JAKARTA (bisnis-jabar.com): Pembangunan infrastruktur dalam enam koridor ekonomi dinilai sangat timpang untuk kebutuhan pedesaan sebagai tempat para petani bekerja, karena lebih cenderung menguntungkan kepentingan perusahaan-perusahaan dalam skala besar.
Hal itu disampaikan oleh Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di Jakarta hari ini. Menurutnya, pembangunan infrastruktur sekarang ini lebih cenderung menguntungkan kepentingan pemodal besar dibandingkan dengan kebutuhan para petani di pedesaan.
“Padahal Indonesia adalah negara agraris namun petani di pedesaan tidak mendapatkan pembangunan infrastruktur secara baik. Infrastruktur saat ini lebih mementingkan kepentingan modal besar, sehingga menyebabkan ketimpangan,” ujar Iwan kepada Bisnis di Jakarta, hari ini.
Enam koridor ekonomi itu terdiri dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Pemerintah Dengan enam koridor tersebut diharapkan pembangunan tidak hanya terpusat di Pulau Jawa saja.
Menurut Iwan, pembangunan infrastruktur yang menguntungkan perkotaaan adalah dibangunnya jalan raya, jalan tol, pusat listrik, pelabuhan maupun bandara yang cenderung mendukung kegiatan bisnis dalam skala raksasa. Namun, paparnya, untuk kebutuhan petani misalnya membangun irigasi dan jalan pedesaan secara baik tidak dilakukan di wilayah tersebut.
“Sekarang lebih banyak dibangun untuk mendukung industri di perkotaan, penghubung industri besar di satu tempat dengan industri besar di tempat lainnya. Namun kebutuhan agraris di pedesaan justru tidak mendapatkan perhatian,” ujar Iwan.
Irwan Nirwana, Manajer Pusat Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Agraria, menuturkan kepentingan umum dalam pembangunan infrastruktur telah disalahartikan selama ini. Menurutnya, kepentingan publik justru selama ini justru diperuntukkan bagi kepentingan pihak
swasta.
Dia mencontohkan bagaimana pihak pemerintah yang melakukan pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol. Namun, sambungnya, setelah pemerintah membebaskan lahan, justru dilakukan tender kepada pihak swasta untuk membangun jalan tol dengan konsesi waktu yang cukup lama.
“Memang dalam undang-undang diatur tentang privatisasi jalan tol, tetapi keberpihakan ini yang menjadi persoalan. Karena implikasinya adalah infrastruktur yang tidak mendukung untuk kebutuhan publik dalam hal ini adalah petani, padahal Indonesia sebagai negara agraris,”
paparnya di Jakarta hari ini.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menawarkan sedikitnya 16 proyek infrastruktur unggulan di Indonesia di IIICE. Di antaranya adalah Purukachu-Bangkuang Coal Railway (US$2.100 juta); Southern Banten Airport (US$85 juta); Bendungan Umbulan (US$204,2 juta); Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi Toll Road (US$475,5 juta); Central Java Independent Power Produce atau PLTU Jateng (US$3.000 juta); Soekarno-Hatta Airport-Manggarai Railway (US$735 juta); Soreang-Pasir Koja Toll Road (US$102,2 juta); dan Pandaan-Malang Toll Road (US$252,8 juta).
Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai terjadi kompetisi lahan antara kawasan permukiman dengan aktivitas industri di antaranya jasa dan pertanian di Pulau Jawa karena masih belum menyebarnya aktivitas ekonomi di luar wilayah
tersebut.
Kepala Biro Humas dan Tata Usaha Bappenas Maruhum Batubara mengatakan terkait dengan pengembangan koridor ekonomi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), diperlukan inovasi strategis dan kerja bersama pemerintah, swasta serta akademisi dalam mendukung percepatan pembangunan daerah.
Sehingga, sambungnya, dengan adanya pengembangan koridor ekonomi diharapkan terjadi percepatan pertumbuhan di luar Jawa di mana pada saat yang sama mengurangi pula beban wilayah tersebut.
“Faktanya, selama ini terjadi konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah Jawa sehingga terjadi kompetisi lahan antara kegiatan industri, jasa, permukiman, dan pertanian. Tersebarnya aktivitas ekonomi ini ke wilayah-wilayah potensial di luar Jawa, diharapkan membuat tekanan kompetisi lahan antara pertanian dan industri berkurang,” ujar Maruhum pada pekan ini.(fsi)
Hal itu disampaikan oleh Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di Jakarta hari ini. Menurutnya, pembangunan infrastruktur sekarang ini lebih cenderung menguntungkan kepentingan pemodal besar dibandingkan dengan kebutuhan para petani di pedesaan.
“Padahal Indonesia adalah negara agraris namun petani di pedesaan tidak mendapatkan pembangunan infrastruktur secara baik. Infrastruktur saat ini lebih mementingkan kepentingan modal besar, sehingga menyebabkan ketimpangan,” ujar Iwan kepada Bisnis di Jakarta, hari ini.
Enam koridor ekonomi itu terdiri dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Pemerintah Dengan enam koridor tersebut diharapkan pembangunan tidak hanya terpusat di Pulau Jawa saja.
Menurut Iwan, pembangunan infrastruktur yang menguntungkan perkotaaan adalah dibangunnya jalan raya, jalan tol, pusat listrik, pelabuhan maupun bandara yang cenderung mendukung kegiatan bisnis dalam skala raksasa. Namun, paparnya, untuk kebutuhan petani misalnya membangun irigasi dan jalan pedesaan secara baik tidak dilakukan di wilayah tersebut.
“Sekarang lebih banyak dibangun untuk mendukung industri di perkotaan, penghubung industri besar di satu tempat dengan industri besar di tempat lainnya. Namun kebutuhan agraris di pedesaan justru tidak mendapatkan perhatian,” ujar Iwan.
Irwan Nirwana, Manajer Pusat Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Agraria, menuturkan kepentingan umum dalam pembangunan infrastruktur telah disalahartikan selama ini. Menurutnya, kepentingan publik justru selama ini justru diperuntukkan bagi kepentingan pihak
swasta.
Dia mencontohkan bagaimana pihak pemerintah yang melakukan pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol. Namun, sambungnya, setelah pemerintah membebaskan lahan, justru dilakukan tender kepada pihak swasta untuk membangun jalan tol dengan konsesi waktu yang cukup lama.
“Memang dalam undang-undang diatur tentang privatisasi jalan tol, tetapi keberpihakan ini yang menjadi persoalan. Karena implikasinya adalah infrastruktur yang tidak mendukung untuk kebutuhan publik dalam hal ini adalah petani, padahal Indonesia sebagai negara agraris,”
paparnya di Jakarta hari ini.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menawarkan sedikitnya 16 proyek infrastruktur unggulan di Indonesia di IIICE. Di antaranya adalah Purukachu-Bangkuang Coal Railway (US$2.100 juta); Southern Banten Airport (US$85 juta); Bendungan Umbulan (US$204,2 juta); Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi Toll Road (US$475,5 juta); Central Java Independent Power Produce atau PLTU Jateng (US$3.000 juta); Soekarno-Hatta Airport-Manggarai Railway (US$735 juta); Soreang-Pasir Koja Toll Road (US$102,2 juta); dan Pandaan-Malang Toll Road (US$252,8 juta).
Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai terjadi kompetisi lahan antara kawasan permukiman dengan aktivitas industri di antaranya jasa dan pertanian di Pulau Jawa karena masih belum menyebarnya aktivitas ekonomi di luar wilayah
tersebut.
Kepala Biro Humas dan Tata Usaha Bappenas Maruhum Batubara mengatakan terkait dengan pengembangan koridor ekonomi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), diperlukan inovasi strategis dan kerja bersama pemerintah, swasta serta akademisi dalam mendukung percepatan pembangunan daerah.
Sehingga, sambungnya, dengan adanya pengembangan koridor ekonomi diharapkan terjadi percepatan pertumbuhan di luar Jawa di mana pada saat yang sama mengurangi pula beban wilayah tersebut.
“Faktanya, selama ini terjadi konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah Jawa sehingga terjadi kompetisi lahan antara kegiatan industri, jasa, permukiman, dan pertanian. Tersebarnya aktivitas ekonomi ini ke wilayah-wilayah potensial di luar Jawa, diharapkan membuat tekanan kompetisi lahan antara pertanian dan industri berkurang,” ujar Maruhum pada pekan ini.(fsi)
No comments:
Post a Comment