June 17, 2010

LAGI-LAGI BRIMOB RIAU MENEMBAK PETANI

Niar (35) perempuan petani dari Desa Koto Cengar, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, tewas ditembak aparat
Brimob Kepolisian Resor Kuantan Singing (Kuansing), Selasa (8/6/10). Seorang petani lainnya, Siman (47), luka serius akibat terjangan peluru tajam. Sebaliknya, kemarahan petani diluapkan dengan
membakar satu truk Brimob Polres Kuansing.

Penembakan itu terjadi menyusul sengketa antara warga petani dan perkebunan kelapa sawit PT Tri Bakti Sarimas. Sampai Selasa petang ini,
ratusan petani masih bertahan di lokasi, sementara polisi berjaga-jaga di areal pabrik dan perkantoran PT TBS (Sripo, 8/6/10).

Peristiwa berdarah Selasa siang itu bermula dari perselisihan antara PT TBS dan warga selaku anggota Koperasi Unit Desa Prima Sehati. KUD dan PT TBS bekerjasama menanam kelapa sawit. Petani KUD Prima Sehati menyediakan lahan seluas 9.300 hektar, sementara PT TBS yang melakukan penanaman sampai panen.

Penanaman sudah dilakukan sejak tahun 1998, namun petani baru mendapatkan hasil usaha pada tahun 2008 atau setelah enam tahun masa panen. Hasil panen yang diberikan PT TBS juga dinilai sangat rendah, yakni Rp 70.000 sebulan untuk lahan seluas dua hektar. Padahal di luar, kelapa sawit yang sudah berumur 10 tahun sudah dapat menghasilkan uang Rp 4 juta. "PT TBS membohongi petani," kata Sutiman.

Warga anggota KUD kemudian berupaya untuk membicarakan kenaikan setoran hasil panen PT TBS. Namun, perusahaan itu tidak menggubris tuntutan petani. Petani akhirnya berdemo dan sejak dua pekan lalu warga petani memblokir jalan di areal plasma sehingga panen terhenti.

Pada Selasa pagi, ratusan petani KUD Prima Sehati memanen sendiri kelapa sawit plasma di areal yang disengketakan. Sementara pihak perusahaan rupanya berupaya menghentikan upaya paksa petani itu dengan mendatangkan aparat Brimob dari Polres Kuansing.

Polisi meminta petani menghentikan pemanenan namun tidak digubris. Bentrokan akhirnya pecah dan polisi menghalau massa dengan tembakan. Dua orang tertembak dan seorang diantaranya meninggal dunia. Ketua KUD Prima Sehati, Supri Suryadi, ditahan dan dibawa ke Mapolres Kuansing di Taluk Kuantan.

Siaran Pers Serikat Petani Kelapa Sawit

Optimalisasi Hasil Produksi Perkebunan kelapa Sawit untuk meminimalisir konflik pembukaan kebun baru
 
Bogor, 07 Juni 2010. Antara optimalisasi kebun dan konflik perkebunan adalah dua buah sisi mata uang yang tidak terpisahkan jika kita memperhatikan kondisi di perkebunan saat ini. Sekitar 9, 4 juta ha luas perkebunan kelapa sawit telah mewariskan begitu banyak konflik dalam perkebunan begitupun hal nya tingkat produksi Tandan Buah Sawit yang sangat rendah. Dalam catatan SPKS, produksi TBS perkebunan milik perusahaan hanya 17 Ton/ Ha/ Tahun sementara petani binaan perusahaan hanya 14 Ton/ha/ Tahun. Berbeda hal perkebunan sawit Milik Malaysia yang tingkat produksi TBS nya 23 Ton/ ha / Tahun dan luasannya setengah dari luasan perkebunan Indonesia, namun tingkat produksi TBS hampir sama.
Konflik menjadi perhatian utama di dalam perkebunan kelapa sawit, karena terkait dengan kehilangan sumber kehidupan masyarakat serta terdapat kekerasan di dalamnya dan ketidakadilan bagi petani kelapa sawit yang bermitra dengan perkebunan besar. Hal ini menjadi perhatian khusus, karena terdapat proyek revitalisasi perkebunan yang di dalamnya terdapat perluasan perkebunan kelapa sawit dan peremajaan kebun tua. Proyek ini berlangsung sejak tahun 2006 hingga saat ini dan sudah terdapat banyak persoalan krusial terkait konflik dengan petani sawit dan masyarakat pemilik lahan yang menurut kami penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali.
Terdapat beberapa catatan terutama konflik perkebunan antara perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit.
Pertama; Peruntukan tanah untuk perkebunan besar. Benturan kepentingan dalam penguasaan tanah untuk pengusahaan tanah untuk perkebunan. Masyarakat merasa memiliki hak atas tanah yang ditentukan kepemilikannya secara turun temurun. Namun negara memiliki kekuasaan lebih untuk menyerahkan tanah milik masyarakat untuk pengusaha perkebunan dalam bentuk pemberian ijin perkebunan.
Kedua adalah perusahaan perkebunan setengah hati membangun kebun plasma. Ini dapat di lihat dari penyerahan kebun plasma kepada petani yang tidak memenuhi standar perkebunan. Penyelewengan kredit oleh perusahaan dapat terlihat dalam proses ini, dengan melihat kondisi kebun yang di serahkan inti tidak optimal.
Ketiga; konflik atas hasil produksi di mana petani tidak memperoleh keuntungan yang cukup dari hasil penjualan Tandan Buah Segar dengan pemotongan secara sepihak melalui indek K dan sortasi buah dalam sistem penentuan Harga TBS.
Pemerintah Indonesia tidak henti-hentinya menawarkan bahkan memaksa proyek perluasan perkebunan skala besar melalui kebijakan revitalisasi perkebunan. Walau sudah memiliki banyak catatan,  revitalisasi itu gagal di beberapa tempat, namun pemerintah terus memberikan tekanan untuk pembukaan kebun baru melalui penegasan-penegasan dalam revitalisasi.
Beberapa cantoh yang dapat di lihat adalah, pemerintah provinsi Kalimantan timur menarget hingga akhir masa jabatannya akan terbangun  perkebunan kelapa sawit hingga satu juta Ha. Di provinsi jambi akan membuka lagi kebun sawit seluas satu juja ha dan kemudian di Riau dan tempat-tempat lainnya akan melakukan hal yang sama walau hanya perbedaan tingkat proyeksi luasan.
Proyeksi luasan dari beberapa pemerintah daerah di Indonesia tidak mempertimbangkan kualitas produksi Tandan Buah Sawit yang rendah yang di pengaruhi banyak factor seperti;
Pertama: Masalah pupuk yang kurang terjamin untuk perkebunan. Pemerintah Indonesia kurang memperhatikan keadilan distribusi pupuk untuk petani dengan membandingkan distribusi bagi perkebunan besar. Perusahaan mendapatkan akses langsung dengan pabrik pupuk sementara tidak bagi petani. Begitupun halnya kelangkaan pupuk Urea yang masih di jawab oleh pemerintah dengan eksport pupuk urea. Banyak petani menjerit akibat kelangkaan pupuk namun tidak di hiraukan dengan keadilan distribusi dan akses.
Kedua: Kondisi kehidupan Buruh yang tidak sejahtera dan banyak di antaranya buruh harian lepas yang juga turut mempengaruhi kerja buruh yang lebih baik untuk perawatan kebun dan perusahaan perkebunan tidak memperhatikan kualitas dengan penguatan kapasitas buruh perkebunan.
Ketiga: Pengawasan sector pemerintah terkait skema kemitraan yang tidak adil bagi petani sawit, dan keempat adalah korupsi penggelapan kredit pembangunan perkebunan untuk rakyat oleh perusahaan perkebunan dengan melihat kualitas dan kelengkapan infrastruktur pembangunan dan perawatan selama masa investasi. Sehingga dari target produksi nasional yang kurang memadai, di deskripsikan di daerah dengan menambah produksi nasional dengan perluasan perkebunan besar.
Kerterbatasan lahan untuk budidaya perkebunan besar, memaksa harus mengalihkan kawasan kelola milik masyarakat dan kawasan-kawasan lindung lainnya yang menjadi sumber pokok kehidupan masyarakat. Selain berkonflik dengan masyarakat, pembukaan perkebunan baru dengan skema kemitraan revitalisasi perkebunan oleh perusahaan juga berkonflik dengan petani kelapa sawit akibat ketidakadilan skema kemitraan seperti yang terjadi di PT. Tribakti Sari Mas di Kuansing Riau, PT. Kebun Ganda Prima di Sanggau, PT. Kresna Duta Agro di jambi, dan PT. Prediksi Guna Tama di Paser Kalimantan Timur. 
Karena itu penting bagi pemerintah untuk mengoptimalisasikan perkebunan-perkebun an yang sudah ada untuk meminimalisir konflik-konflik dari dampak perluasan baru sehingga pemerintah di seluruh Indonesia lebih focus pada optimalisasi perkebunan dan penyelesaian konflik-konflik perkebunan lama.

June 1, 2010

Polisi dan Tentara Masih Terlibat dalam Konflik Agraria


Setahun lalu, di lokasi perusahaan PT. AA Bengkalis Riau, polisi dan security perusahaan membakar pondok-pondok warga, melepaskan anjing untuk memburu warga, dan melepaskan tembakan peluru karet. Saat itu Brimob Polda Riau, Polres Bengkalis dipimpin oleh Kombes Alex Mandalika melakukan operasi pengusiran terhadap warga yang dianggap menyerobot areal izin HTI PT.AA.

Sulit dipercaya bahwa polisi mengerahkan helikopter untuk mengejar-mengejar warga yang kocar-kacir, menjatuhkan sejenis napalm untuk membakar pondok warga hingga seorang bayi dilaporkan tewas. Bulan Agustus 2009, Brimob Sulsel juga menembaki warga di Takalar Sulsel. Ini juga soal konflik tanah. kemudian awal desember 2009 ini kembali Brimob menembaki warga di Ogan Ilir Sumsel.

Mengapa polisi terlibat dan melibatkan diri  dalam konflik tanah? Apakah polisi kita cukup memahami  hukum agraria nasional. Sebab soal tanah bukan ranah polisi.

Dalam soal tanah dengan perusahaan,  proses konflik diawali oleh Bupati dan atau  Gubernur  memberikan izin lokasi. Izin lokasi ini pastinya berada diatas lahan-lahan atau kebun masyarakat. Namun, tidak semua lahan dan kebun dan rumah masyarakat ada sertifikatnya. Bahkan dengan enteng bisa saja dikatakan bahwa areal masyarakat ini berada dalam kawasan kehutanan. Padahal, penetapan  kawasan Kehutanan juga mengharuskan pemerintah mengecek langsung di lapangan. Namun ini tidak pernah dilakukan cukup lewat peta saja. Jadilah izin lokasi dianggap sebagai hak yang bisa dibela oleh aparat polisi. Padahal, izin lokasi harus dilanjutkan dengan pembebasan lahan, dan setelah itu perusahaan wajib mendaftarkan tanah yang sudah dibebaskan dengan ganti kerugian, mereka bisa mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau hak Guna Bangunan (HGB). jJka perusahaan membangun perkebunan diatas kawasan hutan maka terlebih dahulu mendapatkan  perusahaan mendapatkan SK pelepasan kawasan dari menhut dan pemda. Sementara jika perusahaan tersebut bergerak dibidang kehutanan maka ia harus mendapatkan izin perusahaan HTI dari menhut.

Kalaupun perusahaan perkebunan dikarenakan birokrasi kita yang buruk sudah mendapatkan sertifikat HGU atau HGB apakah masyarakat juga boleh diusir-usir.  Harus diingat bahwa sertifikat hanya bisa lahir karena tidak konflik dan klaim dari pihak lain. Kalau ia bisa terbit tentu ada KKN disana, dan jika polisi dipakai untuk mengusir dan menembaki warga, maka selain keblingernya polisi juga dikarenakan BPN dan perusahaan bisa jadi hendak cuci tangan saja. Satu hal lagi, sejak tahun 2007 BPN menjalin kerjasama MOU dengan Mabes Polri. Akibat dari kerjasama ini adalah penangkapan dan penembakan petani menjadi lebih sering.

Habibie, Gusdur dan Pembaruan Agraria


Tulisan ini dimaksudkan untuk melengkapi tulisan sebelumnya di blog ini yang membahas para presiden kita dengan Pembaruan Agraria.

Habibie
Jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998 memang tidak diprediksikan sebelumnya. Memang lebih tepatnya bukan tidak diprediksi, tapi sebenarnya para aktivis jalanan waktu tidak menyangka Soeharto akan mundur secepat itu oleh aksi-aksi massa. Ini membuat kalangan aktivis tergagap-gagap membaca perubahan. Sebab, konsolidasi program-program kerakyatan belum utuh, sementara simbol kejahatan telah keburu mengundurkan diri. Walhasil, agenda kerakyatan banyak tertutup dari pembicaraan oleh agenda kelas menengah yang berebut ingin berkuasa setelah Soeharto mundur.

Kekuasaan Soeharto dilanjutkan oleh Habibie. Pada masa itu, saat kekuasaan kehilangan kewibawaannya, setiap hari media massa memberitakan tentang pendudukan tanah. Tidak hanya tanah perkebunan, bahkan lapangan golf dicangkuli untuk ditanami ubi kayu, dan sayur mayur oleh petani.

Sesungguhnya ini adalah ekspresi kemarahan dan balas dendam rakyat akibat perampasan tanah yang begitu massif semasa Soeharto berkuasa. Itulah sebabnya, kalangan pembaruan agraria tidak menyebut aksi petani ini dengan perampasan atau penjarahan tanah. Aksi ini disebut sabagai re-klaiming atau aksi pendudukan kembali tanah-tanah rakyat yang pernah diserobot oleh penguasa.Beruntung media massa juga tidak menyebut aksi-aksi rakyat tersebut sebagai penjarahan tanah.

Mencermati tuntutan rakyat yang sedemikian besar. Khususnya pendudukan tanah yang terus terjadi.
Presiden Habibie waktu itu mengeluarkan Kepres No.48/1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Rangka Landreform. Tim ini bertanggung jawab langsung kepada presiden, diketuai oleh menteri kehakiman dan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sebagai wakilnya. Anggota dari tim ini adalah: Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Transmigrasi  dan Pemukiman Perambah Hutan, Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah; Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Negara Perumahan dan Permukiman. Ketua Tim adalah Prof Muladi, SH. Berdasarkan Kepres yang ditandatangani bulan Mei 1999. Artinya tepat setahun setelah Soeharto mundur. Namun, akibat pergantian presiden, hasil dari kajian dan rekomendasi tim ini menghilang. Kajiannya sendiri belum pernah diuraikan ke publik.


Gusdur
Sewaktu menjabat sebagai presiden, Gusdur membuat sebuah pernyataan yang begitu kontroversial dan mengganggu perusahaan perkebunan. Mengapa? beliau dengan enteng mengatakan bawa 40 persen tanah-tanah perkebunan dahulunya mencuri tanah-tanah rakyat. Sebaiknya sebagian tanahnya dibagikan kepada rakyat.

Gusdur tidak bohong, perkebunan yang ada di Indonesia khususnya perkebunan milik negara bekas perusahaan perkebunan milik perusahaan era Belanda dahulunya mencuri tanah-tanah rakyat. Mencuri dengan paksaan atau atas dasar hukum agraria masa Belanda. Hukum Belanda waktu itu menganut azas Domein Verklaring (mudahnya, sebuah tanah tidak dapat dibuktikan kepemilikannya melalui bukti legal khususnya surat-menyurat maka tanah tersebut adalah tanah negara).  Anda tentu tahu siapa pula yang bisa buktikan surat dan bukti legal lainnya dimasa itu. Lalu, yang disebut negara sendiri adalah Pemerintah Hindia Belanda. Di tempat lain, khususnya di Sumatera Timur, perusahaan menyewa tanah-tanah rakyat melalui izin konsesi Sultan.

Tanah-tanah tersebut, dipakai oleh perusahaan dengan menggunakan Hak Erfpacht selama 75 tahun. Sampai sekarang, tanah-tanah tersebut tidak pernah dikembalikan kepada masyarakat sekitar perkebunan yang dahulunya nenek moyang mereka adalah pemilik tanah-tanah tersebut. UUPA sendiri mengatur peralihan hak-hak barat khususnya eks perkebunan Belanda ini selama-lamanya 20 puluh tahun sejak UUPA 1960 disahkan. Sayangnya, pengembalian tanah tersebut tidak pernah terjadi. Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka  Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi  Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.
Itulah Gusdur, dia bicara dengan lugas dan blak-blakan. Banyak yang tidak paham maksud dan latar belakang bicaranya. Kalau tidak salah, ucapan Gusdur tersebut juga mengkritik ulama-ulama dan tokoh masyarakat Jawa Timur waktu itu yang secara gegabah mengharamkan rakyat Kali Bakar, Malang Selatan yang menduduki tanah-tanah perkebunan di sekeliling mereka. Masyarakat menyebut gerakannya sebagai aksi reklaiming. Mengklaim kembali tanah-tanah perkebunan yang mereka anggap sebagai milik mereka yang sejak lama dirampas.

Tentu ucapan Gusdur juga menyindir perusahaan perkebunan baru, bukan hanya eks Belanda. Ini juga bisa dipahami kebenarannya. UUPA 1960 memuat aturan soal Hak Menguasai Negara (HMN). Dan, pelaksanaan aturan ini, semenjak Orde Baru hingga sekarang mirip-mirip dengan aturan Domein Verklaring. Bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apalagi sejak lahirnya PP 40/1996 tentang HGU yang membuat masa berlaku HGU bisa mencapai 90 tahun. Selama itu, banyak tanah-tanah masyarakat khususnya masyarakat adat di luar Jawa dijadikan perkebunan. Saat ini, perkebunan-perkebunan tersebut bahkan banyak telah terjual kepada perusahaan-perusahaan asing.

Gusdur telah memberi jalan bagi lahirnya Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang hingga sekarang belum dijalankan pemerintah.