November 29, 2010

Wajah Polri dan Konflik Agraria Petani

Komisaris Jenderal Timur Pradopo telah diangkat menjadi  Kapolri menggantikan  Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Calon tunggal usulan Presiden SBY ini dianggap patut dan layak oleh anggota Komisi III DPR-RI dari Sembilan fraksi.

Publik tentu berharap bahwa pergantian kepemimpinan akan membawa angin segar bagi reformasi di tubuh kepolisian. Salah satu persoalan penting yang mendapat sorotan publik adalah penuntasan sejumlah kasus dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan polisi. Hasil penilaian Komnas HAM atas rekam jejak Timur Pradopo sepanjang kariernya menjabat di kepolisian, tentu akan menjadi barometer yang secara terus menerus dinilai oleh masyarakat luas.

Pelanggaran HAM
Tak dapat dipungkiri bahwa kepolisian kerap terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Tahun 2009, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) merilis bahwa polisi menempati urutan tertinggi pengaduan kasus HAM. Dari 4.928 kasus pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, terdapat 1.302 kasus yang ditujukan kepada polisi.

Kasus-kasus tersebut terdiri dari 891 kasus yang dialami selama proses penyidikan, legalitas penahanan 177 kasus, sengketa tanah 4 kasus, kekerasan 184 kasus, 30 kasus  menyangkut kedisiplinan, dan 17 kasus mengenai kepegawaian. (Kompas, 30/12/2009).

Khusus untuk sengketa pertanahan, pelanggaran HAM kerap terjadi saat polisi terlibat langsung dalam menangani konflik agraria antara rakyat  dan pengusaha. Pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik agraria ini adalah akibat dari pendekatan keamanan (security approach) dan penggunaan cara-cara kekerasan oleh polisi dalam menangani konflik.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sampai Juni 2010, cara-cara kekerasan dan pendekatan keamanan oleh Polri dalam menangani konflik agraria, khususnya konflik di perkebunan sawit, telah mengakibatkan 64 orang petani di tangkap, dan satu orang meninggal dunia. Sebagai ilustrasi adalah penembakan satuan Brimob yang mengakibatkan kematian Yuniar (45 tahun), petani di Desa Koto Cengar, Kuasing Riau. Kasus ini adalah buntut dari konflik petani dengan perkebunan sawit PT.Tri Bakti Sarimas.

Bila dicermati, keterlibatan polisi dalam konflik agraria sesungguhnya menyimpang dari semangat reformasi kepolisian. Penangan konflik agraria tidak bisa disamakan dengan tindakan kriminal murni.  Sebab konflik agraria yang terjadi adalah akibat dari ketidakadilan agraria yang sedang berlangsung di negeri ini. Hak rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh kepolisian.

Sehingga pendekatan keamanan (security approach) oleh polisi dalam menangani konflik agraria, dengan sendirinya melanggar hak asasi manusia. Sebab menurut undang-undang kepolisian, bahwa dalam menjalankan fungsinya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, polisi haruslah menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Reposisi
Meneruskan reformasi kepolisian menuju polisi pengayom masyarakat dan penopang  tegaknya hak asasi manusia adalah salah satu tugas Kapolri baru. Timur harus mampu mengurangi intensitas pelanggaran hak asasi manusia di lapangan agraria menjadi harapan bagi semua petani di Indonesia.

Selama ini, kaum tani sering berhadap-hadapan langsung dengan pihak kepolisian dalam konflik agraria. Hal ini terjadi karena polisi mengambil posisi sebagai pengawal dan penjaga keamanan dari pemilik modal yang menyewa jasanya. Konflik agraria yang kategorinya konflik perdata biasa berubah menjadi kriminal karena polisi tidak bersikap netral. Bagi kaum tani, tindakan ini disebut sebagai proses kriminalisasi yang bertujuan untuk mematahkan perjuangan petani dalam merebut haknya.

Sebagai Kapolri baru, Timur Pradopo harus melakukan reposisi peran dan fungsi polisi dalam penyelesaian konflik agraria. Ia harus secara tegas melarang polisi terlibat dalam konflik agraria yang melibatkan rakyat dengan pemilik modal, dan menindak anggota polisi yang menjual “jasa pengamanan” bagi pemilik modal di lapangan agraria.

Penyelesaian konflik agraria secara adil adalah prioritas presiden SBY sejak dulu. Program ini menjadi bagian dari rencana pelaksanaan reforma agraria yang ditegaskan dalam pidato presiden SBY, Januari 2007. Karenanya polisi perlu segera mereposisi diri dari aktor pemicu konflik menjadi pengawal rakyat tani untuk mendapatkan hak atas tanah.

Mengabaikannya, berarti membiarkan polisi dibawa bayang-bayang sebagai institusi pelanggar HAM tertingi di Indonesia. Selamat bertugas pak Jendral.

Idham Arsyad, Sekjen KPA

Polisi Berhentilah Menembaki Petani!

Sudah berulangkali dan terasa basi membahas petani yang terus menerus dibunuh oleh aparat karena konflik agraria. Maksud saya, sudah sejak zaman gelap Orde Baru Soeharto hingga saat ini dua belas tahun setelah reformasi bergulir. Petani setiap tahun selalu saja ada yang masti terbunuh oleh aparat

Tidak ada perang, tapi rakyat banyak yang mati terbunuh, demikian saya pernah membaca syair alm.WS Rendra.

Peluru mudah sekali ditembakkan kepada petani, tetapi tidak ada aparat yang dijerat hukum. Meski laporan sudah diberikan kepada Mabes Polri, Komnas HAM dan DPR RI. Justru dengan gagah, mereka berkilah. Sebagai contoh, Kapolda Jambi Brigjen (Pol) Bambang S berkilah di media massa bahwa petani Jambi tewas karena peluru karet dan recosset (peluru mantul) yang ditembakkan aparat. Ini bukan kali pertama aparat selalu merasa benar sendiri. Sebab "hukum" toh ditangan mereka. Miris membacanya. Sebab petani tembus kepalanya oleh peluru tajam.

Mengapa rakyat rela menyabung nyawanya? Sebab tanah sumber penghidupan mereka yang utama telah dirampas oleh perusahaan lewat tangan peraturan pemerintah. Petani tanpa tanah pastilah kehilangan masa depan untuk diri dan keluarganya.

Sebagai pembanding, masyarakat Jakarta saja begitu marah ketika uang koin kembaliannya di supermarket dikembalikan dalam wujud permen. Apalagi masyarakat tani yang melihat tanah perkebunannya diambil pemerintah tanpa permisi.Melihat padinya yang sedang menguning digusur oleh alat-alat berat dengan kawalan aparat. Atau melihat karet dan sawitnya yang sedang menghijau dirobohkan oleh bolduser.

Kapan disadari oleh aparat bahwa membunuh rakyat adalah tindakan yang sungguh-sungguh biadab. Apalagi membunuh rakyat karena mereka sedang merebut haknya yang dicuri. lebih kejam lagi karena sipelaku yang membunuh tidak dijerat hukum dan bahkan terkesan dilindungi.

hmmmm, barangkali ada benarnya celetukan kawan, seburuk-buruknya generasi muda sekarang dimana kami ada didalamnya, jauh lebih jahat dan lebih buruk perilaku generasi tua atas bangsa ini.

(petani dirimu masih saja sendiri).

November 25, 2010

Konflik Lahan Sinarmas Tewaskan Petani Jambi.

Awalnya, hari ini Senin (8/11 2010) PPJ, PT. WKS dan Pemerintah Provinsi Jambi akan mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan sengketa lahan masyarakat dengan perusahaan. Namun, pertemuan tersebut dibatalkan sepihak oleh pemprov Jambi dengan alasan warga petani PPJ hari ini masih melakukan aksi-aksi di lapangan.

Aksi masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ) ini dilakukan di desa Senyerang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Mereka melakukan penyetopan kapal-kapal PT. WKS dan PT. LPPI ( milik Sinarmas group) yang melintasi sungai pengabuan di desa Senyerang dengan menggunakan kapal kecil atau pompong.

Aksi massa ini dilakukan karena tanah masyarakat seluas 7224 ha di desa tersebut sejak 1999 dirampas oleh perusahaan HTI tersebut. Penyetopan ini menyebabkan kal-kapal WKS yang membawa hasil pabrik pulp and paper tidak diperbolehkan melintas oleh warga.

Kemudian, Brimob Polda Jambi, security PT.WKS dan karyawan perusahaan berusaha membuka blockade warga masyarakat dengan cara menembak untuk menakut-nakuti. Karena tembakan, petani tertembak dan tewas bernama Ahmad (45). Ia tewas dengan peluru tembus kepala. Korban ditembak di atas perahu pombong dan tewas di tempat.

Latar Belakang Konflik
PT. WKS (anak perusahaan Sinarmas Group) mendapatkan areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di lima kabupaten di Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo. Seperti yang kerap terjadi, penunjukan kawasan dan penetapan SK oleh menteri kehutanan atas areal konsesi HTI tersebut dibuat secara sepihak. dan kenyataannya, areal konsesi tersebut berada di perkampungan dan kebun-kebun masyarakat. Sesuai dengan SK Menhut No.744/1996, sesungguhnya jika ditemukan areal-areal perkampungan dan kebun masyarakat, maka areal tersebut dikecualikan dan atau dikeluarkan dari wilayah konsesi perusahaan. Namun, perusahaan justru menggusur semua tanaman dan pondok masyarakat untuk menyatakan kampung dan kebun masyarakat tidak pernah ada.

Karena hal tersebut, terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan HTI tersebut. Konflik pecah pada desember 2007 di desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo. Pada saat itu, 12 alat berat PT.WKS yang menggusur kebun karet dan sawit warga dibakar oleh petani. Karena aksi pembakaran ini, 21 petani desa lubuk mandarsah ditangkap dan ditahan oleh kepolisian. Pada tanggal 2-3 Agustus 2010, dua petani desa Senyerang tertembak oleh kepolisian resort Tanjabbar saat berhadap-hadapan dengan warga.

November 3, 2010

Hutan yang Membuat Panas Rakyat

Masih ingat dengan tuduhan NGO bahwa illegal logging yang menyebabkan banjir bandang Wasior? Pejabat langsung membantahnya. Tak kurang presiden sendiri.  Saya bisa paham, sebab bisa jadi bukan illegal loging. tapi legal loging yang destructive yang telah menyebabkan kerusakan tersebut. Karena semua perusahaan mempunyai izin loging, manalah mungkin mereka illegal.

Selain itu, ada ironi lainnya dalam kehutanan kita. Sebab, ada jutaan orang Indonesia tiba-tiba menjadi kehilangan hak atas tanahnya. Sebab, kawasan hutan di Indonesia ditunjuk secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan untuk dibagi menjadi kawasan hutan produksi dan non produksi.

Saat ini, menurut data Kemenhut Indonesia Indonesia memiliki 136,5 juta hektar yang ditetapkan sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan produksi 81,8 juta ha dan hutan lindung 31 juta ha.Untuk area Hutan Produksi, pemerintah telah menerbitkan 304 unit perusahaan mendapatkan izin mengambil kayu alam HPH seluas 33 juta ha, dan 9 juta ha untuk 262 unit perusahaan HTI. Jadi, total hutan yang diserahkan untuk dipakai oleh pengusaha kehutanan seluas 42 juta hektar. Berapa banyak sudah rakyat tergusur dan kehilangan harta bendanya?

Sementara itu, pihak kehutanan menyediakan 588.831 ha hutan produksi untuk HTR (Hutan Tanaman rakyat) bagi masyarakat. Program ini berdampingan dengan hutan kemasyarakatan seluas 165.469 ha dan hutan desa 88.380 ha. Namun, program ini realisasinya di lapangan sangat rendah laporan menyebutkan baru 10 persen.

Jadi, jika kita bicara keadilan, maka pelaksanaan reforma agrarian di kawasan kehutanan adalah kemutlakan yang harus dilakukan di Indonesia.

Bagaimana caranya: pertama kawasan-kawasan yang sudah sejak lama menjadi wilayah masyarakat adat, desa-desa yang secara sepihak ditunjuk menjadi kawasan harus dikeluarkan dari kawasan kehutanan dan diberikan penguatan hak bagi mereka. Kedua, kawasan-kawasan produksi yang sudah diberikan izin konsesinya kepada perusahaan harus ditinjau ulang sebab banyak konflik dengan masyarakat (RAPP Riau dan WKS Jambi adalah contoh kasus konflik tersebut). Ketiga, hutan produksi yang tersisa harus diprioritaskan untuk dikelola oleh rakyat dengan pola-pola pengelolaan yang telah lama tumbuh dimasyarakat.

Cara-cara diatas tidak akan pernah terjadi jika tidak ada reformasi total dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan birokrasi kehutanan nasional khususnya Kementerian Kehutanan dan relasinya dengan sektor lainnya juga hubungan kelembagaannya dengan pemerintahan daerah.

Menyerahkan penguasaan Negara atas hutan kepada institusi Kementerian Kehutanan dengan UU 41/1999 telah memasung puluhan juta hak-hak rakyat. Padahal, keberlangsungan hutan kita juga terus rusak oleh izin-izin HPH dan HTI dari kementerian ini.

sumber foto: beritamusi.com