November 27, 2008

Krisis Dunia 2008: Waspadai Rawan Pangan Di Area Perkebunan!

Oleh: Iwan Nurdin.

Pada masa krisis moneter tahun 1998, para petani perkebunan rakyat Indonesia khususnya para penghasil komoditas perkebunan ekspor seperti kopi, lada, kakao dan sawit mendapatkan keuntungan. Mengapa demikian, sebab melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS telah membuat harga hasil panen perkebunan rakyat membumbung tinggi. Maka, pada awal-awal krisis ekonomi 1998-2000 kerapkali kita menemukan kisah-kisah ”lucu” petani perkebunan di Sumatera, Sulawesi, Bangka Belitung, yang kaya mendadak. Petani lada di Bangka Belitung misalnya kesulitan memarkir mobil pribadi mereka di lebak tempat mereka mandi. Di Lampung, dealer-dealer sepeda motor kehabisan stok, sehingga pembeli harus indent sepeda motor hingga berbulan lamanya. Sebab petani kopi dan lada kebanyakan menggunakan uang hasil panen mereka untuk membeli sepeda motor. Lain lagi cerita di Sulawesi Utara, petani cengkeh disana membeli kulkas padahal belum ada listrik di kampung. Walhasil, lemari es tersebut dipakai untuk menyimpan pakaian.

Namun, cerita sepuluh tahun lewat tersebut tidak akan terulang dalam krisis ekonomi global sekarang. Barang-barang primer komoditas ekpor andalan Indonesia ini permintaannya di pasar dunia menurun drastis karena krisis ekonomi. Akibatnya, para petani perkebunan sekarang menjadi salahsatu korban utama dan pertama dalam krisis. Kisah-kisah memilukan petani perkebunan saat ini kerap mewarnai media massa. Di Jambi, puluhan petani sawit diberitakan masuk RS Jiwa dan beberapa bunuh diri karena harga Tandan Buah Sawit (TBS) yang sebelumnya mencapai Rp.2000 jatuh menjadi Rp. 200. Juga harga karet jatuh menjadi Rp. 2000 dari sebelumnya Rp.10.000.

Bisajadi, kisah pilu diatas hanya permulaan saja. Sebab, dengan melihat beberapa kenyataan umum di lapangan, potensi terjadinya wabah kelaparan dan gizi buruk di sentra-sentra perkebunan sangatlah tinggi. Kita tahu bersama bahwa sentra perkebunan rakyat baik dikarenakan topografis wilayah dan kebudayaan agrarisnya yang khas kerapkali tidak menanam tanaman penghasil karbohidrat seperti beras dan juga banyak yang telah melupakan usaha memelihara sumber protein lainnya seperti ikan, telur dan ayam. Bahan-bahan kebutuhan makanan pokok kerap didatangkan dari wilayah lain. Dan, kita juga mafhum bahwa wilayah perkebunan rakyat memiliki sarana infrastruktur yang buruk, sehingga seringkali harga-harga melambungkan tinggi. Tentusaja kita merasa semakin miris, sebab harga tersebut melambung di tengah menurunnya daya beli mereka.

Kondisi serupa juga dialami perusahaan perkebunan. Rencana ekspansi di awal tahun 2008 agaknya harus membentur kenyataan pahit. Sebab, turunnya harga dan permintaan di pasar ekspor telah menyebabkan kinerja perusahaan perkebunan menurun drastis. Walhasil, pengupahan yang layak bagi buruh perkebunan juga akan semakin terlupakan. Para buruh kebun ini bernasib serupa dengan para petani perkebunan rakyat bahkan lebih buruk. Sebab, jika mereka murni buruh kebun alias tidak mempunyai lahan pertanian sedikitpun maka tidak ada tambahan penghasilan di luar upah buruh kebun.

May 19, 2008

Buruh, de-Industrialisasi dan de-Agrarianisasi


Oleh: Iwan Nurdin
Setiap satu Mei (may day) dunia memperingati hari kemenangan buruh sedunia. Di Indonesia sendiri, aksi terkait momentum hari buruh tahun ini sangat menarik. Aliansi Buruh Menggugat (ABM) –organisasi konfederasi nasional buruh yang setiap tahun memenuhi Jakarta pada may day-- misalnya, selain menuntut pemenuhan hak-hak buruh, juga mengusung hak-hak petani pedesaan khususnya tanah.

Suara buruh dalam mayday sangat penting disimak. Sebab, tuntutan kaum buruh dan petani kali ini berhadapan dengan situasi resesi ekonomi AS dan Uni Eropa sekaligus ancaman global kelangkaan pangan. Bahkan, khusus yang terakhir ini IMF memberi peringatan bahwa kelangkaan pangan di beberapa negara berpotensi menyulut perang.

Dalam soal resesi ekonomi di AS dan Uni Eropa yang dipercaya dapat menyeret resesi ekonomi global, tentu akan berpengaruh besar dalam penciptaan lapangan kerja di negara kita. Sebab, interdependensi struktur keuangan dan produksi global ditambah kerentanan struktur ekonomi nasional kita terhadap situasi global akan menghasilkan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam keadaan yang demikian, posisi dan daya tawar buruh akan semakin melemah. Padahal, buruh juga sedang menghadapi ancaman kelangkaan pangan yang berarti kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut dipasaran sehingga nilai upah mereka semakin turun.

Perlambatan ekonomi nasional akan meneruskan gejala de-industrialisasi yang selama ini tengah terjadi. Sebab, usaha-usaha pemerintah kita dalam mendorong terjadinya pertumbuhan industri manufaktur melalui investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) sebagai lokomotif pertumbuhan sejauh ini tidak berhasil dilaksanakan. Bahkan, perusahaan elektronik, sandang dan tekstil besar terus menerus memindahkan basis produksinya dari negara kita (Rizal Ramli: 2008).

Itulah sebabnya, basis pertumbuhan sektor riil dan ekspor kita selama sepuluh tahun terakhir masih didominasi oleh ekstraksi sumber daya alam seperti tambang, perkebunan, kehutanan dan perikanan laut. Padahal, pertumbuhan industri keuangan dan pasar modal yang tumbuh pesat dalam tiga tahun terakhir juga harus mengalami masa tenggang akibat resesi global sebelum sempat secara nyata menggerakkan sektor riil.

de-Agrarianisasi
Anehnya, gejala de-industrialisasi tersebut bersamaan dengan terjadinya de-agrarianisasi di tanah air. Istilah de-agrarianisasi adalah sebuah kenyataan sosial dimana rumah tangga pertanian dan masyarakat petani semakin hilang beserta peran sosial ekonomi dan politik mereka terus melemah (Noer Fauzi: 2008).

de-Agrarianisasi di Indonesia dapat dilihat dari tiga hal: Pertama, hilangnya tanah-tanah rumah tangga pertanian akibat guremisasi dan konversi, bersamaan dengan itu meluasnya kehadiran perusahaan perkebunan, pertanian pangan skala besar yang perolehan tanahnya difasilitasi oleh negara. Kedua, tema-tema politik rumah tangga petani semakin lemah dipahami dalam pentas politik karena semakin diwakili oleh persoalan investasi, produksi dan perdagangan korporasi pertanian semata. Ketiga, semakin membesarnya arus urbanisasi.

de-Agrarianisasi inilah salah satu penyebab utama kelangkaan pangan saat ini. Sebab, orientasi produksi korporasi pertanian lebih mengarahkan hasil produksinya sebagai bahan baku industri konversi energi biofuel ketimbang pangan (Henry Saragih: 2007; Khudori: 2008).

Strategi Industrialisasi
Tak pelak, muara problem de-industrialisasi dan de-agrarianisasi adalah pengangguran terbuka yang semakin meluas baik diperkotaan maupun perdesaan.

Jika terencana dengan baik, seharusnya hilangnya rumah tangga pertanian akan diikuti dengan hadirnya lapangan kerja non pertanian khususnya industri. Namun, konsentrasi pembangunan industri yang melulu ditopang FDI telah menghilangkan relasi ini. Sebab, FDI tidak ditentukan oleh basis material dan historis sosial ekonomi nasional namun lebih disebabkan oleh relasi ekonomi produksi dan konsumsi global.

de-Industrialisasi yang melaju cepat dapat ditindaklanjuti dengan penanganan seperti memberikan hak kepada serikat buruh untuk mengambil alih pabrik-pabrik yang selama ini telah ditinggalkan pemodal. Kerjasama serikat buruh dengan perguruan tinggi, para ahli dan perbankan nasional dengan jaminan pemerintah dalam mengelola pabrik-pabrik pailit layak dibuat. Negara-negara di Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Brazil bahkan di Eropa seperti Perancis juga membolehkan hal seperti ini. Sebab, persoalan kemandegan produksi tidak bisa diselesaikan dengan aturan perburuhan yang koersif dan pro-investor; pun tidak oleh pembayaran pesangon yang pro-buruh. Sebab, pekerjaan jauh lebih baik ketimbang pesangon PHK.

Sementara, de-agrarianisasi haruslah dihentikan percepatannya dengan memberi tanah kepada petani dan membuat fondasi yang kuat bagi lahirnya koperasi serikat petani yang mengelola usaha pertanian, kehutanan dan perkebunan secara modern. Kesemuanya dalam bingkai reforma agraria. Sehingga hasil produksinya bukan untuk menyediakan bahan mentah bagi industri kapitalis global.

Pararel dengan agenda ini adalah menciptakan proses industrialisasi nasional yang kuat dimana penataan pangan dan energi nasional adalah dasar bagi proses industrialisasi yang kuat sehingga desa-kota, pertanian-industri mempunyai relasi yang menguatkan. Bukan jalan yang telah ditempuh selama ini, semata-mata diombang-ambingkan oleh persoalan tata kuasa, produksi dan konsumsi global yang nyata-nyata telah disetir oleh negara kuat semata. Sesuatu yang menjadi biang keladi kerusakan dalam mencitakan kesejahteraan sosial di Indonesia khususnya kaum buruh dan petani.

Jakarta, I Mei 2008

Iwan Nurdin.

April 26, 2008

REFORMA AGRARIA DAN HAK ATAS PANGAN

Oleh: Iwan Nurdin
A. Pendahuluan
Untuk mengajak mengingat kembali, pada tahun 2005 kita sebagai bangsa pernah mengalami keadaan meluasnya bencana rawan pangan, mal nutrisi, busung lapar, hingga bencana kelaparan di beberapa titik di Indonesia. Kemudian, keadaan memuncak dengan terjadinya tragedi kelaparan di Kab. Yahukimo, Provinsi Papua setelah sebelumnya telah terjadi rawan pangan, mal nutrisi, dan busung lapar di Lombok, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Lampung bahkan di DKI Jakarta.

Kemudian, berita tersebut berangsur-angsur mulai menghilang, berganti dengan wacana pemerintah dalam menjalankan rencana Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK).

Hampir tiga tahun setelah wacana RPPK digulirkan, pada akhir tahun 2007 hingga awal 2008, kita kembali mendapatkan sekumpulan berita naiknya harga kebutuhan pangan semisal beras, kedelai, minyak goring, tepung terigu. Naiknya harga-harga ini sebenarnya sebuah sinyal nyata menuju situasi rawan pangan dan bahkan bencana kelaparan pada kelompok-kelompok rakyat miskin di perdesaan dan perkotaan.

Menurut kawan-kawan ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah ini sebenarnya sangat sulit dalam menggeser kemampuan berwacananya kedalam praktek. Namun, sebagian yang lain menyatakan bahwa ini adalah buah langsung kebijakan RPPK. Sebab melakukan revitalisasi kebijakan pertanian Orde Baru.

Lepas dari perdebatan ini, telah diketahui bersama bahwa kantong-kantong kemiskinan utama di Indonesia sebenarnya adalah wilayah perdesaan. Persoalan ini tidak lain karena peruntukan sumber-sumber agraria di pedesaan lebih diutamakan untuk kepentingan korporasi ketimbang rakyat.

Sementara, hasil dari pemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa kita lihat dengan jelas mulai dari kelompok miskin diperkotaaan yang sebelumnya banyak berasal dari desa hinga tenaga kerja migrant di luar negeri yang tidak mendapatkan perlindungan secara hukum, sosial dan ekonomi.


B. Ketimpangan Agraria
Peruntukan sumber-sumber agraria khususnya tanah, air dan kekayaan alam di dalamnya kepada korporasi ketimbang rakyat telah menyebabkan meningkatnya ketimpangan struktur kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan agraria di Indonesia.

Sebenarnya, persoalan agraria di Indonesia berupa kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang di pedesaan bukan hal baru. Sejak awal abad XX pemerintah Belanda menyadari hal ini melalui survei yang dilakukan tahun 1903. hasilnya menunjukkan bahwa hampir separuh petani menguasai lahan kurang 0.50 Ha (Mubyarto, 2003) .

Kondisi ini tidak banyak berubah setelah kita merdeka. Hasil Sensus Pertanian 1983, rata-rata penguasaan tanah untuk setiap Rumah Tangga Petani Indonesia 0.98 Ha. Sementara di dalamnya, khusus di pulau Jawa 0.58 Ha dan 1.58 Ha diluar Jawa. Kenyataan tersebut semakin parah dalam satu dekade berikutnya. Menurut hasil Sensus Pertanian tahun 1993, pemilikan rata-rata menjadi 0.83 Ha untuk setiap Rumah Tangga Petani dan di dalamnya adalah rata-rata 0.47 Ha untuk Jawa dan 1.27 Ha untuk di luar Jawa .

Dalam realitas kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut diatas, jumlah petani gurem (dengan kepemilikan tanah kurang atau sama dengan 0.20 Ha) terus bertambah. Pada tahun 1983 jumlah petani gurem sebesar 9.532.000 dan menjadi 10.937.000 pada tahun 1993 . Sementara, menurut sensus pertanian 2003 jumlah petani gurem (<0.5Ha) telah bertambah dari 10,9 juta KK pada tahun 1993 menjadi 13, 7 juta KK pada tahun 2003 .

Juga, angka Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang harus dibayar petani (IB) dan dinyatakan dinyatakan dalam persen juga terus menurun. Menurut data BPS, angka NTP Februari 2005 sebesar 100,05 persen. Angka itu turun 1,22 persen dibandingkan dengan angka Januari 2005 sebesar 101,29%. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan IT sebesar 0,77 persen dan pada saat yang sama terjadi kenaikan IB sebesar 0.46persen

Dari sekumpulan data tersebut, maka kesimpulan yang mengarahkan bahwa telah terjadi proses pemiskinan terus menerus selama puluhan tahun dalam dunia tani nasional kita bukanlah isapan jempol belaka. Proses pemiskinan menahun tersebut menjadi biang keladi utama tidak terpenuhinya hak atas pangan untuk rakyat.

C. Hak Atas Pangan
Hak atas pangan dapat ditafsirkan sebagai rights not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah, atau suatu negara untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya, seperti bekerja dalam batas-batas yang masih memenuhi ukuran kesehatan . Dalam panggung pergaulan antar bangsa, Hak Atas Pangan diatur dalam payung hukum Kovenan Internasional tentang hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESR), yakni pasal 11 ayat (2). Di bawah pasal 11 ayat (2) Kovenan ini, dimana negara-negara pihak telah mengakui bahwa hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan, maka kewajiban-kewajiban negara yang turut meratifikasi dinyatakan berikut ini :
“Negara-negara peserta perjanjian,… akan mengambil berbagai tindakan, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, termasuk program-program khusus yang diperlukan bagi:
a) Perbaikan terhadap metode-metode produksi, konservasi, dan distribusi pangan dengan menggunakan secara penuh pengetahuan ilmiah dan tekbis, dengan penyebaran pengetahuan tentang prinsip-prinsip nutrisi dan dengan mengembangkan atau memperbarui sistem-sistem agraria (reforming agraria systems) sedemikian rupa sehingga mampu mencapai pengambangan dan penggunaan berbagai macam sumber daya alam dengan sangat efisien.
b) Mempertimbangkan sejumlah masalah dari negara-negara pengekspor maupun pengimpor pangan, untuk menjamin distribusi yang sama atas suplai pangan dunia menurut kebutuhan.

Indonesia sendiri, pada September tahun 2005 ini adalah negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional ini, sebuah Kovenan yang lazim kita kenal sebagai Kovenan Internasional hak Ekosob. Sehingga, sebagai negara peratifikasi, kewajiban negara untuk menjalankan terpenuhinya hak atas pangan semakin kuat basis hukumnya, baik hukum internasional dan tentu saja konstitusi nasional kita sendiri.

D. Reforma Agraria Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Atas Pangan
Kebijakan ekonomi negara khususnya dibidang pangan dan produksi pangan adalah titik yang krusial. Berbicara tentang kebijakan pangan dan produksi, sebagai sebuah negara agraris, hal ini tentu sangat berkait erat dengan sumber-sumber agraria yang diperlihatkan dalam struktur kepemilikan dan pengelolaan terhadap sumber-sumber agraria yang tengah terjadi di dalam masyarakat. Di depan telah dipaparkan tentang ketimpangan agraria yang sangat mencolok yang tengah terjadi di Indonesia.

Semakin dijauhkannya rakyat khususnya petani, nelayan dan masyarakat adat dari akses produktif agraria mereka yakni tanah secara pasti telah meningkatkan kemiskinan. Tentusaja kemiskinan akan semakin menjauhkan rakyat dengan akses terhadap pangan. Jadi, berangkat dari alur berpikir yang dipaparkan oleh Revrisond Baswir di atas, kata kunci pemenuhan hak atas pangan tetaplah pada ada tidaknya akses rakyat yang luas terhadap tanah sebagai faktor produksi terpenting bagi petani, nelayan dan masyarakat adat.

E. Landreform sebagai inti Reforma Agraria
Pada tahun 2005 ini, di sektor pertanian penguasaan lahan pertanian perkapita adalah 360m2/kapita sawah dan <500m2/kapita sawah dan lahan kering. Makin banyaknya petani gurem 13,7 Juta dengan laju peningkatan 2.6 persen pertahun. Sementara ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan lahan lahan yakni 13 persen luas lahan harus digarap oleh 70 persen petani, sedang 30 persen sisanya yakni non petani menguasai 87 persen lahan.

Ketimpangan kepemilikan agraria yang tengah terjadi di Tanah Air dengan sedemikian akutnya adalah alasan utama kebutuhan sebuah program reforma agraria secara nasional. Sebab, reforma agraria adalah jawaban yang paling logis dari berbagai masalah struktur agraria pada masyarakat manapun.

Reforma Agraria agraria adalah “upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam mengubah hubungan-hubungan sosial agraria dan bentuk penguasaan tanah dan sumber daya alam kearah keadilan dan pemerataan, melalui mekanisme dan sistem politik yang demokratis dan terbuka”

Inti dari reforma agraria adalah landreform atau redistribusi tanah dengan segala segi-segi pendukungnya. Tanpa landreform, maka reforma agraria yang dijalankan adalah palsu dan sebuah kebohongan belaka.

Pentingnya landreform sebagai fondasi ekonomi yang kokoh bagi sebuah negara dan tumbuhnya demokrasi yang stabil telah banyak dicontohkan. Pengalaman-pengalaman negara yang berhasil sebagai negara yang kuat secara ekonomi politik sebab mengawali pembangunannya dengan menjalankan landreform adalah Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan China. Mereka ini adalah sebuah contoh sukses negara di Asia yang berhasil membangun kekuatan ekonomi disebabkan landreform.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan landreform mampu menghasilkan sebuah landasan bagi kekuatan ekonomi nasional yang kokoh dan juga demokrasi yang stabil, yakni :
1. Redistribusi tanah akan membuat rakyat mempunyai lahan sehingga lebih mampu berproduksi dengan hasil panen yang lebih besar, pada akhirnya daya petani akan lebih meningkat. Peningkatan daya beli ini akan menggerakkan sektor ekonomi lainnya yakni industri industri nasional yang sedang tumbuh memperoleh pasar dalam negeri yang besar. Dengan demikian, tanpa landreform upaya menghasilkan sebuah basis industri nasional yang kuat adalah mimpi belaka.
2. Meningkatnya daya beli berarti meningkatnya penghasilan rakyat. Peningkatan penghasilan atau pendapatan rakyat akan sangat berarti dalam peningkatan tabungan nasional masyarakat khususnya tabungan pertanian. Rendahnya tabungan nasional masyarakat selama ini telah menyebabkan negara mengambil jalan pintas dengan mengandalkan hutang luar negeri dan pengutamaan datangnya investasi asing. Keduanya dalam jangka pendek dan jangka panjang nyata-nyata telah merugikan masyarakat kebanyakan dan melemahkan kedaulatan ekonomi politik bangsa secara keseluruhan. Maka: tanpa landreform yang terjadi adalah disinvestasi sehingga lama kelamaan yang terjadi adalah petani semakin kehilangan lahan pertaniannya.
3. Terbukanya akses bagi rakyat dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan meningkatnya hasil produksi rakyat akibat program landreform tersebut juga menjamin ketersediaan bahan baku untuk tumbuhnya industri kecil dan industri rumah tangga bahkan industri nasional yang tengah dibangun. Dengan land reforma berarti ketergantungan bahan baku impor akan berkurang. Maka keengganan pemerintah dalam menjalankan landreform akan menjadikan industri kecil dan rumah tangga, jasa dan sirkulasi uang menjadi melemah sehingga menjadi tergantung dengan kota. Maka, tidak mengherankan jika negara-negara yang tidak menjalankan landreform akan menemui pola hubungan penghisapan dan pemerasan kota terhadap desa.
4. Redistribusi tanah akan menghasilkan diferensiasi kerja di tengah-tengah masyarakat. Proses ini akan melahirkan kelompok kepentingan dan asosiasi-asosiasi kepentingan yang baru. Sehingga, demokrasi dapat lebih tumbuh sebab didorong oleh kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan yang tengah tumbuh dalam masyarakat. Tahapan ini akan memunculkan sebuah karakter demokrasi yang lebih substantif.
5. Tanpa landreform tanah akan menjadi objek spekulasi. Sebab tanah tidak mampu dipergunakan secara produktif oleh kaum petani. Akibat relasi penghisapan dan pemerasan kota terhadap desa tanah-tanah akan dikuasai oleh orang kota dan sebagian besar hanya dijadikan sebagai objek spkeluasi. Pada titik ini tanah akan menjadi sebuah komoditas ketimbang sebagai faktor prouksi yang mempunyai fungsi sosial.

Dengan beberapa faktor diatas, dapat dilihat betapa pentingnya reforma agraria sebagai sebuah upaya yang bukan semata-mata dalam rangka memenuhi hak atas pangan, namun lebih dari itu, yakni sebuah upaya dalam menentukan arah sebuah bangsa secara keseluruhan.

Jakarta, 27 Januari 2008

Iwan Nurdin

April 8, 2008

KELUAR DARI ANCAMAN KELAPARAN

Oleh: Iwan Nurdin

Setelah Teguh Miswadi siswa kelas 5 SDN Pupus 02, Lembeyan, Magetan tewas gantung diri karena tak tahan harus menahan lapar setiap hari (Surya, 24/2). Kelanjutan kisah tragis ini kemudian terjadi di Makassar. Daeng Besse, yang sedang mengandung tujuh bulan dan anaknya, Fahril, meninggal dunia akibat kelaparan (Fajar, 1/3). Sambung menyambung kemudian kejadian serupa terjadi di NTT, Sulawesi, Sumatera dan berbagai daerah.

Tidaklah berlebihan jika keadaan sekarang kita kategorikan sebagai kondisi dibawah ancaman bahaya kelaparan. Tanda-tanda kondisi ini sangat terang benderang, harga pangan dunia sedang naik yang disebabkan oleh meningkatnya konversi bahan makanan manusia menjadi biofuel, naiknya biaya pengiriman barang akibat naiknya harga bahan bakar, kegagalan panen di sentra-sentra penghasil pangan dunia akibat bencana alam dan perubahan iklim.

Padahal, di negeri kita semua hal-hal diatas terjadi secara bersamaan. Bencana banjir di Jawa sebagai sentra penghasil beras telah mengancam gagal panen sedikitnya 15.000 ha tanah sawah di Pantura Jawa. Sementara, naiknya harga BBM dunia dan efek domino dari resesi ekonomi AS sebagai pasar utama ekspor nasional bakal membuat kapasitas dan ketahanan ekonomi nasional dalam memenuhi hak atas pangan dan pekerjaan semakin menurun.

Bahaya kelaparan seringkali terjadi di daerah yang jauh, sulit dijangkau karena infrastruktur buruk (remote area), sedang atau baru saja mengalami bencana alam/cuaca buruk, juga pada wilayah-wilayah yang penduduknya didominasi penduduk miskin baik di wilayah pedesaan maupun di perkotaan.

Deteksi dini lainnya juga dapat kita lihat dari naiknya harga bahan pangan dalam waktu lama, menurunnya daya beli masyarakat, ditemukannya korban gizi buruk yang dialami oleh balita dan ibu-ibu, sampai akhirnya menjadi bencana kelaparan.

Langkah Penting PPAN
Melihat kenaikan harga pangan juga tengah terjadi di tingkat global, langkah jangka pendek yang dilakukan pemerintah seperti menurunkan bea-masuk impor, melakukan subsidi harga penjualan, subsidi biaya pengangkutan. Barangkali, langkah demikian ini ditengah kemampuan penganggaran yang buruk akibat resesi ekonomi global dan nasional tentu sebuah pilihan yang berat dan pahit.

Namun, mengabaikan kebijakan ini berarti melakukan pembiaran kelaparan dan pelanggaran serius terhadap upaya pemenuhan hak atas pangan bagi rakyat. Bukan mustahil tragedi kelaparan di Yahukimo, Papua, atau di NTT tahun-tahun lalu kembali berulang.

Keadaannya memang telah menjadi buah simalakama. Namun langkah jangka pendek diatas bias saja tetap dilakukan pemerintah sembari melakukan koreksi dan mengubah total dasar-dasar dalam pembangunan ekonomi nasional kita selama ini yang berjalan sekehendak pelaku pasar semata.

Salah satu caranya adalah segera merealisasikan rencana besar pemerintah seperti pelaksanaan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang dijanjikan setahun lalu. PPAN yang berencana membagikan tanah negara seluas 9.15 juta hektar tanah kepada rakyat miskin entah mengapa saat ini seolah menguap begitu saja dari panggung kebijakan politik pemerintah.
Mestinya, PPAN bisa menjadi salah satu peluang dalam membangun hubungan baru antara desa-kota, pertanian dan industri nasional kita menjadi saling menguatkan. Bukan hubungan yang menghisap pertanian dan desa seperti sekarang ini.

Pengabaian pembangunan pertanian dan pedesaan melalui Pembaruan Agraria selama ini telah membuahkan ketergantungan pada impor pangan pertahun seperti beras 0,75 juta ton, gandum 5,0 juta ton, gula 2 juta ton, kedelai 1,2 juta ton, jagung 1,3 juta ton, garam 1,5 juta ton, sapi 550.000 ekor bahkan impor susu hingga pakan ternak (Fery. J.Juliantono: 2008).

Memang bukan usaha mudah untuk mengajak percaya bahwa bagian terpenting untuk menjadi bangsa besar yang sejahtera tetap berada di sektor pertanian dan pedesaan. Sebab, usia krisis desa dan pertanian kita, telah berumur 178 tahun. Ini jika diukur sejak era tanam paksa di tahun 1830 hingga era perdagangan bebas sekarang. Situasi krisis tersebut telah menghasilkan keadaan umum seperti: kelebihan tenaga kerja produktif (pengangguran), kekurangan dan ketimpangan pemilikan tanah, rendahnya teknologi dan akses pasar yang kesemuanya bermuara pada kemiskinan.

Namun, 60 persen penduduk kita tetaplah kaum petani kecil dan buruh tani yang berteduh di 68.000 desa yang tersebar di seluruh negeri. Usaha jangka pendek pemerintah memerangi rawan pangan harus segera dibarengi dengan usaha sungguh-sungguh untuk memperluas areal lahan pertanian untuk petani kecil dan buruh tani, mendesain mereka kedalam badan usaha bersama milik petani, badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu desa menjadi halaman depan dari proses pembangunan nasional kita. Dan, pemerintah kita tidak harus selalu berubah menjadi pedagang eceran beras, terigu, minyak goreng setiap tahunnya.


Jakarta, 8 April 2008

Iwan Nurdin

March 28, 2008

SETELAH MK MEMBATALKAN PASAL 22 UU PENANAMAN MODAL

Oleh: Iwan Nurdin

Pendahuluan

SEBAGIAN KETENTUAN UU PENANAMAN MODAL BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI, begitulah petikan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana kita ketahui tanggal 25 Maret 2008 lalu, Mahkamah Konsitusi (MK) memutuskan bahwa sebagian ketentuan Pasal 22 UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) bertentangan dengan konstitusi.

Bagian dari Pasal 22 UU PM yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan "berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan iperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun".

Selain itu, Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka" juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut MK, dari keseluruhan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, hanya sebagian ketentuan Pasal 22 UU PM bertentangan dengan konstitusi. Argumentasi MK, meskipun terhadap Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai—yang dapat diperpanjang di muka sekaligus itu—negara dikatakan dapat menghentikan atau membatalkan sewaktu-waktu, namun alasan tersebut telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 22 ayat (4) UU PM.

Dengan kata lain, kewenangan negara untuk menghentikan atau tidak memperpanjang HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut tidak lagi dapat dilakukan atas dasar kehendak bebas negara. Padahal, perusahaan penanaman modal dapat mempersoalkan secara hukum keabsahan tindakan penghentian atau pembatalan hak atas tanah itu. Sehingga menurut MK, pemberian perpanjangan hak-hak atas tanah sekaligus di muka tersebut telah mengurangi dan bahkan melemahkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.

Latar Belakang Gugatan
Singkatnya, secara keseluruhan, makna gugatan Judicial Review Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan kawan-kawan yang tergabung dalam Koalisi Gerak Lawan adalah penolakan terhadap liberalisasi semua sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan dasar penyusunan sistem ekonomi kapitalisme yang dijalankan selama ini. Sistem seperti inilah yang hendak dijalankan oleh UU Penanaman Modal.

Prinsip-prinsip dasar dalam UU Penanaman Modal seperti Mekanisme Pasar, Kompetisi Bebas, Liberalisasi Investasi, Perlakuan Sama antara Modal Asing dan Nasional, Larangan Nasionalisasi, adalah inti dari sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Dengan pandangan semacam ini, bagi para penggugat, UU Penanaman Modal tentu saja secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga, dia harus dicabut. Sebagai gantinya, Parlemen dan Pemerintah mestilah menyiapkan UU Investasi yang sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

Dengan melihat putusan tersebut, maka sesungguhnya putusan MK tidak cermat melihat keseluruhan batang tubuh UU ini yang hendak menjalankan praktek ekonomi neoliberal yang luas dan mendalam.

Bagaimana Semestinya Putusan ini Dijalankan
Dengan putusan ini, haruslah semua komponen pemerintahan melihat bahwa dasar-dasar menciptakan pasar tanah yang liberal di Indonesia yang tengah diusahakan oleh UU Penanaman Modal dan UU lainnya itu bertentangan dengan konstitusi kita. Tanah lewat UUPM hendak dijadikan komoditas yang dipertukarkan secara bebas oleh masyarakat tanpa membedakan asing dan nasional. Padahal tanah adalah asset dan sarana dalam menciptakan kemakmuran dan keberlanjutan bangsa Indonesia. Bukan barang/komoditas perdagangan.

Putusan ini akan mengembalikan pengaturan HGU, HGB dan HP akan kembali diatur dalam UUPA 1960. Namun, dalam pelaksanaan selama ini peraturan pemerintah yang mengatur pemberian HGU, HGB dan HP dalam PP No.41/1996 juga mesti ditinjau ulang. Sehingga, HGU misalnya tidak lagi diperuntukkan kepada perusahaan swasta besar. Namun, dalam memberikan HGU pemerintah mengarahkan agar subjek penerima adalah masyarakat petani yang tergabung dalam koperasi. Dengan demikian, usaha-usaha untuk membuat para petani kita menjadi sejahtera dan mengolah tanah dalam system koperasi pertanian yang baik dan modern dapat didorong oleh pemerintah. Bukan lagi mendorong petani menjadi buruh kebun, petani plasma milik perkebunan besar. Memupuk pembentukan modal pedesaan dan pertanian dari rakyat jauh lebih baik ketimbang mengundang masuk dan memberikan sejumlah fasilitas pertanahan berupa HGU bagi investor perkebunan.

Dengan putusan ini, juga haruslah menjadi pijakan dalam memeriksa HGU-HGU yang selama ini merupakan perpanjangan akta konsesie dan erfpach sejak masa Belanda. Sebab, HGU ini menurut UUPA seharusnya sudah dikembalikan kepada masyarakat sekitar pada tahun 1980. Dan, bahkan dalam sejarah sesungguhnya erfpach dan konsesie ini diperoleh Belanda dengan cara merampas tanah masyarakat melalui azas Domein Verklaring UU Agraria Belanda 1870..

Sehingga, dengan langkah ini putusan tersebut dapat membantu dalam menyelesaikan sengketa masyarakat, petani dengan perusahaan perkebunan.

Jakarta, 28 Maret 2008

Iwan Nurdin

Konflik Tanah Perkebunan, Kemana Seharusnya Berujung?

Oleh: Iwan Nurdin
Dalam sebuah Rapat Kordinasi antara BPN-RI dengan Komisi II DPR RI bulan lalu, Kepala BPN Joyo Winoto, PhD mendapatkan berbagai kritik dan pertanyaan dari DPR-RI tentang penanganan konflik/sengketa pertanahan yang berjalan sangat lambat.

Menurut catatan BPN, data sengketa agraria tahun 2006 berjumlah 1423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2810 kasus. Setelah diverifikasi kembali data tahun 2007: jumlah sengketa menjadi 4581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2052 kasus sehingga total kasus menjadi 7491 kasus.

Menurut BPN, sengketa adalah jenis permasalahan tanah yang tidak melibatkan masyarakat banyak dan bukan disebabkan oleh persoalan structural kekuasaan dan kebijakan secara langsung. Sementara, Konflik adalah permasalah tanah yang bersifat structural dan melibatkan masyarakat banyak. Dan, perkara adalah permasalahan tanah yang dilimpahkan penanganannya melalui pengadilan.

Persoalan ini telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan, digunakan secara optimal seluas: 607.886 atau seluas 6.078.860.000 M2 ha. Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp.15.000). Maka kerugian Negara telah mencapai Rp 91,1829 Triliun.

Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp. 146,804 Triliun.

Jadi sesungguhnya pemerintah telah menghitung sendiri bahwa kebijakan-kebijakan pertanahan saat ini yang sangat amburadul itu dan telah merugikan negara dan rakyat begitu besar.

Catatan Pembanding
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik yang bersifat struktural sampai dengan tahun 2001 saja telah mencapai 1753 (Jauh lebih besar dari 858 yang dikategorikan konflik oleh BPN tahun 2007) dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Dari keseluruhan sengketa tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus (19.6%) terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus (13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan sengketa tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 115 kasus (6.6%) merupakan sengketa akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 77 kasus (4.4%) sengketa akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah sengketa yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Selebihnya adalah karena transmigrasi, sarana pemerintah, fasilitas militer dll.

Sementara kasus-kasus di atas belum terselesaikan, jumlah konflik setiap tahun terus bertambah akibat lambannya penyelesaian. Dalam catatan tahun 2007, KPA mencatat bahwa sepanjang 2007, terjadi sedikitnya 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa.

Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar

Memberi Ujung Pada Konflik
Kita patut prihatin bahwa konflik terbesar tetap berada di areal perkebunan. Artinya konflik pada tanah-tanah yang diatur oleh UUPA dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, HGU diatur dalam pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan kelanjutan dari erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie.

Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU sesungguhnya diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi/perusahaan. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern disatu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal disisi yang lain.

Lebih lanjut, hak erpacht dan consessie yang dikonversi kedalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam sebuah pidato sebelum pengesahan UUPA September 1960 merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht dan consessie tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya semua keruwetan hak barat atas tanah sudah selesai pada tahun 1980.

Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan PTPN. Padahal, sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge oleh Orde Baru. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

Dilain pihak secara bersamaan, korporasi swasta juga diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU diatas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang telah memanipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA. Seharusnya pemerintah menerjemahkan Hak Menguasai Negara dipandu dengan kewajiban yang jelas yaitu: diabdikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian, pemberian HGU selama ini sebenarnya telah dengan sengaja mempertahankan praktek marjinalisasi ekonomi pertanian rakyat kita.

Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan yang dimiliki oleh rakyat. Bahkan,mengacu kepada PP ini, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang memberi Hak Guna Usaha tanpa pembedaan asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun, jauh lebih lama dari Hukum Agraria Belanda yang memberi hak selama-lamanya 75 tahun.

Penelusuran ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” baik oleh UUPA apalagi oleh pandangan masyarakat sekitar. Pemberian HGU selama ini secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kerapnya gejala petani dan masyarakat adat mengidentikkan perusahaan perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal telah menjadikan perusahaan perkebunan menjadi objek gerakan okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya perusahaan perkebunan berdiri diatas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial.

Dengan demikian, pemerintah semestinya menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM agar segera membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) terkait maraknya konflik agraria. Di dalam kerjanya, khusus untuk perkebunan, komisi ini bisa segera melakukan audit terhadap HGU dan menyelesaikan segenap persoalan didalamnya dengan mengutamakan hak rakyat atas tanah.

Kemudian, sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuai UUPA 1960 sehingga terdapat sebuah desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju sistem yang lebih berkeadilan sosial.

Jakarta, 4 Maret 2008



Iwan Nurdin

March 17, 2008

Dasar-Dasar Perubahan Kebijakan Agraria Sekarang

Oleh: Iwan Nurdin

A.Ruang Politik Partisipasi
Dalam tradisi ilmu politik modern, kita bisa melacak jejak politik partisipasi sejak masa Revolusi Perancis dengan 3 tuntutannya yang terkenal (egalite, fretarnite, liberte). Slogan ini menjelaskan: Bebas (liberty) dari penindasan sistem monarkhi, setara (equality) dengan setiap orang di dalam sebuah negara dan bersaudara (fraternity) sebagai sebuah bangsa . Melalui Revolusi Perancis, masyarakat tidak lagi melihat dirinya sebagai hamba dari para bangsawan, tetapi memandang dirinya sebagai seorang warganegara (citizen/citoyen) dari sebuah negara-bangsa.

Selanjutnya, perkembangan kapitalisme yang dilepaskan oleh busur panah Revolusi Industri di Inggris, akhirnya menembus tubuh kemanusiaan melalui kolonialisme. Jejak politik partisipasi dapat ditapaki pada penyebaran ide-ide kemerdekaan nasional dan sosialisme sebagai basis perlawanannya.

Berakhirnya PD II, yang diikuti dengan menguatnya kelompok kekuatan politik kelas pekerja dan kelompok sosialis telah membuat dunia barat khususnya Eropa Barat menerapkan kebijakan negara kesejahteraan. Sementara, di negara-negara sosialis komunis lebih tertarik dengan experimentasi sosialis melalui negara totaliter.

Namun, situasi ini tidak berlangsung lama, sebab awal dekade 80-an dunia kembali mengalami krisis akibat kegagalan sistem ekonomi politik keynesian yang mempopulerkan rezim negera kesejahteraan. Negara-negara Eropa Barat mengalami problem dalam meneruskan sistem kesejahteraan sosialnya. Akhirnya, jalan neoliberal dipilih sebagai jawaban. Runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990 juga telah memberi jalan bagi meluasnya pandangan ekonomi politik neoliberal.

Dekade ini, dekade sistem ekonomi neoliberal. Sistem ekonomi ini mensyaratkan sebuah penyesuaian struktur ekonomi, politik dan tentu saja akhirnya hukum kepada pasar . Dimana negara memainkan peran minimal saja.

Ciri utama dan utama dari pandangan neo liberal adalah sikap bermusuhan dengan pemerintah (negara minimal). Bagi kaum neo liberal yang memberi kesejahteraan bukanlah negara. Maka, welfare state harus di preteli. Menurut kaum neo-liberal yang dapat mendorong dan memberikan kesejahteraan adalah pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh pasar (market led-economic growth) .

B.Penguasaan SDA Neoliberal
Khusus di negara kita, ekonomi politik neoliberal sebenarnya sudah mendapatkan fondasi sejak tahun 1988 lewat deregulasi perbankan, meski memperoleh momentum pada tahun 1998 setelah jatuhnya rezim orba dengan membonceng “reformasi”. Sebelumnya, negara kita ini dipenuhi oleh birokrat pemburu rente dan sangat otoriter .

Situasi ekonomi politik neoliberal yang saat ini dijalankan, telah membuat pandangan-pandangan dasar yang ada dalam politik penguasaan negara kita terhadap sumber-sumber agraria semakin lemah dan sarat dengan konflik.

Konflik semacam ini, dalam pandangan hukum disebabkan oleh ketidakpastian hukum. Sehingga penegakan hukum (law enforcement) menjadi sulit. Ketidakpastian ini baik karena ketidak pastian hukum di dalam hukum maupun ketidak pastian karena hukum yang berjalan seiring . Ketidakpastian ini dirasakan juga oleh para pengusaha hingga masyarakat marjinal. Namun, secara cepat, ketidakpastian hukum bagi pengusaha (tanpa pembedaan asing dan nasional) dihilangkan sementara ketidakpastian hukum yang dirasakan masyarakat terus berlangsung . Sehingga, law enforcement seringkali tidak bersetubuh dengan rasa keadilan masyarakat.

Dasar politik hukum penguasaan sumber-sumber agraria di negara kita diatur oleh UUD 1945 pasal 33, dan Hak Menguasai oleh Negara di dalam UUPA No.5/1960 misalnya menjadi semacam ”macan kertas” ditengah hegemoni, dominasi, dan kemegahan modal saat ini.

Meski demikian, akibat perkembangan globalisasi, juga telah memudahkan kolektif perlawanan sosial (salah satunya kelompok masyarakat adat) mampu menaikkan persoalan yang dihadapinya dalam panggung hubungan antar negara bangsa . Harapannya, selain menggalang solidaritas, secara multilateral adiharapkan da semacam etik dan hukum internasional yang mengatur persoalan ini layaknya hukum internasional pada lembaga multilateral ekonomi perdagangan.

Dalam teoritisasi politik, sesungguhnya hasil maksimal dari gerakan semacam ini dapat kita identifikasi sebagai usaha mengembalikan fungsi negara-bangsa agar mempunyai mandat hukum dan operasional hukum di tingkat nasional yang dapat menandingi dan mengatasi rezim modal internasional.

Jika kita memperhatikan gerakan-gerakan anti globalisasi neoliberal yang marak dewasa ini, khususnya di Eropa Barat, gerakan ini sangat kuat dalam mengusung tema-tema sosial politik yang bisa kita kategorikan ingin mengembalikan rezim welfare state. Padahal, tidak mungkin negara maju bisa menjalankan ini semua tanpa menjadikan negara-negara berkembang semacam Indonesia semacam alas kaki.

Dalam sistem ekonomi politik neoliberal, partisipasi tidak dihilangkan. Ia bahkan semacam ”keharusan yang perlu tapi tidak wajib” dan telah diberi makna baru sebagai sebuah keterlibatan transaksi (negosiasi) dari berbagai kelompok yang kesemuanya dipimpin, dibimbing dan didorong oleh pasar dalam kenyataan hubungan yang tidak sejajar.

Bagi kelompok neoliberal, sumber-sumber agraria tidak lebih dari komoditas ekonomi yang seharusnya dapat ditransaksikan secara ekonomi dengan lebih cepat. Wujud ”barang” yang ditransaksikan juga sangat beragam. Mulai dari tanah, tanaman, kekayaan alam, flora, fauna, DNA tanaman hingga kemampuan menyerap karbon.

Dengan dasar ini, soalnya selalu berada berputar pada lingkaran bagaimana masing-masing ”pemilik” tersebut saling mempertukarkan hasil sumber agraria tersebut secara adil. Di negara kita, suasananya menjadi lebih gaduh karena rezim hukum agraria (dalam makna agraria yang luas) sangat tumpang tindih dan penuh dengan ketidakpastian hukum. Masalahnya kemudian berkembang menjadi, siapakah yang paling berhak memiliki dan secara legal dapat bertransaksi?

Disinilah letak masuknya proyek-proyek neoliberal pertanahan dalam mendorong rezim hukum kepemilikan dan penguasaan baru yang sesuai hukum ekonomi pasar . Para pemiliknya (apakah individu, komunitas, badan hukum, dan pemerintah) mestilah mempunyai hubungan hukum yang diakui oleh sistem hukum nasional yang berlaku, tercatat dengan baik, semua informasi di dalamnya dapat diakses dengan mudah, dan dijalankan oleh birokrasi yang efisien. Dengan demikian, kebutuhan kelompok lain khususnya para investor, untuk mendapatkan semua informasi hukum tersebut dan melakukan transaksi di dalamnya dalam berbagai skema ekonomi dapat dipenuhi.

C.Beberapa Masalah
Jika ditelusuri, mengapa kelompok utama neoliberal seperti Bank Dunia memasukkan agenda-agenda pembaruan agraria dan pembenahan hukum kepemilikan didalamnya juga terkait dengan reputasi SAP yang secara nyata telah terbukti gagal mengikis persoalan kemiskinan dan krisis di berbagai belahan dunia .

Pendeknya, agenda reforma agraria bagi Bank Dunia dipandang sebagai sisi penting bagi usaha menumbuhkan pasar konsumen pedesaan. Juga, dengan elemen reforma agraria seperti land titling akan membuka peluang pasar kredit perbankan. Dan, yang terpenting Reforma Agraria dapat menjadi agenda untuk mempertahankan ketergantungan ekonomi petani dan negara secara keseluruhan dalam sistem ekonomi global.

Imajinasi ini sangat berbeda dengan imajinasi UUPA misalnya, agraria (bumi air dan kekayaan alam di dalamnya) adalah sumber dan alat bagi transfromasi masyarakat menuju kesejahteraan yang tetap harus berkait dengan harga diri kebangsaan dan komunitas. Imajinasi lain UUPA seperti kehendak membangun model industrialisasi nasional yang kokoh dalam hubungan desa-kota, industri dan pertanian dan saling menguatkan, dengan salah satu caranya seperti mengharamkan korporasi memiliki HGU sebab prioritas utama diperuntukkan bagi badan usaha bersama/koperasi milik petani/desa/adat/komunitas sebagai alat transformasi agraria tidak sesuai reforma agraria ala Bank Dunia.

Padahal, imajinasi nasional ini, yang seharusnya disempurnakan melalui praktek-praktek yang setia dengan tujuan pencapaian utamanya (esensi berkesinambungan) sepenuhnya telah diselewengkan di dalam praktek negara dalam menjalankan UUPA selama ini.

D.Peluang "AMAN"?
Peluang yang paling besar saat ini berada di alat-alat demokrasi. Apalagi, dengan semakin berkembangnya alat-alat demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang ditandai dengan tumbuhnya organisasi-organisasi akan membuka semakin banyak penyebarluasan gagasan keadilan sosial termasuk di dalamnya masyarakat adat dan reforma agraria.

Jika memakai demokrasi, maka isu yang layak untuk terus dikembangkan adalah melakukan semakin banyak aliansi dalam rangka memanggil negara untuk bekerja semakin banyak dalam peran-peran sosialnya dalam kerangka pemajuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM.

Pekerjaan memanggil peran negara tersebut mestilah didesakkan dengan seperangkat imajinasi kolektif sosial masyarakat yang sama sekali berlainan dengan imajinasi negara neoliberal. Peluang semacam ini yang paling besar memenuhi prasyarat justru berada di organisasi masyarakat adat di wilayahnya.

Artikel presentasi diskusi dalam rangka HUT AMAN ke IX 2008.
Jakarta, 13 Maret 2008

Iwan Nurdin.

February 18, 2008

Globalisasi dan Multikulturalisme

Oleh: Iwan Nurdin Selamat

Menyimpulkan bahwa globalisasi adalah perkara ekonomi semata terlihat terlalu menyederhanakan. Globalisasi adalah sebuah proyek sosial multi dimensi. Oleh karena itu tidaklah cukup melihat globalisasi sebagai sebuah hal yang datang dari segi politis dan ekonomis semata.

Menurut Ulrich Beck (Majalah Basis, 2005), salah satu kunci memahami globalisasi adalah de-teritorialisasi. Mengutip Sindhunata, untuk mengerti benar makna globalisasi harus diterangkan dengan de-teritorialisasi. Dengan de-teritorialisasi batas-batas geografis ditiadakan, atau dianggap tidak lagi berperan dan menentukan dalam perdagangan antar negara. Batas peraturan teritorial diantara negara-negara yang mengatur seluk beluk produksi hilang dan diganti dengan jaringan transaksi global. Bukan lagi negara, atau sistem masyarakat lokal, melainkan organisasi global yang mengatur dan menentukan seluk beluk produksi tersebut. Jadi, kegiatan bisnis yang dulu teritorial-lokal sekarang menjadi de-teritorial global.

Teritorial dan keteritorialan membentuk hidup manusia, membangun kesosialan dan struktur sosial serta membatasi aktivitas manusia. Keteritorialan yang membentuk ruang sosial itu kerap dimengerti sebagai unsur inti kebudayaan, ekologi, ekonomi, politik dan psikologi manusia. Ruang semacam inilah yang memungkinkan manusia menentukan dan menghayati identitas sosialnya. Sebagai misal, apa yang membuat seorang itu Inggris atau India adalah ruang geografis dimana ia hidup. Keteritorialan itu kategori dan faktor yang hakiki dalam hidup manusia. Dengan datangnya globalisasi keteritorialan itu di-de-teritorialisasikan.

Menurut Beck, pertama-tama de-teritorialisasi mau tak mau mengubah kesosialan manusia. Sebelum era globalisasi, kesosialan yang terkait baik dengan masyarakat, bangsa dan negara ada dan mewujud karena batas teritorial atau wilayah. Karena sekarang batas itu runtuh maka ruang gerak hidup manusia tidak dibatasi lagi oleh kehadirannya pada suatu tempat. Kedekatan geografis dan sosial bukan lagi faktor yang menentukan hidup sosial manusia. Orang tidak lagi hidup disuatu tempat untuk hidup bersama. Sementara hidup bersama disuatu tempat sama sekali bukan jaminan bahwa orang memang hidup bersama.

Pengertian tersebut juga berimbas pada pengertian negara nasional. Dulu negara nasional itu adalah juga negara teritorial. Negara nasional itu terbentuk dengan dibentuknya identitas nasional, yang dikukuhkan dengan batas teritorial. Sekarang batas itu ditiadakan. Akibatnya, walaupun ada anggapan bahwa sebuah negara itu adalah sebuah kesatuan dan keseluruhan, maka kesatuan dan keseluruhan itu bukan lagi nasional melainkan trans-nasional.

Dalam pandangan Beck globalisasi adalah sebuah proses Trans nasionalisme. Trans-nasionalisme adalah lintasan yang melampaui nasionalisme, adalah paradigma yang samasekali baru dan khas globalisasi. Trans-nasionalisme berarti bukan kekuatan organisatoris nasional teritorial yang memainkan peranan perdagangan dan memperebutkan kue yang dihasilkan, melainkan kekuatan trans-nasional. Kekuatan trans-nasional itu akan segera mengatasi organisasi perdagangan nasional yang tidak leluasa bergerak akibat gerak dan batas teritorial.

Globalisasi oleh Trans-nasionalisme dibentuklah sebuah karakter budaya yang tidak lokal, tidak nasional, tidak teritorial. Jadi globalisasi bukan berarti sesuatu yang mengambangkan apa saja dengan dalih keuniversalan, atau suatu tindakan sosial atau hidup sosial yang tidak terikat pada tempat. Dengan globalisasi, tempat atau kebertempatan bukan dihilangkan, melainkan diberi arti yang baru.

Dampak globalisasi dalam bidang budaya selain memberi ruang lokal untuk muncul dan ditafsir ulang, juga mendorong terbentuknya sebuah kultur global. Sebuah kultur global menurut Beck dibentuk oleh imaginasi dan fantasi global. Dalam abad global, manusia menjadi manusia karena mereka terkait dengan satu sama lain melampui batas kelokalannnya. Karena perkembangan media, keterkaitan manusia dengan manusia lainnya mengalami proses intensifikasi. Tak heran, dalam globalisasi sebuah kejadian bisa menjadi kejadian yang sifatnya global. Contohnya berita kematian sri Paus, putri Diana atau berita tsunami yang memicu emosi massa secara global. Globalisasi telah memunculkan imaginasi global dan mendorong manusia untuk memikirkan suatu kehidupan yang lain.

Dengan fenomena diatas, tak heran globalisasi berdalih mencakup yang partikular kedalam yang universal. Padahal, dalam pandangan filsafat sebagai mana di rangkum oleh Sindhunata terdapat sebuah keganjilan. Problem kesatuan antara yang Satu Universal dan Yang Banyak-Partikular dibahas oleh empirisme dan rasionalisme. Empirisme menghargai Yang Banyak dan Yang Partikular, tapi tak berhasil melihat kesatuan antara Yang Satu dan Yang Banyak. Sementara rasionalisme berhasil menghargai Yang Satu, tapi menyepelekan Yang Banyak, karena rasionalisme mengalahkan dan menyerap Yang Banyak ke dalam Yang Satu-Universal.

Kesatuan sejati antara Yang Satu dan Yang Banyak hanya bisa terjadi, bila keduanya berani saling mengosongkan diri, lalu memberikan diri satu terhadap yang lainnya. Padahal globalisasi bukan pengosongan diri tetapi pertarungan. Siapa yang kuat dia yang menang. Sehingga, dalih globalisasi mencakup yang partikular ke dalam yang universal tidak terjadi. Universalitas sejati bukanlah dibangun atas hubungan menang-kalah.

globalisasi memang belum tentu meniadakan kultur yang lokal. Malah globalisasi menjanjikan lahirnya multi-kulturalisme. Namun, bila ditilik lebih dalam, multi-kulturalisme dalam globalisasi itu adalah paham yang menekankan perbedaan-demi perbedaan itu sendiri. Perbedaan-demi perbedaan itu akhirnya melahirkan suatu individualisme massa. Artinya, individu ada hanya untuk berbeda dengan yang lainnya. Dalam hal yang terakhir itulah akhirnya individu-individu yang merasa berbeda itu sesungguhnya sama. Dalam hal ini berlaku adagium semakin kita membanggakan perbedaan semakin kita menjadi sama.

Daur ulang tulisan-tulisan lama

Iwan Nurdin S.

February 16, 2008

Soeharto Versus Petani

Oleh: Iwan Nurdin Selamat

Saat ini, publik seolah sedang “dipaksa” oleh media massa khususnya televisi untuk mencitrakan almarhum mantan presiden Soeharto sebagai sosok yang mempunyai keberpihakan tinggi kepada kaum petani. Dalam beberapa hal, media nampaknya telah berhasil membangun citra ini. Terlebih sekarang di tengah suasana rakyat yang berduka akibat didera persoalan naiknya harga kebutuhan bahan pangan. Tentu saja ajakan media massa ini seolah mendapat angin. Walhasil, media massa secara sistematis telah menambah penyakit amnesia pengetahuan politik pertanian kita.

Sebenarnya begitu mudah mengidentifikasi deretan kebijakan Soeharto yang sangat anti petani. Kita lihat dalam serangkaian kebijakan seperti monopoli pembelian dan penetapan harga gabah, cengkeh, tembakau, jeruk. Kesemua kebijakan ini dijalankan oleh keluarga dan kroninya untuk menumpuk kekayaan. Sampai sekarang, buah dari kebijakan ini masih menyisakan penderitaan yang panjang bagi para petani pangan dan kebun.

Soeharto juga tidak menginginkan jika tanah-tanah negara diperuntukkan bagi rakyat kecil alias pemerintah yang anti landreform. Meski secara statistik petani kita sebagian besar adalah petani gurem dan buruh tani sehingga wajib diberi lahan pertanian sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, hanya 358.210 hektar tanah diberikan kepada rakyat, sebagian besar diberikan melalui program transmigrasi yang residu persoalannya masih melekat sampai sekarang.

Padahal, sepanjang masa Soeharto tanah seluas 5.6 juta hektar diperuntukkan bagi perusahaan perkebunan. Di wilayah hutan keadaannya juga lebih menyedihkan, sepanjang kekuasaannya hutan seluas 64,3 juta hektar diberikan kepada 555 perusahaan yang dimiliki oleh puluhan pengusaha untuk dieksploitasi. Jika kita identifikasi, para pengusaha ini adalah keluarga, kroni dan institusi bisnis kelompok militer. Di sisi lain, hampir 10.5 juta rakyat harus terusir dari hutan-hutan tempat hidup mereka karena dianggap sebagai perambah hutan dan kelompok suku terasing yang merusak hutan. Dampak kebijakan ini selain rusaknya puluhan juta hektar hutan juga telah menyebabkan bencana ekologis yang dahsyat yang telah menghancurkan dan terus menerus mengancam sendi-sendi kehidupan dan keselamatan rakyat dan ekosistem hutan.

Dibalik swasembada beras

Meski demikian, banyak yang menolak pendapat diatas. Bukankah Soeharto telah mendapat penghargaan dari Food and Agriculture Organisation (FAO) pada tahun 1984, lembaga resmi PBB yang menangani masalah produksi pertanian. Tidakkah hal ini telah cukup membuktikan bahwa Soeharto adalah sosok yang benar-benar berhasil dalam membangun dunia pertanian. Bahkan, dengan penghargaan ini, bisa disebut Soeharto telah membuat sebuah prestasi tinggi sebab dua dekade sebelumnya Indonesia adalah negeri pengimpor beras terbesar di dunia.

Swasembada beras yang sering disalahbahasa demi tujuan politik menjadi swasembada pangan adalah buah kebijakan Soeharto dalam mengadopsi dan menjalankan program revolusi hijau. FAO sendiri menganjurkan program ini bukan tanpa tujuan politis. Sebab, hanya revolusi hijau yang dapat bersinergi dengan gagasan developmentalisme Bank Dunia pada masa itu.

Swasembada beras tersebut, dapat tercapai berkat pelaksanaan program revolusi hijau yang telah membuat petani kita mengalami ketergantungan yang sangat tinggi kepada produk industri pertanian seperti benih, pestisida, pupuk kimia. Revolusi hijau juga telah membawa kerugian yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Akibat penggunaan penggunaan produk kimia secara berlebihan juga telah merusak sumber mata air, hara tanah, dan menghasilkan produk pertanian yang tidak aman dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus dan berjangka panjang. Padahal, biaya memulihkan kerusakan tersebut sangat mahal, misalnya pada tanah yang terkontaminasi pupuk kimia dan pestisida sedikitnya perlu diisitirahatkan selama sepuluh tahun.

Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau juga telah mengakibatkan guncangan yang hebat terhadap dasar-dasar sosial politik desa. Sebab, pelaksanaannya telah didahului dengan penyeragaman struktur pemerintahan desa melalui UU No.7/1979 sehingga memudahkan keterlibatan struktur militer dan birokrasi dalam memaksa masyarakat menjalankan program ini. Sampai sekarang, akibat penyeragaman ini telah mengakibatkan hilangnya pranata sosial masyarakat pedesaan yang beraneka ragam dan merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” kita yang tak ternilai harganya.

Jika demikian, Soeharto sesungguhnya bukan sang jenderal yang tersenyum manis kepada petani. Soeharto sedang tersenyum untuk dirinya sendiri karena berhasil menipu dan membuat sengsara jutaan petani dan rakyat hingga masa sekarang tanpa banyak diketahui.


Jakarta, 5 Februari 2008

Iwan Nurdin.

February 11, 2008

Seberapa baik Soeharto kepada Petani?

Oleh: Iwan N. Selamat.


Salah satu prestasi besar Soeharto yang kerap diungkapkan adalah keberhasilannya dalam mencipatakan swasembada pangan (lebih tepat beras) pada tahun 1984. Meski swasembada ini hanya bertahan dua tahun saja. Namun, biaya sosial ekonomi dari swasembada beras tersebut terus saja membebani bangsa sampai sekarang dan belum terlihat tanda-tanda bisa berakhir.

Swasembada beras tersebut, dapat tercapai melalui program revolusi hijau yang telah membuat petani kita mengalami ketergantungan yang sangat tinggi kepada produk industri pertanian seperti benih, pestisida, pupuk kimia. Sampai sekarang, ketergantungan tersebut berkontribusi penting dalam memiskinkan petani sebab setiap tahun uang petani banyak terpakai untuk konsumsi benih, pestisida dan pupuk. Dari sisi pemerintah, anggaran peningkatan produksi pertanian juga lebih banyak terserap untuk belanja semacam ini ketimbang memperbaiki jaringan irigasi dan sistem pasar produk pertanian kita. Kesemuanya telah memberikan keuntungan yang besar bagi industri bukan petani.

Revolusi hijau juga telah membawa kerugian yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Akibat penggunaan benih pabrik, ribuan varietas benih pertanian yang secara turun temurun dimiliki rakyat menjadi punah. Penggunaan produk kimia secara berlebihan juga telah merusak sumber mata air, hara tanah, dan menghasilkan produk pertanian yang tidak aman dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus dan jangka panjang. Padahal, biaya memulihkan kerusakan tersebut sangat mahal, misalnya pada tanah yang terkontaminasi pupuk kimia dan pestisida sedikitnya perlu diisitirahatkan selama sepuluh tahun.

Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau juga telah mengakibatkan guncangan yang hebat terhadap dasar-dasar sosial politik desa. Sebab, pelaksanaannya didahului dengan penyeragaman struktur pemerintahan desa melalui UU No.5/1979 sehingga memudahkan keterlibatan struktur militer dan birokrasi dalam memaksa masyarakat menjalankan program ini. Sampai sekarang, akibat penyeragaman ini telah mengakibatkan hilangnya pranata sosial masyarakat pedesaan yang beraneka ragam dan merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” kita yang tak ternilai harganya.

Jika demikian, apakah FAO telah keliru memberi penghargaan kepada Soeharto? Tidak. FAO memang dengan sengaja memberi penghargaan kepada Soeharto karena ketaatannya pada program Revolusi Hijau tersebut. Sehingga, harapannya program ini bisa diadopsi oleh negara-negara lainnya. Pada era tersebut, politik kebijakan FAO memang didominasi oleh kerangka pemikiran revolusi hijau. Harapannya, negara-negara lain melupakan program reforma agraria dengan basis landreform. Sebab, reforma agraria dipandang sebagai isu yang kurang menguntungkan ditengah suasana Perang Dingin.

Tak heran lembaga-lembaga dunia semacam FAO ini begitu mudah balik arah tanpa merasa bersalah. Sebagai pembanding, kita bisa melihat tingkah Bank Dunia, yang begitu mudah memberi gelar dan puja-puji terbaik kepada Soeharto dan Orde Baru, tetapi dengan mudah pula memberi gelar terburuk ketika angin kekuasaan berubah. Jadi, prestasi dan penghargaan dari FAO tidak salah sasaran.

Seberapa besar keuntungan dari swasembada beras semasa Soeharto dapat dinikmati petani? Swasembada beras semasa Soeharto sebenarnya tidak menaikkan pendapatan sebagian besar petani kita (SAE:1983). Sebab, sebagian besar petani kita sebenarnya adalah petani gurem dan buruh tani. Bagi kelompok ini, program revolusi hijau telah membuat biaya produksi tidak sebanding dengan hasil pertanian. Sementara bagi buruh tani revolusi hijau juga telah mengakibatkan peluang kerja disektor pertanian semakin menipis akibat mekanisasi pertanian.

Turunan dari persoalan pertanian pangan semacam ini terus mendera bangsa kita, sebab kemiskinan pedesaan tersebut kemudian menjalar hingga menjadi masalah perburuhan dan perkotaan akibat urbanisasi bahkan terakhir menjadi persoalan kebangsaan kita ketika para penduduk desa yang miskin ini menjalar ke luar negeri untuk menjadi TKI dengan keterampilan rendah dan tanpa perlindungan dari negara.

Jika bukan kepada petani pangan, mungkin Soeharto punya rekaman yang baik kepada petani perkebunan rakyat. Tentu kita masih ingat bagaimana kebijakan Soeharto dalam menyangga harga cengkeh melalui BPPC yang telah membuat jutaan petani cengkeh gulung tikar. Atau kebijakan harga jeruk telah mengakibatkan kejadian serupa.

Lalu, mengapa begitu getol hendak memberi gelar pahlawan kepada Soeharto karena dianggap sangat berprestasi dalam pembangunan dunia pertanian? Tentu bukan untuk menyelamatkan Soeharto, tapi sebuah penyelamatan dari kelompok rezim otoriterian Soeharto dari sebuah tanggungjawab dan hukuman dari masalalu dan masa sekarang.


Jakarta, 5 Februari 2008



Iwan Nurdin Selamat

January 29, 2008

FAJAR REFORMA AGRARIA DI INDONESIA? DARI AGENDA PETANI KE AGENDA BANGSA

Oleh: Noer Fauzi

Sejak mula saya harus terang-benderang menunjukkan bahwa tempat berangkat dan cara pandang refleksi ini berpinjak dari pengalaman kerja-kerja dalam gerakan-gerakan sosial, organisasi-organisasi non-pemerintah dan kemudian dunia akademis dimana saya sekarang bercokol. Penegasan ini sangatlah membantu, sebab dalam ilmu sosial dan humaniora, tidak dapat dibenarkan ada klaim bahwa penceritaan suatu karya – baik dengan klaim ilmiah, essay filosofis, observasi sekilas, maupun fiksi – adalah bebas dari pengaruh dari posisi-posisi si pembuatnya. Bila ada klaim bahwa narasi ilmu sosial dan humaniora itu bebas-posisi alias netral, maka yang musti diselidiki adalah bukan benar salahnya klaim tersebut, karena akan sia-sia dan tak berkesudahan, melainkan dalam kondisi apa dan bagaimana klaim itu disebarluaskan dan kemudian dianut oleh komunitas tertentu, dan kemudian kepentingan apa yang diemban oleh pengetahuan dan penyebar-penganut pengetahuan tersebut.

Pentingnya posisi dan kesadaran akan posisi (positionality) mempengaruhi isi dan cara pengetahuan disajikan telah disadari oleh sejumlah penulis kalangan antropologi refleksif, sosiologi ilmu, dan feminis di tengah tahun 1980-an (misalnya Clifford dan Marcus 1986; Haraway 1988; Hartsock 1987). Argumen utama yang mereka kemukakan adalah bahwa semua pengetahuan akademik, juga pengetahuan lainnya, senantiasa bergantung situasi (are always situated), dan selalu dihasilkan oleh pelaku yang berposisi tertentu (are always produced by positioned actors), yang bekerja di dalam berbagai hubungan sosial dan di antara berbagai posisi
lain yang dihadapinya. Semua inilah yang membuat satu pengetahuan yang satu berbeda dengan pengetahuan lainnya, sebagai akibat dari proses pembuatannya (dilakukan oleh siapa, bagaimana dan juga untuk siapa bentuk akhir pengetahuan itu mau disajikan). Justru kesadaran dan pengakuan bahwa pengetahuan yang dihasilkan senantiasa bersifat kontekstual dan relasional inilah yang kemudian dinilai lebih jujur, meyakinkan dan memberdayakan para pembaca dan peneliti lainnya untuk melihat hubungan-hubungan baru yang sering tidak terduga, termasuk yang memberi kemungkinan untuk aksi-aksi kolektif yang baru pula (Cook 2005).

Kebangkitan Agenda Reforma Agraria di Badan Dunia, Negara dan Organisasi Gerakan Sosial
Pada jaman sekarang, akses pada tanah dan agenda mengubah struktur agraria – yang biasa dikenal dengan istilah reforma agraria (bahasa spanyol), atau dikenal juga dengan nama agrarian reform (bahasa Inggeris) atau pembaruan agraria (bahasa Indonesia) – telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dari agenda pembangunan dari berbagai badan internasional, negara dan organisasi gerakan sosial pedesaan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Kebangkitan itu diiringi pula oleh beragam cara pandang untuk memahami, menganalisas dan merancang jalannya reforma agraria (Putzel 2000, Ghimire 2001, FAO 2001, Prosterman and Hanstaad 2001, Ghonemy 2003, Cox et al 2003, Moyo and Yeros 2005b, Cauville and Patel 2006, Quan 2006, Borras et al 2006, and Cousin 2007).

Pertama, kegagalan global teori dan praktek neoliberalisme sepanjang 25 tahun, semenjak dilancarkannya apa yang diistilahkan dengan SAP (Structural Adjustment Program) atau Program Penyesuaian Struktural, yang diberlakukan secara menyeluruh dalam suatu negara maupun yang khusus pada sektor pertanian. Apa yang dimaksud dengan SAP itu adalah serangkai paket kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dimulai tahun 1980-an untuk menghadapi krisis hutang yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Paket kebijakan itu dapat dibedakan menjadi dua: stabilisasi dan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural. Sebagaimana diurai Rita Abrahamsen, ”Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnya berjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran Negara melalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program program ini, diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaan domestik baik terhadap barang-barang import maupun eksport. Meskipun program-program stabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan-tindakan penyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalan keseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program ini umumnya lebih berjangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktifitas dan efisiensi, mengubah sumberdaya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapat diperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan” (Abrahamsen, 2003:65-66). Akibat dari SAP ini adalah liberalisasi ekonomi, dimana peran-negara secara drastis telah direduksi melalui pengurangan-pengurangan pengeluaran publik, privatisasi kegiatan-kegiatan sektor- publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.

Kedua, sepanjang periode yang sama, bangkitnya kembali suatu generasi baru gerakan-gerakan sosial pedesaan. Dengan sangat menyadari perbedaan asal-usul dan cara bagaimana gerakan-gerakan itu menampilkan dirinya, titik berangkat pemahaman kita dapat dimulai dari kerangka besar proses penghilangan dunia pedesaan, agraria dan petani (deruralization, deagrarianization and depesasantization processes), yang dilakukan melalui bentuk-bentuk urbanisasi yang umum, dan masuknya perkebunan-perkebunan skala raksasa, perusahaan ekstraksi sumber daya alam (tambang, hutan, dll), industri manufaktur, perluasan kawasan industri dan permukiman, dan lainnya, ke pedesaan. Araghi mengemukakan istilah global depeasantisation untuk gejala “meningkatnya jumlah orang yang tadinya terlibat dalam pertanian … dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah besar-besaran menjadi terkonsentrasi di wilayah perkotaan” (1995:338).

Seperti yang dilaporkan World Population Prospects (1988), di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin – yang pada dalam konteks perang dingin diistilahkan “Dunia Ketiga” – penduduk yang hidup di kota mencapai 41 persen di tahun 2000, melonjak cepat dari 16 persen di tahun 1950 (Araghi 1995). Sejarawan kondang Hobsbawm adalah penyuara dari golongan yang menganggap petani akan lenyap, seperti yang ditulisnya dalam karya klasik Age of Extremes bahwa “… perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yang memutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah the death of the peasantry, kematian petani (yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui) (Hobsbawm,1994: 288-9, 415). Kenyataan ini diperparah oleh ”penerapan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus memberi akibat pemusnahan (dissolving effect) kehidupan petani” (Bryceson dkk 2000: 29), sebagai mana yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian perubahan agraria di Asia, Afrika dan Amerika Latin di akhir abad 20.

Ketiga, adalah suatu faktor kesempatan politik yang terbuka, yang memungkinkan diangkutnya agenda akses atas tanah ke dalam arena-arena pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal, nasional dan global. Perubahan struktur kesempatan politik memberi sinyal dan peluang bagi angkai aksi kolektif tertentu. Tentunya, tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapi struktur kesempatan politik yang tertentu pula. Adalah tidak mungkin menggeneralisir struktur kesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan tertentu. Namun, memang ada perubahan politik utama yang dihadapi oleh masing-masing gerakan pedesaan. Secara umum pada skala nasional, kesempatan politik bagi aksi-aksi kolektif dan perjalanan gerakan sosial dapat dibuka oleh tumbangnya rejim apartheid, transisi dari rejim otoritarian atau komunis, dan adanya berbagai partai politik yang membutuhkan legitimasi dan dukungan mayoritas penduduk pedesaan. Sedangkan pada tingkat global, kesempatan politik itu dapat dibuka melalui perubahan kepemimpinan, kebijakan, orientasi teori dan agenda pembangunan badan-badan internasional.

Penyelidikan atas pemanfaatan kesempatan-kesempatan politik yang tersedia itu, diketahui bahwa bentuk umum dari aksi-aksi kolektif dari gerakan pedesaan saat ini berbeda nyata dengan yang dilakukan gerakan-gerakan yang berkembang di masa kolonial maupun di masa ketika land reform berjaya di tahun 1960an-1970-an. Petras (1998), yang menuliskan bahwa ”Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang terdahulu, yang tidak juga cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak kemana-mana, buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Webster (Webster, 2004:2) menguatkan ”Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata dengan karakter gerakangerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20 dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya.”

Publikasi Akademik yang Mengiringi Kebangkitan Agenda Reforma Agraria
Di publikasi akademik di awal abad 21 ini, pokok bahasan seputar akses pada tanah dan reforma agraria kembali tampil berupa buku maupun artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sekedar sebagai ilustrasi, di awali di tahun 2001, terbit naskah di bawah bendera the UN World Institute for Development Economics Research (WIDER) berjudul Access to Land, Rural Poverty and Public Action (de Janvry et al. 2001). Naskah ini mendiskusikan panjang lebar seluk-beluk betapa pentingnya akses atas tanah dan kebijakan dan tindakan publik untuk memerangi kemiskinan di pedesaan. Buku kumpulan tulisan ini juga menghadirkan evaluasi terhadap dua bentuk land reform, yakni State-led Land Reform dan untuk sebagian menghadirkan Grassroot-Initiatiated Land Reform. Namun, pada intinya buku itu adalah promosi mengenai tak tergantikannya peran pasar dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap tanah, dan perlunya pemerintah mengadopsi Market-assisted Land Reform. Jelas-jelas promosi pendekatan pasar ini dielaborasi dalam buku Land Policies for Growth and Poverty Reduction. World Bank Policy Research Report. Walaupun buku ini dinyatakan sebagai karya karya Klaus Deininger (2003), namun lebih jauh buku ini merupakan “pegangan ideologis” dari the WB’s Thematic Group on Land Policy and Administration (sering disebut secara singkat sebagai The Land Thematic Group), yang mengarahkan proyek-proyek land reform dan manajemen dan administrasi pertanahannya Bank Dunia, dan badan-badan pembangunan internasional lainnya.

Pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (International Fund for Agricultural Development) yang mengeluarkan IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, yang secara eksplisit menghidupkan kembali keunggulan usaha pertanian skala kecil, dan redistribusi tanah skala besar dalam strategi mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Yang memimpin penulis laporan IFAD tersebut adalah Michael Lipton, yang telah terkenal sebagai tokoh pendekatan neo-populis dalam pembangunan pedesaan (Lipton 1977) dan juga khususnya berjasa dalam teorisasi land reform ketika agenda ini sedang jaya-jayanya di badan-badan pembangunan interansional dan negara-negara berkembang di akhir tahun 1970an (Lipton 1974). Laporan tersebut segera dikuatkan oleh artikel panjang dari K.Griffin, A.R. Khan and A. Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land” dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3), yang untuk kembali menghidupkan argumen tentang kebijakan dan praktek urban bias yang memelihara kemiskinan, dan pentingnya land reform sebagai strategi memeranginya.

Sebagai tanggapan atas artikel ini, dan buku Access to Land di atas, Bernstein (2002) “Land Reform: Taking A Long(er) View” dalam Journal of Agrarian Change 2002 No. 2(4) mengedepankan suatu kritik yang tajam berangkat dari pandangan strukturalis Marxis baik terhadap pendekatan pasar maupun neo-populis. Selanjutnya, Byres (2004) menyunting artikel-artikel yang mengelaborasi lebih lanjut pandangan Marxis strukturalis ini dalam Journal of Agrarian Change 2004 No. 4 (1&2) dan mengkritik argumen utama pendekatan neo-populis dengan basis contoh-contoh empiris, yang kemudian ditanggapi balik oleh Griffin, A.R. Khan and A. Ickowitz (2004) dalam karya “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism” dalam Journal of Agrarian Change 2004 no 4(3).

Keseluruhan naskah yang disebut di atas sekarang ini merupakan naskah-naskah wajib bagi para pelajar kebangkitan agenda land reform. Setahun kemudian, terbit pula buku suntingan Sam Moyo and Paris Yeros (2005) Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America, yang mengkoleksi artikel-artikel tentang politik perjuangan tanah dari berbagai belahan negara Afrika, Asia and Latin America. Argumen utama dari para penulis ini memperoleh tanggapan kritis dari Ben Cousin (2006) “Debating the Politics of Land Occupations” dalam Journal of Agrarian Change No. 6(4). Selanjutnya UNDP (the United Nations Development Programme) membiayai dan kemudian menerbitkan studi yang berjudul Land, Livelihoods and Poverty in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries yang disunting oleh A. Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M. Borras Jr, Cristóbal Kay (2007), dan yang terakhir adalah karya-karya tulis yang bermutu tinggi dari suatu lingkaran aktivis yang tergabung dalam LRAN (Land Research Action Network) yang sepanjang tiga tahun pergulatan advokasi kebijakan nasional dan global pada “Agrarian Reform and Food Sovereignty”: Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform, yang disunting oleh Peter Rosset,Raj Patel,Michael Courville (2007).

Sekelumit karya akademik yang diulas di atas, dimaksudkan untuk menunjukkan kecenderungan global dan rangkai karya akademik yang mendebatkan agenda reforma agrarian dari berbagai sudut pandang, dan menghantar pada suatu niat pokok untuk meninjau fajar (?) agenda reforma agraria di Indonesia saat ini. Dalam suasana demikian itu lah refleksi dari kemelut-kemelut keagrariaan saat ini dilakukan. Pesan refleksi utama yang hendak secara tegas disampaikan disini adalah reforma agraria pada dasarnya adalah bukan sekedar agendanya petani, tapi lebih dari itu adalah agenda kebangsaan. Saat ini sedang kita cari adalah cara bagaimana agenda bangsa itu bekerja di atas alas kemelut kelembagaan dan perjuangan kongkrit rakyat untuk mempunyai dan menggarap tanah, dan mengelola kekayaan alam dengan aman dan nyaman.

Perjalanan Panjang Berliku Reforma Agraria di Indonesia
Di dalam sejarah Indonesia sendiri, agenda Reforma Agraria memiliki perjalanan yang panjang, berjalinan dengan pembentukan bangsa dan negara. Elan kebangsaan yang dahulu tumbuh dan ditumbuhkan dari alas pengalaman penderitaan kolektif di bawah imperialisme dan kolonialisme itu, telah menjadi dasar bagi dijalankannya program-program reforma agraria di awal masa dekolonisasi, seperti penghapusan hak istimewa desa-desa perdikan di Banyumas (UU No. 13/1946), penghapusan hak conversie, hak istemewa sekitar 40 perusahaan tebu di Surakarta dan Yogyakarta untuk peroleh tanah dan tenaga kerja (UU Darurat No. 13/1948), legalisasi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat (UU Darurat No. 8/1954), dan pelarangan tanah-tanah partikelir (UU No. 1/1958). Elan kebangsaan itulah yang tidak mengizinkan berlangsungnya struktur agraria yang eksploitatif dan organisasi “negara dalam negara” yang berjalinan langsung dengan penderitaan kaum tani di desa-desa perdikan, kawasan vostenlanden dan tanah-tanah pertikelir itu. Elan kebangsaan dan penderitaan kaum petani ini jua lah yang mendasari pembentukan panitia negara untuk menyusun undang-undang agrarian nasional (melalui Surat Penetapan Presiden No 16/1948), yang selama 12 tahun melalui banyak lika-liku dan pada gilirannya menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan nama UUPA 1960, yang lengkapnya bernama Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria. (Praptodihardjo 1952, Tauchid 1953, Gautama 1973, Soemardjan 1962, Fauzi 1999).

Sayangnya karya monumental bangsa (UUPA 1960) itu, ruang dan program penerapannya menyempit pada sektor pertanian rakyat dengan pengaturan perjanjian bagi hasil agar lebih adil (UU No. 2/1960), pembatasan penguasaan tanah maksimum dan minimum (UU No. 56/PRP/1960), dan cara pelaksanaan redistribusi tanah objek land reform, yakni tanah kelebihan, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah negara lainnya (PP 224/1960). Sistem agraria dan kawasan perkebunan dan kehutanan yang seyogyanya dikenai program reforma agraria berhasil menghindarkan diri dan selamat dari peluruhan yang dilakukan politik agrarian dan pergerakan rakyat pada saat itu. Tenaga rakyat petani yang didorong oleh rasa pemenuhan keadian sosial itu telah digerakkan secara politik untuk berhadapan frontal dengan para tuan tanah. Yang kemudian terjadi adalah penciptaan perjuangan kelas di pedesaan di keseluruhan Jawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Nusa Tenggara. Penyederhanaan dan penyempitan hubungan sosial dan kebudayaan menjadi sekedar hubungan kelas belaka memungkinkan masing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik menemukan arena pertarungannya secara nyata di pedesaan (Lyon 1976, Utrecht 1969, Mortimer 1972). Kelembagaan dan desain penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-demi-desa, panitia land reform hingga pegadilan land reform – pun menjadi arena dari pertarungan itu. Walhasil, yang terbentuk adalah suatu “bara” bagi percik api pertarungan elite nasional yang di tahun 1965- 1966 berujung pada peralihan politik yang brutal dan sangat dramatis dari rejim yang kemudian dijuluki “Orde Lama” ke rejim “Orde Baru” (Cribb 1990, 2001, 2002, Fauzi 1999).

Selanjutnya, di bawah masa konsolidasi kekuasaan orde yang baru, agenda redistribusi kekayaan jelas dikeluarkan dari perancangan strategi pembangunan. Agenda itu akan akan memporak-porandakan koalisi politik antara militer, elite-elite partai politik kanan, teknokrat pro-kapitalime Barat, petani-petani penguasa tanah luas, dan segelintir pengusaha modal besar bangsa pribumi dan asing. Koalisi ini lah yang menjadi sandaran dari strategi pembangunan agraria yang baru (Mas’oed 1983, 1989, Utrecht 1973). Politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun (Husken and White 1989, Kasim dan Suhendar 1996, Fauzi 1977, 1999, Farid 2005).

Keterputusan perjalanan reforma agraria itu, dan selanjutnya pilihan model pembangunan itu menyebabkan terciptanya berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang kronis, kesemerawutan tata penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan konflik agrarian yang berkepanjangan (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Kesemua pusaka itu, yang mungkin saja dapat diwakili dalam konsep “ketidakadilan agraria dan lingkungan” semakin diperhebat dengan cara penanganan dan pemulihan krisis ekonomi yang berlangsung semenjak 1997 sampai 2004, bahkan hingga sekarang. Yang merebak di kalangan rakyat dan pimpinan lokal di banyak daerah adalah sentimen “anti-negara”, sebagai proksi dari anti-praktek rejim Orde Baru, dan merebaknya etno-nasionalime. Ironisnya, instrumen-instrumen pembentukan negara yang demokratis dan terdesetralisir saat ini belum sanggup mendekatkan perjuangan keadilan sosial dan lingkungan itu dengan pembentukan rasa kebangsaan. Kontras dengan hal itu, yang terjadi adalah suatu pendalaman integrasi sumberdaya alam dan tenaga kerja rakyat ke dalam sirkuit kapital modal internasional, yang saat ini telah sampai pada apa yang dirumuskan oleh Karl Dalam suasana demikian, tidak heran bila Ladejinsky (1961) menyatakan “I am almost inclined to to view that it is essentially an anti-land redistribution program, although I am certain that it was not planned that way originally” (Walinsky 1977:298) Polanyi (1944) kekuasaan pasar yang memaksa tenaga kerja, uang dan tanah dilepas dari sistem-sistem sosial yang mengikatnya. Inilah hakekat dari Neoliberalisme, suatu utopia eksplotasi tanpa batas (Bourdieu 1998).

Geliat Reforma Agraria Saat ini
Agenda “Reforma Agraria” dan “pengelolaan sumber daya alam” kembali bergeliat dimulai sejak awal 1990an dan terus digeluti oleh sejumlah sarjana dan aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agraria, serta menghasilkan naskah-naskah studi kondisi agraria dan kritik politik agraria yang dianut rejim Orde Baru (Kasim dan Suhendar 1996, Bachriadi et al 1997, Suhendar dan Winarni 1997, Wiradi 1999). Lebih dari itu, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, konferensi yang dimotori serikat-serikat petani lokal, dan organisasi non-pemerintah tak putus-putusnya menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda reforma agraria (lihat misalnya Harman et al 1995, Fauzi and Fidro 1998). Sementara itu, tuntutan-tuntutan keadilan agrarian dan lingkungan yang dijalankan oleh penduduk-penduduk desa berlangsung terus hingga menemukan momentum yang pas untuk meluaskan aksi-aksi pendudukan tanah itu, yakni saat mengiringi berakhirnya kekuasaan rejim Soeharto, di tahun 1998.

Keterbukaan politiklah yang memungkinkan penampilan terbuka dari berbagai mobilisasi massa hingga pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria di tingkat lokal hingga nasional, yang di antaranya ditulang punggungi oleh aktivis-aktivis agraria dan lingkungan. Ketika kesempatan politik terbuka dalam sidang-sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tahun 1999 hingga 2001, yang terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia 1966-1998, para promoter reforma agraria dan aktivis gerakan lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey 2002, 2003, Bachriadi 2002 , Wiradi 2002, Lucas and Warren 2003, Ya’kub 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi 2002, Soemarjono 2002, 2006, Winoto 2007).

Salah satu badan negara yang selanjutnya mengusung agenda ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks “transitional justice” untuk menyelesaikan pelanggaram HAM di masa Orde Baru.3 Ujung dari usaha ini adalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) yang kemudian ditolak pembentukannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, Komnas bekerjasama dengan organisasi gerakan agraria menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20 April 2001 di Jakarta. Salah satu resolusinya adalah desakan pembentukan TAP MPR tentang Pembaruan Agrarian dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria (Fauzi 2001, Bachriadi 2004, Tim kerja KNUPKA 2004).

Pimpinan BPN-RI pada periode 2002 - 2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya” (Soemardjono 2006). Hal ini tentu menangguk pro dan kontra yang tidak selesai, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, hingga akhirnya tercapai kesepakatan antara pimpinan baru BPN-RI saat ini dengan Komisi II DPR-RI pada tahun 2006 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA. Sedangkan, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto 2006).

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian (Republika Online September 28, 2006), dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini (misalnya untuk sector kehutanan lihat Kartodirjo 2002, Contreras-Hermosilla and Fay 2005, sedangkan untuk sektor pertanian lihat Mayrowani et al 2004), namun di dua departemen itu, agenda reforma agrarian belum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, kita sulit menemukan integrasi program Reforma Agraria di kedua departemen itu. Bahkan inisiatif-inisiatif dari Departemen Kehutanan, mulai dari pembentukan kawasan konservasi yang koersif, pembolehan invesasi pertambahangan di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baru perhutanan sosial, dan Departemen Pertanian, mulai dari revitalisasi perkebunan, perkebunan untuk bahan bakar nabati hingga pelestarian lahan pertanian sawah abadi, dapat dinilai sebagai bentuk-bentuk yang tergolong dalam apa yang disebut Feder (1970) sebagai counterreform. Tentunya hal ini semakin memperumit kelembagaan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam saat ini.

Tatapan Ke Depan: Kebutuhan akan Pengetahuan Teori dan Praktek Reforma Agraria
Saat ini karya tulis akademik berbahasa Indonesia mengenai seluk-beluk kondisi, politik, gerakan dan reforma agraria masih sangat terbatas. Undangan Benjamin White (2005:132) untuk merintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria” sungguh-sungguh relevan untuk Indonesia saat ini. Dengan sangat menyadari bahwa salah satu syarat dari pelaksanaan reforma agraria yang berhasil adalah tersedianya basis pengetahuan yang memadai, maka yang benar-benar diperlukan adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi dan struktur agraria wilayah, kelembagaan agraria, politik dan pembangunan agraria wilayah, dan Kesemerawutan pengelolaan sumber daya alam, serta berbagai inisiatif menjalankan reforma agraria. Reforma agraria meniscayakan ragam-ragam itu. Keragaman itu sungguh adalah kekayaan bangsa Indonesia.


Disampaikan pada acara Refleksi Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta 27 Desember 2007


Penulis Adalah
Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-2002, Kordinator Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan
Agraria 2002-2005. PhD Candidate di University of California – Berkeley, Department Environmental Science, Policy and
Management (ESPM).

January 15, 2008

Negeri yang Memaklumi Bencana

Oleh: Iwan Nurdin

Hujan, bentuk morfologi bumi, alur sungai dan laut adalah karunia dan takdir Tuhan. Namun, takdir ini tidaklah serta merta membuat kita harus berdekatan dengan bencana alam. Sebab, banyak dari bencana alam ini sebenarnya adalah pilihan bukan takdir. Tidak ada satupun dalil yang bisa mensyahkan bahwa bencana adalah cobaan dari Tuhan. Perilaku kolektif kita sebagai bangsa yang membuat kita lebih memilih bencana alam sebagai rutinitas. Akhirnya, kita bisa memberi embel-embel bencana dengan berbagai kategori-kategori seperti banjir lima tahunan, langganan banjir, musim kebakaran hutan dll.

Bukankah hujan deras tidak membuat manusia mati, karena air tersebut akan ditangkap oleh tanah, meresap dan dialirkan sungai. Pemerintahan yang memberikan izin pembangunan kota secara ngawur, pembalakan hutan, di daerah-daerah tangkapan air adalah penyebab kematian itu. Gempa tidak membunuh manusia, bangunan yang tidak tahan gempalah yang membunuh manusia. Panas musim kemarau tidak membakar hutan, pemerintah yang membiarkan landclearing hutan dengan cara dibakar adalah penyebabnya. Jadi, Tuhan melalui alam ciptaannya tidak pernah memberikan cobaan dan membunuh para manusia. Dengan alur pemikiran demikian, sesungguhnya dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Negara kira telah dengan sengaja melakukan penghancuran kehidupan warganya secara sistematis.

Pemerintah yang demikian inilah yang sesungguhnya setiap hari menaungi seluruh warganya. Ketika bencana datang, yang disiapkan oleh pemerintah prosesi pejabat dan pimpinan partai politik membagikan makanan. Liputan media adalah tujuannya. Kemudian, upacara “pameran kebaikan” ini memberi jalan bagi rencana pembangunan berbagai proyek bencana lainnya seperti penggusuran dan pemindahan paksa penduduk justru dengan tajuk mencegah terulangnya bencana. Tidak ada opsi menghukum para penyebab banjir. Sebab, ini adalah takdir Tuhan. Jadi harap maklum dengan bencana.

Demikianlah pemerintah mengajarkan kepada warganya dalam melihat bencana. Ia dipandang sebagai sebuah kuasa diluar manusia yang didesain oleh tangan tak terlihat dan maha kuat. Padahal, jika hendak mengulitinya sedikit saja, penyebab semua bencana adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang didesain oleh tangan-tangan tak nampak dari golongan ekonomi kuat. Proses ini telah membuat desa-kota, pertanian dan industri kita bertumbuh sekehendak hati aliran modal.



Di tengah banyak pihak dididik menjadi maklum. Publik yang sadar harus tetap berkeras hati untuk tidak maklum. Pasalnya, pemerintah kita masih berani melakukan kebohongan publik dengan mengkambing hitamkan Tuhan dalam setiap bencana. Juga dikarenakan meski secara formal kita telah mengadopsi demokrasi, dengan melihat peristiwa-peristiwa ini, pemerintah yang ada sekarang tetaplah seri lanjutan dari elit birokrasi dan politik warisan negara otoriter birokratik rente Orba.

Warisan yang paling dominan pada birokrasi kita yang telah menyebabkan bencana adalah pandangannya yang sangat keliru dalam melihat sumber-sumber agraria (bumi, air, udara diatasnya). Selama ini, sumber agraria seperti tanah, hutan, pesisir dan kelautan sebagai tempat untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri dan kelompok politik.

Perilaku tersebut telah menyebabkan tata pengelolaan sumber-sumber agraria kita dikotak-kotakkan sebagai sektor yang terpisah dan sulit berkoordinasi kerja. Perburuan rente dalam sektor-sektor ini telah melahirkan ego sektoral yang dominan.

January 4, 2008

Proyeksi Penegakan HAM 2008: Ketidakmauan Penegakan HAM Berlanjut

Koalisi Organisasi Non Pemerintah Hak-hak Asasi Manusia dan Korban Pelanggaran HAM yang terdiri dari Arus Pelangi, Demos, FSPI, HRWG, Imparsial, Kalyanamitra, LBH-APIK, Praxis, Jaringan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (JSKK), INFID, Jaringan relawan Kemanusiaan (JRK), KontraS, Setara Institute, PBHI, Prakarsa, SHMI, Wahid Institute, YLBHI, bermaksud menyampaikan catatan bersama tentang evaluasi dan proyeksi HAM 2007 dan 2008. Catatan ini akan terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu kilas balik 2007, proyeksi penegakan HAM 2008, serta rekomendasi.


1. Kilas Balik
Komitmen negara Republik Indonesia (RI) dalam mengimplementasikan hak-hak manusia cenderung memburuk sepanjang tahun 2007. Kelemahan ini terletak pada inkonsistensi antara apa yang dikesankan dengan apa yang sesungguhnya direalisasikan. Realitas keadaan hak-hak manusia baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya justru mematahkan upaya pemerintah dalam menampilkan citra diplomasi yang baik atau terbuka di mata internasional. Disamping itu kesan positif ini pada dasarnya gagal merespon rangkaian pelanggaran atau pengingkaran hak-hak manusia baik di tingkat internasional seperti Myanmar, Malaysia, Pakistan, buruh migran dan perdagangan karbon (perubahan iklim) maupun di dalam negeri yang dalam praktiknya tidak menghasilkan perubahan signifikan baik melalui tindakan dan kebijakan (violation by commission) dan pembiaran (violation by omission). Pencitraan politik luar negeri di bidang HAM, dengan berbagai kerjasama meknisme HAM internasional, tidak sejalan dengan sikap pemerintah terhadap realitas pelanggaran hak-hak manusia di berbagai negeri terutama dalam bentuk pembatasan dan pengekangan kebebasan sampai pembunuhan kaum oposisi politik.

Bahkan pencitraan diplomasi HAM itu tidak sejalan dengan realitas pelanggaran HAM di berbagai pelosok Indonesia. Keterbukaan pemerintah untuk memberikan akses terhadap dua pelapor khusus dan komisioner tinggi hak-hak manusia PBB, justru tidak didukung sejumlah aparat dalam pelaksanaan misi kunjungan mereka untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak-hak manusia. Aparat penegak hukum tetap ambil bagian dalam kebiasaan atau melakukan praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, terutama sering menggunakan kekerasan dan senjata api dalam menangkap tersangka. Kewajiban POLRI sebagai pelindung hak-hak setiap orang atas ancaman atau gangguan dari pihak ketiga maupun sebagai pembasmi kejahatan tampaknya semakin mengkhawatirkan seiring dengan terus terjadinya penutupan rumah-rumah ibadah dan penyerangan atas kelompok minoritas agama. Pemerintah pun masih berwatak diskriminatif dan represif atas kebebasan yang diperjuangkan kelompok minoritas agama. Situasi ini menandai dibiarkannya praktik kekerasan dan intoleransi dari pihak ketiga dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan dari negara. Kondisi intoleransi dan diskriminasi juga masih terus dialami para korban Tragedi 1965-1966.


Banyaknya kegagalan aparat penegak hukum maupun mekanisme pengadilan untuk menghukum para pelaku kejahatan, termasuk belum terungkapnya secara hukum siapa para pelaku dan orang yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan Munir, semakin menguatkan dugaan proses ini sebagai bagian dari pelembagaan kejahatan tanpa hukuman (impunity). Daftar kegagalan ini terus bertambah bila dihubungkan dengan berbagai kejahatan yang berulang di daerah konflik seperti Poso, bahkan kejahatan yang terburuk sekali pun tidak pernah dihukum. Selain itu, banyak pula kasus atau perkara korupsi yang gagal diproses secara jujur dan non-diskriminasi, menandai kuatnya dugaan impunitas. Seluruh proses pelembagaan impunitas ini semakin memupuskan harapan para korban kejahatan dan pelanggaran hak-hak manusia untuk meraih keadilan.

Dalam pemilikan dan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan dan industri di perkotaan, terutama sengketa lahan, penggusuran kaum miskin kota, dan pembatasan kebebasan berserikat kaum buruh, ditandai dengan keterlibatan aparat kepolisian, militer dan para-militer. Penggunaan kekerasan dan paksaan merupakan ancaman yang serius bagi mereka yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Sebagai contoh, dua bentuk pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) berupa pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) serta perlakuan keji dan penyiksaan yang mengakibatkan kematian warga sipil petani di Alas Tlogo (Jatim) dan kematian tersangka penikam polisi di Jeneponto (Sulsel). Dalam kasus lainnya negara justru menggunakan pihak ketiga (paramiliter) sebagai pelaku untuk menggusur atau menganiaya penggarap lahan. Salah satu peristiwa yang paling merugikan pemilik lahan adalah dibukanya penambangan minyak Lapindo di kawasan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk yang menenggelamkan delapan desa. Kasus Lapindo juga merupakan contoh bagaimana korporasi dengan dukungan negara menolak pemulihan hak-hak korban.

Kebijakan ekonomi liberal pemerintah, meskipun meningkat secara statistik, justru semakin memperburuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan memperluas kelompok miskin. Berbagai laporan audit anggaran yang menunjukkan terjadinya korupsi dan kebocoran anggaran telah menggerus kemampuan pemerintah dalam merealisasi hak-hak ekosob seperti hak atas pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh, kebijakan ini juga kian memperparah pemenuhan hak-hak perempuan dengan kian tingginya angka eksploitasi buruh migran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, tingginya angka kematian ibu dan anak, bahkan menyebabkan terjadinya peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Kendati otonomi daerah membuka partisipasi politik yang lebih tersebar, namun efek pengelolaan otonomi ini juga merupakan ancaman atas implementasi hak-hak lainnya termasuk hak-hak perempuan. Seperti yang terjadi di tingkat nasional maka partisipasi politik perempuan belum juga tercemin dalam kebijakan di daerah. Otonomi daerah juga belum menyentuh perbaikan kondisi anak-anak yang masih menjalani masa kecil mereka di jalan-jalan, dipekerjakan, serta mengalami kekerasan maupun perlakuan buruk atas
anak-anak yang dipenjara.


Di sisi lain menguatnya primordialisme dalam politik otonomi yang beriringan dengan fundamentalisme menjadi ancaman atas keberagaman etnis, politik dan agama. Misalnya, ancaman dan kekerasan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan terkait dengan diberlakukannya Perda yang diskriminatif, termasuk diterapkannya bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia seperti hukuman cambuk di Aceh. Efek pengelolaan otonomi daerah itu mengancam keberadaan kelompok-kelompok yang mempunyai orientasi seksual berbeda. Mereka menghadapi kesulitan untuk mengurus status kependudukan dan hak kewarganegaraan, memperoleh layanan
kesehatan, menjalankan ibadah di rumah-rumah ibadah, kebebasan berkumpul, serta hak atas pekerjaan karena rawan penolakan dan pemecatan. Bahkan ada yang mengalami kriminalisasi karena orientasi seksual dan juga atas posisi mereka sebagai korban dan pelapor. Dalam sebuah operasi ketertiban versi Pemkot di Jakarta, seorang waria terbunuh.

Lemahnya jaminan hukum atas penghormatan dan perlindungan hak-hak manusia terlihat dengan masih belum sinkronnya standar dan norma hak-hak asasi manusia internasional, terutama yang sudah diratifikasi, dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional. Ini juga mennujukkan negara gagal menjalankan kewajibannya sebagai negara pihak. Hal ini tercermin dalam keputusan Mahkamah Konstitusi yang tetap melegalkan hukuman mati, revisi KUHP tetap mempertahankan delik agama dan penghinaan pejabat negara, keberadaaan lembaga Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) sebagai alat represi bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta kebijakan dan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan HAM.


2. Proyeksi penegakan HAM 2008
Ke depan, khususnya di tahun 2008, prospek perlindungan, pemenuhan dan pemajuan Hak-hak asasi manusia tak akan berbeda dengan perkembangan tahun lalu. Pemerintah masih tetap akan inkonsisten dalam kebijakan HAM di luar negeri dan dalam negeri. Faktor-faktor yang kian mempersulit penegakan HAM adalah berlanjutnya kebijakan ekonomi liberal pemerintah, kebijakan pro security yang mengancam kebebasan sipil seperti RUU Rahasia Negara, serta persaingan politik di tingkat nasional dan lokal. Persaingan antar-elite politik ini terutama menjelang pemilihan umum (pemilu) parlemen dan presiden tahun 2009. Misalnya, dengan bertambahnya jumlah partai politik dan tokoh calon independen untuk berkampanye memperebutkan kursi DPR, DPD dan DPRD maupun mereka yang dicalonkan untuk memperebutkan kursi presiden. Sumber daya politik diperkirakan bakal dimobilisasi secara besar-besaran sebagai bagian dari pertarungan politik yang terbuka dengan melibatkan partisipasi politik sebanyak mungkin warga negara. Di sisi lain, substansi UU Politik, khususnya UU Parpol yang baru disahkan, memberi peluang bagi perselingkuhan antara pemilik modal dengan politisi.


Tahun ini juga merupakan bagian dari sejarah peringatan 10 tahun reformasi dan momen peringatan 60 tahun DUHAM. Karena itu tuntutan reformasi akan meningkat, khususnya dalam pemenuhan atas hak-hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Tuntutan pemenuhan HAM oleh negara akan dipertanyakan Dewan HAM dalam mekanisme Pengkajian Berkala Universal (UPR) serta Komite Anti Penyiksaan PBB. Di tahun ini, pelapor khusus PBB tentang Penyiksaan dan Pembela HAM melaporkan temuan mereka tentang perlindungan atas pembela HAM serta implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT).

Berdasarkan perkembangan ini maupun proyeksi politik, implementasi atau realisasi hak-hak manusia adalah hal yang tidak terpisahkan dari kewajiban negara maupun partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan hak-hak manusia. Proyeksi politik ini sekaligus sebagai arena untuk menguji komitmen negara dalam memajukan hak-hak manusia. Pantas dipertanyakan komitmen partai-partai dan tokoh-tokoh politik maupun pemerintah terhadap pemajuan dan perlindungan hak-hak manusia.


3. Rekomendasi
1. Mendesak Pemerintah SBY dan JK untuk konsisten dalam kebijakan HAM luar negeri. Konsistensi diplomasi diperlukan agar Indonesia dapat merespon krisis HAM di tingkat internasional sesuai Konstitusi RI dan standar HAM universal (Burma, Darfur hingga Pakistan).

2. Mendesak Pemerintah, DPR dan Yudikatif untuk mengubah paradigma dalam memajukan HAM, agar dapat konsisten melaksanakan produk-produk hukum yang telah sesuai HAM dan konsisten dalam mengharmonisasi produk-produk hukum yang belum sesuai HAM (RUU KUHAP & KUHP). Tanpa perubahan sikap, maka keadaan HAM tak akan bisa mengatasi masalah impunitas pada kasus Munir dan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, diskriminasi, kriminalisasi HAM, fundamentalisme serta kemiskinan.

3. Mendesak institusi-institusi negara untuk dapat segera menyelesaikan berbagai sengketa agraria yang merugikan rakyat miskin dan menguntungkan pemodal, sekaligus mengakhiri penggunaan Polri dan TNI secara keliru saat menangani sengketa agraria dan penggusuran warga miskin penggarap lahan.

4. Mendesak pemerintah untuk mengubah kerangka kebijakan ekonomi liberal ke arah kebijakan ekonomi dan sosial (pusat dan daerah) yang berorientasi pada perbaikan realisasi hak-hak rakyat atas pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan, sekaligus perbaikan realisasi hak-hak perempuan akibat eksploitasi buruh migran, minimnya akses pendidikan, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga serta kematian ibu dan anak.

5. Mendesak institusi-institusi Negara untuk mengakhiri campur tangan dalam menyikapi perbedaan keyakinan dalam menjalankan hak beragama termasuk menghapuskan Badan Koordinasi PAKEM yang telah digunakan sebagai alat kontrol politik untuk selanjutnya menyerahkan pada pengadilan. Sebaliknya, Negara harus netral dan memperkuat campur tangan dalam menyikapi aksi kekerasan oleh sekelompok orang atas nama agama.

Jakarta, 3 Januari 2008

Jaringan Demokrasi
(Arus Pelangi, Demos, FSPI, HRWG, Imparsial, Kalyanamitra, LBH-APIK, Praxis, Jaringan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (JSKK), INFID, Jaringan relawan Kemanusiaan (JRK), KontraS, Setara Institute, PBHI, Prakarsa, SHMI, Wahid Institute, YLBHI)