyat. Jadi, tanah bukan komoditas dagang yang bisa dipermainkan sesuai kehendak pemilik modal.
Ketiga, partisipatif, yakni terlibatnya rakyat secara penuh dan utuh dalam mewujudkan PA. Rakyat juga berhak untuk mengawasi dan menikmati manfaat dari sumber-sumber agraria. Keempat, berkelanjutan. PA tidak selesai pada redistribusi tanah dan kekayaan alam saja, tetapi juga mencakup upaya-upaya yang sistematik untuk menjamin terwujudnya manfaat dalam jangka panjang.
Diperlukan kebulatan tekad semua pihak untuk menegaskan pentingnya melaksanakan PA sebagai agenda mendesak saat ini. Konsistensi pemerintahan SBY-Boediono dan inisiatif rakyat dalam mendorong PA merupakan langkah penting untuk menjamin hak-hak rakyat sekaligus menyelesaikan berbagai sengketa agraria secara damai dan bijak. Terwujudnya PA membuat harapan rakyat akan kemakmuran, keadilan, dan demokrasi semakin realistis.
Penulis adalah Associate Researcher Sekretariat Bina Desa Sadajiwa Jakarta
dikutip dari Suara Pembaruan, 8 Desember 2009
Keselamatan kita hanya datang dari petani, bukan pengacara, dokter atau tuan tanah kaya. (Mohandas Karamchand Gandhi).
Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan peran profesi lain, Gandhi memang memberikan tempat terhormat bagi petani. Alasannya, di negara-negara agraris petani merupakan kelompok masyarakat terbesar. Petani merupakan kekuatan yang amat menentukan karena memproduk kebutuhan dasar manusia, yakni pangan. Dengan itu, Gandhi hendak mengingatkan berbagai rezim di dunia agar harkat dan martabat petani mendapat tempat proporsional.
Apa yang dikatakan Gandhi relevan untuk Indonesia, saat ini. Di negeri ini, petani, nelayan, dan perempuan adalah kekuatan ekonomi produktif yang amat menentukan. Karya petani berperan utuk menyediakan makanan kepada segenap elemen bangsa. Ironisnya, nasib petani, nelayan, dan perempuan selalu tergusur dan terlupakan.
Soal agraria (tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah merupakan asal dan sumber makanan. (Tauchid, 1952;6-7). Kepemilikan tanah adalah masalah hak asasi manusia (HAM), karena menjadi pangkal bagi terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi dan politik. Itu berarti, pengabaian terhadap hak atas tanah merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Sadar akan hal tersebut, Mohammad Hatta menegaskan bahwa kepemilikan lahan bagi petani, nelayan, dan perempuan miskin sejalan dengan dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan melawan kolonialisme tidak lain adalah perjuangan merebut hak atas tanah.
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Agraria juga menyatakan secara tegas bahwa tanah adalah napas dan hidup rakyat. Kepemilikan tanah merupakan hak mutlak yang harus dipenuhi oleh negara agar rakyat tidak terjebak dalam belitan kemiskinan dan keterbelakangan. Ironisnya, kemerdekaan yang kita capai belum berarti buat petani, nelayan, dan perempuan miskin. Kepemilikan lahan di kalangan petani hanya berkisar 0,250 hektare, sehingga sekadar bertahan hidup pun sudah tidak memadai lagi. Penelitian Sekretariat Bina Desa Sadajiwa di Karawang tahun 2004 menunjukkan, lebih dari 70 persen buruh tani tidak memiliki lahan sendiri.
Komoditas Politik
Ada tiga tekad yang hendak dicapai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, yakni mewujudkan kesejahteraan umum, menegakkan keadilan, dan mendewasakan demokrasi. Bagi petani, nelayan, dan perempuan, harapan tersebut bisa dicapai, bila hak atas tanah dijamin oleh negara. Di sinilah arti penting janji pemerintahan SBY untuk mendistribusikan lahan seluas 8,15 juta hektare kepada petani. Janji ini satu paket dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang diluncurkan dua tahun silam, namun hingga kini masih belum jelas realisasinya.
Terjaminnya kecukupan pangan merupakan agenda serius bagi bangsa ini. Selain untuk menopang kehidupan dan kesejahteraan rakyat juga untuk memastikan bahwa kekuasaan politik tetap terjaga dan bisa bekerja optimal. Harus diakui, pangan atau sembako merupakan fenomena politik yang sangat dirasakan rakyat kecil. Pangan memiliki pengaruh kuat terhadap politik. Kelaparan adalah sumber keberingasan, kekerasan, dan kehancuran. (Fahmid, 2004;vi). Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada 1998 merupakan buah dari pergerakan rakyat yang lapar, karena harga sembako melangit, pengangguran meluas, dan kemiskinan akut.
Ceita tentang berakhirnya kekuasaan, karena rakyat yang lapar dan tak berdaya bukan khas Indonesia. Krisis pangan sempat melanda dunia tahun 2008, yang meruntuhkan kekuasaan di banyak negara. Kenyataan tersebut sering luput dari perhatian elite politik di negeri ini. Persoalan agraria umumnya dan pangan khususnya belum mendapat perhatian optimal.
Salah satu kritik terhadap SBY-Boediono adalah soal paham neoliberal yang memayungi kebijakan ekonominya. Wajah nyata ekonomi neoliberal adalah deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi di semua sektor termasuk pertanian. Wakil Presiden
Boediono dinilai sebagai tokoh penting di balik kebijakan ekonomi yang berpotensi menganaktirikan kepentingan rakyat kecil dan sebaliknya menguntungkan pemilik modal. Kritik terhadap sistem ekonomi neoliberal sudah lama dikibarkan berbagai kalangan, terutama aktivis LSM, dan akademisi.
Di bidang pertanahan, neoliberalisme menyentuh pasar harga tanah untuk kepentingan industri. Kini, agraria berada dalam tarikan dua kelompok kepentingan besar, yakni rezim kapitalis-global yang menghendaki soal agraria dipersiapkan masuk ke pasar bebas sejagad yang meminimalkan intervensi negara dalam investasi di satu pihak dan kekuatan birokrasi, serta pengusaha yang masih berusaha untuk mempertahankan mekanisme investasi melalui intervensi negara. Kedua rezim ini memiliki karakter yang sama dalam hal memperlakukan rakyat. Ketimpangan agraria, bagi kedua kekuatan ini dianggap taken for granted, bahkan cenderung dipertajam. Agraria diidap industrial dan urban biases. (KRHN dan KPA, 1998; v).
Jika demikian, kesenjangan kepemilikan lahan antara kelompok kaya dan miskin merupakan keniscayaan yang sulit diantisipasi. Penelitian Noer Fauzi dkk tahun 1998 tentang kepemilikan lahan menunjukkan dua fenomena berikut.
Pertama, terjadinya penyusutan lahan pertanian secara sistematis yang membuat petani kehilangan lahan dan produksi pertanian terus merosot tajam. Setidaknya 2 persen lahan pertanian setiap tahun dialihfungsikan untuk kebutuhan pengembangan proyek jalan tol, real estate, dan lapangan golf. Kedua, meningkatnya ketimpangan penguasaan lahan pertanian antara kelompok kaya dan kaum miskin. Tercatat 20 persen orang kaya (tuan tanah, pemilik modal, dan pejabat) menguasai 69 persen dari seluruh luas lahan pertanian. Sebaliknya, 80 persen warga miskin (petani, nelayan, dan perempuan miskin) hanya menguasai 31 persen.
Argumen Penting
Tekad KIB II untuk mewujudkan kemakmuran di satu sisi dan merosotnya kepemilikan lahan bagi rakyat miskin di sisi lain menjadi argumen penting untuk mewujudkan pembaruan agraria (PA). Pertama, merombak bentuk ketidakadilan agraria dengan menghancurkan monopoli penguasaan tanah dan kekayaan alam oleh penguasa dan tuan tanah. Kedua, membagikan (meredistribusikan) tanah dan kekayaan alam (sumber-sumber agraria) secara adil kepada petani dan golongan sosial lain. Ketiga, membuka peluang bagi petani untuk mengelola sumber-sumber agraria, menata produksi, mempromosikan penggunaan bahan-bahan pertanian lokal, dan sebagainya.
Jadi, PA adalah pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi, dan struktur pelayanan pendukung. PA menjadi model perubahan atau perombakan sosial guna mengubah struktur agraria ke sistem yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan bangsa. Dewasa ini, berkembang pemikiran tentang pembaruan agraria yang didasarkan pada inisiatif rakyat, bukan pada kedermawanan dan inisiatif negara. Hal tersebut merupakan agenda strategis untuk memulihkan hak-hak petani, yang sejauh ini sulit diwujudkan, karena lemahnya komitmen negara.
Inisiatif rakyat berperan untuk menegakkan prinsip-prinsip pokok PA sebagai berikut. Pertama, PA harus mampu mewujudkan keadilan bagi semua, termasuk perempuan dalam hal kepemilikan lahan dan sumber-suber agraria. Kedua, mendorong kesejahteran. Konsekuensinya, tanah dan kekayaan alam harus dikembalikan pada fungsi hakikinya, yakni sebagai jiwa dan napas hidup rakyat. Jadi, tanah bukan komoditas dagang yang bisa dipermainkan sesuai kehendak pemilik modal.
Ketiga, partisipatif, yakni terlibatnya rakyat secara penuh dan utuh dalam mewujudkan PA. Rakyat juga berhak untuk mengawasi dan menikmati manfaat dari sumber-sumber agraria. Keempat, berkelanjutan. PA tidak selesai pada redistribusi tanah dan kekayaan alam saja, tetapi juga mencakup upaya-upaya yang sistematik untuk menjamin terwujudnya manfaat dalam jangka panjang.
Diperlukan kebulatan tekad semua pihak untuk menegaskan pentingnya melaksanakan PA sebagai agenda mendesak saat ini. Konsistensi pemerintahan SBY-Boediono dan inisiatif rakyat dalam mendorong PA merupakan langkah penting untuk menjamin hak-hak rakyat sekaligus menyelesaikan berbagai sengketa agraria secara damai dan bijak. Terwujudnya PA membuat harapan rakyat akan kemakmuran, keadilan, dan demokrasi semakin realistis.
Penulis adalah Associate Researcher Sekretariat Bina Desa Sadajiwa Jakarta
dikutip dari Suara Pembaruan, 8 Desember 2009
November 24, 2009
Reformasi Agraria Gagal Distribusikan Tanah untuk Rakyat Miskin
Suara Pembaruan. Sabtu, 21 November 2009
[JAKARTA] Reformasi agraria saat ini belum dijalankan. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 lalu, untuk mendistribusikan jutaan hektare tanah kepada rakyat miskin, belum terealisasi. Akibatnya, penduduk miskin semakin miskin, sementara tanah telantar ada di mana-mana.
"Ironis memang, kita negara agraris dengan mayoritas penduduknya petani, tetapi tidak punya tanah. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran merajalela di mana-mana. Sementara itu, tanah telantar, ada di mana-mana," kata Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan di Jakarta, Jumat (20/11).
Melihat itu, KPA mendesak Presiden Yudhoyono untuk tegas melakukan reformasi agraria, agar janji yang disampaikannya beberapa tahun lalu tidak menjadi pepesan kosong.
Mengenai kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN), Usep mengatakan, badan ini seharusnya menjadi ujung tombak reformasi agraria. Namun, sayangnya, BPN tidak bekerja maksimal. BPN, katanya, punya program kerja 100 hari, di antaranya, mempercepat munculnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang reformasi agraria.
Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) merilis data dari BPN bahwa tanah telantar di Indonesia mencapai 7,3 hektare. Luas tersebut sama dengan 133 kali luas Singapura. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 1999, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 47,97 juta jiwa, dan turun pada tahun 2003 menjadi 35,68 juta jiwa.
Dari jumlah 35,68 juta jiwa itu, 22,69 juta orang berada di pedesaan. Karena sebagian besar warga pedesaan bermata pencaharian sebagai petani, maka artinya sebagaian besar masyarakat miskin negeri ini adalah mereka yang status mata pencahariannya bertani, atau disebut dengan petani. Data pada 2001 mengungkapkan 55% dari penduduk miskin di Indonesia adalah petani.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Idrus Marham di Jakarta, Jumat, mengatakan, untuk memuluskan agenda reformasi agraria yang dicanangkan Presiden Yudhoyono, tidak ada cara lain kecuali mengganti posisi Kepala BPN Joyo Winoto dengan orang baru, yang memahami peta pertanahan nasional. [E-7/L-8]
[JAKARTA] Reformasi agraria saat ini belum dijalankan. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 lalu, untuk mendistribusikan jutaan hektare tanah kepada rakyat miskin, belum terealisasi. Akibatnya, penduduk miskin semakin miskin, sementara tanah telantar ada di mana-mana.
"Ironis memang, kita negara agraris dengan mayoritas penduduknya petani, tetapi tidak punya tanah. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran merajalela di mana-mana. Sementara itu, tanah telantar, ada di mana-mana," kata Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan di Jakarta, Jumat (20/11).
Melihat itu, KPA mendesak Presiden Yudhoyono untuk tegas melakukan reformasi agraria, agar janji yang disampaikannya beberapa tahun lalu tidak menjadi pepesan kosong.
Mengenai kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN), Usep mengatakan, badan ini seharusnya menjadi ujung tombak reformasi agraria. Namun, sayangnya, BPN tidak bekerja maksimal. BPN, katanya, punya program kerja 100 hari, di antaranya, mempercepat munculnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang reformasi agraria.
Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) merilis data dari BPN bahwa tanah telantar di Indonesia mencapai 7,3 hektare. Luas tersebut sama dengan 133 kali luas Singapura. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 1999, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 47,97 juta jiwa, dan turun pada tahun 2003 menjadi 35,68 juta jiwa.
Dari jumlah 35,68 juta jiwa itu, 22,69 juta orang berada di pedesaan. Karena sebagian besar warga pedesaan bermata pencaharian sebagai petani, maka artinya sebagaian besar masyarakat miskin negeri ini adalah mereka yang status mata pencahariannya bertani, atau disebut dengan petani. Data pada 2001 mengungkapkan 55% dari penduduk miskin di Indonesia adalah petani.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Idrus Marham di Jakarta, Jumat, mengatakan, untuk memuluskan agenda reformasi agraria yang dicanangkan Presiden Yudhoyono, tidak ada cara lain kecuali mengganti posisi Kepala BPN Joyo Winoto dengan orang baru, yang memahami peta pertanahan nasional. [E-7/L-8]
Masalah Pertanian Kita
Kompas Cetak. Senin, 23 November 2009
Oleh Usep Setiawan
Berbeda dengan para menteri pertanian sebelumnya yang ingin menggenjot produktivitas pertanian, mentan yang baru memulai visinya dengan urgensi pelaksanaan reforma agraria.
Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani atas lahan pertanian menegaskan gejala ”konversi” lahan pertanian ke nonpertanian berbanding lurus dengan ”ploretarisasi” petani.
Tampaknya, inilah yang mendorong Suswono, Mentan baru, mengajukan agenda mendasar dan penting diapresiasi. Mentan berjanji menjalankan reforma agraria melalui koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Kompas, 23/10/2009).
Selama ini, reforma agraria ”dititipkan” Presiden Yudhoyono ke BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Salah satu tugas dan fungsi BPN ialah menjalankan reforma agraria yang setelah lebih dari tiga tahun berjalan terseok-seok. Penyebabnya, komitmen dan dukungan lembaga pemerintah yang lain yang terkait urusan agraria, termasuk Departemen Pertanian, terbilang minim.
Agenda lanjutan
Menyusul sinyal dari Mentan, ada sejumlah agenda penting lanjutan. Pertama, identifikasi subyek calon penerima manfaat program reforma agraria. Di sektor pertanian, petani miskin, tak bertanah, yang lahannya sempit, buruh tani, nelayan tradisional, dan masyarakat adat/lokal harus diprioritaskan.
Kedua, identifikasi tanah yang layak dijadikan obyek reforma agraria yang akan diterima oleh subyek miskin. Tanah-tanah subur yang selama ini ditelantarkan ”pemiliknya” perlu dibangkitkan dan diproyeksikan bagi kebutuhan rakyat miskin. Revisi PP No 36/1998 tentang tanah telantar harus menjadi agenda mendesak untuk dituntaskan.
Ketiga, mengembangkan mekanisme yang transparan, partisipatif, dan demokratis dalam menjalankan distribusi, redistribusi, dan konsolidasi tanah pertanian agar reforma agraria mencapai tujuan serta sampai target dan sasaran. Jika tujuan pokok menghadirkan keadilan agaria tanpa konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam di segelintir orang, ini harus dikawal jangan sampai melenceng.
Keempat, perlu reorientasi, reformulasi arah, fokus agenda, dan program pertanian. Orientasi dan formulasi lama cenderung ”produktivitas mengandalkan efisiensi” yang ditopang pembangunan pertanian bermodal besar dengan perspektif agrobisnis. Kelak, perlu rumusan lebih berkeadilan dengan ”produktivitas mengutamakan pemerataan” yang ditopang penguasaan dan pemilikan aset produktif tanah, modal dan sarana produksi pertanian oleh kaum miskin desa.
Kelima, dalam kebijakan pangan, Deptan perlu menggeser paradigma ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keseluruhan, Deptan bertanggung jawab menyediakan akses pada berbagai sarana dan input pertanian yang dibutuhkan petani miskin mengiringi program landreform.
Titik tekan agenda lanjutan bagi Deptan ada pada poin empat dan lima. Untuk ketiga poin sebelumnya, Deptan perlu berkoordinasi dengan BPN. Maka, posisi, fungsi, tugas, dan kewenangan BPN perlu diperkuat dan diperluas, termasuk dalam konteks ”penataan ruang”, guna memastikan program landreform sebagai inti reforma agraria agar dapat berjalan efektif dan terkoneksi dengan sektor lain.
Perlu lompatan
Mengingat waktu yang tersedia bagi pemerintah tidak panjang (2009-2014), perlu aneka kebijakan yang sifatnya lompatan besar. Deptan sebagai lembaga pemerintah di sektor pertanian dan mengurus puluhan juta petani yang umumnya miskin butuh cara pikir dan tindak melompat jauh ke depan.
Sektor pertanian akan jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang, jika lompatan kebijakan itu gagal ditemukan. Gagal membangun sektor pertanian, maka gagal pula membangun fondasi eksistensi negeri agraris. Untuk itu, Mentan perlu melakukan lompatan dengan mengintegrasikan kebijakan pertanian dan kebijakan penataan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lain kemakmuran rakyat.
Menghubungkan kebijakan pertanian dengan reforma agraria. Inilah jantung dari tantangan terbesar sekaligus tugas mulia Mentan dan jajarannya. Mentan baru ditantang mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona pembangunan yang membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan, sambil mengurai perangkap krisis pangan dan energi serta degradasi lingkungan akibat gurita kapitalisme dan pemanasan global, dan sistem perdagangan yang tak adil.
Di tangan jajaran pemerintahan terkait pertanian dan keagrariaanlah makna hakiki dari ”demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan” yang digaungkan Presiden Yudhoyono dapat dibumikan ke alam nyata, bukan dibumihanguskan ke alam mimpi tak berujung.
Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria
Oleh Usep Setiawan
Berbeda dengan para menteri pertanian sebelumnya yang ingin menggenjot produktivitas pertanian, mentan yang baru memulai visinya dengan urgensi pelaksanaan reforma agraria.
Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani atas lahan pertanian menegaskan gejala ”konversi” lahan pertanian ke nonpertanian berbanding lurus dengan ”ploretarisasi” petani.
Tampaknya, inilah yang mendorong Suswono, Mentan baru, mengajukan agenda mendasar dan penting diapresiasi. Mentan berjanji menjalankan reforma agraria melalui koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Kompas, 23/10/2009).
Selama ini, reforma agraria ”dititipkan” Presiden Yudhoyono ke BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Salah satu tugas dan fungsi BPN ialah menjalankan reforma agraria yang setelah lebih dari tiga tahun berjalan terseok-seok. Penyebabnya, komitmen dan dukungan lembaga pemerintah yang lain yang terkait urusan agraria, termasuk Departemen Pertanian, terbilang minim.
Agenda lanjutan
Menyusul sinyal dari Mentan, ada sejumlah agenda penting lanjutan. Pertama, identifikasi subyek calon penerima manfaat program reforma agraria. Di sektor pertanian, petani miskin, tak bertanah, yang lahannya sempit, buruh tani, nelayan tradisional, dan masyarakat adat/lokal harus diprioritaskan.
Kedua, identifikasi tanah yang layak dijadikan obyek reforma agraria yang akan diterima oleh subyek miskin. Tanah-tanah subur yang selama ini ditelantarkan ”pemiliknya” perlu dibangkitkan dan diproyeksikan bagi kebutuhan rakyat miskin. Revisi PP No 36/1998 tentang tanah telantar harus menjadi agenda mendesak untuk dituntaskan.
Ketiga, mengembangkan mekanisme yang transparan, partisipatif, dan demokratis dalam menjalankan distribusi, redistribusi, dan konsolidasi tanah pertanian agar reforma agraria mencapai tujuan serta sampai target dan sasaran. Jika tujuan pokok menghadirkan keadilan agaria tanpa konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam di segelintir orang, ini harus dikawal jangan sampai melenceng.
Keempat, perlu reorientasi, reformulasi arah, fokus agenda, dan program pertanian. Orientasi dan formulasi lama cenderung ”produktivitas mengandalkan efisiensi” yang ditopang pembangunan pertanian bermodal besar dengan perspektif agrobisnis. Kelak, perlu rumusan lebih berkeadilan dengan ”produktivitas mengutamakan pemerataan” yang ditopang penguasaan dan pemilikan aset produktif tanah, modal dan sarana produksi pertanian oleh kaum miskin desa.
Kelima, dalam kebijakan pangan, Deptan perlu menggeser paradigma ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keseluruhan, Deptan bertanggung jawab menyediakan akses pada berbagai sarana dan input pertanian yang dibutuhkan petani miskin mengiringi program landreform.
Titik tekan agenda lanjutan bagi Deptan ada pada poin empat dan lima. Untuk ketiga poin sebelumnya, Deptan perlu berkoordinasi dengan BPN. Maka, posisi, fungsi, tugas, dan kewenangan BPN perlu diperkuat dan diperluas, termasuk dalam konteks ”penataan ruang”, guna memastikan program landreform sebagai inti reforma agraria agar dapat berjalan efektif dan terkoneksi dengan sektor lain.
Perlu lompatan
Mengingat waktu yang tersedia bagi pemerintah tidak panjang (2009-2014), perlu aneka kebijakan yang sifatnya lompatan besar. Deptan sebagai lembaga pemerintah di sektor pertanian dan mengurus puluhan juta petani yang umumnya miskin butuh cara pikir dan tindak melompat jauh ke depan.
Sektor pertanian akan jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang, jika lompatan kebijakan itu gagal ditemukan. Gagal membangun sektor pertanian, maka gagal pula membangun fondasi eksistensi negeri agraris. Untuk itu, Mentan perlu melakukan lompatan dengan mengintegrasikan kebijakan pertanian dan kebijakan penataan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lain kemakmuran rakyat.
Menghubungkan kebijakan pertanian dengan reforma agraria. Inilah jantung dari tantangan terbesar sekaligus tugas mulia Mentan dan jajarannya. Mentan baru ditantang mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona pembangunan yang membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan, sambil mengurai perangkap krisis pangan dan energi serta degradasi lingkungan akibat gurita kapitalisme dan pemanasan global, dan sistem perdagangan yang tak adil.
Di tangan jajaran pemerintahan terkait pertanian dan keagrariaanlah makna hakiki dari ”demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan” yang digaungkan Presiden Yudhoyono dapat dibumikan ke alam nyata, bukan dibumihanguskan ke alam mimpi tak berujung.
Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria
November 20, 2009
Masihkah Jawa Lumbung Beras Nasional?
Kompas, Rabu, 18 November 2009 | 04.44 WIB
Khudori
Sebagai lumbung beras nasional, Pulau Jawa ada di titik amat kritis. Di satu sisi, karena ketergantungan akut semua perut warga pada beras, swasembada beras menjadi keharusan bagi siapa pun yang memerintah negeri ini.
Beras adalah pangan mahapenting di negeri berpenduduk 230 juta ini, tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial-politik. Karena itu, sejak Orde Baru hingga kini, baik harga, pasokan, maupun distribusi beras dikendalikan. Posisi Jawa menjadi penting karena memasok 56-60 persen beras nasional.
Di sisi lain, Jawa merupakan episentrum aktivitas ekonomi nasional. Sekitar 70 persen uang negeri ini berputar di Jawa (Baswir, 2003). Hal ini membuat aktivitas ekonomi di Jawa berputar bak gasing. Laju industrialisasi, transformasi ekonomi, dan jumlah penduduk yang besar membuat tekanan pada lahan menjadi panas. Pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan nonpertanian.
Di simpang jalan
Perkawinan antara permintaan dan rente lahan nonpertanian yang terus meningkat ini membuat tekanan pada lahan berjalan masif. Ini membuat keberadaan hutan, sawah, dan ladang ada di simpang jalan: tetap dipertahankan sebagai kawasan penyangga dan penghasil pangan atau dikonversi.
Dampak dari tekanan pada lahan itu bisa dilihat dari rutinitas banjir, longsor, dan kekeringan di sejumlah kota di Jawa. Namun, sejauh mana kondisi tutupan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyuplai air irigasi, khususnya terkait jaminan produksi pangan dari sawah, belum banyak diketahui. Ketersediaan informasi ini penting sebagai penanda kritis-tidaknya Pulau Jawa sebagai penyangga pangan nasional.
Hasil interpretasi citra Landsat 2006/2007 oleh Barus dan kawan-kawan (2009) menunjukkan, tutupan lahan hutan total di Jawa tinggal 14 persen, jauh dari angka ideal (30 persen) untuk menjaga lingkungan fisik dan areal sawah. Dari 156 DAS di Jawa, hanya 10 DAS (6,4 persen) yang punya tutupan luas hutan lebih dari 30 persen, bahkan 50 DAS (32 persen) di antaranya tutupan hutannya nol persen. Akibatnya, sebagian besar sub-DAS di Jawa berpotensi besar dilanda banjir/longsor rutin. Air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah dan pelan-pelan dialirkan karena adanya tutupan hutan, berubah menjadi air limpasan permukaan, yang tidak saja mubazir, tetapi juga menjadi menggerus lapisan subur tanah.
Menurut Barus dkk, dari empat kelas daerah rawan longsor (1-4, dari rendah/tidak ada sampai besar), kategori kelas tiga menempati rerata 80 persen dari tiap sub-DAS dan kelas 4 menempati areal 10 persen.
Dari empat kelas daerah rawan banjir, kategori kelas tiga mempunyai rerata 65 persen dari tiap sub-DAS, dan kelas empat sekitar 20 persen. Berpijak dari kombinasi ketiga kondisi itu—DAS kritis, rawan banjir, dan rawan longsor—sebenarnya lingkungan fisik di Jawa sudah rusak/kritis.
Apabila musim hujan, sebagian besar sawah akan banjir dan longsor. Sebaliknya, sawah akan kekeringan pada musim kemarau. Rutinitas banjir dan longsor akan membuat padi puso, DAS dan jaringan irigasi rusak. Padi adalah tanaman rakus air. Tanpa ketersediaan air memadai, produksi padi ada di zona bahaya. Banjir, longsor, dan kekeringan akan mengancam eksistensi Jawa sebagai lumbung padi nasional.
Jawa, basis produksi beras
Untuk mempertahankan Jawa sebagai basis produksi beras, harus dilakukan aneka langkah cepat dan simultan.
Pertama, menetapkan zonasi agroekologi sawah. Konsep pewilayahan ini didasari kenyataan, tiap tanaman memiliki perbedaan tingkat kesesuaian lahan. Dari zonasi agroekologi sawah oleh Nurwadjedi (2009), luas sawah mencapai 2,87 juta hektar (40 persen) dari 7,16 juta hektar kawasan budidaya di Jawa. Sebagian besar (93 persen) sawah itu berjenis tanah fluvial dan volkanik yang amat subur dibandingkan dengan tanah di luar Jawa, dengan kondisi irigasi beragam (dari teknis hingga tadah hujan). Dengan penetapan ini, sawah dalam zonasi harus dilindungi eksistensinya.
Penetapan dan perlindungan lahan ini merupakan amanat UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, ditetapkan 16 September 2009. Melalui UU ini, kawasan dan lahan pertanian pangan ditetapkan (jangka panjang, menengah, dan tahunan) lewat perencanaan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (Pasal 11-17).
Keberadaan kawasan dan lahan dilindungi hanya bisa dikonversi untuk kepentingan umum. Itu pun dengan syarat mahaberat (Pasal 44-46): didahului kajian kelayakan dan rencana alih fungsi, pembebasan kepemilikan, dan ada lahan pengganti 1-3 kali yang dikonversi plus infrastruktur. Siapa yang melakukan alih fungsi lahan yang dilindungi bisa dipidana 2-7 tahun dan denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar. Pidana ditambah jika pelakunya pejabat (Pasal 72-74).
Kedua, segera dilakukan rehabilitasi tutupan lahan hutan, menekan laju degradasi lahan dan bencana banjir. Terkait ini, penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu dan prinsip hilir membayar hulu tidak bisa ditunda-tunda. Karakteristik air terkait daerah hulu-hilir. Konsekuensinya, batas hidrologis tidak selalu identik dengan batas administratif.
Pengelolaan sumber daya air harus menimbang kesatuan hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah. Ini penting karena DAS- DAS besar di Jawa, seperti DAS Solo, Ciliwung, dan Citanduy, bersifat lintas provinsi dan melewati puluhan kabupaten/kota. Daerah hilir sebagai pengguna (irigasi, PAM) harus memberi insentif hulu untuk melakukan usaha konservasi dan rehabilitasi. Tanpa dua langkah ini, degradasi sawah terus berlangsung. Jika itu terjadi, lumbung beras Jawa tinggal cerita.
Khudori Penulis Buku Ironi Negeri Beras; Peminat Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Khudori
Sebagai lumbung beras nasional, Pulau Jawa ada di titik amat kritis. Di satu sisi, karena ketergantungan akut semua perut warga pada beras, swasembada beras menjadi keharusan bagi siapa pun yang memerintah negeri ini.
Beras adalah pangan mahapenting di negeri berpenduduk 230 juta ini, tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial-politik. Karena itu, sejak Orde Baru hingga kini, baik harga, pasokan, maupun distribusi beras dikendalikan. Posisi Jawa menjadi penting karena memasok 56-60 persen beras nasional.
Di sisi lain, Jawa merupakan episentrum aktivitas ekonomi nasional. Sekitar 70 persen uang negeri ini berputar di Jawa (Baswir, 2003). Hal ini membuat aktivitas ekonomi di Jawa berputar bak gasing. Laju industrialisasi, transformasi ekonomi, dan jumlah penduduk yang besar membuat tekanan pada lahan menjadi panas. Pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan nonpertanian.
Di simpang jalan
Perkawinan antara permintaan dan rente lahan nonpertanian yang terus meningkat ini membuat tekanan pada lahan berjalan masif. Ini membuat keberadaan hutan, sawah, dan ladang ada di simpang jalan: tetap dipertahankan sebagai kawasan penyangga dan penghasil pangan atau dikonversi.
Dampak dari tekanan pada lahan itu bisa dilihat dari rutinitas banjir, longsor, dan kekeringan di sejumlah kota di Jawa. Namun, sejauh mana kondisi tutupan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyuplai air irigasi, khususnya terkait jaminan produksi pangan dari sawah, belum banyak diketahui. Ketersediaan informasi ini penting sebagai penanda kritis-tidaknya Pulau Jawa sebagai penyangga pangan nasional.
Hasil interpretasi citra Landsat 2006/2007 oleh Barus dan kawan-kawan (2009) menunjukkan, tutupan lahan hutan total di Jawa tinggal 14 persen, jauh dari angka ideal (30 persen) untuk menjaga lingkungan fisik dan areal sawah. Dari 156 DAS di Jawa, hanya 10 DAS (6,4 persen) yang punya tutupan luas hutan lebih dari 30 persen, bahkan 50 DAS (32 persen) di antaranya tutupan hutannya nol persen. Akibatnya, sebagian besar sub-DAS di Jawa berpotensi besar dilanda banjir/longsor rutin. Air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah dan pelan-pelan dialirkan karena adanya tutupan hutan, berubah menjadi air limpasan permukaan, yang tidak saja mubazir, tetapi juga menjadi menggerus lapisan subur tanah.
Menurut Barus dkk, dari empat kelas daerah rawan longsor (1-4, dari rendah/tidak ada sampai besar), kategori kelas tiga menempati rerata 80 persen dari tiap sub-DAS dan kelas 4 menempati areal 10 persen.
Dari empat kelas daerah rawan banjir, kategori kelas tiga mempunyai rerata 65 persen dari tiap sub-DAS, dan kelas empat sekitar 20 persen. Berpijak dari kombinasi ketiga kondisi itu—DAS kritis, rawan banjir, dan rawan longsor—sebenarnya lingkungan fisik di Jawa sudah rusak/kritis.
Apabila musim hujan, sebagian besar sawah akan banjir dan longsor. Sebaliknya, sawah akan kekeringan pada musim kemarau. Rutinitas banjir dan longsor akan membuat padi puso, DAS dan jaringan irigasi rusak. Padi adalah tanaman rakus air. Tanpa ketersediaan air memadai, produksi padi ada di zona bahaya. Banjir, longsor, dan kekeringan akan mengancam eksistensi Jawa sebagai lumbung padi nasional.
Jawa, basis produksi beras
Untuk mempertahankan Jawa sebagai basis produksi beras, harus dilakukan aneka langkah cepat dan simultan.
Pertama, menetapkan zonasi agroekologi sawah. Konsep pewilayahan ini didasari kenyataan, tiap tanaman memiliki perbedaan tingkat kesesuaian lahan. Dari zonasi agroekologi sawah oleh Nurwadjedi (2009), luas sawah mencapai 2,87 juta hektar (40 persen) dari 7,16 juta hektar kawasan budidaya di Jawa. Sebagian besar (93 persen) sawah itu berjenis tanah fluvial dan volkanik yang amat subur dibandingkan dengan tanah di luar Jawa, dengan kondisi irigasi beragam (dari teknis hingga tadah hujan). Dengan penetapan ini, sawah dalam zonasi harus dilindungi eksistensinya.
Penetapan dan perlindungan lahan ini merupakan amanat UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, ditetapkan 16 September 2009. Melalui UU ini, kawasan dan lahan pertanian pangan ditetapkan (jangka panjang, menengah, dan tahunan) lewat perencanaan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (Pasal 11-17).
Keberadaan kawasan dan lahan dilindungi hanya bisa dikonversi untuk kepentingan umum. Itu pun dengan syarat mahaberat (Pasal 44-46): didahului kajian kelayakan dan rencana alih fungsi, pembebasan kepemilikan, dan ada lahan pengganti 1-3 kali yang dikonversi plus infrastruktur. Siapa yang melakukan alih fungsi lahan yang dilindungi bisa dipidana 2-7 tahun dan denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar. Pidana ditambah jika pelakunya pejabat (Pasal 72-74).
Kedua, segera dilakukan rehabilitasi tutupan lahan hutan, menekan laju degradasi lahan dan bencana banjir. Terkait ini, penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu dan prinsip hilir membayar hulu tidak bisa ditunda-tunda. Karakteristik air terkait daerah hulu-hilir. Konsekuensinya, batas hidrologis tidak selalu identik dengan batas administratif.
Pengelolaan sumber daya air harus menimbang kesatuan hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah. Ini penting karena DAS- DAS besar di Jawa, seperti DAS Solo, Ciliwung, dan Citanduy, bersifat lintas provinsi dan melewati puluhan kabupaten/kota. Daerah hilir sebagai pengguna (irigasi, PAM) harus memberi insentif hulu untuk melakukan usaha konservasi dan rehabilitasi. Tanpa dua langkah ini, degradasi sawah terus berlangsung. Jika itu terjadi, lumbung beras Jawa tinggal cerita.
Khudori Penulis Buku Ironi Negeri Beras; Peminat Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Pertanian Kita dalam Peta Dunia
Kompas, Rabu, 18 November 2009
Bayu Krisnamurthi
Melihat pandangan negara-negara lain terhadap Indonesia dalam pertemuan multilateral APEC di Singapura, terasa bahwa kita adalah negara yang dipandang penting dalam peta dunia.
Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan memiliki pertumbuhan ekonomi ketiga tertinggi setelah China dan India, Indonesia dinilai penting dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan ekonomi global.
Hal tersebut juga berlaku dalam bidang pertanian. Berdasarkan data statistik dunia, Indonesia adalah penghasil pertanian terbesar keenam dunia dengan nilai keluaran sekitar 60 miliar dollar Amerika Serikat (2007). Indonesia adalah produsen biji-bijian pangan (sereal) terbesar kelima dan produsen buah-buahan terbesar kesepuluh di dunia. Indonesia juga produsen beras nomor tiga di dunia setelah China dan India meski merupakan konsumen terbesar ketiga juga setelah China dan India. Sekadar menambahkan, Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia, nomor tiga untuk karet dan kakao, nomor empat untuk kopi, dan nomor enam untuk teh.
Arti penting pertanian Indonesia itu terefleksikan dalam berbagai usaha mencari solusi persoalan global. Melalui posisi Indonesia yang kian terhormat di forum-forum internasional— ASEAN, APEC, atau G-20—peran Indonesia dapat lebih banyak tersampaikan.
Ketidakpastian iklim
Dalam ketahanan pangan dan terkait perubahan iklim, Indonesia adalah korban ketidakpastian iklim, tetapi sekaligus dapat menawarkan solusi. Ketidakpastian iklim telah menimbulkan masalah bagi ribuan petani Indonesia yang menghadapi kekeringan, kebanjiran, atau siklus iklim yang berubah-ubah.
Ketidakpastian iklim membuat produktivitas kian sulit ditingkatkan, gejolak harga kian membingungkan. Bahkan, beberapa pulau di Indonesia terancam berat abrasi air laut dan terancam tenggelam.
Namun, Indonesia juga dapat menawarkan solusi. Pertama, dengan membangun ketahanan pangan sendiri, Indonesia telah turut berkontribusi dalam ketahanan pangan global. Pengalaman krisis pangan tahun 2008 menunjukkan, ketidakstabilan pangan pada satu negara dapat memicu persoalan, bukan melalui perdagangan atau investasi, tetapi melalui informasi.
Tahun 2008, Filipina membutuhkan tambahan amat besar stok beras. Keadaan ini menyebabkan harga beras melambung tinggi, termasuk di negara-negara yang telah berswasembada beras bahkan pada negara-negara eksportir. India yang mengalami masalah penurunan produksi gula tahun 2009 juga menyebabkan kenaikan harga gula di beberapa negara. Artinya, dengan Indonesia mampu menjaga stabilitas ketahanan pangan, selain untuk kepentingan rakyat Indonesia sendiri, maka akan dapat memberi solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan global.
Kedua, menambah pasokan pangan tetap merupakan agenda besar di seluruh dunia. Ketersediaan lahan dan air menjadi amat penting. Indonesia masih memiliki kedua sumber daya alam penting itu. Badan Pertanahan Nasional telah mengidentifikasi lahan seluas 7,1 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal tanaman pangan. Sebagian di antaranya dapat dibuka untuk kerja sama internasional menambah pasokan pangan pasar global, sebagian lainnya untuk penambahan pasokan pasar domestik.
Strategis
Karena itu, amat strategis langkah Presiden RI menawarkan revitalisasi industri dan pertanian—khususnya untuk gula, pupuk, daging, kedelai, dan hal-hal terkait daya saing sektor pangan—sebagai kesempatan investasi kepada para pemimpin dunia usaha di ”CEO Summit” pertemuan APEC Singapura.
Investasi di bidang-bidang itu dapat bermakna ganda, sebagai peluang yang menguntungkan serta sebagai bagian solusi ketahanan pangan global dan membangun pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih berimbang.
Hal itu harus dilakukan dengan tetap melakukan pembenahan diri ke dalam. Petani, industri, pedagang, dan semua pelaku pertanian diajak untuk lebih proaktif melakukan adaptasi dan mitigasi lingkungan.
Semua praktik keseharian yang tak ramah lingkungan harus dikurangi bersama bahkan dihilangkan. Iklim investasi terus diperbaiki sehingga memberi apresiasi lebih besar bagi ”investasi hijau”. Pemerintah akan menyambut tiap kreativitas dan inovasi petani untuk dapat lebih hemat air. Apresiasi akan diperoleh pemerintah daerah jika menerapkan kebijakan yang efektif dalam melarang pembakaran sampah atau sisa tanaman di permukiman, sawah, kebun, apalagi di hutan; dan aneka kegiatan prolingkungan lainnya. Efisiensi industri dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan akan mendapat respons positif dari konsumen.
Semua itu jelas tak dapat dilakukan sendiri. Menteri Pertanian dengan tepat melakukan pendekatan lebih terbuka kepada dunia usaha untuk membangun kerja sama sinergis. Penguatan organisasi pertanian dengan struktur baru pun akan didayagunakan untuk mengurai sumbatan kebijakan dan pelaksanaannya, sekaligus mencari terobosan bersama lintas sektor.
Semua itu diharapkan dapat kian mengaktualisasikan peran pertanian di dunia bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat; dan tidak hanya menjadi angka-angka statistik belaka.
Bayu Krisnamurthi Wakil Menteri Pertanian
Bayu Krisnamurthi
Melihat pandangan negara-negara lain terhadap Indonesia dalam pertemuan multilateral APEC di Singapura, terasa bahwa kita adalah negara yang dipandang penting dalam peta dunia.
Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan memiliki pertumbuhan ekonomi ketiga tertinggi setelah China dan India, Indonesia dinilai penting dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan ekonomi global.
Hal tersebut juga berlaku dalam bidang pertanian. Berdasarkan data statistik dunia, Indonesia adalah penghasil pertanian terbesar keenam dunia dengan nilai keluaran sekitar 60 miliar dollar Amerika Serikat (2007). Indonesia adalah produsen biji-bijian pangan (sereal) terbesar kelima dan produsen buah-buahan terbesar kesepuluh di dunia. Indonesia juga produsen beras nomor tiga di dunia setelah China dan India meski merupakan konsumen terbesar ketiga juga setelah China dan India. Sekadar menambahkan, Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia, nomor tiga untuk karet dan kakao, nomor empat untuk kopi, dan nomor enam untuk teh.
Arti penting pertanian Indonesia itu terefleksikan dalam berbagai usaha mencari solusi persoalan global. Melalui posisi Indonesia yang kian terhormat di forum-forum internasional— ASEAN, APEC, atau G-20—peran Indonesia dapat lebih banyak tersampaikan.
Ketidakpastian iklim
Dalam ketahanan pangan dan terkait perubahan iklim, Indonesia adalah korban ketidakpastian iklim, tetapi sekaligus dapat menawarkan solusi. Ketidakpastian iklim telah menimbulkan masalah bagi ribuan petani Indonesia yang menghadapi kekeringan, kebanjiran, atau siklus iklim yang berubah-ubah.
Ketidakpastian iklim membuat produktivitas kian sulit ditingkatkan, gejolak harga kian membingungkan. Bahkan, beberapa pulau di Indonesia terancam berat abrasi air laut dan terancam tenggelam.
Namun, Indonesia juga dapat menawarkan solusi. Pertama, dengan membangun ketahanan pangan sendiri, Indonesia telah turut berkontribusi dalam ketahanan pangan global. Pengalaman krisis pangan tahun 2008 menunjukkan, ketidakstabilan pangan pada satu negara dapat memicu persoalan, bukan melalui perdagangan atau investasi, tetapi melalui informasi.
Tahun 2008, Filipina membutuhkan tambahan amat besar stok beras. Keadaan ini menyebabkan harga beras melambung tinggi, termasuk di negara-negara yang telah berswasembada beras bahkan pada negara-negara eksportir. India yang mengalami masalah penurunan produksi gula tahun 2009 juga menyebabkan kenaikan harga gula di beberapa negara. Artinya, dengan Indonesia mampu menjaga stabilitas ketahanan pangan, selain untuk kepentingan rakyat Indonesia sendiri, maka akan dapat memberi solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan global.
Kedua, menambah pasokan pangan tetap merupakan agenda besar di seluruh dunia. Ketersediaan lahan dan air menjadi amat penting. Indonesia masih memiliki kedua sumber daya alam penting itu. Badan Pertanahan Nasional telah mengidentifikasi lahan seluas 7,1 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal tanaman pangan. Sebagian di antaranya dapat dibuka untuk kerja sama internasional menambah pasokan pangan pasar global, sebagian lainnya untuk penambahan pasokan pasar domestik.
Strategis
Karena itu, amat strategis langkah Presiden RI menawarkan revitalisasi industri dan pertanian—khususnya untuk gula, pupuk, daging, kedelai, dan hal-hal terkait daya saing sektor pangan—sebagai kesempatan investasi kepada para pemimpin dunia usaha di ”CEO Summit” pertemuan APEC Singapura.
Investasi di bidang-bidang itu dapat bermakna ganda, sebagai peluang yang menguntungkan serta sebagai bagian solusi ketahanan pangan global dan membangun pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih berimbang.
Hal itu harus dilakukan dengan tetap melakukan pembenahan diri ke dalam. Petani, industri, pedagang, dan semua pelaku pertanian diajak untuk lebih proaktif melakukan adaptasi dan mitigasi lingkungan.
Semua praktik keseharian yang tak ramah lingkungan harus dikurangi bersama bahkan dihilangkan. Iklim investasi terus diperbaiki sehingga memberi apresiasi lebih besar bagi ”investasi hijau”. Pemerintah akan menyambut tiap kreativitas dan inovasi petani untuk dapat lebih hemat air. Apresiasi akan diperoleh pemerintah daerah jika menerapkan kebijakan yang efektif dalam melarang pembakaran sampah atau sisa tanaman di permukiman, sawah, kebun, apalagi di hutan; dan aneka kegiatan prolingkungan lainnya. Efisiensi industri dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan akan mendapat respons positif dari konsumen.
Semua itu jelas tak dapat dilakukan sendiri. Menteri Pertanian dengan tepat melakukan pendekatan lebih terbuka kepada dunia usaha untuk membangun kerja sama sinergis. Penguatan organisasi pertanian dengan struktur baru pun akan didayagunakan untuk mengurai sumbatan kebijakan dan pelaksanaannya, sekaligus mencari terobosan bersama lintas sektor.
Semua itu diharapkan dapat kian mengaktualisasikan peran pertanian di dunia bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat; dan tidak hanya menjadi angka-angka statistik belaka.
Bayu Krisnamurthi Wakil Menteri Pertanian
November 18, 2009
Konflik Pertanahan Tinggi Sumsel Urutan Ketujuh
KOMPAS, Selasa, 17 November 2009 | 04:21 WIB
Palembang, Kompas - Jumlah kasus konflik tanah di Provinsi Sumatera Selatan termasuk tinggi karena menduduki peringkat ketujuh se-Indonesia. Peringkat tersebut berdasarkan data yang dihimpun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2008.
Demikian dikatakan Manajer Regional Sumatera Walhi Mukri Friatna di sela-sela diskusi bertema ”Kepastian dan Perlindungan Atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria”, Senin (16/11) di Palembang.
Mukri menjelaskan, sebagian besar konflik tanah di Sumsel adalah konflik antara petani dan perusahaan perkebunan ataupun konflik antara petani dan pemerintah.
Penyebabnya, keberadaan tanah ulayat tidak diakui dan hak masyarakat yang sudah menggarap tanah selama bertahun-tahun juga tidak diakui. Penyelesaian konflik tanah pun tidak mudah.
”Lahan gambut bisa diklaim sebagai milik perusahaan, padahal ada masyarakat di situ yang sudah menggarap lahan secara turun-temurun. Tanah ulayat dipandang tidak memiliki kekuatan hukum,” kata Mukri.
Menurut Mukri, dari luas hutan di Sumsel yang mencapai 3 juta hektar, sekitar 30 persen di antaranya adalah lahan yang menjadi konflik.
Adapun provinsi yang menempati peringkat pertama dalam jumlah konflik tanah adalah Nusa Tenggara Timur, di mana 50 persen dari luas hutannya menjadi konflik. Pada urutan kedua adalah Provinsi Lampung, ketiga Kalimantan Barat, keempat Sumatera Utara, kelima Sulawesi Tengah, dan keenam Kalimantan Timur.
Mukri menuturkan, di seluruh Indonesia terdapat 372 kasus konflik tanah yang didampingi oleh Walhi dan diharapkan selesai tahun 2012. Di Sumsel terdapat 15 kasus konflik tanah yang didampingi Walhi Sumsel.
Perlu sertifikat
Menurut Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sumsel Mulyadin Roham, pemerintah kabupaten/kota sebagai pemilik wilayah seharusnya menganggarkan dana untuk membantu masyarakat membuat sertifikat tanah. Dengan adanya sertifikat, kepastian hukum terhadap tanah masyarakat menjadi jelas.
Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria mengutarakan, konflik tanah terus terjadi karena pemerintah tidak punya peta peruntukan tanah. Setiap departemen punya program sendiri dan berjalan sendiri dalam memanfaatkan lahan sehingga menyebabkan konflik perebutan tanah, perebutan sumber air, dan degradasi lahan. (WAD)
Palembang, Kompas - Jumlah kasus konflik tanah di Provinsi Sumatera Selatan termasuk tinggi karena menduduki peringkat ketujuh se-Indonesia. Peringkat tersebut berdasarkan data yang dihimpun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2008.
Demikian dikatakan Manajer Regional Sumatera Walhi Mukri Friatna di sela-sela diskusi bertema ”Kepastian dan Perlindungan Atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria”, Senin (16/11) di Palembang.
Mukri menjelaskan, sebagian besar konflik tanah di Sumsel adalah konflik antara petani dan perusahaan perkebunan ataupun konflik antara petani dan pemerintah.
Penyebabnya, keberadaan tanah ulayat tidak diakui dan hak masyarakat yang sudah menggarap tanah selama bertahun-tahun juga tidak diakui. Penyelesaian konflik tanah pun tidak mudah.
”Lahan gambut bisa diklaim sebagai milik perusahaan, padahal ada masyarakat di situ yang sudah menggarap lahan secara turun-temurun. Tanah ulayat dipandang tidak memiliki kekuatan hukum,” kata Mukri.
Menurut Mukri, dari luas hutan di Sumsel yang mencapai 3 juta hektar, sekitar 30 persen di antaranya adalah lahan yang menjadi konflik.
Adapun provinsi yang menempati peringkat pertama dalam jumlah konflik tanah adalah Nusa Tenggara Timur, di mana 50 persen dari luas hutannya menjadi konflik. Pada urutan kedua adalah Provinsi Lampung, ketiga Kalimantan Barat, keempat Sumatera Utara, kelima Sulawesi Tengah, dan keenam Kalimantan Timur.
Mukri menuturkan, di seluruh Indonesia terdapat 372 kasus konflik tanah yang didampingi oleh Walhi dan diharapkan selesai tahun 2012. Di Sumsel terdapat 15 kasus konflik tanah yang didampingi Walhi Sumsel.
Perlu sertifikat
Menurut Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sumsel Mulyadin Roham, pemerintah kabupaten/kota sebagai pemilik wilayah seharusnya menganggarkan dana untuk membantu masyarakat membuat sertifikat tanah. Dengan adanya sertifikat, kepastian hukum terhadap tanah masyarakat menjadi jelas.
Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria mengutarakan, konflik tanah terus terjadi karena pemerintah tidak punya peta peruntukan tanah. Setiap departemen punya program sendiri dan berjalan sendiri dalam memanfaatkan lahan sehingga menyebabkan konflik perebutan tanah, perebutan sumber air, dan degradasi lahan. (WAD)
Indonesia Belum Punya Peta Penggunaan Tanah
Palembang | Mon 16 Nov 2009 23:30:00
INDONESIA sampai saat ini belum memiliki peta penggunaan tanah nasional dan juga belum mempunyai perencanaan nasional penggunaan lahan yang terpadu dan komprehensif.
Dengan demikian kerap menimbulkan tumpang tindih dan konflik lahan di masyarakat, kata Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) di Palembang, Senin (16/11).
Deputi Advokasi dan Kebijakan KPA Nasional itu, pada diskusi terbuka "Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaharuan Agraria" kerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel), mengingatkan bahwa keberadaan peta penggunaan dan rencana pengelolaan lahan nasional itu sangat urgen keberadaannya.
"Tanpa itu, di lapangan semua akan jalan sendiri-sendiri nyaris tanpa koordinasi dan saling benturan satu sama lain," kata Iwan.
Korban yang paling besar dalam setiap terjadi konflik agraria, menurut dia, adalah masyarakat terutama para petani yang biasanya akan tergusur akibat lahannya diserobot atau diambil alih pihak lain, seperti perusahaan.
Dia menilai pula, hingga kini di Indonesia terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik/pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan akibat kebijakan hukum yang sektoralistik.
"Penurunan kualitas lahan dan juga konflik perebutan air terjadi serta berakibat pada meledaknya konflik turunan agraria, seperti penggusuran dan penyerobotan lahan," katanya.
Iwan menyebutkan fakta adanya krisis agraria itu, antara lain degradasi lahan dan hutan yang mencapai rata-rata 2,5 hingga 2,8 juta hektare per tahun, sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha per tahun, dengan tingkat keberhasilan hanya 50 persen.
Belum lagi adanya alihfungsi lahan subur, terjadi pula krisis air dan kerusakan besar-besaran fungsi hidrologi, kerusakan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, kebakaran lahan dan hutan serta perubahan iklim.
KPA mencatat pula terdapat 1.753 kasus konflik agraria struktural dengan luas lahan disengketakan mencapai 10,9 juta ha, dan telah mengakibatkan tidak kurang dari 1,2 juta KK menjadi korban di wilayah perkebunan dan kehutanan.
Ia juga mengingatkan bahwa jumlah penduduk bekerja di sektor pertanian mencapau 44,3 persen dari penduduk yang bekerja secara nasional. Namun hanya menyumbang 15,9 persen pendapatan kotor (PDB) nasional.
Akibatnya, menurut Iwan, terjadi distribusi kemiskinan di antara para petani itu, sehingga menyumbang angka kemiskinan yang tinggi mencapai 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk.
"Laju percepatan kemiskinan di Indonesia untuk wilayah perkotaan mencapai 13,36 persen, dan di perdesaan mencapai 21,90 persen," kata Iwan.(Ant)
INDONESIA sampai saat ini belum memiliki peta penggunaan tanah nasional dan juga belum mempunyai perencanaan nasional penggunaan lahan yang terpadu dan komprehensif.
Dengan demikian kerap menimbulkan tumpang tindih dan konflik lahan di masyarakat, kata Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) di Palembang, Senin (16/11).
Deputi Advokasi dan Kebijakan KPA Nasional itu, pada diskusi terbuka "Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaharuan Agraria" kerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel), mengingatkan bahwa keberadaan peta penggunaan dan rencana pengelolaan lahan nasional itu sangat urgen keberadaannya.
"Tanpa itu, di lapangan semua akan jalan sendiri-sendiri nyaris tanpa koordinasi dan saling benturan satu sama lain," kata Iwan.
Korban yang paling besar dalam setiap terjadi konflik agraria, menurut dia, adalah masyarakat terutama para petani yang biasanya akan tergusur akibat lahannya diserobot atau diambil alih pihak lain, seperti perusahaan.
Dia menilai pula, hingga kini di Indonesia terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik/pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan akibat kebijakan hukum yang sektoralistik.
"Penurunan kualitas lahan dan juga konflik perebutan air terjadi serta berakibat pada meledaknya konflik turunan agraria, seperti penggusuran dan penyerobotan lahan," katanya.
Iwan menyebutkan fakta adanya krisis agraria itu, antara lain degradasi lahan dan hutan yang mencapai rata-rata 2,5 hingga 2,8 juta hektare per tahun, sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha per tahun, dengan tingkat keberhasilan hanya 50 persen.
Belum lagi adanya alihfungsi lahan subur, terjadi pula krisis air dan kerusakan besar-besaran fungsi hidrologi, kerusakan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, kebakaran lahan dan hutan serta perubahan iklim.
KPA mencatat pula terdapat 1.753 kasus konflik agraria struktural dengan luas lahan disengketakan mencapai 10,9 juta ha, dan telah mengakibatkan tidak kurang dari 1,2 juta KK menjadi korban di wilayah perkebunan dan kehutanan.
Ia juga mengingatkan bahwa jumlah penduduk bekerja di sektor pertanian mencapau 44,3 persen dari penduduk yang bekerja secara nasional. Namun hanya menyumbang 15,9 persen pendapatan kotor (PDB) nasional.
Akibatnya, menurut Iwan, terjadi distribusi kemiskinan di antara para petani itu, sehingga menyumbang angka kemiskinan yang tinggi mencapai 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk.
"Laju percepatan kemiskinan di Indonesia untuk wilayah perkotaan mencapai 13,36 persen, dan di perdesaan mencapai 21,90 persen," kata Iwan.(Ant)
Sumsel Peringkat Tujuh
KORAN SINDO, Monday, 16 November 2009
PALEMBANG(SI) – Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) konflik agraria di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) ternyata menduduki peringkat tujuh secara nasional.
Manajer wilayah Sumatera Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna mengungkapkan, sebanyak 30% dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, diantaranya mengandung konflik agraria. Mayoritas konflik terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan serta pihak pengelola hutan. Dia mengatakan, peringkat tersebut tergolong tinggi. Daerah dengan konflik pertanahan terbanyak di Indonesia atau peringkat pertama adalah Nusa Tenggara Timur (NTT),disusul Lampung,Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Poso, dan Kalimantan Timur serta Sumsel.
Data peringkat konflik ini adalah data per tahun 2008 lalu. “Dari hampir 3 juta hektar kawasan hutan di Sumsel, 30% diantaranya mengandung konflik agraria,”ujar Mukri dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema kepastian, perlindungan hak atas tanah dan penyelesaian konflik untuk pembaruan agraria di hotel Bumi Asih Palembang,kemarin. Dia mengatakan, konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi terjadi di Kabupaten OKI dan MUBA.
Menurut dia,konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat. Contohnya ada tanah ulayat yang tidak diakui pihak manapun serta soal praktik langsung hak kelolanya.“Oleh karena hak kelola masyarakat tidak diakui,maka masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu,” ujar Mukri sembari mengkritisi pemerintahan SBY yang hingga kini belum merealisasikan reformasi agraria seperti yang telah dijanjikan pada masa kampanye. Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai peta penggunaan tanah tidak jelas.
Selain itu ketiadaan lahan menjadi persoalan pertanahan di Indonesia. Di sisi lain terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dengan perusahaan atau lainnya.“Sebagian besar lahan-lahan tersebut dikuasai oleh perusahaan besar,”ujarnya. Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan, sedikitdemisedikitkonflik tanah berhasil diatasi. Saat ini berhasil diatasi 50% konflik tanah dari yang ada di Sumsel. Dia mengakui konflik yang terjadi antara perusahaan perkebunan dan masyarakat.
“Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik. Melalui upaya penyelesaian bersama dengan Pemkab/Pemkot, konflik itu sudah mulai berkurang,” ujar nya. Dia menjelaskan,penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah, membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.Surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali.
Dia mengungkapkan perlunya mereformasi birokrasi di tingkat desa, kelurahan atau kecamatan. Alasannya para pejabat pemerintahan tersebut sering mengeluarkan surat keterangan tanah di wilayah masing-masing.Akibatnya sering muncul konflik pertanahan. (jimmy octa harto)
PALEMBANG(SI) – Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) konflik agraria di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) ternyata menduduki peringkat tujuh secara nasional.
Manajer wilayah Sumatera Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna mengungkapkan, sebanyak 30% dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, diantaranya mengandung konflik agraria. Mayoritas konflik terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan serta pihak pengelola hutan. Dia mengatakan, peringkat tersebut tergolong tinggi. Daerah dengan konflik pertanahan terbanyak di Indonesia atau peringkat pertama adalah Nusa Tenggara Timur (NTT),disusul Lampung,Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Poso, dan Kalimantan Timur serta Sumsel.
Data peringkat konflik ini adalah data per tahun 2008 lalu. “Dari hampir 3 juta hektar kawasan hutan di Sumsel, 30% diantaranya mengandung konflik agraria,”ujar Mukri dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema kepastian, perlindungan hak atas tanah dan penyelesaian konflik untuk pembaruan agraria di hotel Bumi Asih Palembang,kemarin. Dia mengatakan, konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi terjadi di Kabupaten OKI dan MUBA.
Menurut dia,konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat. Contohnya ada tanah ulayat yang tidak diakui pihak manapun serta soal praktik langsung hak kelolanya.“Oleh karena hak kelola masyarakat tidak diakui,maka masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu,” ujar Mukri sembari mengkritisi pemerintahan SBY yang hingga kini belum merealisasikan reformasi agraria seperti yang telah dijanjikan pada masa kampanye. Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai peta penggunaan tanah tidak jelas.
Selain itu ketiadaan lahan menjadi persoalan pertanahan di Indonesia. Di sisi lain terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dengan perusahaan atau lainnya.“Sebagian besar lahan-lahan tersebut dikuasai oleh perusahaan besar,”ujarnya. Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan, sedikitdemisedikitkonflik tanah berhasil diatasi. Saat ini berhasil diatasi 50% konflik tanah dari yang ada di Sumsel. Dia mengakui konflik yang terjadi antara perusahaan perkebunan dan masyarakat.
“Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik. Melalui upaya penyelesaian bersama dengan Pemkab/Pemkot, konflik itu sudah mulai berkurang,” ujar nya. Dia menjelaskan,penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah, membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.Surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali.
Dia mengungkapkan perlunya mereformasi birokrasi di tingkat desa, kelurahan atau kecamatan. Alasannya para pejabat pemerintahan tersebut sering mengeluarkan surat keterangan tanah di wilayah masing-masing.Akibatnya sering muncul konflik pertanahan. (jimmy octa harto)
900.000 Hektare hutan di Sumsel jadi lahan sengketa
BISNIS INDONESIA Rabu, 18/11/2009
900.000 Hektare hutan di Sumsel jadi lahan sengketa
PALEMBANG: Lahan seluas 900.000 hektare dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel masih berstatus lahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan.
Mukri Friatna, Manajer Wilayah Sumatra Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengungkapkan dengan kondisi tersebut Sumsel menempati peringkat ke tujuh secara nasional dan masih tergolong tinggi mengenai konflik pertanahan Tanah Air, selain Nusa Tenggara Timur, Lampung, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Poso, dan Kalimantan Timur.
"Hampir 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, 30% mengandung konflik agraria. Konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi, yakni terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, "ujarnya dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria, kemarin.
Menurut dia, konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat, misalnya ada tanah ulayat yang tidak diakui oleh pihak mana pun serta soal praktik langsung hak kelolanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, hak kelola masyarakat tidak diakui masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu.
Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menambahkan dengan banyaknya konflik di Sumsel itu menandakan peta penggunaan tanah tidak jelas.
Di sisi lain, katanya, terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dan perusahaan atau lainnya.
Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan sedikit demi sedikit konflik tanah berhasil diatasi.
Saat ini, ungkapnya, konflik lahan tersebut sudah berhasil diatasi 50% antara perusahaan dan rakyat.
"Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun, separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik," ungkapnya.
Dia menjelaskan melalui upaya penyelesaian bersama dengan pemkab/ pemkot konflik itu mulai berkurang.
Menurut Mulyadin, penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah karena membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.
Selain itu, jelasnya, surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali. (k49)
Bisnis Indonesia
900.000 Hektare hutan di Sumsel jadi lahan sengketa
PALEMBANG: Lahan seluas 900.000 hektare dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel masih berstatus lahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan.
Mukri Friatna, Manajer Wilayah Sumatra Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengungkapkan dengan kondisi tersebut Sumsel menempati peringkat ke tujuh secara nasional dan masih tergolong tinggi mengenai konflik pertanahan Tanah Air, selain Nusa Tenggara Timur, Lampung, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Poso, dan Kalimantan Timur.
"Hampir 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, 30% mengandung konflik agraria. Konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi, yakni terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, "ujarnya dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria, kemarin.
Menurut dia, konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat, misalnya ada tanah ulayat yang tidak diakui oleh pihak mana pun serta soal praktik langsung hak kelolanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, hak kelola masyarakat tidak diakui masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu.
Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menambahkan dengan banyaknya konflik di Sumsel itu menandakan peta penggunaan tanah tidak jelas.
Di sisi lain, katanya, terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dan perusahaan atau lainnya.
Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan sedikit demi sedikit konflik tanah berhasil diatasi.
Saat ini, ungkapnya, konflik lahan tersebut sudah berhasil diatasi 50% antara perusahaan dan rakyat.
"Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun, separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik," ungkapnya.
Dia menjelaskan melalui upaya penyelesaian bersama dengan pemkab/ pemkot konflik itu mulai berkurang.
Menurut Mulyadin, penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah karena membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.
Selain itu, jelasnya, surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali. (k49)
Bisnis Indonesia
October 28, 2009
Kabinet Baru, Kemiskinan, dan Reformasi Agraria
OLEH: USEP SETIAWAN
Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hari ini, untuk periode kedua dan pembentukan kabinet baru yang akan bekerja untuk lima tahun ke depan, berlangsung dalam kondisi bangsa yang belum cukup menggembirakan.
Salah satu masalah yang belum juga teratasi adalah kemiskinan. Kemiskinan yang mendera bangsa masih saja jadi kenyataan pahit tak berkesudahan. Sementara penguasa politik, di atas singgasananya baru pandai menebar janji yang tak kunjung terlunasi. Sudah banyak kajian ilmiah, prakarsa masyarakat dan tak sedikit program pemerintah yang diklaim guna mengatasi kemiskinan, tapi angka kemiskinan tetap saja tinggi dan tak menyentuh akar penyebabnya.
Dalam paparan visi dan misinya, SBY bertekad untuk melanjutkan keberhasilan pembangunan Indonesia seperti yang telah dilaksanakan dalam periode lima tahun yang lalu, meneruskan yang sudah baik dan melakukan perubahan yang diperlukan untuk hal-hal yang belum berhasil dilaksanakan. Tentunya untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi untuk memajukan bangsa dan negara dan memberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Program Pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan yang inklusif serta berkeadilan (www.presidenku.com).
Salah satu fokus utama yang dijanjikan SBY dalam lima tahun ke depan adalah menurunkan angka kemiskinan. Menurut BPS (2009), penduduk miskin di Indonesia telah turun sebesar 2,43 juta jiwa. Meski begitu, jumlah penduduk miskin masih sangat besar, yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenali siapa kaum miskin itu sesungguhnya.
Bantuan Langsung Tanah
Sampai sekarang, sebagian besar orang miskin bertempat tinggal di perdesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memilikinya, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektare. Jadi, dengan kata lain, saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten (Bonnie Setiawan: 2009). Mereka belum pernah menikmati program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama berupa ketiadaan lahan.
Awal 2007, SBY menjanjikan redistribusi lahan seluas 8,1 juta hektare kepada rakyat miskin. Program ini oleh Badan Pertanahan Nasional RI kemudian diperkenalkan sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sampai sekarang, program ini masih jalan di tempat dan seolah kalah pamor dengan program BLT, KUR dan PNPM dan sebagainya (Iwan Nurdin, 2009). Padahal, bukan BLT dalam bentuk uang tunai yang paling dibutuhkan rakyat miskin itu, melainkan BLT dalam arti “bantuan langsung tanah” sebagai matriks dasar kehidupan manusia dalam mencapai kesejahteraan hidupnya secara paripurna. Di negeri agraris, menyediakan tanah bagi rakyat miskin itu jalan keluar utama dari realitas kemiskinan.
Jika negara ini hendak mengentaskan kemiskinan di perdesaan, maka mau tidak mau rakyat miskin harus diberikan aset tanah. Selanjutnya, tentu saja harus diikuti dengan peningkatan akses terhadap modal, teknologi, dan pasar. Dalam kerangka inilah pentingnya menjalankan reformasi agraria sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan struktural yang dihadapi oleh petani.
Melunasi Utang
Ada beberapa penyebab utama mengapa PPAN tak segera terlaksana. Pertama, program ini disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah nondepartemen yang kurang kuat untuk menjalankan agenda besar ini. Kedua, telah terjadi ego sektoral antar-departemen yang mengelola sumber daya alam sehingga hambatan birokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukum untuk menjalankan program yang lintas sektoral tersebut. Keempat, lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPAN yang cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat (KPA, 2009).
Ini menandakan dua hal yang saling berkelindan, yakni tak cukup kuatnya komitmen Presiden SBY terhadap program yang telah diucapkannya, dan lemahnya Kabinet Indonesia Bersatu dalam menerjemahkan agenda reformasi agraria ke dalam langkah aksi dan implementasi di masing-masing sektor/bidang. Khusus terkait peran para menteri di kabinet sebagai pembantu presiden, tentu saja perlu dipilih orang-orang yang satu garis komitmen, pemikiran dan praktik dengan presiden untuk menjalankan reformasi agraria. Ketidakpahaman atau ketidakmauan satu atau sejumlah menteri untuk merealisasikan reformasi agraria hendaknya tak terjadi lagi pada kabinet baru yang dibentuk SBY untuk lima tahun ke depan.
Beberapa langkah utama mestinya dilakukan. Presiden SBY memimpin langsung program ini dan segera mengeluarkan UU atau PP pelaksanaan pembaruan agraria yang dijanjikan. Presiden juga membentuk lembaga adhoc pelaksana pembaruan agraria. Komposisi kabinet yang mengelola sumber kekayaan alam, pertanian, kehutanan, kelautan, perkebunan dan pertanahan harus satu visi dalam memberantas kemiskinan struktural melalui realisasi pembaruan agraria.
Di tengah puluhan juta rakyat miskin, tak elok jika pemerintahan SBY Jilid II masih saja ragu dan menyia-nyiakan potensi berupa jutaan hektare tanah objek landreform, tanah telantar, lahan hutan produksi konversi dan tanah kategori lainnya yang layak dinikmati rakyat jelata. Pemerintahan SBY-Boediono punya kesempatan emas untuk melunasi utang bagi rakyat miskin yang memilihnya dengan jalan melanjutkan program pembaruan agraria nasional—tentu saja dengan perbaikan arah, konsep dan kebijakannya. Untuk menjadikan reformasi agraria bergerak dari wacana ke dalam praktik, dari persiapan menuju pelaksanaan.
Hendaknya, pembaruan agraria yang akan dilaksanakan menempatkan kaum miskin sebagai subjek utama yang terlibat secara aktif dan menerima manfaat dari program ini. Prasyaratnya, tentu saja semua menteri di kabinet baru yang dibentuk SBY dan seluruh jajaran pemerintahan pusat hingga daerah juga mesti sepenuhnya mendukung pelaksanaan reformasi agraria sejati, demi rakyat miskin.
Diterbitkan Sinar Harapan,Selasa,20 Oktober 2009
Penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hari ini, untuk periode kedua dan pembentukan kabinet baru yang akan bekerja untuk lima tahun ke depan, berlangsung dalam kondisi bangsa yang belum cukup menggembirakan.
Salah satu masalah yang belum juga teratasi adalah kemiskinan. Kemiskinan yang mendera bangsa masih saja jadi kenyataan pahit tak berkesudahan. Sementara penguasa politik, di atas singgasananya baru pandai menebar janji yang tak kunjung terlunasi. Sudah banyak kajian ilmiah, prakarsa masyarakat dan tak sedikit program pemerintah yang diklaim guna mengatasi kemiskinan, tapi angka kemiskinan tetap saja tinggi dan tak menyentuh akar penyebabnya.
Dalam paparan visi dan misinya, SBY bertekad untuk melanjutkan keberhasilan pembangunan Indonesia seperti yang telah dilaksanakan dalam periode lima tahun yang lalu, meneruskan yang sudah baik dan melakukan perubahan yang diperlukan untuk hal-hal yang belum berhasil dilaksanakan. Tentunya untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi untuk memajukan bangsa dan negara dan memberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Program Pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan yang inklusif serta berkeadilan (www.presidenku.com).
Salah satu fokus utama yang dijanjikan SBY dalam lima tahun ke depan adalah menurunkan angka kemiskinan. Menurut BPS (2009), penduduk miskin di Indonesia telah turun sebesar 2,43 juta jiwa. Meski begitu, jumlah penduduk miskin masih sangat besar, yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenali siapa kaum miskin itu sesungguhnya.
Bantuan Langsung Tanah
Sampai sekarang, sebagian besar orang miskin bertempat tinggal di perdesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memilikinya, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektare. Jadi, dengan kata lain, saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten (Bonnie Setiawan: 2009). Mereka belum pernah menikmati program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama berupa ketiadaan lahan.
Awal 2007, SBY menjanjikan redistribusi lahan seluas 8,1 juta hektare kepada rakyat miskin. Program ini oleh Badan Pertanahan Nasional RI kemudian diperkenalkan sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sampai sekarang, program ini masih jalan di tempat dan seolah kalah pamor dengan program BLT, KUR dan PNPM dan sebagainya (Iwan Nurdin, 2009). Padahal, bukan BLT dalam bentuk uang tunai yang paling dibutuhkan rakyat miskin itu, melainkan BLT dalam arti “bantuan langsung tanah” sebagai matriks dasar kehidupan manusia dalam mencapai kesejahteraan hidupnya secara paripurna. Di negeri agraris, menyediakan tanah bagi rakyat miskin itu jalan keluar utama dari realitas kemiskinan.
Jika negara ini hendak mengentaskan kemiskinan di perdesaan, maka mau tidak mau rakyat miskin harus diberikan aset tanah. Selanjutnya, tentu saja harus diikuti dengan peningkatan akses terhadap modal, teknologi, dan pasar. Dalam kerangka inilah pentingnya menjalankan reformasi agraria sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan struktural yang dihadapi oleh petani.
Melunasi Utang
Ada beberapa penyebab utama mengapa PPAN tak segera terlaksana. Pertama, program ini disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah nondepartemen yang kurang kuat untuk menjalankan agenda besar ini. Kedua, telah terjadi ego sektoral antar-departemen yang mengelola sumber daya alam sehingga hambatan birokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukum untuk menjalankan program yang lintas sektoral tersebut. Keempat, lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPAN yang cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat (KPA, 2009).
Ini menandakan dua hal yang saling berkelindan, yakni tak cukup kuatnya komitmen Presiden SBY terhadap program yang telah diucapkannya, dan lemahnya Kabinet Indonesia Bersatu dalam menerjemahkan agenda reformasi agraria ke dalam langkah aksi dan implementasi di masing-masing sektor/bidang. Khusus terkait peran para menteri di kabinet sebagai pembantu presiden, tentu saja perlu dipilih orang-orang yang satu garis komitmen, pemikiran dan praktik dengan presiden untuk menjalankan reformasi agraria. Ketidakpahaman atau ketidakmauan satu atau sejumlah menteri untuk merealisasikan reformasi agraria hendaknya tak terjadi lagi pada kabinet baru yang dibentuk SBY untuk lima tahun ke depan.
Beberapa langkah utama mestinya dilakukan. Presiden SBY memimpin langsung program ini dan segera mengeluarkan UU atau PP pelaksanaan pembaruan agraria yang dijanjikan. Presiden juga membentuk lembaga adhoc pelaksana pembaruan agraria. Komposisi kabinet yang mengelola sumber kekayaan alam, pertanian, kehutanan, kelautan, perkebunan dan pertanahan harus satu visi dalam memberantas kemiskinan struktural melalui realisasi pembaruan agraria.
Di tengah puluhan juta rakyat miskin, tak elok jika pemerintahan SBY Jilid II masih saja ragu dan menyia-nyiakan potensi berupa jutaan hektare tanah objek landreform, tanah telantar, lahan hutan produksi konversi dan tanah kategori lainnya yang layak dinikmati rakyat jelata. Pemerintahan SBY-Boediono punya kesempatan emas untuk melunasi utang bagi rakyat miskin yang memilihnya dengan jalan melanjutkan program pembaruan agraria nasional—tentu saja dengan perbaikan arah, konsep dan kebijakannya. Untuk menjadikan reformasi agraria bergerak dari wacana ke dalam praktik, dari persiapan menuju pelaksanaan.
Hendaknya, pembaruan agraria yang akan dilaksanakan menempatkan kaum miskin sebagai subjek utama yang terlibat secara aktif dan menerima manfaat dari program ini. Prasyaratnya, tentu saja semua menteri di kabinet baru yang dibentuk SBY dan seluruh jajaran pemerintahan pusat hingga daerah juga mesti sepenuhnya mendukung pelaksanaan reformasi agraria sejati, demi rakyat miskin.
Diterbitkan Sinar Harapan,Selasa,20 Oktober 2009
Penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
October 20, 2009
Memperkokoh Ketahanan Pangan
Kaman Nainggolan
Tema Hari Pangan Sedunia yang diperingati 16 Oktober 2009 adalah Achieving Food Security in Times of Crisis. Sampai saat ini, krisis ekonomi global masih mendominasi pemberitaan. Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa yang paling kena dampak krisis adalah para pekerja di kota. Hal ini tidak benar. Yang paling menderita adalah para petani dan penduduk miskin pedesaan yang jumlahnya 70% dengan ketahanan pangan yang rentan.
Akibat krisis, akan ada tambahan penduduk yang kelaparan 105 juta, sehingga sekarang ini 1,02 miliar orang menderita rawan pangan atau seperenam jumlah penduduk dunia. Situasi pangan global saat ini ditunjukkan oleh tingkat konsumsi yang semakin meningkat akibat peningkatan populasi. Kebanyakan penduduk rawan pangan di negara berpendapatan rendah adalah masyarakat desa miskin yang tidak memiliki lahan atau mengelola lahan marginal yang penuh risiko dan hidup dari merambah hutan.
Sebagian penduduk Indonesia juga masih mengalami kerawanan pangan, akibat kemiskinan --yang umumnya terdapat di pedesaan (63%). Maka, ke depan pemerintah harus memusatkan segala upaya guna mengatasi persoalan itu dengan fokus di tingkat desa, karena di situlah persoalannya. Pemerintah pusat harus memperkuat kapasitas daerah untuk menolong masyarakatnya. Harus dipahami bahwa pada 2015 nanti sesuai komitmen kita dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan dan Millennium Development Goals (MDGs), Indonesia akan diuji dunia dalam hal, apakah tingkat kemiskinan dan kerawanan pangan kita telah turun menjadi separohnya dari tahun dasar 1990-1992?
Untuk itu, ada baiknya kita periksa data. Pada 1990, angka kemiskinan 27,2 juta jiwa, atau 15,1%. Tahun 2008 (berdasarkan BPS) angka itu menjadi 34,96 juta atau 15,42%. Artinya, selama hampir dua dekade kita belum banyak berbuat terhadap penurunan kemiskinan. Oleh karena itu, tugas pemerintahan baru nanti sangat berat, dan semestinya fokus pada upaya melawan kemiskinan dan kelaparan. Sejarah akan mencatat dengan tinta emas manakala Indonesia berhasil menurunkan kemiskinan tahun 2015 nanti menjadi 17,48 juta atau 7,55 persen.
Secara historis, sektor pertanian dan pembangunan pedesaan telah terbukti mampu mengatasi kemiskinan. Maka, agenda ke depan adalah memerangi kemiskinan lewat pembangunan pertanian dan pedesaan. Unsur utama untuk menjamin ketahanan pangan adalah peningkatan pendapatan kaum miskin. Membangun pertanian dan pedesaan juga teramat penting karena 63% orang miskin ada di pedesaan, dan potensi terbesar bangsa ini, ada di pedesaan. Masalahnya adalah desa kita kurang dibangun. Kebijakan yang urban bias masih sering dominan dalam kebijakan pembangunan. Persoalan yang dihadapi dunia sekarang adalah rendahnya investasi di sektor pertanian dan pedesaan. Oleh karena itu, pemerintahan baru nanti perlu memfokuskan hal-hal berikut.
Pertama, membangun infrastruktur secara besar-besaran di pedesaan, terutama di kabupaten rawan pangan. Jika ini tidak dilakukan maka migrasi besar-besaran akan terjadi dari desa ke kota. Dan karena tingkat pendidikan yang rendah, maka akan terjadi pengangguran perkotaan yang tidak menyelesaikan soal. Ini memerlukan komitmen politik yang kuat, baik dari eksekutif maupun legislatif. Infrastruktur pedesaan sekaligus juga akan meningkatkan produktivitas pertanian dan mereduksi biaya pemasaran. Tidak ada dosanya jika dianggarkan sekitar 10% APBN untuk infrastruktur pedesaan/pertanian. Saya kira, jika lima tahun ini kita konsisten melakukannya, target KTT Pangan dan MDGs masih bisa tercapai.
Kedua, harus ada upaya besar melanjutkan Revolusi Hijau Babak Kedua (The Second Stage of Green Revolution) seperti dikemukakan oleh Bapak Revolusi Hijau, almarhum Norman Bourlag, tetapi yang lebih ramah lingkungan (eco-friendly). Hanya dengan cara ini produksi pangan kita bisa ditingkatkan dan dihela oleh teknologi (innovation driven).
Agroindustri Pedesaan
Ketiga, upaya besar-besaran melakukan investasi pengolahan hasil pertanian pedesaan. Agroindustri skala kecil pedesaan harus dikembangkan. Mengapa? Karena selama ini kita alpa melakukan pengolahan pertanian. Kebanyakan produk yang kita ekspor adalah gelondongan yang bernilai tambah rendah. Dengan gerakan agroindustri pedesaan akan tercipta lapangan kerja di pedesaan dan sekaligus modernisasi pedesaan.
Keempat, membangun infrastruktur pasar pedesaan guna memutus mata-rantai pemasaran yang saat ini sangat panjang, sehingga nilai tambah tidak banyak dinikmati oleh petani miskin. Kelima, khususnya bagi petani, menambah luasan lahan bagi petani. Saat ini, rata-rata luasan lahan yang dikuasai petani di bawah 0,5 hektare. Berdasarkan hitungan saya, setiap petani semestinya memiliki dua hektare lahan. Inilah pesan reforma agraria yang masih merupakan "PR" kita lima tahun ke depan.
Khusus mengatasi rawan pangan, kita telah mempunyai model yang amat baik, yaitu pengembangan Desa Mandiri Pangan sejak 2004 dan kini telah mencapai 1174 desa di 33 provinsi. Upaya ini terbukti ampuh melawan kelaparan dan rawan pangan. Apa yang dikemukakan di atas tidak sulit melakukannya. Kuncinya komitmen politik yang kuat!
Penulis adalah Staf Ahli Mentan, mantan KepalaBadan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian,penulis buku Pertanian Indonesia: Kini dan Esok, dan Melawan Kemiskinan dan Kelaparan di Abad ke-21
Dimuat di Harian Sore, Suara Pembaruan. 16 Oktober 2009
Tema Hari Pangan Sedunia yang diperingati 16 Oktober 2009 adalah Achieving Food Security in Times of Crisis. Sampai saat ini, krisis ekonomi global masih mendominasi pemberitaan. Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa yang paling kena dampak krisis adalah para pekerja di kota. Hal ini tidak benar. Yang paling menderita adalah para petani dan penduduk miskin pedesaan yang jumlahnya 70% dengan ketahanan pangan yang rentan.
Akibat krisis, akan ada tambahan penduduk yang kelaparan 105 juta, sehingga sekarang ini 1,02 miliar orang menderita rawan pangan atau seperenam jumlah penduduk dunia. Situasi pangan global saat ini ditunjukkan oleh tingkat konsumsi yang semakin meningkat akibat peningkatan populasi. Kebanyakan penduduk rawan pangan di negara berpendapatan rendah adalah masyarakat desa miskin yang tidak memiliki lahan atau mengelola lahan marginal yang penuh risiko dan hidup dari merambah hutan.
Sebagian penduduk Indonesia juga masih mengalami kerawanan pangan, akibat kemiskinan --yang umumnya terdapat di pedesaan (63%). Maka, ke depan pemerintah harus memusatkan segala upaya guna mengatasi persoalan itu dengan fokus di tingkat desa, karena di situlah persoalannya. Pemerintah pusat harus memperkuat kapasitas daerah untuk menolong masyarakatnya. Harus dipahami bahwa pada 2015 nanti sesuai komitmen kita dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan dan Millennium Development Goals (MDGs), Indonesia akan diuji dunia dalam hal, apakah tingkat kemiskinan dan kerawanan pangan kita telah turun menjadi separohnya dari tahun dasar 1990-1992?
Untuk itu, ada baiknya kita periksa data. Pada 1990, angka kemiskinan 27,2 juta jiwa, atau 15,1%. Tahun 2008 (berdasarkan BPS) angka itu menjadi 34,96 juta atau 15,42%. Artinya, selama hampir dua dekade kita belum banyak berbuat terhadap penurunan kemiskinan. Oleh karena itu, tugas pemerintahan baru nanti sangat berat, dan semestinya fokus pada upaya melawan kemiskinan dan kelaparan. Sejarah akan mencatat dengan tinta emas manakala Indonesia berhasil menurunkan kemiskinan tahun 2015 nanti menjadi 17,48 juta atau 7,55 persen.
Secara historis, sektor pertanian dan pembangunan pedesaan telah terbukti mampu mengatasi kemiskinan. Maka, agenda ke depan adalah memerangi kemiskinan lewat pembangunan pertanian dan pedesaan. Unsur utama untuk menjamin ketahanan pangan adalah peningkatan pendapatan kaum miskin. Membangun pertanian dan pedesaan juga teramat penting karena 63% orang miskin ada di pedesaan, dan potensi terbesar bangsa ini, ada di pedesaan. Masalahnya adalah desa kita kurang dibangun. Kebijakan yang urban bias masih sering dominan dalam kebijakan pembangunan. Persoalan yang dihadapi dunia sekarang adalah rendahnya investasi di sektor pertanian dan pedesaan. Oleh karena itu, pemerintahan baru nanti perlu memfokuskan hal-hal berikut.
Pertama, membangun infrastruktur secara besar-besaran di pedesaan, terutama di kabupaten rawan pangan. Jika ini tidak dilakukan maka migrasi besar-besaran akan terjadi dari desa ke kota. Dan karena tingkat pendidikan yang rendah, maka akan terjadi pengangguran perkotaan yang tidak menyelesaikan soal. Ini memerlukan komitmen politik yang kuat, baik dari eksekutif maupun legislatif. Infrastruktur pedesaan sekaligus juga akan meningkatkan produktivitas pertanian dan mereduksi biaya pemasaran. Tidak ada dosanya jika dianggarkan sekitar 10% APBN untuk infrastruktur pedesaan/pertanian. Saya kira, jika lima tahun ini kita konsisten melakukannya, target KTT Pangan dan MDGs masih bisa tercapai.
Kedua, harus ada upaya besar melanjutkan Revolusi Hijau Babak Kedua (The Second Stage of Green Revolution) seperti dikemukakan oleh Bapak Revolusi Hijau, almarhum Norman Bourlag, tetapi yang lebih ramah lingkungan (eco-friendly). Hanya dengan cara ini produksi pangan kita bisa ditingkatkan dan dihela oleh teknologi (innovation driven).
Agroindustri Pedesaan
Ketiga, upaya besar-besaran melakukan investasi pengolahan hasil pertanian pedesaan. Agroindustri skala kecil pedesaan harus dikembangkan. Mengapa? Karena selama ini kita alpa melakukan pengolahan pertanian. Kebanyakan produk yang kita ekspor adalah gelondongan yang bernilai tambah rendah. Dengan gerakan agroindustri pedesaan akan tercipta lapangan kerja di pedesaan dan sekaligus modernisasi pedesaan.
Keempat, membangun infrastruktur pasar pedesaan guna memutus mata-rantai pemasaran yang saat ini sangat panjang, sehingga nilai tambah tidak banyak dinikmati oleh petani miskin. Kelima, khususnya bagi petani, menambah luasan lahan bagi petani. Saat ini, rata-rata luasan lahan yang dikuasai petani di bawah 0,5 hektare. Berdasarkan hitungan saya, setiap petani semestinya memiliki dua hektare lahan. Inilah pesan reforma agraria yang masih merupakan "PR" kita lima tahun ke depan.
Khusus mengatasi rawan pangan, kita telah mempunyai model yang amat baik, yaitu pengembangan Desa Mandiri Pangan sejak 2004 dan kini telah mencapai 1174 desa di 33 provinsi. Upaya ini terbukti ampuh melawan kelaparan dan rawan pangan. Apa yang dikemukakan di atas tidak sulit melakukannya. Kuncinya komitmen politik yang kuat!
Penulis adalah Staf Ahli Mentan, mantan KepalaBadan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian,penulis buku Pertanian Indonesia: Kini dan Esok, dan Melawan Kemiskinan dan Kelaparan di Abad ke-21
Dimuat di Harian Sore, Suara Pembaruan. 16 Oktober 2009
October 15, 2009
HPS dan Menteri Pangan
Posman Sibuea
Setiap tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Perayaan HPS, yang sudah berlangsung di Yogyakarta, 12 Oktober 2009, mengambil tema "Memantapkan Ketahanan Pangan Nasional Mengantisipasi Krisis Global".
Tema ini memiliki implikasi yang amat dalam bagi kehidupan bangsa ini. Pasalnya, persoalan besar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Produksi beras tahun 2008 hanya sekitar 35 juta ton, cuma meningkat 3 juta ton dibandingkan produksi 1998 sebesar 32 juta ton. Artinya, pertumbuhan produksi beras selama 10 tahun belakangan ini rata-rata hanya sekitar 0,94 persen per tahun, di bawah pertumbuhan penduduk yang rata-rata 1,6 persen per tahun.
Kini, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara importir pangan terbesar di dunia. Setiap tahun kita harus menguras devisa sebesar Rp 50 triliun untuk mengimpor pangan. Angka ini sekitar 5,0 persen dari APBN dan melampaui total anggaran sektor pertanian yang tahun ini hanya Rp 40 triliun. Jika kita tidak menemukan cara untuk meningkatkan produksi, maka Indonesia, sebagai bangsa yang merdeka, tidak memiliki kedaulatan untuk menyediakan pangan secara mandiri bagi warganya. Kebutuhan dasar yang satu ini akan kian bergantung pada bangsa lain. Eksploitasi negara maju akan kian nyata merubuhkan kedaulatan kita sebagai bangsa yang merdeka.
Persoalan lain adalah negeri ini belum steril dari masalah kelaparan dan kurang gizi. Berita terbaru datang dari Papua. Sejak Januari 2009, sekitar 96 penduduk Kabupaten Yahukimo, meninggal dunia karena kelaparan. Kematian karena ketiadaan makanan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan).
Faktor penghambat utama pemenuhan hak atas pangan adalah kemiskinan. Menurut Bank Dunia (2006), hampir 109 juta penduduk Indonesia mengalami pemiskinan dan rentan menjadi miskin. Hal ini tak seiring lagi dengan kesepakatan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang mengurangi jumlah orang kelaparan dan kemiskinan menjadi separuh pada 2015.
Jumlah orang yang kelaparan sebagai derivasi kemiskinan nyaris tak berubah, kendati era reformasi sudah bergulir lebih 10 tahun. Penerima beras miskin (raskin) bertambah dari 15,78 juta rumah tangga tahun 2007 menjadi 19,1 juta rumah tangga tahun 2008. Implikasinya, keran impor beras terbuka sepanjang segala masa.
Soal "Mindset"
Proses "berasisasi" makanan pokok menempatkan produk olahan padi ini amat strategis dalam persoalan politik pangan di negeri ini. Memantapkan ketahanan pangan dengan menaikkan tingkat konsumsi karbohidrat nonberas berbasis sumber daya lokal akan dapat mengurangi ketergantungan pada beras. Indonesia memiliki sumber daya pangan lokal yang amat beragam dan bisa diandalkan untuk menyubsitusi beras. Untuk itu, perlu langkah strategis guna mewujudkan penganekaragaman pangan.
Mandeknya penyelenggaraan penganekaragaman konsumsi pangan selama ini karena kekeliruan dalam cara pandang (mindset). Pola konsumsi masyarakat yang berpusat pada beras sulit beralih ke bahan pangan lokal. Beras mengkristal menjadi makanan pokok. Sarapan identik mengonsumsi roti dan mi instan, karena komoditas ini telah bermetamorfosa menjadi ukuran gengsi.
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal adalah langkah penting untuk memantapkan ketahanan pangan nasional pada saat krisis global ini. Perpres ini menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi dan pengembangan diversifikasi konsumsi pangan guna memanfaatkan potensi pangan lokal.
Percepatan penganekaragaman adalah roh Perpres Nomor 22 Tahun 2009 guna mengawal ketahanan pangan di masa datang. Untuk itu, kita mengharapkan good will presiden terpilih SBY untuk mengangkat menteri pangan. Indonesia yang berpenduduk sekitar 230 juta sudah saatnya memiliki menteri yang khusus mengurusi pangan berbasis sumber daya lokal. Urusan pangan selama ini ada di sejumlah kementerian, sehingga acap miskoordinasi dan cenderung abai terhadap potensi pangan lokal.
Sosok menteri pangan yang diharapkan mampu mewujudkan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan adalah orang profesional yang memiliki track record di bidang politik pangan guna mengambil inisiatif untuk bekerja sama dengan institusi pemerintahan lain. Dia harus mampu mendorong pengarusutamaan percepatan penganekaragaman untuk menjadi kewajiban setiap lembaga pemerintahan guna memutus ketergantungan terhadap beras dan terigu.
Sudah saatnya negeri yang dipuja subur dan makmur ini berdaulat atas pangan. Rakyat menunggu hadirnya sosok menteri pangan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono guna mengangkat citra pangan lokal di tengah masyarakat. Tanpa itu, pemenuhan hak atas pangan bagi seluruh warga hanya sebuah utopia.
Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian Unika St. Thomas SU, Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser), dan anggota Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara
Setiap tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Perayaan HPS, yang sudah berlangsung di Yogyakarta, 12 Oktober 2009, mengambil tema "Memantapkan Ketahanan Pangan Nasional Mengantisipasi Krisis Global".
Tema ini memiliki implikasi yang amat dalam bagi kehidupan bangsa ini. Pasalnya, persoalan besar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Produksi beras tahun 2008 hanya sekitar 35 juta ton, cuma meningkat 3 juta ton dibandingkan produksi 1998 sebesar 32 juta ton. Artinya, pertumbuhan produksi beras selama 10 tahun belakangan ini rata-rata hanya sekitar 0,94 persen per tahun, di bawah pertumbuhan penduduk yang rata-rata 1,6 persen per tahun.
Kini, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara importir pangan terbesar di dunia. Setiap tahun kita harus menguras devisa sebesar Rp 50 triliun untuk mengimpor pangan. Angka ini sekitar 5,0 persen dari APBN dan melampaui total anggaran sektor pertanian yang tahun ini hanya Rp 40 triliun. Jika kita tidak menemukan cara untuk meningkatkan produksi, maka Indonesia, sebagai bangsa yang merdeka, tidak memiliki kedaulatan untuk menyediakan pangan secara mandiri bagi warganya. Kebutuhan dasar yang satu ini akan kian bergantung pada bangsa lain. Eksploitasi negara maju akan kian nyata merubuhkan kedaulatan kita sebagai bangsa yang merdeka.
Persoalan lain adalah negeri ini belum steril dari masalah kelaparan dan kurang gizi. Berita terbaru datang dari Papua. Sejak Januari 2009, sekitar 96 penduduk Kabupaten Yahukimo, meninggal dunia karena kelaparan. Kematian karena ketiadaan makanan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan).
Faktor penghambat utama pemenuhan hak atas pangan adalah kemiskinan. Menurut Bank Dunia (2006), hampir 109 juta penduduk Indonesia mengalami pemiskinan dan rentan menjadi miskin. Hal ini tak seiring lagi dengan kesepakatan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang mengurangi jumlah orang kelaparan dan kemiskinan menjadi separuh pada 2015.
Jumlah orang yang kelaparan sebagai derivasi kemiskinan nyaris tak berubah, kendati era reformasi sudah bergulir lebih 10 tahun. Penerima beras miskin (raskin) bertambah dari 15,78 juta rumah tangga tahun 2007 menjadi 19,1 juta rumah tangga tahun 2008. Implikasinya, keran impor beras terbuka sepanjang segala masa.
Soal "Mindset"
Proses "berasisasi" makanan pokok menempatkan produk olahan padi ini amat strategis dalam persoalan politik pangan di negeri ini. Memantapkan ketahanan pangan dengan menaikkan tingkat konsumsi karbohidrat nonberas berbasis sumber daya lokal akan dapat mengurangi ketergantungan pada beras. Indonesia memiliki sumber daya pangan lokal yang amat beragam dan bisa diandalkan untuk menyubsitusi beras. Untuk itu, perlu langkah strategis guna mewujudkan penganekaragaman pangan.
Mandeknya penyelenggaraan penganekaragaman konsumsi pangan selama ini karena kekeliruan dalam cara pandang (mindset). Pola konsumsi masyarakat yang berpusat pada beras sulit beralih ke bahan pangan lokal. Beras mengkristal menjadi makanan pokok. Sarapan identik mengonsumsi roti dan mi instan, karena komoditas ini telah bermetamorfosa menjadi ukuran gengsi.
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal adalah langkah penting untuk memantapkan ketahanan pangan nasional pada saat krisis global ini. Perpres ini menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi dan pengembangan diversifikasi konsumsi pangan guna memanfaatkan potensi pangan lokal.
Percepatan penganekaragaman adalah roh Perpres Nomor 22 Tahun 2009 guna mengawal ketahanan pangan di masa datang. Untuk itu, kita mengharapkan good will presiden terpilih SBY untuk mengangkat menteri pangan. Indonesia yang berpenduduk sekitar 230 juta sudah saatnya memiliki menteri yang khusus mengurusi pangan berbasis sumber daya lokal. Urusan pangan selama ini ada di sejumlah kementerian, sehingga acap miskoordinasi dan cenderung abai terhadap potensi pangan lokal.
Sosok menteri pangan yang diharapkan mampu mewujudkan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan adalah orang profesional yang memiliki track record di bidang politik pangan guna mengambil inisiatif untuk bekerja sama dengan institusi pemerintahan lain. Dia harus mampu mendorong pengarusutamaan percepatan penganekaragaman untuk menjadi kewajiban setiap lembaga pemerintahan guna memutus ketergantungan terhadap beras dan terigu.
Sudah saatnya negeri yang dipuja subur dan makmur ini berdaulat atas pangan. Rakyat menunggu hadirnya sosok menteri pangan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono guna mengangkat citra pangan lokal di tengah masyarakat. Tanpa itu, pemenuhan hak atas pangan bagi seluruh warga hanya sebuah utopia.
Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian Unika St. Thomas SU, Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser), dan anggota Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara
September 28, 2009
Urbanisasi dan Agenda Reforma Agraria
Oleh Launa
Pada 24 September kita kembali memperingati Hari Tani/Hari Agraria Nasional. Bersamaan dengan itu, kepada kita juga disuguhkan siklus rutin tahunan pasca-Lebaran, yakni arus balik mudik yang biasanya disertai dengan berbondong-bondongnya orang desa baru masuk ke kota-kota besar. Ketika desa tidak lagi menjanjikan harapan hidup yang lebih baik, maka merantau ke kota menjadi pilihan terakhir. Kota megapolis atau metropolis semacam Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Makassar, Batam, dan Denpasar adalah wilayah yang selama ini menjadi "mimpi" kaum urban untuk mengubah nasib. Sebab, di kota-kota besar inilah sentra industri (barang dan jasa) dan basis pertumbuhan ekonomi berdenyut kencang.
Suka atau tidak, kota-kota besar akan terus menjadi target kaum urban dari ribuan desa terpencil dan terkebelakang, yang ingin mengais peruntungan hidup. Ironisnya, masalah "eksodus" ini tak kunjung tuntas diselesaikan. Instrumen rutin yang kerap digunakan pemda atau pemkot guna menangkal kaum urban hanya operasi yustisi atau razia.
Data arus balik mudik versi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Pemprov DKI Jakarta 2000-2002 menunjukkan peningkatan signifikan. Rinciannya, pada 2000, jumlah arus mudik 2.159.729 orang dan arus balik 2.416.452. Pada 2001, arus mudik mencapai 2.372.069 orang dan arus balik 2.507.255. Pada 2002, jumlah pemudik 2,6 juta orang dan arus balik sekitar 2,85 juta orang. Melihat rasio arus mudik dan arus balik, pertambahan penduduk Provinsi DKI Jakarta pasca-Lebaran diperkirakan rata-rata 9,24 persen.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), laju angka urbanisasi diprediksi terus meningkat. Sampai 2025, rata-rata tingkat urbanisasi nasional bakal 68 persen (di Jawa dan Bali persentasenya, bahkan mencapai 80 persen). Dari 35 juta penduduk miskin saat ini, 22 juta berada di desa, sementara 12,8 juta sisanya di perkotaan. Dari 10 juta penganggur terbuka, 4,4 juta berada di pedesaan. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, 51.000 merupakan desa tertinggal, 20.633 di antaranya tergolong desa miskin.
Sungguh, desa menjadi tak lagi menarik karena perekonomian tak lagi bisa diharapkan. Sektor pertanian, yang menjadi jantung ekonomi desa, praktis telah kehilangan daya pikat. Konversi lahan pertanian subur menjadi nonpertanian kian tak terbendung. Sawah dan perkebunan telah sejak lama tergusur oleh lapangan golf, realestat, objek wisata, atau pabrik. Ditinjau dari aspek kemiskinan desa, data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan, hingga kini masih 32.379 (45,86%) desa tertinggal. Rinciannya, sebanyak 9.425 desa belum dapat dilalui mobil, 20.435 desa tak punya sarana kesehatan, 29.421 desa belum memiliki pasar permanen, serta 6.240 desa belum dialiri listrik (HM Lukman Edy, 2008).
Data di atas menggambarkan, laju urbanisasi merupakan derivasi dari mandeknya pembangunan sektor pertanian dan kelembagaan ekonomi desa. Data itu juga menunjukkan, kemiskinan petani adalah kemiskinan struktural, kemiskinan aset, yang tidak bisa dipecahkan dengan langkah karitatif, tanpa disertai political will pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria atau Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960.
Keberpihakan Pemerintah
Pengendalian laju urbanisasi bukan perkara tambal-sulam. Pemerintah harus memiliki keberpihakan yang jelas dalam mem- bangun dan menumbuhkan ekonomi desa. Saatnya, desa digarap dan diberdayakan. Sebab, bagaimanapun desa merupakan produsen dan penyedia bahan baku bagi konsumsi warga kota. Desa jangan dimaknai sekadar area eksploitasi orang-orang kota. Produk desa dibeli dengan harga murah, sementara orang-orang desa dipaksa membeli produk kota dengan harga tinggi.
Jika pemerintahan SBY periode kedua memiliki tekad serius untuk mengatasi problem krusial urbanisasi, maka segera berdayakan kelembagaan ekonomi desa dan revitalisasi sektor pertanian (seperti kredit mikro, kredit usaha kecil, modal ventura, PNPM, dan koperasi unit desa, termasuk pemberian jaminan sosial bagi petani dan penduduk miskin). Sebab, sudah cukup banyak program pengembangan ekonomi desa yang di-create pemerintah reformasi, tinggal soal implementasi dan konsistensi kebijakan.
Pemerintah daerah juga harus dipacu untuk menarik investor ke desa dan konsisten menciptakan iklim investasi yang kondusif, seperti menghapus seluruh perda dan bentuk pungutan yang membuat para investor fobia. Jika tidak, pemerintah pusat wajib memberikan sanksi tegas bagi setiap kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) yang tak becus menyejahterakan warganya.
Terakhir, implementasikan hak-hak asasi petani, meliputi: hak atas kehidupan yang layak, hak atas sumber-sumber agraria, hak atas kebebasan budi daya dan tanaman, hak atas modal dan sarana produksi pertanian, hak atas akses informasi dan teknologi pertanian, hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian, hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian, hak atas keanekaragaman hayati, serta hak atas kelestarian lingkungan.
Penulis dari Komite Eksekutif ALNI Indonesia dan Redaktur Pelaksana Jurnal Demokrasi Sosial
Suara Pembaruan 24 September 2009
Pada 24 September kita kembali memperingati Hari Tani/Hari Agraria Nasional. Bersamaan dengan itu, kepada kita juga disuguhkan siklus rutin tahunan pasca-Lebaran, yakni arus balik mudik yang biasanya disertai dengan berbondong-bondongnya orang desa baru masuk ke kota-kota besar. Ketika desa tidak lagi menjanjikan harapan hidup yang lebih baik, maka merantau ke kota menjadi pilihan terakhir. Kota megapolis atau metropolis semacam Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Makassar, Batam, dan Denpasar adalah wilayah yang selama ini menjadi "mimpi" kaum urban untuk mengubah nasib. Sebab, di kota-kota besar inilah sentra industri (barang dan jasa) dan basis pertumbuhan ekonomi berdenyut kencang.
Suka atau tidak, kota-kota besar akan terus menjadi target kaum urban dari ribuan desa terpencil dan terkebelakang, yang ingin mengais peruntungan hidup. Ironisnya, masalah "eksodus" ini tak kunjung tuntas diselesaikan. Instrumen rutin yang kerap digunakan pemda atau pemkot guna menangkal kaum urban hanya operasi yustisi atau razia.
Data arus balik mudik versi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Pemprov DKI Jakarta 2000-2002 menunjukkan peningkatan signifikan. Rinciannya, pada 2000, jumlah arus mudik 2.159.729 orang dan arus balik 2.416.452. Pada 2001, arus mudik mencapai 2.372.069 orang dan arus balik 2.507.255. Pada 2002, jumlah pemudik 2,6 juta orang dan arus balik sekitar 2,85 juta orang. Melihat rasio arus mudik dan arus balik, pertambahan penduduk Provinsi DKI Jakarta pasca-Lebaran diperkirakan rata-rata 9,24 persen.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), laju angka urbanisasi diprediksi terus meningkat. Sampai 2025, rata-rata tingkat urbanisasi nasional bakal 68 persen (di Jawa dan Bali persentasenya, bahkan mencapai 80 persen). Dari 35 juta penduduk miskin saat ini, 22 juta berada di desa, sementara 12,8 juta sisanya di perkotaan. Dari 10 juta penganggur terbuka, 4,4 juta berada di pedesaan. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, 51.000 merupakan desa tertinggal, 20.633 di antaranya tergolong desa miskin.
Sungguh, desa menjadi tak lagi menarik karena perekonomian tak lagi bisa diharapkan. Sektor pertanian, yang menjadi jantung ekonomi desa, praktis telah kehilangan daya pikat. Konversi lahan pertanian subur menjadi nonpertanian kian tak terbendung. Sawah dan perkebunan telah sejak lama tergusur oleh lapangan golf, realestat, objek wisata, atau pabrik. Ditinjau dari aspek kemiskinan desa, data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan, hingga kini masih 32.379 (45,86%) desa tertinggal. Rinciannya, sebanyak 9.425 desa belum dapat dilalui mobil, 20.435 desa tak punya sarana kesehatan, 29.421 desa belum memiliki pasar permanen, serta 6.240 desa belum dialiri listrik (HM Lukman Edy, 2008).
Data di atas menggambarkan, laju urbanisasi merupakan derivasi dari mandeknya pembangunan sektor pertanian dan kelembagaan ekonomi desa. Data itu juga menunjukkan, kemiskinan petani adalah kemiskinan struktural, kemiskinan aset, yang tidak bisa dipecahkan dengan langkah karitatif, tanpa disertai political will pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria atau Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960.
Keberpihakan Pemerintah
Pengendalian laju urbanisasi bukan perkara tambal-sulam. Pemerintah harus memiliki keberpihakan yang jelas dalam mem- bangun dan menumbuhkan ekonomi desa. Saatnya, desa digarap dan diberdayakan. Sebab, bagaimanapun desa merupakan produsen dan penyedia bahan baku bagi konsumsi warga kota. Desa jangan dimaknai sekadar area eksploitasi orang-orang kota. Produk desa dibeli dengan harga murah, sementara orang-orang desa dipaksa membeli produk kota dengan harga tinggi.
Jika pemerintahan SBY periode kedua memiliki tekad serius untuk mengatasi problem krusial urbanisasi, maka segera berdayakan kelembagaan ekonomi desa dan revitalisasi sektor pertanian (seperti kredit mikro, kredit usaha kecil, modal ventura, PNPM, dan koperasi unit desa, termasuk pemberian jaminan sosial bagi petani dan penduduk miskin). Sebab, sudah cukup banyak program pengembangan ekonomi desa yang di-create pemerintah reformasi, tinggal soal implementasi dan konsistensi kebijakan.
Pemerintah daerah juga harus dipacu untuk menarik investor ke desa dan konsisten menciptakan iklim investasi yang kondusif, seperti menghapus seluruh perda dan bentuk pungutan yang membuat para investor fobia. Jika tidak, pemerintah pusat wajib memberikan sanksi tegas bagi setiap kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) yang tak becus menyejahterakan warganya.
Terakhir, implementasikan hak-hak asasi petani, meliputi: hak atas kehidupan yang layak, hak atas sumber-sumber agraria, hak atas kebebasan budi daya dan tanaman, hak atas modal dan sarana produksi pertanian, hak atas akses informasi dan teknologi pertanian, hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian, hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian, hak atas keanekaragaman hayati, serta hak atas kelestarian lingkungan.
Penulis dari Komite Eksekutif ALNI Indonesia dan Redaktur Pelaksana Jurnal Demokrasi Sosial
Suara Pembaruan 24 September 2009
July 25, 2009
Revisi PP Pertanahan Tertutup
Kamis, 23 Juli 2009 , 19:26:00
JAKARTA-- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin menilai, proses revisi PP yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) sangat tertutup. Revisi yang tertutup ini, menurut Iwan, menumbuhkan kekhawatiran.
"Arah revisi ini akan semakin menjauh dari usaha menertibkan tanah terlantar. Bahkan, karena proses yang tertutup tersebut akan membuka pintu bagi lahirnya sebuah kebijakan yang tidak selaras bahkan bertentangan dengan para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat miskin yang mengharapkan keadilan agraria di tanah air," ujar Iwan Nurdin dalam keterangan persnya yang dikirim ke JPNN.
Revisi PP tersebut telah berjalan dan posisinya sudah berada di Sekretariat Negara. Berdasarkan informasi yang didapat KPA, rancangan revisi PP telah melewati proses inter-departemen dan harmonisasi di Depkumham. "Informasinya, arah revisi mengungkapkan bahwa revisi lebih dititikberatkan pada proses penertiban tanah terlantar. Dalam identifikasi BPN ditemukan bahwa tanah yang diindikasikan terlantar berjumlah 7.3 juta hektar," ujar Iwan.
Sekretaris Jenderal KPA Idham Arsyad mendesak pemerintah agar jangan terlalu terburu-buru mengesahkan revisi PP itu sebelum memaparkan arah revisi PP ini kepada publik. "Pemerintah, dalam hal ini BPN harus lebih terbuka dan melibatkan rakyat dalam merivisi PP ini. Revisi PP tanah terlantar harus diletakkan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria yang sejati," terang Idham.
Iwan Nurdin mengutip pendapat Prof Maria SW. Sumardjono (Dewan Pakar KPA dari UGM) yang membenarkan proses revisi PP ini sangat tertutup dan bahkan tidak pernah ditemukan adanya naskah akademik. "Sehingga tidak diketahui secara pasti arah revisi ini apakah beririsan dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Apalagi penekanan arah revisi hanya menekankan pada sisi penertiban, sehingga yang menjadi pertanyaan adalah, setelah ditertibkan tanah-tanah tersebut akan diprioritaskan untuk apa. Ini dipertanyakan Prof Maria saat diskusi yang digelar KPA pada 22 Juli lalu," terang Iwan.
Dikatakan Iwan, seharusnya arah revisi PP ini selaras dengan program pembaruan agraria sehingga tanah terlantar menjadi objek pembaruan agraria. Ada beberapa hal yang perlu disiapkan agar revisi ini selaras dengan pembaruan agraria, yakni diseleraskan dengan upaya merevisi PP 224/1961 tentang Land Reform, dan prakarsa menyusun RUU tentang pelaksanaan reform agraria. (sam/JPNN)
JAKARTA-- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin menilai, proses revisi PP yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) sangat tertutup. Revisi yang tertutup ini, menurut Iwan, menumbuhkan kekhawatiran.
"Arah revisi ini akan semakin menjauh dari usaha menertibkan tanah terlantar. Bahkan, karena proses yang tertutup tersebut akan membuka pintu bagi lahirnya sebuah kebijakan yang tidak selaras bahkan bertentangan dengan para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat miskin yang mengharapkan keadilan agraria di tanah air," ujar Iwan Nurdin dalam keterangan persnya yang dikirim ke JPNN.
Revisi PP tersebut telah berjalan dan posisinya sudah berada di Sekretariat Negara. Berdasarkan informasi yang didapat KPA, rancangan revisi PP telah melewati proses inter-departemen dan harmonisasi di Depkumham. "Informasinya, arah revisi mengungkapkan bahwa revisi lebih dititikberatkan pada proses penertiban tanah terlantar. Dalam identifikasi BPN ditemukan bahwa tanah yang diindikasikan terlantar berjumlah 7.3 juta hektar," ujar Iwan.
Sekretaris Jenderal KPA Idham Arsyad mendesak pemerintah agar jangan terlalu terburu-buru mengesahkan revisi PP itu sebelum memaparkan arah revisi PP ini kepada publik. "Pemerintah, dalam hal ini BPN harus lebih terbuka dan melibatkan rakyat dalam merivisi PP ini. Revisi PP tanah terlantar harus diletakkan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria yang sejati," terang Idham.
Iwan Nurdin mengutip pendapat Prof Maria SW. Sumardjono (Dewan Pakar KPA dari UGM) yang membenarkan proses revisi PP ini sangat tertutup dan bahkan tidak pernah ditemukan adanya naskah akademik. "Sehingga tidak diketahui secara pasti arah revisi ini apakah beririsan dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Apalagi penekanan arah revisi hanya menekankan pada sisi penertiban, sehingga yang menjadi pertanyaan adalah, setelah ditertibkan tanah-tanah tersebut akan diprioritaskan untuk apa. Ini dipertanyakan Prof Maria saat diskusi yang digelar KPA pada 22 Juli lalu," terang Iwan.
Dikatakan Iwan, seharusnya arah revisi PP ini selaras dengan program pembaruan agraria sehingga tanah terlantar menjadi objek pembaruan agraria. Ada beberapa hal yang perlu disiapkan agar revisi ini selaras dengan pembaruan agraria, yakni diseleraskan dengan upaya merevisi PP 224/1961 tentang Land Reform, dan prakarsa menyusun RUU tentang pelaksanaan reform agraria. (sam/JPNN)
July 21, 2009
2,6 Juta Hektare Hutan Sumsel Digasak 20 Perusahaan
Dikutip dari: Beritamusi.com
Oleh: Ruspanda Karibullah
SELAMA 20 tahun ini, hutan di Sumatra Selatan mengalami kerusakan seluas 2,6 juta hektare dari total seluas 3,7 hektare. Kerusakan lebih banyak disebabkan oleh eksplorasi yang dilakukan perusahan perkebunan kelapa sawit, HTI (hutan tanaman industri), dan pertambangan. Diperkirakan hutan di Sumsel akan habis 10 tahun lagi, apabila eksplorasi hutan tidak dihentikan.
”Ada 20 perusahaan yang mengeksplorasi hutan di Sumsel,” kata Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, di kantornya, Jalan A. Rivai No.690-a, Palembang, Kamis (16/07/2009).
Sementara perusahaan PT Rimba Hutani Mas yang izinnya dituntut Walhi Sumsel dicabut, pada aksi ke Dinas Kehutanan Sumsel pada hari ini, Kamis (16/07/2009), merupakan anak perusahaan Sinar Mas Group. Sinar Mas Group bukan hanya menguasai lahan di kabupaten Musi Banyuasin, juga di Ogan Komering Ilir melalui PT Sebangun Bumi Andalas, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Bumi Mekar Hijau.
”Jadi mereka menguasai hutan di Sumsel sekitar 700 ribu hektare,” kata Sadat. ”Tuntutan kami ini sebagai upaya agar Sumsel tidak menjadi titik kerusakan ekologi di Indonesia dan dunia. Kita juga akan mempersoalkan perusahaan-perusahaan lainnya,” kata Sadat.
July 14, 2009
PEMERINTAH KITA TIDAK MENGENAL SIAPA KAUM MISKIN ITU.
Iwan Nurdin Deputi Riset dan Kampanye KPA
BPS baru-baru ini melansir data bahwa kemiskinan kita menurun, pendapat anda?
Ya, Badan Pusat Statistik memang menunjukkan data bahwa penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta jiwa. Sehingga orang miskin sekarang ini berjumlah 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen jumlah penduduk. Tapi harus diingat, bahwa cara mengukur angka kemiskinan kita masih menggunakan basis konsumsi Rp.10000 perkapita/hari atau US$.1 perkapita/hari. Jadi kalau kita hitung dengan pengeluaran versi Bank Dunia sebesar US$ 2/hari/kapita maka angka kemiskinan kita kemungkinan masih sangat tinggi.
Padahal, sudah begitu banyak program pemerintah yang diusahakan untuk mengurangi angka kemiskinan seperti PNPM, Kredit Usaha untuk Rakyat (KUR) dll. Jadi saya melihat bahwa angka kemiskinan yang cenderung stagnan dan tidak pernah turun tersebut disebabkan beberapa hal penting. Pertama, kegagalan pemerintah dalam mengenali siapa kaum miskin tersebut sebenarnya, mereka berada dimana dan mengapa mereka miskin belum banyak dikenali oleh pengambil kebijakan sehingga program-program pemerintah dalam usaha meningkatkan taraf hidup kaum miskin bahkan dengan biaya tidak sedikit tersebut mengalami kegagalan.
Kedua tentusaja soal paradigma pembangunan nasional secara keseluruhan yang dipenuhi oleh watak ekonomi politik neoliberali. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata pada kenyataannya memperlihatkan kepada kita bahwa segelintir orang saja yang tumbuh namun dalam statistik seolah-olah semua orang ikut tumbuh. Jadi PDB kita naik dan ekonomi kita tumbuh itu sesungguhnya ditopang oleh sedikit orang-orang kaya saja yang tumbuh ekonominya. Sementara si miskin tetap saja miskin. Belum lagi kita melihat akhir-akhir ini bahwa pertumbuhan ekonomi banyak ditopang oleh tumbuhnya pasar modal kita yang investasinya sangat jangka pendek dan didominasi oleh modal asing. Pertumbuhan lainnya, banyak di topang oleh ekspor hasil-hasil tambang yang lagi-lagi di dominasi oleh perusahaan asing dan telah menyisakan banyak persoalan mulai dari lingkungan dan konflik tanah. Terakhir, pertumbuhan banyak ditopang oleh hutang luar negeri jadi perangkap hutang dimasa depan semakin besar.
Kembali ke soal penghapusan kemiskinan apa yang sebenarnya harus di lakukan pemerintah?
Kalau kita teliti lagi, orang-orang miskin tersebut sebagian besar berada di pedesaan, lingkungan kumuh di perkotaan dan daerah-daerah yang jauh (pedalaman) dengan infrastruktur dasar yang sangat buruk.. Kemudian kita lihat kembali kalau di pedesaan, sebagian besar mereka adalah petani gurem dan buruh tani. di Jawa saja terdapat 12,5 juta RMT (Rumah Tangga Petani) atau sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, 49% nya tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara di luar Jawa, ada sekitar 18% atau 8 juta jiwa petani yang tidak memiliki lahan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi ada sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsistens/gurem.
Kemudian kita lihat program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini, seperti kredit dan permodalan apakah sesuai dengan keadaan kaum miskin di pedesaan saya yakin kok tidak sesuai.
Pemerintah melupakan bahwa kebutuhan mereka yang paling utama sekarang ini adalah lahan pertanian yang cukup. Jadi pembaruan agraria sangat penting dilaksanakan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan keseluruhan problem pertanian dan pedesaan kita.
Apakah lahan-lahan untuk petani masih tersedia, bagaimana memastikan lahan tersebut dikelola oleh petani sehingga tidak dijual?
Sangat tersedia, kita mengetahui bahwa peruntukan tanah sekarang ini oleh pemerintah lebih banyak digunakan untuk perusahaan besar perkebunan dan kehutanan.ketimbang oleh rakyat. Terlebih lagi wilayah hutan lebih banyak diutamakan untuk investor besar tanpa ada kewajiban melibatkan masyarakat dalam kepemilikan usaha selain menjadikan mereka menjadi buruh. Per-Desember 2003 terdapat 267 unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Tahun 2004 Badan Planologi Kehutanan mengungkapkan bahwa kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan seluas 4,682 juta hektar kepada 503 unit usaha.. Jadi kekayaan agraria kita tidak pernah diabdikan untuk kepentingan rakyat banyak. Meskipun demikian, BPN mengungkapkan bahwa masih terdapat 1.5 juta hektar lahan objek landreform, 650.000 hektar lahan terlantar dan sekitar 7.1 juta lahan hutan produksi yang dapat diberikan kepada rakyat. Itu kalau pemerintah mau melakukan redistribusi tanah tanpa melakukan perombakan struktur agraria yang sekarang timpang dan didominasi perusahaan. Jadi sekedar menghentikan peruntukan tanah untuk perusahaan dan diarahkan untuk rakyat. Sementara kepemilikan mahaluas perusahaan-perusahaan ditinjau ulang kepemilikannya dengan mewajibkan kepemilikan organisasi rakyat atau desa.
Lahan-lahan yang anda sebutkan sebagian besar berada di luar Jawa sementara petani gurem dan buruh tani berada di Jawa. Apakah ini artinya anda merekomendasikan transmigrasi?
Areal lahan sawah di seluruh Jawa hingga tahun 2005 seluas 3 juta hektar dan lahan kering untuk tanaman pangan di Jawa seluas 2 juta hektar. Jadi kalau dihitung per-kapita untuk pangan hanya 359 meter persegi atau 451 meter persegi termasuk lahan kering. Sementara lahan lainnya dikuasai oleh Perhutani dalam bentuk Hutan Negara seluas 2,7 juta hektar dan perkebunan seluas 690 ribu hektar. Jadi, transmigrasi selama ini sebenanrnya memindahkan potensi konflik sosial akibat ketimpangan agraria yang sangat luar biasa di pulau Jawa.
Menurut KPA, terbaik yang dilakukan di Jawa adalah Pembaruan Agraria secara menyeluruh dan menguasahakannya kedalam pertanian terpadu dalam wadah koperasi, badan usaha milik petani atau badan usaha milik desa. Maksudnya, tiga soal mendasar dalam problem pertanian di Jawa selama ini adalah lahan terbatas, tenaga kerja banyak (pengangguran), teknologi pertanian rendah alias tidak berkemban . Persoalan ini dapat diselesaikan dengan model pembaruan agraria seperti yang saya sebut tadi.
Saya melihat bahwa transmigrasi sebagai usaha memindahkan problem pedesaan di Jawa keluar Jawa harus dihentikan. Kalau mau melakukan transmigrasi harus didahului dengan usaha menyelesaikan pembaruan agraria di Jawa.
Apakah Pembaruan Agraria sebenarnya dapat disimpulkan sebagai jalan keluar dari jerat kemiskinan di pedesaan selama ini?
Benar tapi sesungguhnya lebih dari itu. Pembaruan Agraria itu akan memperkuat industri nasional kita, sebab bahan-bahan yang dihasilkan dari sumber-sumber agraria kita apakah pertanian, perkebunan dan pertambangan diabdikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai misal dengan pembaruan agraria, pendapatan petani kita akan naik dengan signifikan sehingga pasar domestik bagi industri kita menjadi lebih luas. Tabungan petani kita juga akan naik sehingga investasi pengembangan pertanian dan industri pertanian semakin tumbuh. Dengan demikian keutuhan dan kepaduan antara desa-kota, pertanian dan industri yang saling menguatkan itu ada pada Pembaruan Agraria. Pembaruan agraria juga menjadi basis demokrasi bukan hanya di pedesaan bahkan secara nasional sebab ia mensyaratkan dukungan dari organisasi petani yang kuat dan solid. Jadi, pembaruan agraria itu basis paling penting bagi lahirnya keadilan sosial sejati di tanah air kita.
BPS baru-baru ini melansir data bahwa kemiskinan kita menurun, pendapat anda?
Ya, Badan Pusat Statistik memang menunjukkan data bahwa penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta jiwa. Sehingga orang miskin sekarang ini berjumlah 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen jumlah penduduk. Tapi harus diingat, bahwa cara mengukur angka kemiskinan kita masih menggunakan basis konsumsi Rp.10000 perkapita/hari atau US$.1 perkapita/hari. Jadi kalau kita hitung dengan pengeluaran versi Bank Dunia sebesar US$ 2/hari/kapita maka angka kemiskinan kita kemungkinan masih sangat tinggi.
Padahal, sudah begitu banyak program pemerintah yang diusahakan untuk mengurangi angka kemiskinan seperti PNPM, Kredit Usaha untuk Rakyat (KUR) dll. Jadi saya melihat bahwa angka kemiskinan yang cenderung stagnan dan tidak pernah turun tersebut disebabkan beberapa hal penting. Pertama, kegagalan pemerintah dalam mengenali siapa kaum miskin tersebut sebenarnya, mereka berada dimana dan mengapa mereka miskin belum banyak dikenali oleh pengambil kebijakan sehingga program-program pemerintah dalam usaha meningkatkan taraf hidup kaum miskin bahkan dengan biaya tidak sedikit tersebut mengalami kegagalan.
Kedua tentusaja soal paradigma pembangunan nasional secara keseluruhan yang dipenuhi oleh watak ekonomi politik neoliberali. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata pada kenyataannya memperlihatkan kepada kita bahwa segelintir orang saja yang tumbuh namun dalam statistik seolah-olah semua orang ikut tumbuh. Jadi PDB kita naik dan ekonomi kita tumbuh itu sesungguhnya ditopang oleh sedikit orang-orang kaya saja yang tumbuh ekonominya. Sementara si miskin tetap saja miskin. Belum lagi kita melihat akhir-akhir ini bahwa pertumbuhan ekonomi banyak ditopang oleh tumbuhnya pasar modal kita yang investasinya sangat jangka pendek dan didominasi oleh modal asing. Pertumbuhan lainnya, banyak di topang oleh ekspor hasil-hasil tambang yang lagi-lagi di dominasi oleh perusahaan asing dan telah menyisakan banyak persoalan mulai dari lingkungan dan konflik tanah. Terakhir, pertumbuhan banyak ditopang oleh hutang luar negeri jadi perangkap hutang dimasa depan semakin besar.
Kembali ke soal penghapusan kemiskinan apa yang sebenarnya harus di lakukan pemerintah?
Kalau kita teliti lagi, orang-orang miskin tersebut sebagian besar berada di pedesaan, lingkungan kumuh di perkotaan dan daerah-daerah yang jauh (pedalaman) dengan infrastruktur dasar yang sangat buruk.. Kemudian kita lihat kembali kalau di pedesaan, sebagian besar mereka adalah petani gurem dan buruh tani. di Jawa saja terdapat 12,5 juta RMT (Rumah Tangga Petani) atau sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, 49% nya tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara di luar Jawa, ada sekitar 18% atau 8 juta jiwa petani yang tidak memiliki lahan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi ada sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsistens/gurem.
Kemudian kita lihat program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini, seperti kredit dan permodalan apakah sesuai dengan keadaan kaum miskin di pedesaan saya yakin kok tidak sesuai.
Pemerintah melupakan bahwa kebutuhan mereka yang paling utama sekarang ini adalah lahan pertanian yang cukup. Jadi pembaruan agraria sangat penting dilaksanakan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan keseluruhan problem pertanian dan pedesaan kita.
Apakah lahan-lahan untuk petani masih tersedia, bagaimana memastikan lahan tersebut dikelola oleh petani sehingga tidak dijual?
Sangat tersedia, kita mengetahui bahwa peruntukan tanah sekarang ini oleh pemerintah lebih banyak digunakan untuk perusahaan besar perkebunan dan kehutanan.ketimbang oleh rakyat. Terlebih lagi wilayah hutan lebih banyak diutamakan untuk investor besar tanpa ada kewajiban melibatkan masyarakat dalam kepemilikan usaha selain menjadikan mereka menjadi buruh. Per-Desember 2003 terdapat 267 unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Tahun 2004 Badan Planologi Kehutanan mengungkapkan bahwa kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan seluas 4,682 juta hektar kepada 503 unit usaha.. Jadi kekayaan agraria kita tidak pernah diabdikan untuk kepentingan rakyat banyak. Meskipun demikian, BPN mengungkapkan bahwa masih terdapat 1.5 juta hektar lahan objek landreform, 650.000 hektar lahan terlantar dan sekitar 7.1 juta lahan hutan produksi yang dapat diberikan kepada rakyat. Itu kalau pemerintah mau melakukan redistribusi tanah tanpa melakukan perombakan struktur agraria yang sekarang timpang dan didominasi perusahaan. Jadi sekedar menghentikan peruntukan tanah untuk perusahaan dan diarahkan untuk rakyat. Sementara kepemilikan mahaluas perusahaan-perusahaan ditinjau ulang kepemilikannya dengan mewajibkan kepemilikan organisasi rakyat atau desa.
Lahan-lahan yang anda sebutkan sebagian besar berada di luar Jawa sementara petani gurem dan buruh tani berada di Jawa. Apakah ini artinya anda merekomendasikan transmigrasi?
Areal lahan sawah di seluruh Jawa hingga tahun 2005 seluas 3 juta hektar dan lahan kering untuk tanaman pangan di Jawa seluas 2 juta hektar. Jadi kalau dihitung per-kapita untuk pangan hanya 359 meter persegi atau 451 meter persegi termasuk lahan kering. Sementara lahan lainnya dikuasai oleh Perhutani dalam bentuk Hutan Negara seluas 2,7 juta hektar dan perkebunan seluas 690 ribu hektar. Jadi, transmigrasi selama ini sebenanrnya memindahkan potensi konflik sosial akibat ketimpangan agraria yang sangat luar biasa di pulau Jawa.
Menurut KPA, terbaik yang dilakukan di Jawa adalah Pembaruan Agraria secara menyeluruh dan menguasahakannya kedalam pertanian terpadu dalam wadah koperasi, badan usaha milik petani atau badan usaha milik desa. Maksudnya, tiga soal mendasar dalam problem pertanian di Jawa selama ini adalah lahan terbatas, tenaga kerja banyak (pengangguran), teknologi pertanian rendah alias tidak berkemban . Persoalan ini dapat diselesaikan dengan model pembaruan agraria seperti yang saya sebut tadi.
Saya melihat bahwa transmigrasi sebagai usaha memindahkan problem pedesaan di Jawa keluar Jawa harus dihentikan. Kalau mau melakukan transmigrasi harus didahului dengan usaha menyelesaikan pembaruan agraria di Jawa.
Apakah Pembaruan Agraria sebenarnya dapat disimpulkan sebagai jalan keluar dari jerat kemiskinan di pedesaan selama ini?
Benar tapi sesungguhnya lebih dari itu. Pembaruan Agraria itu akan memperkuat industri nasional kita, sebab bahan-bahan yang dihasilkan dari sumber-sumber agraria kita apakah pertanian, perkebunan dan pertambangan diabdikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai misal dengan pembaruan agraria, pendapatan petani kita akan naik dengan signifikan sehingga pasar domestik bagi industri kita menjadi lebih luas. Tabungan petani kita juga akan naik sehingga investasi pengembangan pertanian dan industri pertanian semakin tumbuh. Dengan demikian keutuhan dan kepaduan antara desa-kota, pertanian dan industri yang saling menguatkan itu ada pada Pembaruan Agraria. Pembaruan agraria juga menjadi basis demokrasi bukan hanya di pedesaan bahkan secara nasional sebab ia mensyaratkan dukungan dari organisasi petani yang kuat dan solid. Jadi, pembaruan agraria itu basis paling penting bagi lahirnya keadilan sosial sejati di tanah air kita.
Melawan Siklus Lupa Lima Tahunan
Oleh: Khudori-Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Janji manis itu diucapkan lima tahun yang lalu. Ketika bertarung berebut simpati rakyat dengan kandidat lain, duet SBY-JK berjanji melakukan reforma agraria. Reforma agraria menjadi satu dari sejumlah program unggulan yang dijanjikan pasangan yang mengusung semboyan "Bersama Kita Bisa" itu. Hati aktivis LSM, pemerhati agraria, dan pejuang petani kecil berbunga-bunga saat itu, terlebih-lebih petani gurem. Wacana reforma agraria yang layu karena stigma "kiri" diusung menjadi agenda kenegaraan. Terpilihnya SBY-JK sebagai presiden-wakil presiden, meski sulit diukur, tidak lepas dari agenda yang diusungnya itu.
Seperti sebuah "tradisi", begitu meraih dan menduduki posisi yang diinginkan, politikus lupa akan janjinya. Sejarah politik Indonesia mengajarkan hal itu. Pemilih hanya bisa pasrah karena tidak ada mekanisme untuk menagih janji ketika politikus berkuasa. Dalam kondisi seperti itu, di ujung 2006, para pejuang agraria kembali disuguhi angin segar setelah Presiden SBY berjanji akan mengalokasikan 8,15 juta hektare lahan. Dari sisi obyek, lahan 8,15 juta hektare berasal dari konversi hutan kritis plus lahan-lahan obyek land reform. Lahan dibagi: 6 juta hektare untuk petani, sisanya untuk pengusaha.
Reforma agraria bukanlah "bagi-bagi tanah". Reforma agraria adalah land reform plus. Land reform itu sendiri biasa dimaknai sebagai penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, infrastruktur, dan lain-lain.
Pelaksanaan reforma agraria tidaklah sederhana. Misal, apakah cara pelaksanaannya kategori lunak model Jepang (1868), model radikal ala Uni Soviet (1929), atau model moderat seperti Indonesia di masa lalu? Lalu, tempo waktunya apakah sekaligus atau bertahap seperti di Iran. Kemudian jalur-jalurnya apakah mengikuti jalan kapitalis (Inggris, Prancis, Prusia/Jerman, Amerika, Jepang, Korea/Taiwan, Kolombia, dan Meksiko), jalur sosialis (Uni Soviet, Cina, dan Kuba) atau jalur neo-populis (Jepang, Tanzania, Taiwan)?
Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah memahami minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, jika niat pemerintah tulus, baru syarat pertama yang terpenuhi. Namun, para ahli agraria sepakat, syarat pertama ini paling penting karena bisa mengeliminasi syarat lain.
Kini, di senja pemerintahan SBY-JK, janji reforma agraria berlalu tanpa wujud. Tidak lagi terdengar wacana program reforma agraria, bahkan saat SBY-(Boediono) dan JK-(Wiranto) kembali berlaga di ajang pemilu presiden. Program reforma agraria hanya diusung duet Mega-Prabowo. Sejauh ini pemerintah SBY-JK hanya mendorong sertifikasi tanah lewat program Larasita. Program ini sama sekali tidak menyentuh esensi persoalan agraria yang akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang massif. Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2007) mencatat, ada 2.810 kasus tanah besar yang mengakibatkan konflik, serta merugikan negara dan warga. Nilai tanah yang tersandera oleh sengketa itu mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008).
Ketimpangan pemilikan aset di negeri ini sangat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai oleh 440 ribu orang. Di antara mereka pun ada yang penguasaannya amat tinggi dan ada yang tidak. Jika dilihat lebih detail, konsentrasi aset itu sebesar 62-87 persen (tergantung provinsi) berwujud dalam bentuk tanah (Winoto, 2008). Ini berimplikasi pada situasi-situasi genting di negeri ini: ketimpangan ekonomi makin parah (koefisien gini naik dari 0,32 pada 2004 jadi 0,36 pada 2007); kemiskinan (34,96 juta jiwa atau 15,4 persen pada 2008) dan pengangguran (9,4 juta jiwa atau 8,4 persen pada 2008) masih tinggi; gizi buruk 2,3 juta; angka underemployment meningkat dari 29,8 persen (2004) menjadi 30,3 persen (2008); sektor informal masih dominan dari struktur tenaga kerja (69 persen); lingkungan hidup makin rusak; daya saing ekonomi melemah; dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal.
Berapa jauh kita tertinggal? Sebagai ilustrasi, apabila diukur oleh pendapatan per kapita, kita tertinggal oleh Malaysia lebih dari 30 tahun. Industri manufaktur yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja formal yang cukup besar tidak terjadi. Sebab, yang tumbuh tinggi (di atas 9 persen) adalah sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran (non-tradable) yang miskin penyerapan tenaga kerja, capital intensive, dan ditekuni segelintir pelaku. Sampai sekarang sektor pertanian masih jadi penyerap tenaga kerja terbesar (43 persen). Padahal pertumbuhan sektor ini hanya 4,6 persen (sebagian besar disumbang sektor perkebunan). Akibatnya, kemiskinan bertumpuk di sektor ini: 70 persen penduduk miskin di pedesaan bekerja di pertanian.
Bagi petani, tanah merupakan harta yang tak ternilai. Merupakan bagian hidup, sumber hidup, dan kehidupannya berikut harkat dan martabatnya. Bahkan, tanah bagian dari identitas. Itu sebabnya, di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya) . Di etnis lain juga berlaku prinsip yang sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang kita kenal memiliki struktur politik, ekonomi, dan sosial yang kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform.
Di pengujung abad ke-20, land reform plus menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistik. Struktur agraria Indonesia saat ini sama persis (meski beda besarannya) dengan awal kita merdeka: feodalistik. Struktur agraria itu hendak dirombak lewat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Sayangnya, para elite politik dan penguasa menjadikan agenda reforma agraria sebagai janji rutin lima tahunan saat pemilu. Kita harus memutus siklus janji lima tahunan dengan memilih pemimpin yang berkomitmen melakukan reforma agraria. **
(Dikutip dari koran tempo)
Janji manis itu diucapkan lima tahun yang lalu. Ketika bertarung berebut simpati rakyat dengan kandidat lain, duet SBY-JK berjanji melakukan reforma agraria. Reforma agraria menjadi satu dari sejumlah program unggulan yang dijanjikan pasangan yang mengusung semboyan "Bersama Kita Bisa" itu. Hati aktivis LSM, pemerhati agraria, dan pejuang petani kecil berbunga-bunga saat itu, terlebih-lebih petani gurem. Wacana reforma agraria yang layu karena stigma "kiri" diusung menjadi agenda kenegaraan. Terpilihnya SBY-JK sebagai presiden-wakil presiden, meski sulit diukur, tidak lepas dari agenda yang diusungnya itu.
Seperti sebuah "tradisi", begitu meraih dan menduduki posisi yang diinginkan, politikus lupa akan janjinya. Sejarah politik Indonesia mengajarkan hal itu. Pemilih hanya bisa pasrah karena tidak ada mekanisme untuk menagih janji ketika politikus berkuasa. Dalam kondisi seperti itu, di ujung 2006, para pejuang agraria kembali disuguhi angin segar setelah Presiden SBY berjanji akan mengalokasikan 8,15 juta hektare lahan. Dari sisi obyek, lahan 8,15 juta hektare berasal dari konversi hutan kritis plus lahan-lahan obyek land reform. Lahan dibagi: 6 juta hektare untuk petani, sisanya untuk pengusaha.
Reforma agraria bukanlah "bagi-bagi tanah". Reforma agraria adalah land reform plus. Land reform itu sendiri biasa dimaknai sebagai penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, infrastruktur, dan lain-lain.
Pelaksanaan reforma agraria tidaklah sederhana. Misal, apakah cara pelaksanaannya kategori lunak model Jepang (1868), model radikal ala Uni Soviet (1929), atau model moderat seperti Indonesia di masa lalu? Lalu, tempo waktunya apakah sekaligus atau bertahap seperti di Iran. Kemudian jalur-jalurnya apakah mengikuti jalan kapitalis (Inggris, Prancis, Prusia/Jerman, Amerika, Jepang, Korea/Taiwan, Kolombia, dan Meksiko), jalur sosialis (Uni Soviet, Cina, dan Kuba) atau jalur neo-populis (Jepang, Tanzania, Taiwan)?
Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah memahami minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, jika niat pemerintah tulus, baru syarat pertama yang terpenuhi. Namun, para ahli agraria sepakat, syarat pertama ini paling penting karena bisa mengeliminasi syarat lain.
Kini, di senja pemerintahan SBY-JK, janji reforma agraria berlalu tanpa wujud. Tidak lagi terdengar wacana program reforma agraria, bahkan saat SBY-(Boediono) dan JK-(Wiranto) kembali berlaga di ajang pemilu presiden. Program reforma agraria hanya diusung duet Mega-Prabowo. Sejauh ini pemerintah SBY-JK hanya mendorong sertifikasi tanah lewat program Larasita. Program ini sama sekali tidak menyentuh esensi persoalan agraria yang akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang massif. Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2007) mencatat, ada 2.810 kasus tanah besar yang mengakibatkan konflik, serta merugikan negara dan warga. Nilai tanah yang tersandera oleh sengketa itu mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008).
Ketimpangan pemilikan aset di negeri ini sangat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai oleh 440 ribu orang. Di antara mereka pun ada yang penguasaannya amat tinggi dan ada yang tidak. Jika dilihat lebih detail, konsentrasi aset itu sebesar 62-87 persen (tergantung provinsi) berwujud dalam bentuk tanah (Winoto, 2008). Ini berimplikasi pada situasi-situasi genting di negeri ini: ketimpangan ekonomi makin parah (koefisien gini naik dari 0,32 pada 2004 jadi 0,36 pada 2007); kemiskinan (34,96 juta jiwa atau 15,4 persen pada 2008) dan pengangguran (9,4 juta jiwa atau 8,4 persen pada 2008) masih tinggi; gizi buruk 2,3 juta; angka underemployment meningkat dari 29,8 persen (2004) menjadi 30,3 persen (2008); sektor informal masih dominan dari struktur tenaga kerja (69 persen); lingkungan hidup makin rusak; daya saing ekonomi melemah; dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal.
Berapa jauh kita tertinggal? Sebagai ilustrasi, apabila diukur oleh pendapatan per kapita, kita tertinggal oleh Malaysia lebih dari 30 tahun. Industri manufaktur yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja formal yang cukup besar tidak terjadi. Sebab, yang tumbuh tinggi (di atas 9 persen) adalah sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran (non-tradable) yang miskin penyerapan tenaga kerja, capital intensive, dan ditekuni segelintir pelaku. Sampai sekarang sektor pertanian masih jadi penyerap tenaga kerja terbesar (43 persen). Padahal pertumbuhan sektor ini hanya 4,6 persen (sebagian besar disumbang sektor perkebunan). Akibatnya, kemiskinan bertumpuk di sektor ini: 70 persen penduduk miskin di pedesaan bekerja di pertanian.
Bagi petani, tanah merupakan harta yang tak ternilai. Merupakan bagian hidup, sumber hidup, dan kehidupannya berikut harkat dan martabatnya. Bahkan, tanah bagian dari identitas. Itu sebabnya, di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya) . Di etnis lain juga berlaku prinsip yang sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang kita kenal memiliki struktur politik, ekonomi, dan sosial yang kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform.
Di pengujung abad ke-20, land reform plus menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistik. Struktur agraria Indonesia saat ini sama persis (meski beda besarannya) dengan awal kita merdeka: feodalistik. Struktur agraria itu hendak dirombak lewat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Sayangnya, para elite politik dan penguasa menjadikan agenda reforma agraria sebagai janji rutin lima tahunan saat pemilu. Kita harus memutus siklus janji lima tahunan dengan memilih pemimpin yang berkomitmen melakukan reforma agraria. **
(Dikutip dari koran tempo)
Subscribe to:
Posts (Atom)