October 16, 2011

Realisasi Cetak Sawah Baru Rendah

Realisasi Cetak Sawah Baru Masih Rendah
10 Oct 2011
Oleh Alina Mustaidah
JAKARTA - Realisasi cetak sawah baru tahun ini masih rendah. Hingga September 2011, realisasi cetak sawah baru secara nasional hanya 22 ribu hektare (ha), jauh dari target 70 ribu ha hingga akhir tahun ini. Kini, pemerintah daerah (pemda) lebih berminat membuka lahan untuk sektor perkebunan karena lebih menguntungkan.
Deputi Kampanye Komisi Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai, cetak sawah baru masih menghadapi sejumlah masalah, seperti pelepasan lahan, minat pemerintah daerah, dan realisasi anggaran. "Beberapa daerah tidak terlalu berminat terhadap cetak sawah baru. Lahan untuk perkebunan lebih menguntungkan," kata Iwan di Jakarta , Minggu (9/10).
Di Kalimantan Tengah dan Timur misalnya, banyak petani pangan yang mengonversi lahannya untuk perkebunan sawit atau karet. Sedangkan pemda di Jawa lebih memilih konversi lahan untuk industri karena dinilai lebih menguntung-kan. Selain itu, lanjut dia, minat menjadi petani sawah turun selama beberapa tahun terakhir, khususnya generasi muda. Tidak heran jika rata-rata umur petani di Indonesia di atas 45 tahun.
Turunnya minat menjadi petani tersebut akibat banyak kebijakan yang tidak mendukung, contohnya, harga pembelian pemerintah (HPP) rendah dan sulit memperoleh input produksi seperti pupuk. "Hal itu menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja di sektor pertanian sangat rendah," ujar dia. Menurut Iwan, realisasi cetak sawah juga terkait de ngan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak sin-kron. Rencana memang ada di pusat, tetapi pemda memiliki rencana sendiri.
Sosialisasi Dinas
Sementara itu, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Sumardjo Gatot Iriyanto mengakui. sosialisasi masih kurang. Menurut dia, dinas pertanian provinsi hingga dinas kabupaten perlu melakukan sosialisasi pentingnya menjadi petani.
Menurut Gatot, target luas pencetakan sawah baru bisa terpenuhi hingga akhir tahun ini, 70 ribu ha. Sejumlah Pemda memilih mencetak sawah baru, lalu mencairkan dana. Akibatnya, luas cetakan sawah baru terhitung rendah. "Laporannya baru 22 ribu ha karena pemda lebih suka eksekusi dulu dan pencairan dana agak lambat," ujar dia.
Dari total 70 ribu ha cetak sawah baru, 60 juta ha berupa sawah dan 10 juta ha lahan kering untuk jagung dan kedelai. Investasi diperkirakan kurang dari Rp 100 miliar. Daerah yang berpotensi melaksanakan program pencetakan sawah antara lain, Rokan Hulu, Kubu Raya, dan Bulungan. Tahun depan, cetak sawah baru akan ditingkatkan menjadi 100ribu ha dan 200 ribu ha pada 2013.
Dari total anggaran Kementan tahun ini Rp 17 triliun, pagu anggaran Ditjen PSP Rp 4,7 triliun dan realisasinya Rp 2,6 triliun (55,24%). Hingga akhir tahun ini realisasi pagu diperkirakan Rp 5,2 triliun dan realisasi Rp 4,8 triliun (92.20%).
Bukan Prioritas
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyebutkan, cetak awah perlu waktu, keseriusan, informasi yang luas, dan kemudahan aturan. "Untuk cetak sawah baru perlu sosialisasi yang lebih luas karena di daerah banyak yang mampu, sehingga bisa lebih cepat" kata dia.
Dalam alokasi anggaran di Kementan, sambung dia, cetak sawah baru tidak diprioritaskan. Akibatnya, alokasi anggaran relatif kecil. Padahal, dengan peningkatan kebutuhan pangan, target cetak sawah baru saat ini terlalu sedikit
Winarno dan Iwan menyayangkan langkah pemerintah yang kurang memberi kesempatan pada masyarakat untuk mencetak sawah baru. Pemerintah tampak lebih banyak memberi peluang kepada badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta umum.

October 10, 2011

Infrastruktur di perdesaan sangat timpang, petani sulit berkembang

JAKARTA (bisnis-jabar.com): Pembangunan infrastruktur dalam enam koridor ekonomi dinilai sangat timpang untuk kebutuhan pedesaan sebagai tempat para petani bekerja, karena lebih cenderung menguntungkan kepentingan perusahaan-perusahaan dalam skala besar.

Hal itu disampaikan oleh Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di Jakarta hari ini. Menurutnya, pembangunan infrastruktur sekarang ini lebih cenderung menguntungkan kepentingan pemodal besar dibandingkan dengan kebutuhan para petani di pedesaan.

“Padahal Indonesia adalah negara agraris namun petani di pedesaan tidak mendapatkan pembangunan infrastruktur secara baik. Infrastruktur saat ini lebih mementingkan kepentingan modal besar, sehingga menyebabkan ketimpangan,” ujar Iwan kepada Bisnis di Jakarta, hari ini.

Enam koridor ekonomi itu terdiri dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Pemerintah Dengan enam koridor tersebut diharapkan pembangunan tidak hanya terpusat di Pulau Jawa saja.

Menurut Iwan, pembangunan infrastruktur yang menguntungkan perkotaaan adalah dibangunnya jalan raya, jalan tol, pusat listrik, pelabuhan maupun bandara yang cenderung mendukung kegiatan bisnis dalam skala raksasa. Namun, paparnya, untuk kebutuhan petani misalnya membangun irigasi dan jalan pedesaan secara baik tidak dilakukan di wilayah tersebut.

“Sekarang lebih banyak dibangun untuk mendukung industri di perkotaan, penghubung industri besar di satu tempat dengan industri besar di tempat lainnya. Namun kebutuhan agraris di pedesaan justru tidak mendapatkan perhatian,” ujar Iwan.

Irwan Nirwana, Manajer Pusat Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Agraria, menuturkan kepentingan umum dalam pembangunan infrastruktur telah disalahartikan selama ini. Menurutnya, kepentingan publik justru selama ini justru diperuntukkan bagi kepentingan pihak
swasta.

Dia mencontohkan bagaimana pihak pemerintah yang melakukan pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol. Namun, sambungnya, setelah pemerintah membebaskan lahan, justru dilakukan tender kepada pihak swasta untuk membangun jalan tol dengan konsesi waktu yang cukup lama.

“Memang dalam undang-undang diatur tentang privatisasi jalan tol, tetapi keberpihakan ini yang menjadi persoalan. Karena implikasinya adalah infrastruktur yang tidak mendukung untuk kebutuhan publik dalam hal ini adalah petani, padahal Indonesia sebagai negara agraris,”
paparnya di Jakarta hari ini.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menawarkan sedikitnya 16 proyek infrastruktur unggulan di Indonesia di IIICE.   Di antaranya adalah Purukachu-Bangkuang Coal Railway (US$2.100 juta);  Southern Banten Airport (US$85 juta); Bendungan Umbulan (US$204,2 juta); Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi Toll Road (US$475,5 juta);  Central Java Independent Power Produce  atau PLTU Jateng (US$3.000 juta); Soekarno-Hatta Airport-Manggarai Railway (US$735 juta);  Soreang-Pasir Koja Toll Road (US$102,2 juta); dan  Pandaan-Malang Toll Road (US$252,8 juta).

Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai terjadi kompetisi lahan antara kawasan permukiman dengan aktivitas industri di antaranya jasa dan pertanian di Pulau Jawa karena masih belum menyebarnya aktivitas ekonomi di luar wilayah
tersebut.

Kepala Biro Humas dan Tata Usaha Bappenas Maruhum Batubara mengatakan terkait dengan pengembangan koridor ekonomi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), diperlukan inovasi strategis dan kerja bersama pemerintah, swasta serta akademisi dalam mendukung percepatan pembangunan   daerah.

Sehingga, sambungnya, dengan adanya pengembangan koridor ekonomi diharapkan terjadi percepatan pertumbuhan di luar Jawa di mana pada saat yang sama mengurangi pula beban wilayah tersebut.
“Faktanya, selama ini terjadi konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah Jawa sehingga terjadi kompetisi lahan antara kegiatan industri, jasa, permukiman, dan pertanian.  Tersebarnya aktivitas ekonomi ini ke wilayah-wilayah potensial di luar Jawa, diharapkan membuat tekanan kompetisi lahan antara pertanian dan industri berkurang,” ujar Maruhum pada pekan ini.(fsi)