December 13, 2011

Menuju Pelaksanaan Pembaruan Agraria


Pemerintah mewacanakan kepada masyarakat hendak melaksanakan Pembaruan Agraria. Rencana pemerintah ini sangat penting, sebab agenda Pembaruan Agraria adalah agenda bangsa yang sampai saat ini belum terlaksana. Bagaimana pandangan anda?
Pembaruan Agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah mestilah dibawah kerangka hukum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Kerangka hukum ini tentu saja harus diikuti dengan itikad untuk memegang teguh lima prinsip dasar melatar belakangi kelahiran UUPA yaitu: 1. Pembaruan hukum agraria agraria kolonial menuju hukum agraria nasional yang menjamin kepastian hukum, Penghapusan hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia, Mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah, Wujud implementasi atas pasal 33 UUD 1945.
Apa sesungguhnya Pembaruan Agraria itu?
Pengertian Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya. Hal ini dalam UUPA terangkum dalam pasal 6,7,9,10,11,12,13,14,15,17.
Inti dari pembaruan agraria adalah landreform yaitu redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. Jadi pembaruan agraria adalah landreform plus.
Apa persisnya tujuan dari agenda Pembaruan Agraria?
Tujuan pembaruan agraria menurut UUPA adalah penciptaan keadilan sosial, peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan bangsa yang terangkum dalam Pembukaan UUD 1945 dan terjemahan dari praktek ekonomi negara dalam Pasal 33 UUD 1945.
Selama ini, akibat tidak dijalankannya Pembaruan Agraria dan dipetieskannya UUPA telah menyebabkan semakin mendalamnya ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria khususnya tanah, maraknya konflik agraria dan kerusakan lingkungan. Maraknya konflik graria yang merebak selama ini adalah tanda dari perlu dilaksanakannya pembaruan agraria.
Jadi, Pembaruan  Agraria yang dimaksudkan oleh pemerintah selain untuk menata ulang struktur kepemilikan, penguasaan sumber-sumber agraria sehingga dapat menjawab ketimpangan agraria juga untuk menuntaskan konflik agraria yang selama ini timbul.
Konflik agraria juga dapat terjadi dalam proses pelaksanaan pembaruan agraria apabila prasyarat pendukungnya tidak disiapkan secara matang.
Bagaimana prasyarat utama agar agenda ini berhasil?
Dari berbagai literature dan pengalaman, kita bisa menyimpulkan bahwa prasyarat utama tersebut adalah, kemauan dan dukungan politik yang kuat dari pemerintah, data agraria yang akurat, serta organisasi tani yang kuat serta terpisahnya elit bisnis dan elit politik dalam menjalankan Pembaruan Agraria.
Dengan melihat prasyarat ini maka peran negara sangat penting bahkan tidak tergantikan, sementara pelaksanaan pembaruan agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat maka tujuan-tujuan dari Pembaruan Agraria tidak akan tercapai dan bahkan mengalami kegagalan.
Pengalaman pelaksanaan pembaruan agraria di sejumlah negara Asia (seperti: China, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan), Afrika dan Amerika Latin,) menunjukkan setidaknya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila pembaruan agraria mau berhasil, yakni : (1) Mandat Konstitusional, (2) Hukum Agraria dan Penegakkannya, (3) Organisasi Pelaksana, (4) Sistem Administrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) Desain Rencana dan Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9) Pemerintahan Lokal, dan (10) Keterlibatan penuh Organisasi Petani.
Bagaimana sisi teknisnya pelaksanaanya?
Untuk menjalankan Pembaruan Agraria diperlukan sebuah badan pelaksana atau komite yang bertugas menjalankan Pembaruan Agraria. Komite tersebut adalah sebuah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA).
KNPA ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas utamanya adalah untuk: (i) Merumuskan strategi dan tata cara pelaksanaan pembaruan agraria; (ii) Mengkordinasikan departemen-departemen terkait dan badan-badan pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan pembaruan agraria; (iii) Melaksanakan penataan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya; dan (iv) Menangani konflik-konflik agraria, baik warisan masa lalu,  maupun konflik-konflik agraria yang mungkin muncul akibat pelaksanaan pembaruan agraria.
Komisi Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) adalah sebuah badan adhoc yang bekerja hanya dalam jangka waktu pelaksanaan Pembaruan Agraria. Keanggotaanya komite ini wajib merepresentasikan unsur pemerintahan, unsur serikat petani, NGO, dan pakar yang sejak awal concern dalam perjuangan dan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria.
Dengan demikian, KNPA merumuskan desain rencana pelaksanaan hingga evaluasi Pembaruan Agraria. Desain rencana pelaksanaan itu sekurang-kurangnya memuat (1). Sistem pendataan objek dan subjek Pembaruan Agraria, (2). Data peruntukan tanah, (3) Desain redistribusi tanah dalam skema rumah tangga pertanian, kolektive/komunal masyarakat, koperasi produksi dan atau usaha bersama pertanian oleh masyarakat, (4). Desain larangan dan sanksi bagi penerima tanah yang menelantarkan tanah dan menjual tanah, (5) sanksi berat bagi pemalsu objek dan subjek Pembaruan Agraria, (6). Desain keterlibatan dan peran para pihak dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria (7). Desain dukungan akses infrastruktur dan keuangan setelah distribusi.
Untuk memudahkan KNPA mendata objek-objek Pembaruan Agraria, KNPA menjalankan tugas berdasarkan sistem administrasi agraria yang nasional yang lintas sektoral, lintas regional  sehingga identifikasi atas objek dan subjek Pembaruan Agraria akan dapat lebih mudah dilakukan. Dengan mengacu kepada UUPA maka objek-objek pembaruan agraria sebagian besar adalah tanah negara yang dikuasai oleh pihak perkebunan, tanah negara yang dikuasai oleh Kehutanan khususnya industri kehutanan dan tanah kelebihan maksimum, tanah absentee (pertambangan, perikanan, peternakan dll).
Pembaruan Agraria mestilah dibiayai oleh APBN/D pemerintah bersama DPR berkewajiban mengalokasikan anggaran untuk Pembiayaan Pembaruan Agraria secara proporsional. Pembiayaan seluruh komponen dari Pembaruan Agraria haruslah berasal dari sumber dana yang bukan berasal dari Hutang Luar Negeri dan atau bantuan pendanaan lain dari pihak manapun yang mengikat dan dapat menyebabkan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria menjadi tidak tercapai.
Lembaga ini mengkoordinasikan dukungan departemen-departemen dan lembaga pemerintah non departemen di pemerintahan yang terkait dengan tujuan Pembaruan Agraria. KNPA juga bertugas melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang pengetahuan dasar Pembaruan Agraria khususnya mengenai tujuan, agenda, strategi dan pelaksanaan Pembaruan Agraria sehingga dapat mobilisasi dukungan dari rakyat. Dalam tahap pelaksanaan KNPA berhak merekrut dan mendidik para sukarelawan KNPA tentang tata cara pelaksanaan Pembaruan Agraria di tingkat wilayah.
Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota berkewajiban membantu melaksanakan sepenuhnya program pembaruan agraria nasional ini sesuai dengan pasal 14 UUPA 1960. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga berkewajiban menghapus segala Peraturan Daerah yang dapat menghalang-halangi dan menghambat pelaksanaan Pembaruan Agraria. Pemerintah Daerah berkewajiban menjaga hasil-hasil Pembaruan Agraria sehingga dapat lebih maju dan berkembang, yang secara nyata tercermin dalam program dan anggaran Pemerintah Daerah.
Bagaimana Seharusnya Keterlibatan Organisasi Rakyat?
Keterlibatan penuh Organisasi Rakyat sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Pembaruan Agraria adalah syarat utama keberhasilan pelaksanaan Pembaruan Agraria. Keterlibatan ini dimulai dari level nasional hingga level lokal.
Keterlibatan ini untuk menjamin kepastian bahwa subjek utama penerima tanah dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria adalah petani miskin, buruh tani tanpa pembedaan laki-laki dan perempuan. Keterlibatan organisasi tani juga untuk memastikan bahwa serikat petani ataupun koperasi serikat petani bersama-sama pemerintah berkewajiban memajukan taraf produksi dan teknologi produksi di lapangan agraria secara bersama-sama sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

Repost. Wawancara Iwan Nurdin dengan Bulletin SPA



December 9, 2011

Pemprov Harus Bentuk Tim Lacak Dokumen Tanah Adat Ke Belanda

Sumutpos 4 November 2011
JAKARTA,sumutcyber -- Masyarakat yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) atau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tak perlu putusa asa. Ada harapan besar mereka mendapatkan hak atas tanah adat yang hingga kini terus mereka perjuangkan.

Pasalnya, ada sejumlah kasus di daerah lain, masyarakat adat memenangkan gugatan. Hanya saja, prosesnya melalui persidangan panjang. Bukti-bukti dokumen asli perjanjian pinjam tanah oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di jaman Belanda, yang setelah merdeka dinasionalisasi menjadi perkebunan PTPN.  Bukti-bukti yang asli ini pun harus dilacak hingga ke negeri Belanda.

Deputi Sekjen, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menjelaskan, posisi BPRPI sebenarnya cukup kuat karena mereka memegang surat-surat peminjaman tanah adat kepada perusahaan-perusahaan jaman Belanda tempo dulu.

"Hanya saja, untuk proses pembuktian secara hukum, pihak pengadilan harus mencari dokumen perjanjian yang asli hingga ke Belanda. Di sejumlah daerah, ada yang menang," ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta, kemarin (3/11).

Jika masyarakat menang, lanjutnya, tidak mesti lantas pihak PTPN mengembalikan tanah ke mereka. "Bisa dalam bentuk konsesi lain," terangnya.

Pemprov Sumut, lanjutnya, bisa membantu masyarakat adat yang tergabung dalam BPRPI ini dengan membentuk Tim Khusus, yang melibatkan BPRPI dan BPN. "Tim ini bisa melacak dokumen asli hingga ke Belanda," sarannya.

Dijelaskan, sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, tanah-tanah HGU PTPN hasil nasionalisasi lahan perkebunan Belanda, mestinya paling lambat harus diselesaikan 20 tahun sejak UU PA itu diterbitkan.

Pada jaman Gubernur Sumut EWP Tambunan, pada 1980, upaya renegosiasi untuk land reform dengan masyarakat adat sudah dimulai. "Saat itu Kepala Kanwil BPN-nya Soejarwo," imbuh Iwan.  Bentuknya berupa rencana distribusi lahan kepada masyarakat BPRPI sebanyak 9.085 hektar  di Kabupaten Langkat dan Deliserdang.

"Nama-nama penerimanya juga sudah jelas, namun tidak dilanjutkan menjadi hak milik. Karena tidak jelas bagaimana pola dan cara distribusi.  Pembagian kepada kelompok masyarakat adat juga tak diatur jelas. Yang jelas hanya kepada orang per orang. Malah ada yang pindah tangan ke orang per orang," ujarnya.

Karena tak cepat diselesaikan lanjutnya, persoalannya menjadi rumit. "Masyarakat pegang surat land reform, tapi lahan itu sudah jadi HGU yang secara hukum juga sah. Jadi ada tumpang tindih," bebernya.

Seperti diberitakan, massa dari BPRPI melakukan unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Senin (31/10).  Para pengunjuk rasa meminta agar pemerintah segera mendistribusikan 9.085 hektar tanah adat kepada masyarakat seperti yang telah disepakati sebelumnya.

Harun Nuh selaku Ketua Umum BPRPI menuntut pemerintah untuk membentuk tim khusus."Karena hingga saat ini sejengkal tanah pun tidak pernah diterima masyarakat adat BPRPI," ungkap Harun. (sam)

Satu Setengah Dekade Mengusung Agrarian Reform by Leverage


Hampir dua puluh tahun yang lalu, di awal tahun 90-an, diadakan serial pertemuan dan diskusi yang dinamakan Pertemuan Organisasi Tani Strategis (POTS). Pertemuan ini diselenggarakan oleh kalangan aktivis yang telah lama melakukan proses pembelaan dan advokasi tanah di Indonesia. Dari rangkaian pertemuan ini mengerucut ide untuk membangun sebuah organisasi jaringan para aktivis, intelektual, NGO, dan Organisasi Rakyat khususnya petani. Inilah cikal-bakal, awal pembuahan sebuah organisasi yang kelak lahir dan bernama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Meski sudah dirintis sejak awal 90-an, KPA didirikan di Bandung 24 September 1995 dan kemudian dideklarasikan di Jakarta 10 Desember 1995.  Dua buah tanggal yang bermakna banyak bagi para pejuang agraria.  24 September adalah Hari Tani Nasional sekaligus Hari Lahir  UUPA No.5/1960. Sementara, 10 Desember adalah hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Pada akhir 2010, KPA telah genap berusia 15 tahun.

Sebenarnya, dari putaran diskusi POTS tersebut, mengerucut dua pandangan utama. Pertama, sudah saatnya dibangun sebuah organisasi yang mewadahi para aktivis yang melakukan pembelaan kasus tanah sekaligus mendorong organisasi tani hasil dari pendampingan kasus-kasus tanah secara nasional.

Pandangan ini berasal dari hasil refleksi dari proses pendampingan kasus tanah yang telah berlangsung lama, yakni: pendampingan kasus adalah reaksi dari konflik agrarian yang tengah terjadi. Sementara, konflik agrarian sendiri adalah sebuah konsekuensi dan kelaziman dari proses berputarnya rezim ekonomi kapitalis yang mewadahi hubungan agraria antar aktor masyarakat dengan korban terbesarnya adalah rakyat marginal. Kesemuanya tengah berlaku di Indonesia.

Jawaban dari persoalan ini ada dua. Pertama, dibutuhkan pelaksanaan pembaruan agraria sebagai jawaban dari penyelesaian problem agraria. Kedua, perjuangan pembaruan agraria tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan adanya organisasi sebagai alat perjuangan pelaksanaan pembaruan agraria.

Lalu dari mana harus memulai? Apakah membangun organisasi para aktivis terlebih dahulu, organisasi petani, atau dimulai secara bersamaan?

Nampaknya, pada masa itu, membangun kedua model organisasi semacam ini dalam waktu yang bersamaan bukan suatu yang mudah. Apalagi, di zaman orde baru. Semua ruang gerak berorganisasi  alternatif praktis tertutup. Akhirnya, organisasi yang mewadahi aktivis dan serikat tani secara bersamaan lebih dahulu yang diutamakan. Itulah wujud awal KPA.
Demikian, penggalan cerita cikal bakal kelahiran KPA yang dituturkan oleh Usep Setiawan, mantan Sekjen KPA periode 2005-2009, kepada Suara Pembaruan Agraria pada suatu sore di Sekretariat Nasional KPA.

Awalnya, memang ada tiga kelompok utama dalam keanggotan KPA yaitu organisasi rakyat, NGO yang terkait dengan kerja-kerja pembaruan agrara, terakhir individu yang telah berkecimpung dalam advokasi atau terlibat dalam kajian mengenai agraria dan pedesaan. Namun, seiring perjalanannya, pada Munas V di Bogor 2009 lalu, KPA kemudian menghapus keanggotaan individu dan membatasi keanggotaan NGO, ungkap Idham Arsyad Sekjen KPA. Meski anggota individu dihapus, keberadaannya diganti menjadi anggota kehormatan yang tidak mempunyai hak suara dalam Munas.Perubahan ini bermakna bahwa KPA hendak mengorientasikan dirinya pada penguatan organisasi rakyat untuk semakin berkembang secara kuantitas dan kualitas, tambah Idham.

ARBL
Dimanakah letak posisi utama KPA sesungguhnya? Lebih condong pada advokasi kebijakan, kampanye dan publikasi wacana agraria, atau lebih memposisikan dirinya sebagai organisasi yang bertugas langsung di lapangan dalam usaha memperkuat organisasi rakyat. Nampaknya, ketiga pandangan ini selalu menjadi tema utama dalam mengevaluasi kinerja kepengerusan Seknas KPA pada setiap Musyawarah Nasional KPA.

Idealnya, ketiga hal tersebut terwadahi dalam kerja-kerja harian KPA. Sebab ketiga hal ini adalah pekerjaan wajib bagi organisasi KPA. Ketiganya adalah alasan sejarah keberadaan KPA dalam perjuangan pembaruan agraria di Indonesia, jelas Idham Arsyad Sekjen KPA. Namun, bukan mudah mengemas ketiganya dalam pekerjaan utama KPA.

Meski demikian, mengapa ketiga hal ini selalu menjadi diskusi dan debat panjang dalam setiap Munas sesungguhnya terkait dengan apa sesungguhnya posisi utama yang harus dimainkan KPA sebagai sebuah organisasi jaringan. Hal ini, tidak dapat dipisahkan dari sebuah gagasan utama KPA yakni: Agraria Reform By Leverage (ARBL). Sebuah gagasan yang ditawarkan oleh Gunawan Wiradi, guru kalangan pejuang pembaruan agraria di Indonesia.
Gagasan ini sebenarnya berasal dari refleksi pelaksanaan pembaruan agraria di banyak tempat, pada berbagai waktu dan ideologi yang melingkupi pelaksanaan pembaruan agraria termasuk Indonesia.

Menurutnya, pembaruan agraria harus diperjuangkan oleh rakyat melalui organisasi
Tani, perempuan, buruh, dll (reform by leverage) bukan bergantung pada kedermawanan dan inisiatif negara (reform by grace). Sebab, ada pembaruan agraria yang dijalankan karena kebaikan hati dan inisiatif pemerintah (agraria reform by grace), namun saat pendulum politik berubah, reforma agraria ditinggalkan bahkan bisa saja dijadikan barang haram oleh pemerintah selanjutnya. Hal ini bisa kita lihat dalam pengalaman di Indonesia pada peralihan rezim Soekarno ke Orde Baru.

Namun, meski namanya ARBL, reforma agraria tetap tidak dapat meninggalkan peran-peran negara, sebab hanya Negara yang mempunyai kekuasaan pemaksa untuk menjalankan refom, ujar Pak GWR melalui telepon kepada Suara Pembaruan Agraria. Namun, ide ARBL ini menunjuk pada sebuah tesis bahwa kematangan dan kesuksesan utama reforma agraria harus berasal dari inisiatif organisasi rakyat yang mendorong agar pemerintah atau negara segera menjalankan agenda ini, tambahnya.

Menurut Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA, banyak anggota KPA menerjemahkan ARBL sebagai sebuah gerakan reclaiming atau okupasi tanah di lapangan. Apalagi gerakan ini berhasil merombak struktur agraria di wilayah atau desa tertentu secara dramatis dan bahkan sangat revolusioner. Misalnya, sebuah desa yang sebelumnya diisi oleh para buruh kebun berubah menjadi petani yang memiliki tanah dan menanam tanaman pangan karena gerakan reklaiming. Tugas pokok KPA adalah mendorong penyelesaian problem-problem yang menyertai gerakan ini seperti penangkapan dan penanganan konflik.

Ada juga intrepretasi lain dari ARBL kedalam pekerjaaan KPA. Misalnya ARBL diterjemahkan kedalam tugas untuk KPA dalam rangka membuka peluang selebar dan seluas mungkin bagi hadirnya organisasi gerakan reforma agraria di wilayah-wilayah. Dalam terjemahan kedua ini, posisi KPA adalah Penguatan Organisasi Rakyat secara langsung, sementara advokasi kebijakan, advokasi kasus dan kampanye menjadi pilar-pilar pendukung bagi penguatan organisasi rakyat khususnya para anggota KPA.

Beragam intrepretasi dari pengurus seknas hingga anggota tentang apa sesungguhnya ARBL tentu sah-sah saja. Intrepretasi yang beragam juga melahirkan strategi yang berbeda dalam memajukan gerakan reforma agraria pada masing-masing periode kepengurusan di KPA. Yang terpenting adalah keberlanjutan, pembagian peran, pembagian tugas seluruh komponen dalam KPA harus terkoordinasi dan bersinergi dengan baik, papar Iwan.

Gagasan ARBL yang diusung KPA harus dikondolidasikan dan dituliskan kembali dengan baik. Ini sangat penting bagi KPA, selain untuk menerjemahkan gagasan ini kedalam praktek, juga untuk merumuskan arah perubahan bagi organisasi KPA untuk mencapai kematangannya sesuai dengan garis-garis ARBL.

Arah kesana sudah dimulai dengan serangkaian pertemuan Dewan Pakar, Pengurus Seknas, Dewan Nasional untuk merumuskan apa sesungguhnya ARBL itu kedalam kerangka teori dan praktek, jelas Idham. Selain itu, kita juga sedang memproses sebuah pembacaan tentang “Agrarian Question” atau “Masalah Agraria” di Indonesia. Harapannya, dengan terumuskannya agrarian question ini dengan baik dapat menjadi panduan bagi gerakan agraria di Indonesia dan arah perubahan agraria.

Dimuat Dalam Bulletin Suara Pembaruan Agraria Setahun lalu

Menanti PP Reforma Agraria


Setidaknya telah empat kali Presiden SBY menjanjikan pelaksanaan pembaruan agraria. Ini jika dihitung sejak periode pemerintahan pertama hingga sekarang. Namun, hingga sekarang, janji tersebut belum juga berujung pada lahirnya PP Pembaruan Agraria.

Begini kisahnya.

28 September 2006, setelah sidang kabinet terbatas, pemerintah melalui Menteri Pertanian Anton A. Apriantono, Menteri Kehutanan  MS. Kaban dan Kepala BPN-RI Joyo Winoto, mengumumkan akan membagikan tanah kepada rakyat miskin tanah seluas 8.15 juta hektar. Pengumuman ini dilakukan di Istana Negara dan dipandu oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng.

Pengumuman ini tentu erat kaitannya dengan janji kampanye mereka dalam pemilihan presiden di tahun 2004.
Menurut Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA, pemerintah mengumumkan hal tersebut karena kuatnya desakan masyarakat sipil. Pada saat itu, marak demonstrasi buruh dan petani yang mengecam kenaikan harga BBM, Revisi UU Tenaga Kerja, terbitnya Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah dan Revisi UU Pokok Agraria. Aneka kebijakan ini dibuat hampir secara bersamaan dan telah membuat popularitas presiden belum lama terpilih merosot tajam.

Rencana bag-bagi tanah ini disambut positif oleh kalangan masyarakat sipil. Untuk mengecek kebenaran pengumuman tersebut, kalangan masyarakat sipil melakukan audiensi dengan Menhut dan Kepala BPN. Hasil dari audiensi ini memperlihatkan bahwa inisiatif dan kepemimpinan rencana pemerintah ini berada di BPN. Arah advokasi ke BPN untuk rencana besar ini dimulai.

Pintu mulai terbuka lebar ketika BPN-RI, KPA dan Brighten Institute bekerjasama melakukan serial Simposiun Nasional Pembaruan Agraria di Medan, Makassar, Jakarta, Bogor dan Yogyakarta untuk mematangkan sisi konsep dan implementasi pembaruan agraria. Akhirnya, dari simposium ini, dikenal sebuah istilah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) untuk menamakan rencana pemerintah melakukan redistribusi tanah yang telah diumumkan sebelumnya.

Setelah hasil kajian melalui simposium selesai dilakukan. Presiden kembali mengumumkan rencananya meredistribusi tanah kepada khalayak dalam pidato kenegaraan tanggal 31 Januari 2007. Suasana menjadi hangat dan bergairah.

Anehnya, setelah pidato ini, tak ada langkah nyata. Publik menunggu kapan presiden menandatangani RPP tentang Reforma Agraria sebagai pertanda dimulainya pelaksanaan pembaruan agraria.

Sementara sepi pembicaraan soal pembaruan agraria, BPN-RI melakukan ujicoba pelaksanaan Reforma Agraria di tingkat provinsi dan mengirimkan para stafnya untuk belajar singkat soal RA di Amerika Latin dan Taiwan. Tahun 2007 ditutup oleh BPN dengan evaluasi ujicoba pelaksanaan RA oleh BPN.

Sebenarnya, tanda-tanda bahwa PP Pembaruan Agraria mulai mendapat perlawanan dari lingkar kabinet mulai terbaca di tahun 2007. Menengarai hal ini, Iwan memaparkan bahwa RA mendapat perlawanan dari internal pemerintahan SBY secara nyata pada akhir 2007. Pada proses pembahasan RAPBN 2008, usulan BPN-RI untuk membentuk Badan Pembiayaan dan Pengelolaan RA telah dihapus oleh Kementerian Keuangan. Sementara, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian seolah sudah melupakan janji redistribusi tanah. Yang pasti, semua menjadi tak tentu arahan presiden terhadap agenda ini belum kuat, ujar Iwan.

Memasuki bulan April 2008, kembali BPN-RI melakukan ujicoba pelaksanaan Reforma Agraria. Kali ini adalah Reforma Agraria di Jawa Bagian Selatan. Ujicoba ini dilakukan di 34 Kabupaten di  Lima Provinsi di Jawa (minus DKI). ‘’Dengan demikian, isu pembaruan agraria kembali menjadi isu pinggiran, bahkan hanya menjadi sub prioritas dari agenda BPN, alih-alih menjadi agenda bangsa’’ tambah Iwan.
Pada penghujung 2008, kembali presiden menjanjikan tentang pelaksanaan RA. Kali ini janji tersebut diucapkan di pelataran Candi Prambanan dalam acara peresmian LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan). Pada acara ini, presiden mengungkapkan kembali janjinya untuk segera meredistribusikan tanah kepada rakyat miskin.

Di tahun 2009, sebagai tahun politik, tidak ada hal yang resmi dibicarakan terkait dengan pembaruan agraria. Namun, patut dicatat bahwa selama dalam kampanye, Tim Sukses dan Juru Kampanye SBY memasang iklan di media massa telah menjalankan Pembaruan Agraria selama periode pertama pemerintahannya dan akan melanjutkan agenda ini jika terpilih kembali. Nyatanya SBY kembali terpilih menjadi presiden.

Periode kedua SBY dimulai sejak pelantikan pada 20 Oktober 2009. Tak lama berselang, pada 15 Januari 2010, bertempat di Marunda, Jakarta Utara, SBY kembali menjanjkan rencana redistribusi tanah kepada rakyat miskin. Pada acara ini, Presiden SBY meresmikan program strategis pertanahan untuk keadilan dan kesejahteraan dengan motor utamanya adalah Reforma Agraria. Janji reforma agraria kali ini diucapkan presiden didepan Ketua MPR Taufik Kiemas dan jajaran menteri-menteri utama pemerintahan SBY jilid II.
Sembilan bulan setelahnya, presiden kembali mengucapkan janji reforma agraria, ujar Iwan.  Pada Bulan Oktober 2010, di Istana Bogor, SBY bahkan berjanji sambil meneteskan air mata dihadapan ribuan petani penerima sertifikat redistribusi tanah.

Sayang, kesemua janji ini tak juga berujung pada penandatanganan RPP Reforma Agraria. Padahal, kabar yang beredar, RPP tersebut telah lama berada di meja Presiden untuk ditandatangani. Semua menteri telah menyetujuinya kelahiran PP Reforma Agraria, ujar pejabat penting BPN-RI. Jadi, sekarang berpulang pada kemauan presiden, tutup Iwan Nurdin berkisah.

Apa Pentingnya PP Reforma Agraria?
Apa pentingnya sebuah PP tentang Reforma Agraria? Bukankah peraturan tentang land reform sudah ada, dan belum dijalankan oleh pemerintah dengan benar. Bagaimana posisi peraturan ini dengan PP 224/1961 yang sebelumnya telah mengatur pembagian tanah?

Sebenarnya, aneka peraturan lama tentang land reform seudah lebih dari cukup kalau pimpinan tertinggi pemerintahan kita yakni presiden memang berkehendak menjalankan pembaruan agraria, jelas Iwan Nurdin.
Jika pertanyaannya apakah peraturan tersebut masih relevan? Saya memastikan bahwa peraturan tentang land reform di Indonesia masih relevan,  misalnya pembatasan tanah pertanian, peraturan bagi hasil, pembagian tanah dan ganti kerugian, peradilan land reform, dll. Menjadi tidak relevan karena tidak ada kelembagaan yang mewadahi peraturan ini. karena land reform sudah lama tidak dijalankan.
Meski demikian tetap diperlukan peraturan baru soal reforma agraria untuk memperluas cakupan objek tanah yang bisa diredistribusikan kepada rakyat. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa objek tanah reforma agraria paling luas bukanlah tanah kelebihan maksimum yang diatur oleh peraturan lama, tetapi objek paling luas adalah “Tanah Negara” yang dikuasai perkebunan dan kehutanan.

Selain itu, perlu juga mewadahi keterlibatan organisasi tani dalam memastikan objek dan subjek RA. Lebih-lebih kalau organisasi tani ingin menjadi penerima manfaat dalam bentuk kelompok atau mekanisme penguatan ha katas tanah terhadap areal masyarakat adat, tambah Iwan Nurdin. Jadi, PP yang mengatur soal Reforma Agraria sangat penting dan melengkapi peraturan pemerintah sebelumnya.

Jika PP ini demikian penting, apakah RPP tentang Reforma Agraria telah mengatur hal-hal yang diinginkan oleh kalangan reforma agraria?

Disinilah letak problem lain, RPP tentang Reforma Agraria jauh dari harapan, ujar Iwan Nurdin. Ada beberapa hal krusial yang mengganjal dalam RPP ini, yakni: definisi yang dipakai mengenail Reforma Agraria ini mengacu pada Tap MPR No.IX/2001 yang menyatakan bahwa RA adalah sebuah langkah yang berkesinambungan/berkelanjutan bukan operasi cepat merubah struktur agraria.

Selain itu, peranan organisasi tani dalam melaksanakan Pembaruan Agraria dipastikan nihil. Padahal, reforma agraria tanpa keterlibatan aktif organisasi rakyat khususnya petani tidak akan berhasil mencapai tujuan-tujuan utama reform.
Dengan dua kategori ini, masih perlukah menunggu-nunggu RPP Reforma Agraria ditandatangi SBY? 

Catt: dimuat dalam Bulletin Suara Pembaruan Agraria

October 16, 2011

Realisasi Cetak Sawah Baru Rendah

Realisasi Cetak Sawah Baru Masih Rendah
10 Oct 2011
Oleh Alina Mustaidah
JAKARTA - Realisasi cetak sawah baru tahun ini masih rendah. Hingga September 2011, realisasi cetak sawah baru secara nasional hanya 22 ribu hektare (ha), jauh dari target 70 ribu ha hingga akhir tahun ini. Kini, pemerintah daerah (pemda) lebih berminat membuka lahan untuk sektor perkebunan karena lebih menguntungkan.
Deputi Kampanye Komisi Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai, cetak sawah baru masih menghadapi sejumlah masalah, seperti pelepasan lahan, minat pemerintah daerah, dan realisasi anggaran. "Beberapa daerah tidak terlalu berminat terhadap cetak sawah baru. Lahan untuk perkebunan lebih menguntungkan," kata Iwan di Jakarta , Minggu (9/10).
Di Kalimantan Tengah dan Timur misalnya, banyak petani pangan yang mengonversi lahannya untuk perkebunan sawit atau karet. Sedangkan pemda di Jawa lebih memilih konversi lahan untuk industri karena dinilai lebih menguntung-kan. Selain itu, lanjut dia, minat menjadi petani sawah turun selama beberapa tahun terakhir, khususnya generasi muda. Tidak heran jika rata-rata umur petani di Indonesia di atas 45 tahun.
Turunnya minat menjadi petani tersebut akibat banyak kebijakan yang tidak mendukung, contohnya, harga pembelian pemerintah (HPP) rendah dan sulit memperoleh input produksi seperti pupuk. "Hal itu menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja di sektor pertanian sangat rendah," ujar dia. Menurut Iwan, realisasi cetak sawah juga terkait de ngan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak sin-kron. Rencana memang ada di pusat, tetapi pemda memiliki rencana sendiri.
Sosialisasi Dinas
Sementara itu, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Sumardjo Gatot Iriyanto mengakui. sosialisasi masih kurang. Menurut dia, dinas pertanian provinsi hingga dinas kabupaten perlu melakukan sosialisasi pentingnya menjadi petani.
Menurut Gatot, target luas pencetakan sawah baru bisa terpenuhi hingga akhir tahun ini, 70 ribu ha. Sejumlah Pemda memilih mencetak sawah baru, lalu mencairkan dana. Akibatnya, luas cetakan sawah baru terhitung rendah. "Laporannya baru 22 ribu ha karena pemda lebih suka eksekusi dulu dan pencairan dana agak lambat," ujar dia.
Dari total 70 ribu ha cetak sawah baru, 60 juta ha berupa sawah dan 10 juta ha lahan kering untuk jagung dan kedelai. Investasi diperkirakan kurang dari Rp 100 miliar. Daerah yang berpotensi melaksanakan program pencetakan sawah antara lain, Rokan Hulu, Kubu Raya, dan Bulungan. Tahun depan, cetak sawah baru akan ditingkatkan menjadi 100ribu ha dan 200 ribu ha pada 2013.
Dari total anggaran Kementan tahun ini Rp 17 triliun, pagu anggaran Ditjen PSP Rp 4,7 triliun dan realisasinya Rp 2,6 triliun (55,24%). Hingga akhir tahun ini realisasi pagu diperkirakan Rp 5,2 triliun dan realisasi Rp 4,8 triliun (92.20%).
Bukan Prioritas
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyebutkan, cetak awah perlu waktu, keseriusan, informasi yang luas, dan kemudahan aturan. "Untuk cetak sawah baru perlu sosialisasi yang lebih luas karena di daerah banyak yang mampu, sehingga bisa lebih cepat" kata dia.
Dalam alokasi anggaran di Kementan, sambung dia, cetak sawah baru tidak diprioritaskan. Akibatnya, alokasi anggaran relatif kecil. Padahal, dengan peningkatan kebutuhan pangan, target cetak sawah baru saat ini terlalu sedikit
Winarno dan Iwan menyayangkan langkah pemerintah yang kurang memberi kesempatan pada masyarakat untuk mencetak sawah baru. Pemerintah tampak lebih banyak memberi peluang kepada badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta umum.

October 10, 2011

Infrastruktur di perdesaan sangat timpang, petani sulit berkembang

JAKARTA (bisnis-jabar.com): Pembangunan infrastruktur dalam enam koridor ekonomi dinilai sangat timpang untuk kebutuhan pedesaan sebagai tempat para petani bekerja, karena lebih cenderung menguntungkan kepentingan perusahaan-perusahaan dalam skala besar.

Hal itu disampaikan oleh Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di Jakarta hari ini. Menurutnya, pembangunan infrastruktur sekarang ini lebih cenderung menguntungkan kepentingan pemodal besar dibandingkan dengan kebutuhan para petani di pedesaan.

“Padahal Indonesia adalah negara agraris namun petani di pedesaan tidak mendapatkan pembangunan infrastruktur secara baik. Infrastruktur saat ini lebih mementingkan kepentingan modal besar, sehingga menyebabkan ketimpangan,” ujar Iwan kepada Bisnis di Jakarta, hari ini.

Enam koridor ekonomi itu terdiri dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Pemerintah Dengan enam koridor tersebut diharapkan pembangunan tidak hanya terpusat di Pulau Jawa saja.

Menurut Iwan, pembangunan infrastruktur yang menguntungkan perkotaaan adalah dibangunnya jalan raya, jalan tol, pusat listrik, pelabuhan maupun bandara yang cenderung mendukung kegiatan bisnis dalam skala raksasa. Namun, paparnya, untuk kebutuhan petani misalnya membangun irigasi dan jalan pedesaan secara baik tidak dilakukan di wilayah tersebut.

“Sekarang lebih banyak dibangun untuk mendukung industri di perkotaan, penghubung industri besar di satu tempat dengan industri besar di tempat lainnya. Namun kebutuhan agraris di pedesaan justru tidak mendapatkan perhatian,” ujar Iwan.

Irwan Nirwana, Manajer Pusat Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Agraria, menuturkan kepentingan umum dalam pembangunan infrastruktur telah disalahartikan selama ini. Menurutnya, kepentingan publik justru selama ini justru diperuntukkan bagi kepentingan pihak
swasta.

Dia mencontohkan bagaimana pihak pemerintah yang melakukan pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol. Namun, sambungnya, setelah pemerintah membebaskan lahan, justru dilakukan tender kepada pihak swasta untuk membangun jalan tol dengan konsesi waktu yang cukup lama.

“Memang dalam undang-undang diatur tentang privatisasi jalan tol, tetapi keberpihakan ini yang menjadi persoalan. Karena implikasinya adalah infrastruktur yang tidak mendukung untuk kebutuhan publik dalam hal ini adalah petani, padahal Indonesia sebagai negara agraris,”
paparnya di Jakarta hari ini.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menawarkan sedikitnya 16 proyek infrastruktur unggulan di Indonesia di IIICE.   Di antaranya adalah Purukachu-Bangkuang Coal Railway (US$2.100 juta);  Southern Banten Airport (US$85 juta); Bendungan Umbulan (US$204,2 juta); Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi Toll Road (US$475,5 juta);  Central Java Independent Power Produce  atau PLTU Jateng (US$3.000 juta); Soekarno-Hatta Airport-Manggarai Railway (US$735 juta);  Soreang-Pasir Koja Toll Road (US$102,2 juta); dan  Pandaan-Malang Toll Road (US$252,8 juta).

Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai terjadi kompetisi lahan antara kawasan permukiman dengan aktivitas industri di antaranya jasa dan pertanian di Pulau Jawa karena masih belum menyebarnya aktivitas ekonomi di luar wilayah
tersebut.

Kepala Biro Humas dan Tata Usaha Bappenas Maruhum Batubara mengatakan terkait dengan pengembangan koridor ekonomi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), diperlukan inovasi strategis dan kerja bersama pemerintah, swasta serta akademisi dalam mendukung percepatan pembangunan   daerah.

Sehingga, sambungnya, dengan adanya pengembangan koridor ekonomi diharapkan terjadi percepatan pertumbuhan di luar Jawa di mana pada saat yang sama mengurangi pula beban wilayah tersebut.
“Faktanya, selama ini terjadi konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah Jawa sehingga terjadi kompetisi lahan antara kegiatan industri, jasa, permukiman, dan pertanian.  Tersebarnya aktivitas ekonomi ini ke wilayah-wilayah potensial di luar Jawa, diharapkan membuat tekanan kompetisi lahan antara pertanian dan industri berkurang,” ujar Maruhum pada pekan ini.(fsi)

July 4, 2011

Buruh Migran, Desa, dan Kebijakan Agraria

Iwan Nurdin
Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Betapa ironisnya negara ini kurang dari sepekan setelah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memukau pada konfrensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa tentang penghargaan dan perlindungan pemerintah RI kepada buruh migran, vonis mati pemerintah arab Saudi terhadap seorang buruh migran asal kabupaten Bekasi, Ruyati, dieksekusi.

Ironi ini masih akan berlanjut.sebab, meski cerita memilukan tentang perlakuan buruk kepada buruh migran selalu

menghiasi berita di media massa, namun minat warga Negara kita untuk menjadi buruh migran tak menurun.

Tingginya animo perempuan desa untuk menjadi buruh migran salah satunya disebabkan oleh kemudahan bagi para perempuan desa menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri. Sementara, bagi laki-laki, selain persyaratan lebih ketat, biaya pemberangkatan juga dibuat lebih mahal. Namun yang pasti kemiskinan di pedesaan adalah sumber utama mereka nekat meninggalkan desa dan menjadi buruh migran.

Buruh migran kita sebenarnya adalah penduduk desa yang bekerja diluar negeri. Mengingat hal ini seharusnya pemerintah segera melakukan lompatan jauh ke depan menghentikan arus buruh migran. Caranya: melakukan pembangunan pedesaan secara cepat dan tepat sasaran.

Saat ini, sedikitnya terdapat 68.000 desa administratif dan 45% darinya di kategorikan sebagai desa tertinggal. Sementara 75% penduduknya yang mendiaminya merupakan buruh tani atau petani gurem dengan lahan pertanian kurang dari 0,4 hektare.

Kawasan pedesaan sebenarnya meliputi 80% dari keseluruhan wilayah Indonesia dan dihuni oleh 135 juta jiwa atau 57% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 16,7% penduduk desa adalah penduduk yang sangat miskin. Meski demikian, hampir semua sumber-sumber kesejahteraan di pedesaan khususnya berupa tanah tidak diperuntukan bagi masyarakat desa. Dari 180 juta hektare kawasan lahan di Indonesia, 136,5 juta ditunjuk sebagai kawasan hutan. Sehingga tidak mengherankan jika sedikitnya 28.000 desa masuk ke dalam kawasan hutan.

Namun, pembangunan kawasan hutan tidak pernah memprioritaskan masyarakat desa. Bahkan menganggap penduduk desa sebagai musuh. Lihat saja, izin atas 41 juta hektare tanah hutan telah di berikan kepada kurang dari 600 perusahaan saja.

Di bidang perkebunan juga sama. Sedikitnya izin atas 9,4 juta hektare tanah telah diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit. Tak Cuma itu, pengadaan tanah bagi  perusahaan pangan juga terus terjadi. Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan izin 2 juta hektare di merauke kepada hanya 41 perusahaan saja.

Pembaruan Agraria
Pola pembangunan desa dan pertanian yang dikembangkan pemerintah diatas telah lama terjadi. Pola penyediaan tanah bagi korporasi besar sudah dikenal sejak 1870 melalui Agrarishe Wet. Hasilnya adalah krisis berkepanjangan bagi penduduk desa dan kemakmuran berlebih bagi para pengusaha. Wajah pedesaan kita sesungguhnya tak pernah reda diterjang krisis sejak 1870-an hingga kini.

Sekarang diperkirakan setiap dua hari rata-rata lebih dari satu penduduk desa berimigrasi ke kota sekitar mencari pekerjaan di luar pertanian dan pedesaan. Sebagaian besar mereka adalah kelompok usia muda (SPI:2010).

Langkah berani pemerintah untuk mengedepankan pengadaan tanah bag petani dalam bentuk badan usaha milik petani dan desa harus segera dilakukan. Sebab potensi desa yang secara geografis tersebar dari pantai hingga pegunungan, dari daratan hingga kepulauan begitu besar. Bayangkan, jika setiap desa dikembangkan satu koperasi produksi dan jasa, maka sekurangnya ada 120.000 badan usaha bersama milik rakyat yang dikelola masyarakat pedesaan. Secara sosiologis, badan usaha pedesaan yang lebih cepat bias dikembangkan adalah koperasi, sebab modal sosial masyarakat pedesaan sangat memungkinkan badan usaha jenis ini.

Koperasi ini secara khusus pada tahap awal mengelola tanah untuk pertanian dan peternakan secara integratif, yang kemudian secara perlahan mengembangkan dirinya dalam industri pupuk organik, industri pengolah dan pemasaran.

Akhirnya, melalui pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan yang menyeluruh, kita dapat menghasilkan sumber daya yang lebih kompetitif dari desa. Nanti, jika mereka berminat bekerja di luar negeri, tentu bukan untuk menjadi PRT.



Sumber: Harian Kontan, Kamis, 30 Juni 2011

May 30, 2011

Keluar dari Konflik Agraria

Oleh: Iwan Nurdin

KONFLIK agraria belum juga menemukan jalan penyelesaian. Dalam empat bulan pertama tahun ini 11 petani tewas, 44 orang luka-luka, ratusan rumah dan tanaman rusak karena konflik agraria.

Biasanya, setelah jatuh korban, aspek pidana dari konflik segera ditindaklanjuti. Namun, akar masalah berupa konflik agraria tertinggal di belakang tanpa penanganan berarti. Sehingga, setiap saat letupan konflik masih ada.

Di negara kita, selain peradilan umum tidak ada institusi khusus yang dapat menyelesaikan konflik agraria. Padahal, konflik agraria yang tengah terjadi sekarang sebagian besar adalah peninggalan masa Orde Baru yang represif yang ditopang oleh sistem administrasi pertanahan yang buruk.

Itulah sebabnya, dalam kasus-kasus yang ada, pengadilan seolah hanya diminati para pengusaha. Sementara masyarakat lebih memilih melaporkannya kepada Presiden, Satgas Mafia Hukum, DPR, Komnas HAM, dan sebagainya. Alasannya, dokumen agraria yang dimiliki masyarakat sebelum akuisisi tanah kerap tidak berguna di peradilan. Padahal, di masa lalu pemalsuan dokumen dan pemaksaaan lumrah terjadi dalam proses peralihan tanah.

Menjembatani hal ini, Komnas HAM bersama sejumlah LSM pada 2003 mengusulkan kepada pemerintah membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Sebuah badan ad hoc yang bertugas sementara dalam menyelesaikan sengketa agraria masa lalu.

Bersamaan dengan dibentuk KNuPKA juga diusulkan kepada pemerintah untuk segera menjalankan Reforma Agraria Nasional untuk menciptakan struktur agraria yang adil sesuai perintah UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Namun, pemerintah SBY mengikuti usulan ini dengan memakai rute lain. Presiden lebih memilih memperkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk kedeputian yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpres No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah.

Pelibatan Masyarakat

Setelah lima tahun berjalan, tampaknya penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural dengan prinsip keadilan sosial belum sukses dilaksanakan. Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi: (1) Lemahnya kewenangan dalam kedeputian dalam menyelesaikan konflik agraria; (2) Belum ada langkah terobosan dan cara pandang dalam menyelesaikan konflik agraria; (3) Belum dilibatkannya partisipasi masyarakat dan kelembagaan lain untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.

Konflik agraria memang memiliki dimensi sosial yang luas dan mencakup tugas dan fungsi berbagai lintas kementerian dan kelembagaan. Sebab, sengketa dan konflik agraria terjadi pada wilayah perumahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir kelautan. Dengan begitu, pemangku kepentingan menjadi sangat banyak dan luas.

Anehnya, selain pada BPN, di tubuh pemerintah belum ada yang secara khusus bertugas mengkaji dan menyelesaikan sengketa terkait agraria. Oleh sebab itu, kita berharap kepeloporan BPN dalam menyelesaikan sengketa agraria yang masuk dalam kewenangan langsung badan ini dalam membangun mekanisme Alternative Dispute Resolutions (ADR).

Memang, lemahnya kewenangan dalam menyelesaikan sengketa agraria kerap menjadi kendala utama dalam lingkungan BPN. Tetapi, hemat penulis kondisi ini bisa menjadi kekuatan jika pandangan dan tindakan bersifat out of the box alias keluar dari pakem yang biasa dijalankan BPN. Salah satu langkah yang patut dilakukan adalah pelibatan masyarakat sipil seperti NGO atau Ormas petani dalam melakukan identifikasi persoalan dan langkah solusi khususnya dari perspektif korban.

Selain itu, lembaga-lembaga negara yang selama ini mendapatkan laporan masyarakat terkait konflik agraria seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman, Satgas Antimafia Hukum, Komisi Informasi Publik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut disinergikan dalam satu langkah bersama untuk membangun trust dari publik dan transparansi internal.

Selanjutnya, perlu juga pelibatan asosiasi-asosiasi pengusaha, khususnya perkebunan, kehutanan, dan pertambangan untuk diajak dalam membangun satu perspektif bersama demi penyelesaian sengketa. Sebab, banyaknya konflik agraria, selain berbiaya mahal, tentu bisa dijadikan bahan kampanye negatif terhadap produk perusahaan tersebut di pasar internasional. Keterlibatan aktor ini penting untuk mengarusutamakan penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang menekankan win-win solution, berkeadilan sosial dan jangka panjang.

Terakhir, pemerintah harus memperluas program pelaksanaan pembaruan agraria, khususnya redistribusi tanah kepada rakyat miskin (pro-poor agraria reform) dan akses reform berupa kredit murah, infrastruktur, pendampingan dan perlindungan pasar. Sesungguhnya ini jawaban utama dalam menghentikan ketimpangan struktur agraria nasional. Bukankah ketimpangan tersebut adalah akar konflik agraria? n

Jurnal Nasional | Sabtu, 28 May 2011
Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta

May 7, 2011

Siapa Peduli Nasib Buruh Tani

Peringatan hari buruh internasional (1 Mei) selalu diisi dengan aksi demonstrasi puluhan ribu massa buruh di kota-kota besar di berbagai belahan dunia. Untuk Indonesia yang masih agraris, di tengah gemuruh tuntutan buruh, soal buruh tani tampaknya belum banyak disuarakan.

Mari simak realitas sosial bangsa kita. Kawasan perdesaan dengan luas kurang lebih 80 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia, pada tahun 2009 dihuni 135 juta jiwa atau 57 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang hidup di 67.172 desa. Yang menyedihkan, 16,56 persen penduduk desa hidup dalam kondisi miskin (BPS: 2010) dengan infrastruktur dasar yang minim.

Sebagian besar penduduk desa ialah petani gurem dan buruh tani. Dari 28,3 juta Rumah Tangga Petani (RTP), sebanyak 6,1 juta RTP di Pulau Jawa dan 5 juta RTP di luar Jawa adalah petani tak bertanah alias buruh tani. Dengan perhitungan kasar, saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah bagian dari keluarga buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah bagian dari keluarga petani subsisten (Bonnie Setiawan: 2009). Siapa peduli nasib buruh tani?

Usaha pemerintah selama lebih dari empat dekade terakhir ialah menampung kelebihan tenaga kerja produktif asal perdesaan dengan menggenjot pertumbuhan sektor industri. Namun, agaknya usaha ini belum banyak membuahkan hasil. Terbukti, jumlah petani gurem dan buruh tani gurem di negara kita setiap tahun justru terus bertambah.

Apalagi cetak biru pembangunan industri nasional bertumpu pada relokasi industri dari negara maju dan utang luar negeri. Tidak mengherankan jika pembangunan industri nasional selama ini tak berelasi dengan pembangunan pertanian dan perdesaan yang dikembangkan.

Jebakan Kemiskinan

Munculnya fenomena buruh tani dengan upah uang secara formal mulai dikenal sejak hadirnya perkebunan dan industri gula di Jawa, khususnya melalui kontrak gula (suiker contract). Hadirnya industrialisasi pertanian dan perkebunan pada masa itu telah menggenjot secara fantastis nilai dan jumlah ekspor komoditas pertanian dan perkebunan Hindia Belanda.

Namun, pertumbuhan tersebut tak berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan buruh. Bahkan, pertumbuhan petani gurem dan buruh tani terus meningkat dan menjamin ketersediaan buruh dalam sistem industri pertanian dan perkebunan milik penjajah (kolonial). Inilah yang menjadi salah satu dasar kesimpulan Gertz tentang gejala involusi pertanian dan sharing of poverty pada kehidupan petani Jawa.

Setelah kemerdekaan, dilahirkan pendekatan ekonomi politik untuk menyejahterakan petani gurem dan buruh tani melalui UU Pokok Agraria 1960, UU Pokok Bagi Hasil 1960, UU No 56/PRP Tahun 1960 yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan lahan oleh perorangan, dan PP 224/1961 tentang Land Reform. Regulasi ini semangatnya menyediakan tanah bagi buruh tani, petani gurem, dan para penggarap.

Sejak Orde Baru, pendekatan ini ditinggalkan karena dianggap memicu konflik politik, keresahan sosial, dan polarisasi di perdesaan. Orde Baru memilih investasi pertanian berbasis modal besar untuk pendukung revolusi hijau, minus pembaruan agraria.

Di era reformasi, investasi pemerintah di bidang sarana dan prasarana pertanian sangat sedikit dilakukan. Bahkan, hal ini diperburuk dengan pencabutan subsidi, pembukaan pasar bebas, dan liberalisasi sumber-sumber agraria seperti tanah, kebun, hutan, tambang, dan air kepada investor bermodal besar.

Walhasil jebakan kemiskinan bagi penduduk perdesaan, khususnya buruh tani dan petani gurem, semakin dalam. Tidak ada proteksi dan subsidi bagi kaum buruh tani dan petani gurem, sehingga kehidupan mereka terus memburuk. Lantaran hasil keringat dari bekerja di atas tanah pertanian tak lagi cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, maka migrasi ke luar desa (bahkan ke luar negeri) sering kali menjadi pilihan yang terpaksa mereka ambil.

Industrialisasi Perdesaan

Tekanan global dan minimnya perhatian pemerintah telah membuat pertumbuhan pertanian amat lambat. Kontribusi pertanian terhadap PDB tahun lalu hanya 2,7 persen saja. Padahal, manusia yang terlibat di dalamnya hampir setengah dari total populasi. Pertumbuhan industri juga sangat lambat untuk menyerap kelebihan tenaga perdesaan.

Dengan persoalan yang demikian berat, menangani persoalan buruh tani dan petani gurem tidak dapat dijalankan dengan pendekatan biasa. Dibutuhkan terobosan kebijakan yang bersifat lompatan jauh ke depan, khususnya tekait pembangunan pertanian dan pedesaan yang dipadukan dengan pembangunan perkotaan yang ramah terhadap rakyat miskin.

Yang perlu ditempuh ialah mempercepat industrialisasi pedesaan dengan dasar pelaksanaan pembaruan agraria atau agrarian reform. Pemerintah harus mendesain pembentukan badan usaha milik desa atau milik petani dalam wadah koperasi. Hal ini didukung penyediaan lahan, bibit, kredit murah, pendampingan, dan infrastruktur lain yang dibutuhkan.

Pengadaan lahan dapat dilakukan melalui penerapan PP No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar serta melalui pembukaan lahan baru. Banyaknya buruh tani dan petani gurem dapat pula diselesaikan dengan pembangunan sistem pertanian terpadu. Pengembangan pertanian, perikanan, dan peternakan dalam badan usaha juga perlu disinkronkan.

Sangat dibutuhkan dukungan teknologi tepat guna untuk memperkecil ketergantungan pada input produksi. Sistem perlindungan pasar produk pertanian nasional juga mutlak dibutuhkan agar kaum tani punya kekuatan mandiri dalam menghadapi tekanan keras perdagangan internasional.

Lompatan jauh ke depan butuh kepemimpinan politik yang tangguh dan sungguh bekerja untuk rakyat. Bagaimanapun, membaiknya kehidupan kaum buruh merupakan indikator penting dalam memaknai kemerdekaan bangsa ini. Selamat hari buruh internasional 2011.

(Sumber: Sinar Harapan, 4 Mei 2011)

Tentang Penulis :
Iwan Nurdin dan Usep Setiawan dua penulis adalah penggiat Konsorsium Pembaruan Agraria.

March 22, 2011

Regulasi Anti Rakyat Terus Tumbuh



Modal, Tenaga Kerja dan Tanah (Sumber Daya Alam) adalah tiga faktor terpenting dalam ekonomi produksi. Soal modal, kita tahu bahwa pasar modal, pasar uang dan perbankan di negara kita sudah maha liberal, siapapun bisa ikut tanpa membedakan orang lokal atau asing. Undang-undang di sektor perbankan, yang sangat memudahkan bank asing beroperasi di Indonesia. Hal itu berbeda dengan peraturan di Malaysia misalnya, yang secara internal melindungi perbankannya dengan sederet diskresi.

Soal tenaga kerja, UU Tenaga Kerja kita telah lama memberi peluang diberlakukannya Labour Market Flexibility (LMF) di Indonesia dengan sistem outsourching dan kerja kontrak telah membuktikan bahwa pasar tenaga kerja yang liberal di dalam negeri sudah berjalan dengan efektif.

Sekarang, seberapa Liberal UU terkait tanah dan SDA alam kita?

Soal Hutan, Perkebunan, Pertambangan minyak gas dan mineral, Perikanan Wilayah Pesisir dan Kelautan, Pangan, sudah dipenuhi dengan kepentingan pemodal besar dan kepentingan negara-negara maju di nusantara ini. Wajar kemudian kekayaan alam tersebut diekspor mentah-mentah kepada negara-negara yang membutuhkan untuk diolah. Apalagi negara ini membutuhkan devisa untuk membayar hutangnya yang menumpuk. Sejumlah undang-undang di bidang energi yang disahkan selepas reformasi 1998. Beleid-beleid itu menyebabkan Indonesia tak punya kedaulatan energi. "Sekitar 70 persen energi kita sekarang dikuasai asing".

Menengok di bidang pertanian, Serikat Petani Indonesia menganalisis ada sekitar 23 beleid yang berkaitan dengan petani, namun tak satu pun yang memperkuat petani gurem atau buruh tani. Peraturan-peraturan itu malah meliberalisasi pertanian sembari menggelar karpet merah bagi korporasi besar. Korbannya antara lain, 12 petani di Kediri, Jawa Timur, yang masuk penjara akibat mengembangkan bibit. Mereka terjerat Undang-undang Pengembangan Budidaya Tanaman, yang membuat budidaya bibit dimonopoli perusahaan. Pasalnya, bibit harus diuji di laboratorium.

Jadi, faktor produksi ekonomi terpenting nasional telah dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan modal dan tentu akan menjadi jelas bagaimana politisi membuat kebijakan di negara kita ini berpihak. Sebab, bagaimana bisa sebuah kebodohan bisa hadir dalam sebuah regulasi nasional.

Dalam suasana demikian, sangat dibutuhkan obor penerang untuk menunjukkan jalan arah kebangsaan nasional kita.

March 21, 2011

RUU Pertanahan: Revitalisasi, Revisi atau Mengganti UUPA 1960?

Iwan Nurdin
 


Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 1960 adalah sosok perundangan yang bernasib tragis. Dalam proses penyusunannya, UU ini dirancang oleh sebuah Panitia Negara yang terdiri dari para pakar lintas ilmu, negarawan, dan politisi sebelum draft akhir-nya diserahkan kepada DPR untuk dibahas dan disetujui. Dalam sejarah Indonesia, belum adaUU yang secara khusus dirancang sedemikian khusus kecuali UUPA.

Sementara, setelah diundangkan, sampai usianya yang telah mencapai lebih setengah abad hampir semuanya dipenuhi oleh proses penyelewengan dan pengingkaran.

Pada masa Soekarno ia dijalankan setengah hati dan penuh kerumitan dari sisi birokrasi khususnya dalam hal pelaksanaan segi-segi land reform sehingga telah memicu aksi sepihak dari kelompok komunis dan perpecahan politik dari desa hingga ke kota.

Pada masa Orde Baru, bukan saja land reform dianggap tabu, UUPA 1960 juga dianggap produk komunis dan dipreteli dengan lahirnya berbagai UU sektoral seperti kehutanan, pertambangan yang mengacu kepada UU penanaman modal.

Pada masa reformasi, terjadi pemanggilan kembali kepada agenda reforma agraria melalui lahirnya TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Memang, kelahiran TAP MPR ini mengundang kontroversi, sebab dengan janji akan menjalankan reforma agraria, TAP ini mengamanatkan untuk terlebih dahulu melakukan mereview seluruh kebijakan agraria yang tidak sesuai dengan agenda reforma agraria dan membuat UU baru yang pro kepada reforma agraria.

Namun, review kebijakan dan mendorong lahirnya UU baru di DPR dan Pemerintah sesungguhnya berada dalam arus yang sangat berlainan dengan reforma agraria yang pro rakyat. Arus yang mengemuka adalah arus neoliberal dan kehendakn mengeleminasi UUPA 1960.

Dimasa Megawati, lahir sebuah Kepres yang mengamanatkan agar dirancang UU Agraria yang baru kepada BPB. Oleh BPN, kemudian diusulkan sebuah RUU Sumber Daya Agraria (RUU-SDA). RUU ini mendapat tentangan keras oleh berbagai kalangan masyarakat sipil, hingga pemerintahan Megawati berakhir status RUU belum disetujui oleh DPR.

Pada masa SBY, Kepala BPN Joyo Winoto meneruskan perintah Kepres dengan menarik rancangan RUU SDA di parlemen dan menggantinya dengan sebuah usulan tentang Amandemen UUPA 1960. Dengan melakukan amandemen, menurut Ka. BPN semangat UUPA 1960 bisa direvitalisasi dan hal-hal yang kurang dalam UUPA bisa ditambahkan ke dalam pasal-pasal baru.  Langkah amandemen ini juga kemudian dihentikan dengan kesapakatan politik bersama antara Komisi II dan BPN pada tahun 2007 dan untuk menghentikan usulan amandemen UUPA 1960.

Langkah penghentian tersebut kemudian berlanjut dengan usulan bahwa BPN akan segera membuat sebuah RUU Pertanahan kepada DPR. (bersambung ya).   

March 20, 2011

Sesat Pikir RUU Pengadaan Tanah




Idham Arsyad
Saat ini RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tengah dibahas panitia khusus DPR. RUU ini merupakan inisiasi pemerintah dan telah lama disiapkan untuk mengatasi kendala perolehan tanah untuk pembangunan.

Selama ini pengadaan tanah untuk pembangunan diatur dalam Peraturan Presiden No 36/2005 juncto PP No 56/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Juga ada UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di Atasnya.

Penulis tak melihat urgensi dan relevansi RUU ini. Patutlah dicurigai RUU Pengadaan Tanah ini sebagai regulasi pesanan. Melihat substansinya, RUU ini lebih menguntungkan pengusaha daripada rakyat, khususnya yang terkena obyek pembangunan.

Substansi RUU ini juga menunjukkan sesat pikir dalam mengatasi problem pengadaan tanah bagi proyek pembangunan. Pertama, RUU ini tak menyebutkan pengertian dan kriteria kepentingan umum. Pengertian dan kriteria tegas akan melindungi pemilik tanah dari penafsiran sepihak penguasa mengenai makna kepentingan umum.

Dua kriteria

Wiradi (2009) mengemukakan, setidaknya ada dua kriteria kepentingan umum dalam pembangunan. Pertama, manfaat obyek pembangunan dapat diakses rakyat secara merata dan lintas batas segmen sosial. Kedua, obyek pembangunan bukan untuk komersial bisnis semata.

Namun, dalam Pasal 13 RUU, beberapa obyek yang disebut sebagai kepentingan umum tak tergolong dalam kriteria kepentingan umum karena aktornya bukan sepenuhnya pemerintah dan dikomersialkan, seperti jalan tol serta infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi.

Kedua, melegitimasi penggusuran tanah rakyat tanpa mekanisme perlindungan korban. RUU ini mensyaratkan kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi. Padahal, sebagian besar tanah rakyat tak dilengkapi dengan dokumen hukum yang lengkap.

Bayangkan, sampai 2008 baru sekitar 39 juta dari 85 juta bidang tanah yang bersertifikat. Data ini belum termasuk tanah di kawasan hutan yang dikuasai masyarakat adat. Artinya, bila RUU diberlakukan, 60 persen rakyat akan digusur tanpa ganti rugi.

Ketiga, RUU ini menciptakan ketakadilan pemilikan dan kian tajamnya penguasaan tanah. Kepala Badan Pertanahan Nasional mengemukakan data, hanya 0,2 penduduk negeri ini yang menguasai 56 persen aset nasional yang 87 persen dalam bentuk tanah. Hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia ialah petani gurem dan petani tak bertanah.

Gambaran semakin menyempitnya lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha. Saat ini sekitar 29 juta hektar untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektar untuk pengusaha hutan tanaman industri, 2,4 juta hektar dikuasai Perhutani, dan 6 juta hektar dikuasai pengusaha perkebunan sawit. Jurang ketimpangan akan makin dalam karena RUU ini juga memfasilitasi pengusaha untuk memperoleh tanah dalam berbagai proyek pembangunan.

Keempat, RUU ini bakal hadir di tengah ketiadaan peta perencanaan penggunaan tanah nasional. Ketiadaan peta itu akan menyuburkan kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya, baik untuk penggunaan ekonomi, politik, maupun pemerintahan, ekologi, cadangan strategis, dan bahkan pertahanan keamanan. Turunan dari persoalan ini mengakibatkan meledaknya konflik perampasan dan penggusuran tanah.

Struktur agraria

Diakui, kita menghadapi kompleksitas persoalan agraria. Dari segi kebijakan, tumpang tindih perundang-undangan dan sektoralisme pengurusan masalah tanah dan sumber daya alam antarsektor masih terjadi. Padahal, konsensus politik mengakhiri sektoralisme ini telah dicapai pada 2001 melalui TAP MPR No IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Kompleksitas persoalan agraria lain adalah sulitnya mewujudkan keadilan agraria bagi rakyat Indonesia, seperti dimandatkan Pasal 33 UUD 1945. Keadilan ini sulit mewujud karena kita mewarisi struktur agraria yang sangat timpang dari masa kolonial sampai pemerintahan Orde Baru. Namun, memasuki era reformasi, kita juga tidak melakukan perombakan mendasar.

Tugas sejarah kita adalah menata struktur agraria yang timpang melalui pelaksanaan reforma agraria, tidak justru membuat aturan yang menambah ruwet persoalan pertanahan dan menjauhkan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya.

Maka, pembahasan RUU ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria.

Idham Arsyad Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria