May 24, 2012

Konflik PTPN II dan Masyarakat

 BINJAI-Bentrok antara warga dengan karyawan PTPN 2 di Kecamatan Kutalimbaru masih menyisakan kepanikan dan suasana mencekam. Bahkan, di beberapa kampung sekitar lokasi bentrok warganya menghilang. Mereka pergi karena takut ditangkap polisi karena terlibat dalam bentrokan dan pembakaran truk PTPN 2, Selasa (22/5) lalu.

Di lokasi bentrokan, tepatnya di Desa Salang Paku, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, puluhan personel kepolisian dari Polresta Medan dibantu petugas Polresta Binjai masih terlihat berjaga-jaga, Rabu (23/5). Informasi yang diterima Sumut Pos, sejumlah petugas juga melakukan penyisiran ke perkampungan warga guna mencari pelaku pembakaran mobil. Tampak sejumlah petugas berpakaian sipil terus memantau pergerakan warga di kampung tersebut.

Suasana di perkempungan pun tampak lengang. Beberapa warga hanya berkumpul di beberapa titik. Bahkan, beberapa pria terlihat serius memandangi setiap orang yang masuk ke perkampungan itu. Tatapan-tatapan curiga melihat orang asing begitu tampak. Desa Salang Paku pun berubah drastis layaknya di wilayah konflik.

Hal itupun diakui Ketua Kelompok Tani Maju Jaya, Zakaria. Menurutnya, memang sejak terjadinya bentrok dengan karyawan PTPN2 Selasa lalu, sejumlah petugas mulai melakukan penyisiran. Hal itu membuat suasana semakin mencekam dan penuh dengan kepanikan. “Tapi kami nggak tahu mereka mencari siapa,” ujarnya.

Dia menambahkan, pascabentrok sejumlah warga yang ikut terlibat dalam aksi tersebut langsung berhamburan meninggalkan lokasi bentrok. Mereka takut bakal menjadi sasaran penangkapan petugas kepolisian. “Mereka sudah pergi semua, saya nggak tahu ke mana,” ucapnya.
Ketika ditanya warga yang terlibat bentrok berasal dari mana, Zakaria mengatakan seluruh warga berasal dari kampung di sekitar lokasi. “Ya warga disini semua, kan disini ada beberapa kampung,” sebutnya.

Dia juga mengatakan, pihaknya hanya mempertahankan tanaman jagung yang ingin di okupasi pihak PTPN2. Pasalnya, lahan eks PTPN2 itu, merupakan lahan peninggalan orangtua mereka yang dikuasai PTPN2 sejak berpuluhan tahun. “Sampai kapan pun kita tetap bertahan,” urainya.

Dia menceritakan, aksi penyerangan yang dilakukan warga, bukan tak beralasan. Soalnya, jika pihaknya tidak menyerang terlebih dahulu, mereka takut akan mati konyol dihajar pihak PTPN2 yang jelas menang jumlah. “Kita sudah pengalaman soal ini (penyerangan, Red), karena sebulan lalu, pihak PTPN2 juga melakukan penyerangan kepada warga saat melakukan okupasi dan menghancurkan lahan yang mereka tanami,” jelasnya.

Bahkan, Zakaria menduga, kalau pihak PTPN2 juga menyewa preman untuk memotong tanaman pisang mereka dengan kelewang. Tidak hanya itu, preman itu juga sempat melepaskan tembakan sebanyak enam kali agar warga tidak mendekat.  “Kami nggak mau mati koyol. Sebab, Kamis (19/4) lalu, mereka juga melakukan okupasi dengan mengandalkan preman. Bahkan, mereka melepaskan tembakan sebanyak 6 kali, agar warga tidak mengejar,” ungkap Zakaria.

Kejadian Selasa lalu, kata Zakaria, warga memang sudah siap menghadapi karyawan PTPN 2 yang ingin melakukan okupasi. “Kejadian kemarin juga ada premannya kok. Sebab, aku sempat melihat jika ada sekitar 25 orang preman Simalingkar, yang membawa parang ikut di dalam mobil,” timpal seorang warga bernama Iwan.

KPA: Preman Bergabung dengan Karyawan

Sementara, Humas PTPN2 Sei Semayang Eka Dama Yanti, saat dikonfirmasi mengatakan, memang pihaknya ada melakukan okupasi sebulan lalu. Namun, saat itu pihaknya menjadi korban. “Memang kita sempat melakukan okupasi sebulan lalu, tapi kita dihalangi warga saat mencabut dua batang pohon pisang,” kata Eka.

Soal penggunaan jasa preman juga menjadi catatan pihak Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Jakarta. “Informasi dari lapangan, itu para preman bayaran yang bergabung dengan karyawan,” cetus Deputi Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin.

Lantas apa kepentingan mafia tanah? Iwan membeberkan dari aspek historis masalah tanah di sana. Dipaparkan, lahan-lahan PTPN II itu dulunya, di era Presiden Soekarno, sebagian sudah dibagikan kepada rakyat dan sudah disertai Surat Keterangan Pembagian Tanah (SKPT) dan Surat Land Reform. “Ada yang menyebutnya sebagai tanah suguhan. Di surat-surat itu tadi sudah disebutkan tanah menjadi hak milik rakyat,” terang Iwan.

Hanya saja, lanjut Iwan, di awal-awal rezim Orde Baru, rakyat di sana dituduh komunis sehingga tanah-tanah yang sudah dibagi di era Bung Karno, dirampas lagi oleh negara dan diterbitkan HGU untuk PTPN-PTPN, termasuk untuk PTPN II.

Belakangan, rakyat yang merasa dirugikan melakukan gugatan. BPN pun bersikap, dengan menerbitkan surat perintah agar ditunda dulu perpanjangan HGU untuk PTPN II. “Sehingga banyak tanah PTPN II tak dapat diperpanjang HGU-nya karena ada tanah rakyat di situ,” imbuhnya.

Nah, status tanah yang seperti itulah yang dicoba dimainkan para mafia tanah, yang melibatkan ormas-ormas kepemudaan. “Mereka menebangi tanaman warga, memagarinya, dan PTPN membiarkan saja. Saya yakin ada pengusaha-pengusaha hitam. Saya takutnya, ini ada kolaborasi oknum-oknum di PTPN II dengan pengusaha hitam, yang paham itu tanah sengketa, lantas mau menduduki. Harapannya, nanti begitu pemerintah bilang ‘kembalikan tanah ke rakyat’, mereka yang justru akan menguasai,” beber Iwan.

Kecurigaan ini diperkuat dengan fakta di lapangan, lanjut Iwan, dimana ketika warga yang menduduki lahan, pihak PTPN II cepat sekali bereaksi. “Tapi begitu para preman yang memagari, didiamkan saja,” ujarnya.

KPA mendesak agar Pemda dan pihak-pihak terkait secepatnya meneliti ulang status tanah. Bagi yang sudah menjadi hak milik warga, yang dibuktikan dengan adanya SKPT, Surat Land Reform, dan Surat Tanah Suguhan, langsung dikembalikan lahan itu ke rakyat.
KPA juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dugaan adanya permainan preman dan spekulan tanah. “Mafia tanah yang luar biasa pat gulipatnya itu ada di Sumut,” tegasnya. (ndi/sam)