July 4, 2011

Buruh Migran, Desa, dan Kebijakan Agraria

Iwan Nurdin
Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Betapa ironisnya negara ini kurang dari sepekan setelah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memukau pada konfrensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa tentang penghargaan dan perlindungan pemerintah RI kepada buruh migran, vonis mati pemerintah arab Saudi terhadap seorang buruh migran asal kabupaten Bekasi, Ruyati, dieksekusi.

Ironi ini masih akan berlanjut.sebab, meski cerita memilukan tentang perlakuan buruk kepada buruh migran selalu

menghiasi berita di media massa, namun minat warga Negara kita untuk menjadi buruh migran tak menurun.

Tingginya animo perempuan desa untuk menjadi buruh migran salah satunya disebabkan oleh kemudahan bagi para perempuan desa menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri. Sementara, bagi laki-laki, selain persyaratan lebih ketat, biaya pemberangkatan juga dibuat lebih mahal. Namun yang pasti kemiskinan di pedesaan adalah sumber utama mereka nekat meninggalkan desa dan menjadi buruh migran.

Buruh migran kita sebenarnya adalah penduduk desa yang bekerja diluar negeri. Mengingat hal ini seharusnya pemerintah segera melakukan lompatan jauh ke depan menghentikan arus buruh migran. Caranya: melakukan pembangunan pedesaan secara cepat dan tepat sasaran.

Saat ini, sedikitnya terdapat 68.000 desa administratif dan 45% darinya di kategorikan sebagai desa tertinggal. Sementara 75% penduduknya yang mendiaminya merupakan buruh tani atau petani gurem dengan lahan pertanian kurang dari 0,4 hektare.

Kawasan pedesaan sebenarnya meliputi 80% dari keseluruhan wilayah Indonesia dan dihuni oleh 135 juta jiwa atau 57% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 16,7% penduduk desa adalah penduduk yang sangat miskin. Meski demikian, hampir semua sumber-sumber kesejahteraan di pedesaan khususnya berupa tanah tidak diperuntukan bagi masyarakat desa. Dari 180 juta hektare kawasan lahan di Indonesia, 136,5 juta ditunjuk sebagai kawasan hutan. Sehingga tidak mengherankan jika sedikitnya 28.000 desa masuk ke dalam kawasan hutan.

Namun, pembangunan kawasan hutan tidak pernah memprioritaskan masyarakat desa. Bahkan menganggap penduduk desa sebagai musuh. Lihat saja, izin atas 41 juta hektare tanah hutan telah di berikan kepada kurang dari 600 perusahaan saja.

Di bidang perkebunan juga sama. Sedikitnya izin atas 9,4 juta hektare tanah telah diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit. Tak Cuma itu, pengadaan tanah bagi  perusahaan pangan juga terus terjadi. Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan izin 2 juta hektare di merauke kepada hanya 41 perusahaan saja.

Pembaruan Agraria
Pola pembangunan desa dan pertanian yang dikembangkan pemerintah diatas telah lama terjadi. Pola penyediaan tanah bagi korporasi besar sudah dikenal sejak 1870 melalui Agrarishe Wet. Hasilnya adalah krisis berkepanjangan bagi penduduk desa dan kemakmuran berlebih bagi para pengusaha. Wajah pedesaan kita sesungguhnya tak pernah reda diterjang krisis sejak 1870-an hingga kini.

Sekarang diperkirakan setiap dua hari rata-rata lebih dari satu penduduk desa berimigrasi ke kota sekitar mencari pekerjaan di luar pertanian dan pedesaan. Sebagaian besar mereka adalah kelompok usia muda (SPI:2010).

Langkah berani pemerintah untuk mengedepankan pengadaan tanah bag petani dalam bentuk badan usaha milik petani dan desa harus segera dilakukan. Sebab potensi desa yang secara geografis tersebar dari pantai hingga pegunungan, dari daratan hingga kepulauan begitu besar. Bayangkan, jika setiap desa dikembangkan satu koperasi produksi dan jasa, maka sekurangnya ada 120.000 badan usaha bersama milik rakyat yang dikelola masyarakat pedesaan. Secara sosiologis, badan usaha pedesaan yang lebih cepat bias dikembangkan adalah koperasi, sebab modal sosial masyarakat pedesaan sangat memungkinkan badan usaha jenis ini.

Koperasi ini secara khusus pada tahap awal mengelola tanah untuk pertanian dan peternakan secara integratif, yang kemudian secara perlahan mengembangkan dirinya dalam industri pupuk organik, industri pengolah dan pemasaran.

Akhirnya, melalui pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan yang menyeluruh, kita dapat menghasilkan sumber daya yang lebih kompetitif dari desa. Nanti, jika mereka berminat bekerja di luar negeri, tentu bukan untuk menjadi PRT.



Sumber: Harian Kontan, Kamis, 30 Juni 2011