July 27, 2007

Dari Liberalisme ke Politik Etis


Kompas, Selasa, 24 Juli 2007
Oleh: Yudi Latif

Perlu diingatkan bahwa Indonesia pernah merana karena ekonomi liberal. Dikobarkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda.

Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi", kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha/perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat.

Penetrasi modal dalam kelembaman responsibilitas sosial negara berakhir dengan pilu. Menjelang akhir abad itu, Hindia dirundung aneka malapetaka: stagnasi ekonomi, kemerosotan kesejahteraan, kelaparan, permukiman kumuh, dan memburuknya kesehatan penduduk.

Berbagai konsekuensi buruk dari perekonomian liberal ini menciptakan iklim opini baru di Negeri Belanda. Partai-partai lebih mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan, dengan menempatkan kesejahteraan Hindia sebagai fokus perhatian.

Perubahan angin politik ini menguntungkan sayap konservatif. Partai Kristen memenangi pemilu pada 1901 karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral. Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunannya di depan Parlemen mengemukakan masalah "utang budi" dan tanggung jawab etis kepada rakyat Hindia. Orientasi baru ini dikenal dengan "politik etis", dengan tekanan pada pembangunan pendidikan, irigasi, dan transmigrasi sebagai basis peningkatan kesejahteraan.

Neoliberalisme
Apakah gelombang kedua ekonomi liberal, yang beriak kembali bersama kemunculan Mafia Berkeley awal Orde Baru dan menjadi badai neoliberalisme sejak akhir 1990-an, akan menorehkan kisah yang sama? Jika tidak segera dikoreksi, hal itu sangat mungkin terjadi.

Kebijakan neolib yang kian mencengkeram sejak krisis moneter menempatkan negara sebagai hamba pasar, lembaga finansial, dan korporat internasional. Hal ini sekali lagi terjadi ketika institusi negara kesejahteraan yang melayani kemaslahatan umum begitu lemah.

Liberalisasi perdagangan menyesakkan konsumen dalam menghadapi fluktuasi harga internasional. Sangat problematis, terutama menyangkut produk-produk sembako. Harga gula, beras, dan minyak goreng bisa melambung tinggi, sementara pengusaha domestik tertekan oleh produk impor.

Gejala deindustrialisasi juga merebak karena industri nasional tidak mendapat insentif apa-apa dari pembukaan pasar dalam negeri yang berlebihan. Saat yang sama, pencabutan aneka subsidi di sela-sela malaise ekonomi membiakkan angka kemiskinan dan pengangguran, memerosotkan kesejahteraan sosial, kualitas hidup, dan kesehatan masyarakat.

Neoliberalisme mulai digugat di berbagai tempat. Iklim opini publik mulai beralih ke populisme, kedaulatan ekonomi, dan penguatan kapasitas negara. Dalam situasi ketika gerakan dan partai politik berbasis kelas tak berdaya, perubahan mood politik ini bisa menempatkan partai dan gerakan politik bercorak keagamaan, atau setidaknya memberi perhatian pada masalah keagamaan, menjadi sandaran perlawanan dan tanggung jawab etis.

Ada kekhawatiran, embusan angin politik ke "kanan" akan lebih menguntungkan gerakan dan partai politik fundamentalis. Karena minoritas "pemeluk teguh" yang terorganisasi rapi lebih mampu memobilisasi sumber daya ketimbang mayoritas diam yang lembek dan abai.

Di bawah mantel fundamentalisme, dampak buruk dari perekonomian liberal itu tidak akan diatasi tetapi sekadar dininabobokan oleh candu simbolik.

Gerakan/partai fundamentalis tidak pernah menawarkan substansi dan kedalaman, disibukkan oleh perumusan batas dan identitas.

Pendidikan
Diperlukan gerakan/partai politik bernuansa profetik yang menyuarakan kembali substansi "politik etis": bahwa negara mempunyai "utang budi" dan tanggung jawab etis kepada rakyat. Usaha pemulihan kesejahteraan sosial mengandaikan penguatan negara dan pasar kesejahteraan dengan memprioritaskan perhatian pada pendidikan, irigasi, dan transmigrasi.

Pendidikan merupakan prasyarat untuk mengatasi asimetri informasi yang menjadi sumber ketidakadilan pasar. Seperti dikatakan Amartya Sen, proses belajar akan memberi kesanggupan relatif rakyat untuk mentransformasikan exchange ideas ke dalam penggunaan sumber daya dan siklus ekonomi. Lewat kapasitas pertukaran ide, kelompok miskin mempunyai collateral (daya jamin dalam masyarakat) dan kontribusi bagi kemakmuran.

Irigasi berarti penyediaan infrastruktur dasar bagi pengembangan sektor riil, khususnya sektor agraris sebagai sumber utama daya saing bangsa. Negara bertanggung jawab untuk memberdayakan petani/nelayan, sebagai unsur terbesar dari kekuatan produktif.

Esensi transmigrasi adalah kemudahan mobilitas penduduk demi akses terhadap sumber-sumber kesejahteraan. Hal ini mengandaikan redistribusi dan kelancaran lalu lintas kapital.

Penguasaan kapital oleh segelintir pihak di titik pusat menyulitkan persebaran kapital sebagai kontainer mobilitas vertikal dan horizontal. Sifat insular negeri kepulauan yang menyulitkan kontak dalam intensitas tinggi tak menemukan jembatan katalisnya.

Komunalisme
Dalam ketersendatan lalu lintas pergaulan, masyarakat terkungkung dalam kepompong komunalisme. Pengikatan rasa kebangsaan dari ensambel komunalisme ini sekadar bertumpu pada solidaritas emosional yang tersisa dari warisan kesamaan sejarah, bahasa, dan budaya-keagamaan.

Tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena persamaan kepentingan dan pemenuhan kesejahteraan bersama, fantasi kebertautan kebangsaan itu mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan keterkucilan.

Inilah jalan etis yang harus ditempuh. Jika dalam situasi penjajahan, politik etis melahirkan gerakan emansipasi yang menikam tuannya sendiri, dalam situasi kemerdekaan, jalan ini mestinya mendorong gerakan emansipasi ke luar (neokolonialisme) dan ke dalam (ketidakadilan) demi pencapaian cita-cita proklamasi: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Yudi Latif Pemikir Keagamaan dan Kenegaraan

July 26, 2007

Agrofuels: It's cars versus humans


Henry Saragih, Jakarta
www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp


Farmers all over the world are very worried about the escalating issue of agrofuel. At the Nyilini World Forum for Food Sovereignty in February, La Via Campesina, along with hundreds of other organizations, stressed that the prefix 'bio' in biofuel did not guarantee that this phyto-fuel was environmentally sound. Furthermore, the term is very misleading and politically incorrect.

In the global context, we are witnessing a major alliance among transnational corporations: oil companies, which want to reduce their dependence on oil; carmakers, which want to continue profiting from the current individual transportation model; and agribusiness companies, which want to continue monopolizing the world agricultural market. And not to mention the role of the developed countries, such as the United States and the European Union (EU), in their desire to maintain their hegemony over the global economy. Their effort to raise this issue is being countered by the new emerging forces in Latin America, which consist mainly of the world's leading oil-producing countries.

What will happen then if it becomes more profitable to produce agrofuel than rice, corn, cassava, cotton or soybeans? Farmers will, of course, replace food crops, which generally have a lower profit margin -- because consumers have low incomes -- with agrofuel crops. A friend of mine, Joao Pedro Stedile of the Landless Workers' Movement of Brazil (MST), dubs it a rule of capitalism.

In the Indonesian context, this topic is very much related to palm oil. The skyrocketing price of crude palm oil (CPO) and cooking oil is closely linked to the hype over CPO-based agrofuel. As the world's second largest producer after Malaysia, many of the major palm oil producers quickly sniffed the huge profits they could make from the trend. This can be seen from the plans by IndoAgri and London Sumatra to expand their plantations to 250,000 hectares by 2015.

Backed by growing concern over climate change and global warming, the EU parliament has set itself a target of substituting agrofuel for up to 5.75 percent of total vehicle fuel by 2010, and doubling this to 10 percent by 2020. The U.S., a country that has been firmly refusing to ratify the Kyoto Protocol, has been playing the role of an environmental defender by utilizing up to 35 billion gallons per year of agrofuel as part of its effort to shrink its carbon emissions.

It is clear that these two global forces do not have enough farmland to meet their targets (Holt-Gimenez, 2007), and will resort to large-scale agrofuel importation. Major agribusiness corporations from tropical countries, where many of these energy-producing crops can grow, are trying to meet the EU and U.S. demand.

The rising price of cooking oil is making people here suffer as it is one of the nine basic commodities. Despite public disquiet, the corporations insist on exporting CPO to reap bigger profits. The government is almost helpless in responding to this situation since its ad hoc instruments, such as export tax and the domestic market obligation mechanisms, are unable to solve the problem.

At least 1.5 million tons of Indonesian CPO is exported to Europe, and nearly all is turned into agrofuel. On the other hand, hundreds of people have to queue for subsidized cooking oil. This shows that agrofuel gives rise to competition between cars and human beings. According to Monbiot (2007), human beings -- and the environment -- will lose this unfair battle. Those who can afford to drive are certainly richer that those who are in danger of starvation, and money is the major weapon in this capitalistic world.

Moreover, from the environmental point of view, agrofuel does not significantly contribute to curbing pollution, and may in fact exacerbate global warming. According to Monbiot, each ton of palm oil that is turned into agrofuel releases 33 tons of carbon dioxide (CO2) emissions, 10 times more than the emissions released by fossil fuels.

This race could destroy our agrarian and food system. Farmers and peasants all over the globe have been crying our for years for an end to unjust agrarian structures. In the case of peasants in Indonesia, palm-plantation expansion has long resulted in the marginalization of local farmers, dating back in fact to colonial days. In 2006 alone, the expansion of oil-palm plantations produced 350 agrarian conflicts.

With this continuing capitalistic mode of production, only a few hands (the corporations) will end up owning more than 67 percent of the land intended for food production.

Farmers need a fundamental solution, which we call agrarian reform, which is economically and socially capable of addressing long-standing agrarian injustices. Legally, agrarian reform in Indonesia is based on Article 33 of the 1945 Constitution and the 1960 Agrarian Law.

The battle against agrofuel, of course, not only involves farmers and peasants. We need people, workers, youth, and environmentalists to actively get involved as agrofuel has already caused a catastrophe for our environment. Finally, we need consumers to voice our concerns. Otherwise, for the sake of capital and the agrofuel trend, we will lose our food and our livelihoods.

The writer is the secretary-general of the Indonesian Farmers' Union Federation FSPI), and general coordinator of La Via Campesina, the international peasant movement.

Libatkan Rakyat dalam Reforma Agraria


[JAKARTA-Suara Pembaruan] Sejumlah pihak menyambut baik pernyataan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto bahwa program reforma agraria sudah siap dilakukan.

Tapi program tersebut sebaiknya melibatkan rakyat, dalam arti sejauh mana rakyat diberi ruang dan peluang untuk terlibat secara aktif dalam persiapan, pelaksanaan, pengawasan hingga penilaian akhir atas program tersebut.

Hal itu dikatakan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Usep Setiawan di Jakarta, Kamis (7/6), mengomentari pernyataan Kepala BPN soal program reforma agraria.

Menurut Usep, pernyataan Kepala BPN merupakan konsensus nasional baru dalam menata struktur dan sistem agraria untuk keadilan sosial seluruh rakyat. "Secara umum desain mengenai objek (tanah), subjek (rakyat), mekanisme pembagian tanah, dan kelembagaan dalam pelaksanaan reforma agraria yang disampaikan Kepala BPN sudah cukup memadai. Yang perlu diperjelas dan dipertegas adalah mengenai detail dari keseluruhan desain implementasi program ini yang masih kita tunggu," katanya.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Lalu Misbah Hidayat dan Ali Mubarak S dalam diskusi bertajuk "Kaji Ulang Kebijakan Agraria, PSDA dan Lingkungan Hidup" di Jakarta, Rabu (6/6), sependapat bahwa pada prinsipnya pengelolaan tanah dan kekayaan bumi negeri ini harus bermuara untuk kesejahteraan rakyat.

Masalah kesejahteraan rakyat, menurut Ali Mubarak, sudah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun penjelasan dan tafsir dari Pasal 33 tersebut masih harus didefinisikan secara jelas dan konkret agar ti- dak disalahgunakan oleh penguasa.


Konflik Tanah

Sementara itu, pengamat ekonomi dari UGM, Revrison Baswier dalam diskusi tersebut mengatakan, terjadinya kekerasan dalam konflik tanah antara rakyat dengan TNI, pemerintah, dan pengusaha akhir-akhir ini akibat struktur ekonomi Indonesia masih mempertahankan warisan kolonial. Bahkan pasca reformasi 1998, kebijakan pemerintah melalui produk undang-undang dan berbagai peraturan yang lain makin mempertegas dan mematangkan neokolonialisme kapitalis.

Usep mengatakan, konflik tanah seperti yang terjadi di Pasuruan pada 30 Mei lalu membuktikan otoritarianisme masih belum berubah, perlindungan HAM bagi rakyat masih jauh, dan rencana pelaksanaan pembaruan agraria dikhawatirkan tersandera oleh sikap represif aparat TNI maupun Polri. Dari 1.753 kasus sejak 1970 hingga 2001, tidak kurang 29 persen melibatkan TNI.

Usep mencatat sepanjang Januari - April 2007 terjadi peningkatan kekerasan terhadap petani di sejumlah tempat di Indonesia. Intesnitas kekerasan itu kata Usep, terkait dengan diberlakukannya berbagai produk kebijakan yang membuka pintu represi terhadap rakyat. Seperti UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, UU kehutanan, UU pertambangan, UU Penanaman Modal, dan Perpres 65/2006.

Karena begitu banyak sengketa tanah yang melibatkan militer di Jawa Timur yang secara kuantitatif berhadapan dengan institusi resmi (TNI AD, TNI AL, TNI AU), sehingga telah melahirkan sebuah tanda tanya besar ada apa di balik sengeketa tanah dengan militer, atau sengketa tanah yang disebabkan perampasan tanah oleh militer?

Mencermati tingginya keterlibatan militer dalam konflik tanah di Indonesia dan hampir semua konflik itu berujung pada kekerasan dan jatuhnya korban jiwa, KPA menyatakan "jadikan tanah rakyat yang dikuasai militer secara tidak sah sebagai obyek land reform!" dengan menyerukan agar pemerintah mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menertibkan segala bentuk penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh militer yang dikuasai rakyat.

Tanah-tanah yang dikuasai militer yang berasal dari tanah rakyat yang penguasaannya diperoleh melalui cara-cara kekerasan dan sedang dituntut agar dijadikan objek land reform dan dikembalikan kepada rakyat. [L-8]

Lahan Pertanian dan Hak Asasi Petani


Oleh Usep Setiawan
Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi yang diprakarsai oleh Departemen Pertanian RI bersama DPR RI menarik untuk dicermati, seiring dengan rencana pemerintah untuk mulai melaksanakan reforma agraria di tahun 2007 ini.

Keberadaan RUU ini merupakan respons pemerintah atas menyusutnya lahan pertanian yang mengancam ketahanan pangan nasional. Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian dibutuhkan untuk mencukupi ketersediaan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani sebagai inti dari revitalisasi pertanian.

Draf II (14 Juni 2007) RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi mengandung lima poin pertimbangan, dua poin mengingat, mencakup 12 bab, dan 40 pasal. Konsideran RUU ini, mengingat pada UUD 1945 (Pasal 20 ayat [1], Pasal 21, dan Pasal 33) dan UU No 26/2007 tentang penataan ruang.

Pada bagian menimbang digariskan; "bahwa dengan semakin meningkatnya pertambahan penduduk dan kebutuhan perumahan serta perkembangan ekonomi, mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, sehingga mempengaruhi kedaulatan dan ketahanan pangan".

Kita memang tengah membutuhkan komitmen nasional untuk mencegah laju konversi lahan pertanian, menciptakan kedaulatan pangan, sekaligus melindungi hak-hak asasi petani.


Cegah Konversi
Martin Sihombing (Bisnis Indonesia, 03/4/07) melaporkan bahwa dalam periode 1980-2005, sumber pertumbuhan produksi padi bertumpu pada peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produktivitas padi tumbuh 3,53 persen dan pe- riode 2000-2005 tumbuh 1,22 persen. Sedangkan pada periode 1980-1989, luas panen tumbuh 1,78 persen dan pada periode 2005 minus 0,17 persen. Peningkatan padi menunjukkan titik jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984.

Kalau pada periode 1981-1989 neraca sawah masih positif 1,6 juta hektare (ha), maka periode 1999-2002 neraca sudah negatif 400.000 ha. Ini menunjukkan laju konversi lahan sawah makin tinggi. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan, sangat mungkin dalam 10 tahun ke depan kemampuan negara dalam memproduksi padi akan sangat berkurang.

Menurut Badan Pusat Statistik, konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (1992-2002). Konversi lahan sawah di Jawa sebagian besar (58,3 persen) berupa alih guna jadi permukiman. Di Sumatera dan pulau lainnya, 50,6 persen beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah.

Pasal 3 RUU ini mengungkap 9 tujuan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi: (a) menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (b) mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan; (c) meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat; (d) mencegah alih fungsi lahan pertanian pangan; (e) mendorong pengalihan fungsi lahan non-pertanian pangan ke pertanian pangan serta mendorong pembukaan lahan baru pertanian pangan abadi; (f) memperkuat jaring pengaman sosial ekonomi kerakyatan; (g) memperkuat penyediaan lapangan kerja produktif; (h) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan (i) mempertahankan multifungsi pertanian.

Politik agraria nasional akan menentukan corak peraturan perundang-undangan dan praktik kebijakan agraria di lapangan. Sepanjang Orde Baru, pengkhianatan terhadap UU Pokok Agraria No 5/1960 (UUPA) dilakukan secara konsisten. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktik politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekayaan alam yang abai prinsip populisme UUPA.

Implikasinya, di sektor pertanian terjadi ketidakadilan agraria yang akut. Hasil lima kali Sensus Pertanian (SP) menunjukkan rata-rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari 1,05 ha (1963) menjadi 0,99 ha (1973), lalu jadi 0,90 ha (1983), lantas 0,81 ha (1993), dan tahun 2003 sudah di bawah 0,5 ha. Jumlah petani gurem pada 1983 mencapai 40,8 persen, tahun 1993 jadi 48,5 persen, dan 2003 berjumlah 56,5 persen. Sempitnya penguasaan lahan jadi faktor penting penyebab kemiskinan petani.

Secara substansi, draf RUU ini ternyata tidak bersangkut paut dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hukum atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan tak terkaitnya substansi RUU ini dengan reforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakan pertanian yang belum mencerminkan kehendak menuntaskan problem pokok agraria dengan mengacu cita-cita para pendiri republik.

Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan dari sejumlah masalah yang tengah melilit pertanian kita: penyediaan lahan untuk produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan. Dua problem utama agraria, ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan maraknya konflik/sengketa pertanahan tak tersentuh RUU ini.

Ketimpangan dan konflik harus diselesaikan terlebih dulu, atau dibuat terintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi. Tanpa didahulukannya penyelesaian ketimpangan dan konflik, dikhawatirkan RUU ini tak efektif mengatasi sumber persoalan, malah berpotensi memperkusut keadaan.


Hak Asasi Petani
Di luar soal ketersediaan lahan (objek), legislasi untuk melindungi hak-hak petani (subjek) juga tak kalah penting dipikirkan. Untuk itu, pemerintah dan DPR hendaknya mulai mengambil langkah nyata merumuskan RUU perlindungan hak asasi petani --sebagaimana tercantum dalam daftar Prolegnas DPR. Untuk itu Deklarasi Cibubur layak dirujuk.

Hasil "Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani" (Komnas HAM, dkk, 17-20 April 2001) di Cibubur Jakarta telah merinci peta situasi dan kondisi serta argumen-argumen pokok sebagai dasar pijakan hak asasi petani.

Mukadimah Deklarasi Cibubur menyatakan: "... sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Negara wajib mengakui hak-hak petani untuk mencapai taraf penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya, dan hak untuk bebas dari kelaparan, melalui tindakan pembaruan agraria".

Deklarasi hak asasi petani mencakup 8 bagian dan 67 tujuh butir, meliputi; hak-hak petani atas hidup dan atas penguasaan dan pemakaian sumber daya alam dan kemampuan pribadinya; hak petani atas produksi dan konsumsi, serta pemasaran produk, pengadaan asupan, dan jaminan mutu akan produknya. Diuraikan pula hak petani untuk berorganisasi, dan melanjutkan keturunannya serta makhluk hidup lainnya yang menjamin kelangsungan hidupnya, dan hak atas pengungkapan.

Selain pemerintah dan legislatif, M Ridha Saleh (aktivis lingkungan dan agraria) dkk yang baru terpilih sebagai anggota Komnas HAM (2007-2012) sewajarnya menaruh perhatian serius terhadap hak asasi petani sebagai bagian dari pelaksanaan reforma agraria sejati. Semakin terlindungi dan terpenuhi hak petani, makin maju penegakan HAM di Indonesia.


Penulis adalah Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), alumnus Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran Bandung

July 24, 2007

Sego Megono Petani Batang


Oleh: One
Betatapapun apiknya kolaborasi antara perut dan lidah saya yang seiya sekata bersepakat bahwa semua makanan yang ada di jagad raya ini rasanya hanya dua: enak dan enak banget, namun ternyata kekompakannya diuji beberapa waktu lalu. Tepatnya saat tiga hari berturut-turut setiap pagi hari “terpaksa” (tanda kutip menyatakan ketidaksungguhan, tentu saja) menjejalkan sego megono ke lambung. Kalau saja ada opsi lain sebangsa bubur ayam dalam batas minimum- artinya sekedar bubur nasi berkaldu dan sedikit saja asesoris tambahan sudah pastilah saya tak merelakan sang megono melintasi usus saya . Berhubung hanya sang megono yang jadi sajian tuan rumah, walhasil do’i lah yang jadi sahabat pagi cacing diperut saya.

Sego megono memang populer sekali diseputaran pekalongan dan sekitarnya. Sepengetahuan saya, hingga sebuah joke menggambarkan begitu mudah mengidentifikasi korban kecelakaan transportasi yang berasal dari kota Pekalongan dan sekitarnya. Cukup dengan mengetahui isi lambung nya yang menyisakan potongan sayur megono ;b dan itulah dia.

Ingin tahu lebih banyak tentang sego megono?ini dia… l
Ada cacatan kutipan dari http://bumisegoro.wordpress.com/2007/05/ , diakui dibuat dengan referensi minimal tentang sego megono:
“Segomegono, adalah makanan yang berbentuk utama nasi dengan lauk dan sayuran “include dan inherent” di dalamnya. Dari segi bahasa Sego artinya nasi sedangkan megono kalau ditelusuri tidak ada akar kata asli Jawa tentang kata tersebut. Ada kemungkinan bahwa megono berasal dari kata mego (Tulisannya mega- red) yang berarti awan/mega dan gegono (Tulisannya gegana- red) yang berarti angkasa. Jadi bila dirangkai menjadi kalimat mungkin akan berbunyi : Megono = Mego ing Gegono
Mengapa didapatkan kalimat unik di atas tersebut ? Marilah kita amati sifat dan penampakan mega di angkasa. Mega berwarna putih bersih sampai kelam yang biasa disebut mendung, pertanda hujan. Ada juga warna mega yang merah terutama di sore atau pagi hari. Berdasarkan penampakan mega tersebut, Segomegono pun terdiferensiasi mulai dari yang berwarna putih bersih, kelam, jingga yang merah merona (kalimat puitis- red).”
Kalau lihat gambar yang menyertai tulisan ini, jangan membayangkan bahwa sego megono yang saya konsumsi sama indah penampakannya (saya kutip dari http://nadrahshahab.blogsome.com/category/indonesian-food). Sejumput kecil nasi kurang lebih setengah takar nasi warteg Jakartalah menemani sang megono yakni rajangan kecil-kecil nangka muda. Kelapa berbumbu ala urap bercampur rata dengan rajangan nangka muda . Cabe rawit adalah pasangan wajib, dimasak matang bersama sayuran. Jadi rasa pedas yang timbul disela-sela megono adalah ulah si rawit. Nasi hangat berpadu dengan wangi aroma daun pisang yang jadi pembungkus. Hasilnya adalah pemandangan nasih yang putih berpadu dengan warna gelap nangka muda matang. Versi yang saya konsumsi adalah versi kampung yang alih-alih memikirkan estetika tampilannya, yang ada nasi ditimpa sayur megono dalam bungkus kecil daun pisang. Ya wong harganya juga sangat amat bersahabat, seribu perak rak rak. Angka yang teramat kecil untuk berharap banyak.
Sejujurnya, bukan soal tidak suka dengan rasanya, lebih karena perut saya kurang bersahabat dengan efek samping dari mengkonsumsi megono dipagi hari: (maaf) membuat isi perut saya berontak dan memaksa saya untuk kekamar mandi. Jadi sekali lagi lebih karena alasan khusus itu. Diluar itu, sang megono meski agak berat buat lambung karena teksturnya dan bahan pendukung kelapa nya cukup memuaskan rasanya.
Setelah berusaha melacak keterangan tentang sego megono dari mesin pencari di internet, beroleh hasil sang gambar diatas. Beberapa penjelasan tentang megono membuat saya membayangkan versi asli dan komplit sego megono yang bisa jadi jauh lebih ‘nendang’ rasanya daripada perkenalan pertama saya dengan megono. Menurut sumber yang saya temukan, sego megono sering kali dipasangkan dengan berbagai lauk pelengkap seperti tempe dan ikan goreng. Seingat saya, selama tiga hari ber megono, selama tiga hari itu pula tempe yang diiris tipis berbalur tepung yang digoreng (tipikal gorengan Jakarta sarat minyak yang dipanggul abang-abang penjaja) setia menemani.
Dari sumber yang sama dimana saya memeperoleh gambar indah megono diatas, ada resep dan cara membuatnya yang komplit. Mudah nampaknya. Kalau tertarik, berikut bahan dan cara mengolahnya:
bahan:
nangka muda /cecek , di potong-potong kecil-kecil banget, kelapa muda, di parut, honje/kecombrang, diiris tipis dan kecil, sere, di iris tipis dan kecil, kacang panjang,, iiris tipis
bumbu yang dihaluskan:
bawang merah, bawang putih, ketumbar, jinten, kemiri, kencur, jeruk wangi, salam, garam, cabe merah/rawit (untuk yang suka pedas), lengkuas, di geprek

cara membuat:
semua bahan dicampur dengan bumbu yang sudah dihaluskan lalu dikukus lebik kurang 20 menit
Saya mencoba memaknai sesuatu yang sederhana dan nampak kecil dan bukan apa-apa buat banyak orang secara berbeda. Seperti kecintaan saya kepada Indonesia, sego megono menambah “sesuatu” lagi dalam daftar panjang kecintaan saya . Indonesiaku, megono ku!!

July 13, 2007

Pranata Adat Dilumpuhkan

Oleh Aryo Wisanggeni Genthong

Sejak tiga bulan lalu, Muhammad Amin Wadjo, Sugiono, dan ratusan warga Puskopad Furia resah memikirkan status hukum tanah dan bangunan yang mereka tempati.

Sudah lewat belasan tahun lalu ketika mereka membeli tanah itu dari Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Komando Daerah Militer XVII/Trikora. Dan, selama belasan tahun itu pula, mereka bermukim tanpa diganggu gugat, membangun rumah, dan beranak pinak dengan damai.

Namun, warga tiba-tiba dikejutkan surat somasi dari Meky Hamadi, yang mempersoalkan kepemilikan tanah itu. Keluarga Hamadi adalah pemangku hak ulayat tanah di Furia. Meky menuntut para warga perumahan itu membayar tanah yang mereka kuasai.

Pada 2 Mei lalu keluarga Meky menutup satu-satunya jalan masuk-keluar perumahan itu. Upaya keluarga Meky menuntut para warga membayar tanah yang mereka tempati tidak berhenti di situ. Selasa (12/6) lalu, para kerabat Meky Hamadi memasang papan pengumuman yang melarang para pemilik tanah membangun di atas tanah itu.

Wadjo, Sugiono, dan para warga resah karena mereka telah membeli tanah dari Puskopad Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Trikora. Namun, kini mereka harus berhadapan dengan tuntutan Meky Hamadi.

Harapan penyelesaian muncul ketika dalam sebuah dialog masalah tanah Furia Ondoafi Besar (Tuan Tanah) Tobati-Enggros, Herman Hamadi, menyatakan, kepemilikan para warga atas tanah di Puskopad Furia adalah sah.

"Ayah saya, Petrus Hamadi, telah menjual tanah itu kepada Puskopad Kodam XVII/Trikora pada tahun 1983. Dan penguasaan tanah itu oleh Puskopad adalah sah. Tentunya, penjualan tanah itu kepada warga perumahan juga sah," kata Herman.

Namun, Meky menolak mentah-mentah pernyataan itu. "Tanah Puskopad adalah tanah ayah saya, Laurens Hamadi. Dan sampai sekarang Puskopad Furia belum pernah membayar sepeser uang pun kepada ayah saya. Para warga perumahan itu harus membayar kepada saya, bukan pihak lain," kata Meky sambil menunjukkan surat pernyataan Petrus Hamadi selaku Ondoafi Besar Tobati-Enggros yang menyerahkan tanah di Furia kepada Laurens Hamadi pada 15 September 1983.

Harapan penyelesaian perselisihan itu seolah semakin jauh karena Puskopad juga menolak membuktikan bahwa pengambilalihan tanah di Furia dari Petrus Hamadi sah.

"Kami telah menjalani seluruh proses hukum yang dibutuhkan, baik hukum adat maupun hukum nasional. Kalau ada pihak yang merasa dirugikan, sebaiknya membawa masalah itu ke pengadilan. Kami tidak akan menunjukkan bukti yang kami miliki karena jika kami tunjukkan pun tidak akan ada pihak yang bisa menilai bukti yang ditunjukkan, " kata kuasa hukum Puskopad Kodam XVII/Trikora, Kapten (CHK) Sonny Sopamena.

Pelumpuhan adat

Apa yang dialami Sugiono, Wadjo, dan ratusan warga Furia lainnya bukan satu-satunya kasus perselisihan hak atas tanah (HAT) yang terjadi di Papua. Jangankan orang per orang, pemerintah pun kerap dipersoalkan oleh masyarakat setempat.

Kepala Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua Moch Effendi menyebutkan, gugatan masyarakat adat selaku pemangku ulayat bukan hal baru. Sejak tahun 1998 jumlah kasus perselisihan terus melonjak.

"Problem utamanya, ketika kami ingin memastikan subyek hukum atas sebuah tanah ulayat selalu timbul kesulitan. Jika tanah tidak bernilai ekonomi, jarang ada subyek pemangku ulayat yang secara sukarela menyatakan hak ulayatnya. Tetapi, ketika tanah telah dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis, tiba-tiba pemilik HAT harus menghadapi banyak subyek pemangku ulayat. Itu memang sering membingungkan, " kata Effendi.

Salah satu persoalannya, Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua tidak memiliki pemetaan tanah ulayat di Papua. Kanwil BPN Provinsi Papua juga sering kesulitan mengenali siapa subyek pemangkuan hak ulayat.

Yang lebih parah lagi, saat ini lembaga masyarakat adat juga sering diabaikan oleh anak adat sendiri. Tidak heran jika masyarakat umum sering menilai hukum adat dan hukum tanah ulayat di Papua tidak jelas, tidak memiliki keteraturan, dan terlembaga.

Tanah ulayat di Papua memang rumit. Di Papua terdapat 253 kelompok bahasa, yang menunjukkan sedikitnya di Papua terdapat 253 suku. Setiap suku memiliki keterikatan yang sangat tinggi dengan tanah ulayatnya. Masing-masing suku memiliki mitos sendiri yang menjelaskan ikatan khusus mereka dengan tanah tempat mereka tinggal (Siegfried Zöllner, Budaya Papua dalam Transisi: Ancaman akibat Modernisasi- Jawanisasi- dan Diskriminasi, 2006).

Setiap suku juga memiliki aturan sendiri tentang penguasaan tanah. Sekretaris Umum Dewan Adat Papua, Leonard Imbiri, menyatakan, beberapa suku yang lain tidak mengenal konsep pewarisan tanah ulayat. Banyak suku mengenal konsep pemilikan tanah ulayat sebagai milik komunal. Konsep pemilikan tanah secara individual jarang dikenal.

"Pengaturan hak ulayat itu sendiri sebenarnya sangat terinci. Di Demta, misalnya, ada (bagian ulayat yang difungsikan sebagai) tanah untuk perempuan, tanah untuk lelaki, tanah untuk berkebun, tanah untuk berburu. Batas hak ulayat masing-masing suku pun jelas," ujarnya.

"Siapa orang yang memiliki otoritas untuk memangku hak ulayat juga sangat jelas. Semua orang menghormati pemangku tanah ulayat masing-masing. Setiap pelepasan tanah ulayat harus dilakukan sesuai hukum adat masing-masing. Umumnya dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan para tetua adat. Untuk bisa menggunakan tanah ulayat, seseorang harus melalui proses inisiasi," kata Imbiri.

Ia menilai banyaknya perselisihan tanah di Papua adalah buah dari kebijakan pemerintah yang melumpuhkan pranata, lembaga, dan tatanan adat di Papua, termasuk tatanan adat soal tanah ulayat.

"Yang paling menghancurkan adat di Papua adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Nilai sakral yang berkaitan dengan tanah hilang saat struktur (adat) yang diakui masyarakat adat justru tidak diakui pemerintah. Itu menimbulkan kekacauan hukum tanah ulayat di Papua," kata Imbiri.

Kekacauan itu makin menjadi ketika di masa lalu banyak terjadi perampasan tanah, baik secara represif maupun melalui penipuan. Kekacauan itu menjadi sempurna ketika penguasaan tanah oleh para pemegang HAT tidak memberikan manfaat bagi masyarakat lokal.

Gamang

Seluruh kekacauan sempurna itu akhirnya mewujud ketika di mana-mana masyarakat adat "menggugat" tanah bersertifikat.

Perselisihan tanah di Papua juga bisa berdampak fatal. Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia, berupa pembunuhan kilat, penangkapan yang sewenang-wenang, dan penyiksaan dalam peristiwa Wasior, 13 Juni 2001, misalnya, bermula dari perselisihan tanah ulayat masyarakat adat Wasior.

Banyaknya sengketa tanah membuat para pemegang sertifikat HAT di Papua gamang dengan perlindungan dan jaminan hukum bagi mereka. Karena keraguan para pemegang HAT, Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua terpaksa memverifikasi ulang sertifikat yang telah mereka terbitkan di masa lalu.

Sejak tahun 2004, jumlah sertifikat yang telah diverifikasi mencapai 184.963 sertifikat. Luasan total 184.963 persil tanah yang diverifikasi ulang itu mencapai 7.473.646.201 meter persegi.

Prosedur pengurusan permohonan sertifikat HAT pun diperketat. Rawannya perselisihan tanah di Papua menimbulkan berbagai dampak, termasuk iklim investasi. Pemerintah Provinsi Papua sekalipun tidak berani menjamin bahwa sebuah HAT yang dipegang investor aman dari perselisihan.

"Kami sekarang menganjurkan agar calon investor tidak berusaha memiliki HAT. Lebih baik investor menyewa tanah itu dari pemangku hak ulayat. Atau menjadikan tanah ulayat sebagai bentuk penyertaan modal masyarakat lokal terhadap pendirian kegiatan usaha baru," kata Kepala Badan Promosi dan Investasi Daerah Provinsi Papua Purnama.

Kepala Kanwil BPN Provinsi Papua Emmiel Poluan menjelaskan, BPN dan Pemerintah Provinsi Papua menggodok peraturan daerah khusus tentang tanah ulayat di Papua.

"Peraturan di tingkat provinsi itu diharapkan nantinya dapat diikuti dengan pengaturan di tingkat kabupaten dan kota. Dari pengaturan itu, kami dapat melanjutkan proses reformasi agraria, khususnya di bidang tanah ulayat," kata Poluan.

Ia berharap masyarakat adat aktif melibatkan BPN dalam mengidentifikasi tanah ulayatnya. "Jika pemerintah secara sepihak mengidentifikasi tanah ulayat, ada potensi penolakan masyarakat," kata Poluan.

Imbiri pun optimisme karut-marut tanah ulayat bisa dituntaskan.

"Kalau lembaga adat dihidupkan kembali dan diberikan ruang untuk bekerja independen, kekacauan hukum tanah ulayat di Papua bisa diakhiri.

Pembangunan di Papua (baru akan) efektif (jika) dimulai dengan membangun kembali tatanan masyarakat adat yang diakui (masyarakatnya) ," kata Imbiri.

Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007

July 8, 2007

Menimbang pemerintahan kiri di Indonesia


Oleh: Iwan Nurdin

Meski saat ini demokrasi telah semakin telah berkembang, istilah kiri tetap menjadi tabu politik di Indonesia. Prolog G.30.S dan epilognya berupa kenaikan Orde Baru telah menjadi penyebab mengapa pandangan kiri di Indonesia selama ini kurang mendapat ruang baik di media massa, apalagi di atas panggung politik.

Tabu ini telah menyebabkan dominasi pemikiran kanan yang berupa liberalisasi semua potensi perekenomian nasional di bidang kehutanan, pertanian, pertambangan, dan kelautan untuk dieksploitasi tanpa mengedepankan aspek-aspek keadilan sosial dan keberlanjutan bagi generasi mendatang. Sementara, kritik-kritik yang diperkenankan dan mengemuka tidak lebih pada sisi salah urus atau buruknya manajemen dalam proses eksploitasi sumber-sumber ekonomi tersebut.

Dalam pemikiran kiri, semestinya sumber-sumber kekayaan bangsa tersebut dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Orientasi produksi dari sumber-sumber produksi tersebut juga dipergunakan untuk mengembangkan hadirnya perekonomian rakyat yang kuat.

Dalam situasi sekarang, dimana tata ekonomi politik nasional dirancang sesuai dengan tata ekonomi politik global yang juga kanan liberal. Tentu pikiran semacam ini dipandang sangat membahayakan kemapanan yang ada.

Meski demikian, suara-suara kaum kiri juga yang mengafirmasi betapa terdapat ketidak adilan yang mendalam tentang bagi hasil tambang minyak dan gas selama ini dengan pihak asing, atau orientasi eksploitasi minyak dan gas dan hasil tambang lainnya yang telah diikat dalam perjanjian ekspor sehingga membahayakan pasokan industri dan konsumsi nasional. Juga, fakta tentang pengalokasian jutaan hektar tanah untuk korporasi kehutanan dan perkebunan ditengah mayoritas rakyat yang tunakisma. Atau, maraknya pengangguran di tengah begitu gigantisnya sumber daya ekonomi yang dieksploitasi oleh segelintir kelompok korporasi dan elit politik.

Dalam keadaan yang demikian ini, pemikiran dan impian hadirnya pemerintahan kiri barangkali menjadi relevan. Apalagi sampai sekarang belum ada partai politik nasional yang secara tegas menyatakan dirinya sebagai Partai Kiri. Barangkali karena tantangannya sangat berat, sebab pemikiran kiri di Indonesia selalu diidentikkan dengan komunisme yang mempunyai kaitan sejarah dengan PKI dan cerita-cerita kelam komunisme di Uni Soviet pada era Stalin dan Polpot di Kamboja.

Menyebarkan Kembali Pikiran Kiri
Tak ada salahnya, di tangah pemikiran ekonomi politik begitu percaya bahwa tidak ada lagi alternatif selain kapitalisme, kita membuka kembali wacana dan wadah gerakan sosial dan politik kaum kiri secara terbuka. Dengan demikian, publik luas akan memahami mengapa kelompok kiri itu sesungguhnya begitu penting.

Mungkin inilah saatnya mengajak masyarakat membayangkan kehadiran pemerintahan nasional yang kiri di Indonesia. Mengajak publik mengetahui bahwa pemerintahan kiri di Indonesia akan melakukan nasionalisasi aset vital khususnya di bidang industri strategis seperti pertambangan dan telekomunikasi. Nasionalisasi yang dimaksud adalah sebuah rencana kerja nasional dimana penguasaan dan orientasi hasil produksi diarahkan untuk membangun industrialisasi nasional kerakyatan yang tangguh dan kuat.

Pemerintahan kiri di Indonesia akan melakukan redistribusi lahan pertanian dan perkebunan kepada rakyat dalam desain koperasi atau badan usaha bersama milik petani atau badan usaha bersama milik desa. Sehingga kisruh antara pengusaha, buruh kebun dan masyarakat sekitar industri dapat diselesaikan sementara produktifitas lahan dapat terus ditingkatkan.

Seperti aksinya dalam perkebunan, pemerintahan kiri akan melakukan pembangunan tambak bagi koperasi nelayan, membangun dan memodernkan teknologi penangkapan ikan berikut industri pengolahan dan pemasarannya sehingga dapat dimiliki dan dikuasai oleh badan usaha bersama milik rakyat.

Pemerintahan kiri akan mempercepat sistem database kependudukan yang terkoneksi kedalam jaringan sehingga dengan cepat akses rakyat terhadap pendidikan, kesehatan, sosial, properti, hingga penarikan pajak dapat terlayani. Dengan demikian, carut marut dan lembamnya birokrasi dapat ditanggulangi.

Pemerintahan kiri di Indonesia tentu akan melakukan pemberlakuan upah layak nasional yang dapat terus merangsang tumbuhnya industri nasional kerakyatan yang kuat. Upah layak tersebut bisa diberlakukan karena dikompensasi oleh ketersediaan bahan baku, bahan bakar, pemotongan pajak dan penghilangan pungli melalui relasi industri dan pertanian serta desa dan kota menjadi setimbang. Dalam kerja-kerja menuju relasi yang setimbang tersebut, upah layak tersebut bisa diberlakukan dalam skema non upah seperti jaminan kesehatan, pendidikan, perumahan dan jaminan sosial lainnya bagi para buruh.

Kalau begitu, mengapa tidak mencoba mengkampanyekan tentang orang kiri baru di Indonesia dan rencana mereka dalam mensejahterakan rakyat jika berkuasa. Saya adalah salah dari orang tersebut, anda mau turut serta?

Jakarta, 7 Juli 2007

Iwan Nurdin