May 20, 2009

Negara Maju “Merampas” Lahan

Negara Maju “Merampas” Lahan

January 6, 2009

Krisis pangan dunia dan krisis finansial global telah mendorong negara-negara maju untuk melakukan ”perampasan” lahan di negara-negara miskin. Perampasan lahan itu akan memperburuk kemiskinan dan kekurangan gizi di negara miskin.

Negara-negara yang lapar akan sumber daya cepat-cepat membeli lahan pertanian yang luas di negara-negara Asia dan Afrika guna memenuhi kebutuhan mereka. Tren global, termasuk tingginya harga minyak dunia, maraknya biofuel, dan perlambatan perekonomian global, memacu negara-negara yang bergantung pada impor untuk mengamankan sumber pangan mereka.

”Krisis pangan dan finansial saat ini telah memicu kecenderungan baru perampasan lahan,” ujar kelompok hak asasi bidang pertanian yang berbasis di Spanyol, Grain, dalam laporan baru-baru ini, seperti dikutip AFP, Minggu (4/1).

”Akibat kecenderungan itu, tanah pertanian yang subur secara perlahan diswastanisasi dan dimiliki perusahaan asing,” ungkap laporan Grain.

Sejumlah kontrak lahan antara negara maju dan negara miskin dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan pangan di negara maju. Perjanjian lainnya diwujudkan dalam bentuk mesin penghasil uang, seperti pabrik kelapa sawit dan karet.

Dibawa keluar

Salah satu perjanjian terbesar dilakukan oleh perusahaan milik Korea Selatan, Daewoo Logistics. Pada November 2008, Daewoo Logistics menyatakan akan menanam modal sebesar 6 miliar dollar AS untuk mengembangkan lahan seluas 1,3 juta hektar di Madagaskar.

Rencananya, Daewoo Logistics akan memproduksi 4 juta ton jagung dan 500.000 ton kelapa sawit per tahun. Sebagian besar hasil produksi akan dibawa keluar Madagaskar, negara yang masih mengandalkan bantuan pangan dari Program Pangan Dunia (WFP).

Di Kamboja, negara kaya minyak, Kuwait , menyediakan dana pinjaman sebesar 546 juta dollar AS sebagai imbalan atas produksi pertanian. Anggota parlemen Kamboja dari kubu oposisi, SonChhay, mengatakan, dia curiga mengapa negara kaya seperti Kuwait memerlukan lahan untuk ditanami padi dan bukannya mengimpor beras. “Petani Kamboja memerlukan tanah itu,” ujarnya.

Di Filipina, salah satu wilayah panas perjanjian tanah, serangkaian kontrak lahan bertentangan dengan tuntutan reformasi agraria, termasuk distribusi lahan.

”Ini akan meningkatkan persoalan ketiadaan lahan, kurangnya lahan bagi petani Filipina,” kata anggota parlemen, Rafael Mariano.

Namun, pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo menyatakan telah membuka pembicaraan dengan Qatar soal kontrak sedikitnya 100.000 hektar lahan pertanian.

Di Laos, para pakar memperkirakan 2 juta hektar hingga 3 juta hektar lahan pertanian telah ”dihadiahkan” kepada pihak asing secara tidak terkendali.

Korup

Walden Bello dari kelompok Focus on the Global South yang berbasis di Thailand mengatakan, resesi global tampaknya tidak akan menghentikan kecenderungan kontrak lahan oleh negara kaya. ”Kita bicara soal pihak swasta asing yang memanfaatkan kontrak pemerintah untuk memperkaya diri,” katanya.

Kebanyakan perjanjian semacam itu, menurut Walden Bello, banyak terjadi di negara miskin yang korup. Pemerintahan negara itu berdalih bahwa proyek tersebut akan membawa lapangan kerja dan memperbaiki infrastruktur.

Bello memperkirakan perjanjian kontrak lahan oleh negara kaya di negara miskin akan meningkat. Hal itu akan memaksa kaum petani dari daerah pedesaan miskin pergi ke kota dan, dalam kondisi krisis global seperti sekarang, menambah jumlah penganggur.

”Ledakan (kontrak lahan) khususnya terjadi di negara-negara dengan tingkat ketiadaan lahan pertanian tinggi, seperti Filipina, di mana 7 dari 10 warga desa tidak memiliki akses tanah,” kata Bello.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperingatkan bahaya hilangnya lahan pertanian yang digantikan dengan tanaman industri. (AFP/FRO)