Oleh: Khudori-Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Janji manis itu diucapkan lima tahun yang lalu. Ketika bertarung berebut simpati rakyat dengan kandidat lain, duet SBY-JK berjanji melakukan reforma agraria. Reforma agraria menjadi satu dari sejumlah program unggulan yang dijanjikan pasangan yang mengusung semboyan "Bersama Kita Bisa" itu. Hati aktivis LSM, pemerhati agraria, dan pejuang petani kecil berbunga-bunga saat itu, terlebih-lebih petani gurem. Wacana reforma agraria yang layu karena stigma "kiri" diusung menjadi agenda kenegaraan. Terpilihnya SBY-JK sebagai presiden-wakil presiden, meski sulit diukur, tidak lepas dari agenda yang diusungnya itu.
Seperti sebuah "tradisi", begitu meraih dan menduduki posisi yang diinginkan, politikus lupa akan janjinya. Sejarah politik Indonesia mengajarkan hal itu. Pemilih hanya bisa pasrah karena tidak ada mekanisme untuk menagih janji ketika politikus berkuasa. Dalam kondisi seperti itu, di ujung 2006, para pejuang agraria kembali disuguhi angin segar setelah Presiden SBY berjanji akan mengalokasikan 8,15 juta hektare lahan. Dari sisi obyek, lahan 8,15 juta hektare berasal dari konversi hutan kritis plus lahan-lahan obyek land reform. Lahan dibagi: 6 juta hektare untuk petani, sisanya untuk pengusaha.
Reforma agraria bukanlah "bagi-bagi tanah". Reforma agraria adalah land reform plus. Land reform itu sendiri biasa dimaknai sebagai penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, infrastruktur, dan lain-lain.
Pelaksanaan reforma agraria tidaklah sederhana. Misal, apakah cara pelaksanaannya kategori lunak model Jepang (1868), model radikal ala Uni Soviet (1929), atau model moderat seperti Indonesia di masa lalu? Lalu, tempo waktunya apakah sekaligus atau bertahap seperti di Iran. Kemudian jalur-jalurnya apakah mengikuti jalan kapitalis (Inggris, Prancis, Prusia/Jerman, Amerika, Jepang, Korea/Taiwan, Kolombia, dan Meksiko), jalur sosialis (Uni Soviet, Cina, dan Kuba) atau jalur neo-populis (Jepang, Tanzania, Taiwan)?
Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah memahami minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, jika niat pemerintah tulus, baru syarat pertama yang terpenuhi. Namun, para ahli agraria sepakat, syarat pertama ini paling penting karena bisa mengeliminasi syarat lain.
Kini, di senja pemerintahan SBY-JK, janji reforma agraria berlalu tanpa wujud. Tidak lagi terdengar wacana program reforma agraria, bahkan saat SBY-(Boediono) dan JK-(Wiranto) kembali berlaga di ajang pemilu presiden. Program reforma agraria hanya diusung duet Mega-Prabowo. Sejauh ini pemerintah SBY-JK hanya mendorong sertifikasi tanah lewat program Larasita. Program ini sama sekali tidak menyentuh esensi persoalan agraria yang akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang massif. Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2007) mencatat, ada 2.810 kasus tanah besar yang mengakibatkan konflik, serta merugikan negara dan warga. Nilai tanah yang tersandera oleh sengketa itu mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008).
Ketimpangan pemilikan aset di negeri ini sangat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai oleh 440 ribu orang. Di antara mereka pun ada yang penguasaannya amat tinggi dan ada yang tidak. Jika dilihat lebih detail, konsentrasi aset itu sebesar 62-87 persen (tergantung provinsi) berwujud dalam bentuk tanah (Winoto, 2008). Ini berimplikasi pada situasi-situasi genting di negeri ini: ketimpangan ekonomi makin parah (koefisien gini naik dari 0,32 pada 2004 jadi 0,36 pada 2007); kemiskinan (34,96 juta jiwa atau 15,4 persen pada 2008) dan pengangguran (9,4 juta jiwa atau 8,4 persen pada 2008) masih tinggi; gizi buruk 2,3 juta; angka underemployment meningkat dari 29,8 persen (2004) menjadi 30,3 persen (2008); sektor informal masih dominan dari struktur tenaga kerja (69 persen); lingkungan hidup makin rusak; daya saing ekonomi melemah; dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal.
Berapa jauh kita tertinggal? Sebagai ilustrasi, apabila diukur oleh pendapatan per kapita, kita tertinggal oleh Malaysia lebih dari 30 tahun. Industri manufaktur yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja formal yang cukup besar tidak terjadi. Sebab, yang tumbuh tinggi (di atas 9 persen) adalah sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran (non-tradable) yang miskin penyerapan tenaga kerja, capital intensive, dan ditekuni segelintir pelaku. Sampai sekarang sektor pertanian masih jadi penyerap tenaga kerja terbesar (43 persen). Padahal pertumbuhan sektor ini hanya 4,6 persen (sebagian besar disumbang sektor perkebunan). Akibatnya, kemiskinan bertumpuk di sektor ini: 70 persen penduduk miskin di pedesaan bekerja di pertanian.
Bagi petani, tanah merupakan harta yang tak ternilai. Merupakan bagian hidup, sumber hidup, dan kehidupannya berikut harkat dan martabatnya. Bahkan, tanah bagian dari identitas. Itu sebabnya, di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya) . Di etnis lain juga berlaku prinsip yang sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang kita kenal memiliki struktur politik, ekonomi, dan sosial yang kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform.
Di pengujung abad ke-20, land reform plus menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistik. Struktur agraria Indonesia saat ini sama persis (meski beda besarannya) dengan awal kita merdeka: feodalistik. Struktur agraria itu hendak dirombak lewat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Sayangnya, para elite politik dan penguasa menjadikan agenda reforma agraria sebagai janji rutin lima tahunan saat pemilu. Kita harus memutus siklus janji lima tahunan dengan memilih pemimpin yang berkomitmen melakukan reforma agraria. **
(Dikutip dari koran tempo)
No comments:
Post a Comment