February 18, 2008

Globalisasi dan Multikulturalisme

Oleh: Iwan Nurdin Selamat

Menyimpulkan bahwa globalisasi adalah perkara ekonomi semata terlihat terlalu menyederhanakan. Globalisasi adalah sebuah proyek sosial multi dimensi. Oleh karena itu tidaklah cukup melihat globalisasi sebagai sebuah hal yang datang dari segi politis dan ekonomis semata.

Menurut Ulrich Beck (Majalah Basis, 2005), salah satu kunci memahami globalisasi adalah de-teritorialisasi. Mengutip Sindhunata, untuk mengerti benar makna globalisasi harus diterangkan dengan de-teritorialisasi. Dengan de-teritorialisasi batas-batas geografis ditiadakan, atau dianggap tidak lagi berperan dan menentukan dalam perdagangan antar negara. Batas peraturan teritorial diantara negara-negara yang mengatur seluk beluk produksi hilang dan diganti dengan jaringan transaksi global. Bukan lagi negara, atau sistem masyarakat lokal, melainkan organisasi global yang mengatur dan menentukan seluk beluk produksi tersebut. Jadi, kegiatan bisnis yang dulu teritorial-lokal sekarang menjadi de-teritorial global.

Teritorial dan keteritorialan membentuk hidup manusia, membangun kesosialan dan struktur sosial serta membatasi aktivitas manusia. Keteritorialan yang membentuk ruang sosial itu kerap dimengerti sebagai unsur inti kebudayaan, ekologi, ekonomi, politik dan psikologi manusia. Ruang semacam inilah yang memungkinkan manusia menentukan dan menghayati identitas sosialnya. Sebagai misal, apa yang membuat seorang itu Inggris atau India adalah ruang geografis dimana ia hidup. Keteritorialan itu kategori dan faktor yang hakiki dalam hidup manusia. Dengan datangnya globalisasi keteritorialan itu di-de-teritorialisasikan.

Menurut Beck, pertama-tama de-teritorialisasi mau tak mau mengubah kesosialan manusia. Sebelum era globalisasi, kesosialan yang terkait baik dengan masyarakat, bangsa dan negara ada dan mewujud karena batas teritorial atau wilayah. Karena sekarang batas itu runtuh maka ruang gerak hidup manusia tidak dibatasi lagi oleh kehadirannya pada suatu tempat. Kedekatan geografis dan sosial bukan lagi faktor yang menentukan hidup sosial manusia. Orang tidak lagi hidup disuatu tempat untuk hidup bersama. Sementara hidup bersama disuatu tempat sama sekali bukan jaminan bahwa orang memang hidup bersama.

Pengertian tersebut juga berimbas pada pengertian negara nasional. Dulu negara nasional itu adalah juga negara teritorial. Negara nasional itu terbentuk dengan dibentuknya identitas nasional, yang dikukuhkan dengan batas teritorial. Sekarang batas itu ditiadakan. Akibatnya, walaupun ada anggapan bahwa sebuah negara itu adalah sebuah kesatuan dan keseluruhan, maka kesatuan dan keseluruhan itu bukan lagi nasional melainkan trans-nasional.

Dalam pandangan Beck globalisasi adalah sebuah proses Trans nasionalisme. Trans-nasionalisme adalah lintasan yang melampaui nasionalisme, adalah paradigma yang samasekali baru dan khas globalisasi. Trans-nasionalisme berarti bukan kekuatan organisatoris nasional teritorial yang memainkan peranan perdagangan dan memperebutkan kue yang dihasilkan, melainkan kekuatan trans-nasional. Kekuatan trans-nasional itu akan segera mengatasi organisasi perdagangan nasional yang tidak leluasa bergerak akibat gerak dan batas teritorial.

Globalisasi oleh Trans-nasionalisme dibentuklah sebuah karakter budaya yang tidak lokal, tidak nasional, tidak teritorial. Jadi globalisasi bukan berarti sesuatu yang mengambangkan apa saja dengan dalih keuniversalan, atau suatu tindakan sosial atau hidup sosial yang tidak terikat pada tempat. Dengan globalisasi, tempat atau kebertempatan bukan dihilangkan, melainkan diberi arti yang baru.

Dampak globalisasi dalam bidang budaya selain memberi ruang lokal untuk muncul dan ditafsir ulang, juga mendorong terbentuknya sebuah kultur global. Sebuah kultur global menurut Beck dibentuk oleh imaginasi dan fantasi global. Dalam abad global, manusia menjadi manusia karena mereka terkait dengan satu sama lain melampui batas kelokalannnya. Karena perkembangan media, keterkaitan manusia dengan manusia lainnya mengalami proses intensifikasi. Tak heran, dalam globalisasi sebuah kejadian bisa menjadi kejadian yang sifatnya global. Contohnya berita kematian sri Paus, putri Diana atau berita tsunami yang memicu emosi massa secara global. Globalisasi telah memunculkan imaginasi global dan mendorong manusia untuk memikirkan suatu kehidupan yang lain.

Dengan fenomena diatas, tak heran globalisasi berdalih mencakup yang partikular kedalam yang universal. Padahal, dalam pandangan filsafat sebagai mana di rangkum oleh Sindhunata terdapat sebuah keganjilan. Problem kesatuan antara yang Satu Universal dan Yang Banyak-Partikular dibahas oleh empirisme dan rasionalisme. Empirisme menghargai Yang Banyak dan Yang Partikular, tapi tak berhasil melihat kesatuan antara Yang Satu dan Yang Banyak. Sementara rasionalisme berhasil menghargai Yang Satu, tapi menyepelekan Yang Banyak, karena rasionalisme mengalahkan dan menyerap Yang Banyak ke dalam Yang Satu-Universal.

Kesatuan sejati antara Yang Satu dan Yang Banyak hanya bisa terjadi, bila keduanya berani saling mengosongkan diri, lalu memberikan diri satu terhadap yang lainnya. Padahal globalisasi bukan pengosongan diri tetapi pertarungan. Siapa yang kuat dia yang menang. Sehingga, dalih globalisasi mencakup yang partikular ke dalam yang universal tidak terjadi. Universalitas sejati bukanlah dibangun atas hubungan menang-kalah.

globalisasi memang belum tentu meniadakan kultur yang lokal. Malah globalisasi menjanjikan lahirnya multi-kulturalisme. Namun, bila ditilik lebih dalam, multi-kulturalisme dalam globalisasi itu adalah paham yang menekankan perbedaan-demi perbedaan itu sendiri. Perbedaan-demi perbedaan itu akhirnya melahirkan suatu individualisme massa. Artinya, individu ada hanya untuk berbeda dengan yang lainnya. Dalam hal yang terakhir itulah akhirnya individu-individu yang merasa berbeda itu sesungguhnya sama. Dalam hal ini berlaku adagium semakin kita membanggakan perbedaan semakin kita menjadi sama.

Daur ulang tulisan-tulisan lama

Iwan Nurdin S.

No comments: