July 26, 2012

Masyarakat Kehilangan Identitas

KONFLIK LAHAN TERUS BERLANJUT

Pontianak, Kompas - Konflik antara warga dan aparat, pemerintah, atau swasta terkait penguasaan lahan sulit mereda karena mereka yang kehilangan tanah merasa kehilangan identitas. Masyarakat akan merebut identitasnya lagi. Di sisi lain, pemerintah lamban menangani persoalan ini.

Demikian diingatkan Guru Besar Sosiologi Konflik dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Syarif Ibrahim Alqadrie, Ketua Indonesia Human Rights Committee for Social Justice Gunawan, dan Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Jumat (20/7).

Pendekatan legalistik semata tak bisa dipakai guna menyelesaikan konflik yang bersumber dari penguasaan lahan itu.

”Masyarakat yang kehilangan tanahnya karena diambil alih perusahaan atau negara akan kehilangan identitas. Konflik timbul saat masyarakat menyadari perlunya identitas bagi mereka,” kata Syarif. Tanah adalah tempat untuk mengaktualisasikan identitas masyarakat.

Konflik terkait perebutan penguasaan lahan masih terjadi di lokasi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Sekitar 3.000 petani dari Gerakan Petani Penesak Bersatu, Jumat, mendatangi Polda Sumsel di Palembang. Petani menuntut agar rekan mereka yang ditangkap polisi terkait perusakan fasilitas milik PTPN VII Cinta Manis dibebaskan. Kekerasan yang terjadi di lokasi PTPN VII sudah berlangsung sepekan ini.

Dari Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga dilaporkan terjadi konflik antara warga dan perusahaan pertambangan emas di Desa Wahang, Kecamatan Pinu Pahar. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Heribertus Naif menuturkan, kekerasan terjadi sejak pekan lalu. Empat warga dilaporkan terluka dan lima rumah warga terbakar. Konflik terkait lahan di kawasan ini terjadi sejak tahun 2010.

Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, juga terjadi bentrokan antara warga dan polisi terkait eksploitasi emas oleh perusahaan yang mengancam lahan milik warga. Seorang warga tewas tertembak dalam bentrokan itu (Kompas, 20/7).

Diakui Iwan, pemerintah lamban dalam menangani persengketaan lahan, yang bisa berujung dengan kekerasan, dalam masyarakat ini. Bahkan, KPA mencatat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingkar janji karena pernah menjanjikan akan membuat peraturan pemerintah di bidang pertanahan yang lebih melindungi kepentingan petani/masyarakat adat.

Untuk penyelesaian sengketa, lanjut Gunawan, harus segera dibentuk tim mediasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Keberadaan perusahaan swasta dan PTPN perlu dikaji kembali karena kemungkinan ada pengabaian hukum saat mereka berusaha di lapangan.

Akumulasi kemarahan

Syarif menegaskan, konflik bisa timbul karena akumulasi kemarahan masyarakat menghadapi persoalan lahan yang tak kunjung selesai. Di banyak tempat, lahan adat dan kawasan budidaya masyarakat diambil alih perusahaan dengan bagi hasil yang tak menguntungkan masyarakat.

”Sistem pengambilalihan lahan, seperti dari 10 hektar lahan masyarakat hanya dikembalikan 3 hektar dalam bentuk perkebunan, bisa menjadi pemicu. Anak- cucu orang yang menyerahkan lahan itu akan menuntut karena mereka tak lagi memiliki cukup lahan,” kata Syarif.

Gunawan mengatakan, PTPN, misalnya, dibangun seharusnya untuk memberikan kesejahteraan kepada warga sekitarnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Kenyataannya, justru konflik yang terus-menerus terjadi.

Iwan mengatakan, aksi warga yang mempersoalkan lahannya yang dikuasai perusahaan atau PTPN tak boleh dipandang dalam konteks kekinian saja. Harus dirunut proses mendapatkan lahan itu. Pada masa lalu, banyak lahan diambil paksa dari warga.

Menurut Iwan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memungkinkan negara mengabaikan perlindungan kepada warganya. Peraturan pertanahan yang lebih adil bagi warga jadi solusi untuk konflik lahan.

Pemetaan lahan

Terkait konflik terus-menerus antara warga dan PTPN VII Cinta Manis, Gubernur Sumsel Alex Noerdin menginstruksikan segera dilakukan pemetaan lahan. Hal ini dilakukan untuk mendata lahan yang memiliki hak guna usaha (HGU). Jika ada lahan di luar HGU yang menjadi hak PTPN, dibuat kebijakan agar lahan itu diserahkan kepada yang benar-benar berhak.

Kamis sore, Alex mendatangi lokasi konflik di Ogan Ilir dan berdialog dengan warga. Ia berusaha menenangkan warga yang membawa berbagai senjata dan menyatakan berpihak kepada masyarakat sepanjang tuntutannya memiliki dasar yang benar.

Alex juga menyatakan hukum harus ditegakkan. Perusakan dan pembakaran sekitar 1.200 hektar lahan tebu milik PTPN VII Cinta Manis adalah pelanggaran hukum yang serius. Kasus itu harus dipisahkan dengan tuntutan warga untuk memiliki lahan.

Alex tak mencampuri penangkapan 12 warga yang diduga terlibat perusakan dan pembakaran lahan milik PTPN VII Cinta Manis. Bahkan, polisi sudah menetapkan sembilan orang di antaranya sebagai tersangka. ”Tiga orang lainnya akan dibebaskan karena tak terbukti melanggar hukum,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Raja Haryono.

Di Sumba Timur, polisi sudah bisa meredakan kekerasan yang terjadi. Namun, warga tetap meminta perusahaan pertambangan emas keluar dari desanya.(IRE/KOR/RAZ/AHA)
KOMPAS CETAK KAMIS SABTU 21 Juli 2012

Petani Labura Mengadu ke Menhut

Kasus PT. Sawita Ledong Jaya

JAKARTA - Perwakilan Kelompok Tani Karya Lestari dan Penghijauan, Desa Sukarame, Kecamatan Kualuh Hulu, Labuhanbatu Utara (Labura), Sumut, yakni Tumino (40) dan Efendi Marpaung (36), bertemu dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Gedung Kemenhut, Jakarta, Senin (23/7).

Didampingin aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi-Nasional), perwakilan petani ini mengadukan beroperasinya PT. Sawita Ledong Jaya, yang dinilai telah menghilangkan dan menggusur kebun-kebun masyarakat untuk diganti dengan sawit. Sementara, perusahaan yang jelas-jelas melanggar hukum bisa bebas beroperasi bahkan mendapat perlindungan dari aparat.

Diadukan juga ke Menhut, PT. Sawita Ledong Jaya yang lokasi kebun dan pabriknya berada di dalam kawasan Hutan Lindung namun tetap dibiarkan oleh Kepolisian, Pemda Sumut, dan Pemda Labuhanbatu Utara.

"Menerima aduan tersebut, Menteri Kehutanan berjanji  akan segera menurunkan tim ke lapangan untuk mengecek kenyataan di lapangan. Menteri juga mengaku heran sebab jelas-jelas Badan Planologi Kehutanan menjelaskan sejak tahun 2005 bahwa kawasan tersebut adalah kawasan Hutan Lindung," ujar Deputi Sekjen KPA Iwan Nurdin kepada JPNN ini usai mendampingi perwakilan petani Labura, kemarin (23/7).

Dalam pertemuan tersebut, menhut didampingi Dirjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) Kemenhut, Darori.

Dalam pertemuan tersebut, Iwan Nurdin berharap agar pemerintah segera mengambil langkah penegakan hukum terhadap perusahaan sawit ini. Sementara untuk menyelesaikan persoalan Kelompok Tani Karya Lesatari yang berjumlah 450 KK, dimana perkebunan swadaya mereka berada di dalam kawasan hutan lindung dan berdekatan dengan areal perkebunan sawit dimaksud, menurut Iwan, bisa diselesaikan dengan pola Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Desa.

Menurutnya, model penyelesaian yang demikian itu sama sekali tidak diupayakan oleh Pemprov Sumut dan Pemkab Labura sehingga konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat terus terjadi.

"Usulan Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Desa dalam kawasan hutan lindung kepada masyarakat adalah solusi agar lingkungan tetap terjadi dan masyarakat mendapatkan hasil yang bisa menguntungkan secara ekonomi," ujar Iwan.

Sebagaiman diketahui bahwa konflik lahan di Labura ini telah menelan korban jiwa Desman Sianipar (17) pada konflik 11 Agustus 2010 silam. (sam/jpnn)
JPNN tanggal 25 Juli 2012