Oleh Aryo Wisanggeni Genthong
Sejak tiga bulan lalu, Muhammad Amin Wadjo, Sugiono, dan ratusan warga Puskopad Furia resah memikirkan status hukum tanah dan bangunan yang mereka tempati.
Sudah lewat belasan tahun lalu ketika mereka membeli tanah itu dari Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Komando Daerah Militer XVII/Trikora. Dan, selama belasan tahun itu pula, mereka bermukim tanpa diganggu gugat, membangun rumah, dan beranak pinak dengan damai.
Namun, warga tiba-tiba dikejutkan surat somasi dari Meky Hamadi, yang mempersoalkan kepemilikan tanah itu. Keluarga Hamadi adalah pemangku hak ulayat tanah di Furia. Meky menuntut para warga perumahan itu membayar tanah yang mereka kuasai.
Pada 2 Mei lalu keluarga Meky menutup satu-satunya jalan masuk-keluar perumahan itu. Upaya keluarga Meky menuntut para warga membayar tanah yang mereka tempati tidak berhenti di situ. Selasa (12/6) lalu, para kerabat Meky Hamadi memasang papan pengumuman yang melarang para pemilik tanah membangun di atas tanah itu.
Wadjo, Sugiono, dan para warga resah karena mereka telah membeli tanah dari Puskopad Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Trikora. Namun, kini mereka harus berhadapan dengan tuntutan Meky Hamadi.
Harapan penyelesaian muncul ketika dalam sebuah dialog masalah tanah Furia Ondoafi Besar (Tuan Tanah) Tobati-Enggros, Herman Hamadi, menyatakan, kepemilikan para warga atas tanah di Puskopad Furia adalah sah.
"Ayah saya, Petrus Hamadi, telah menjual tanah itu kepada Puskopad Kodam XVII/Trikora pada tahun 1983. Dan penguasaan tanah itu oleh Puskopad adalah sah. Tentunya, penjualan tanah itu kepada warga perumahan juga sah," kata Herman.
Namun, Meky menolak mentah-mentah pernyataan itu. "Tanah Puskopad adalah tanah ayah saya, Laurens Hamadi. Dan sampai sekarang Puskopad Furia belum pernah membayar sepeser uang pun kepada ayah saya. Para warga perumahan itu harus membayar kepada saya, bukan pihak lain," kata Meky sambil menunjukkan surat pernyataan Petrus Hamadi selaku Ondoafi Besar Tobati-Enggros yang menyerahkan tanah di Furia kepada Laurens Hamadi pada 15 September 1983.
Harapan penyelesaian perselisihan itu seolah semakin jauh karena Puskopad juga menolak membuktikan bahwa pengambilalihan tanah di Furia dari Petrus Hamadi sah.
"Kami telah menjalani seluruh proses hukum yang dibutuhkan, baik hukum adat maupun hukum nasional. Kalau ada pihak yang merasa dirugikan, sebaiknya membawa masalah itu ke pengadilan. Kami tidak akan menunjukkan bukti yang kami miliki karena jika kami tunjukkan pun tidak akan ada pihak yang bisa menilai bukti yang ditunjukkan, " kata kuasa hukum Puskopad Kodam XVII/Trikora, Kapten (CHK) Sonny Sopamena.
Pelumpuhan adat
Apa yang dialami Sugiono, Wadjo, dan ratusan warga Furia lainnya bukan satu-satunya kasus perselisihan hak atas tanah (HAT) yang terjadi di Papua. Jangankan orang per orang, pemerintah pun kerap dipersoalkan oleh masyarakat setempat.
Kepala Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua Moch Effendi menyebutkan, gugatan masyarakat adat selaku pemangku ulayat bukan hal baru. Sejak tahun 1998 jumlah kasus perselisihan terus melonjak.
"Problem utamanya, ketika kami ingin memastikan subyek hukum atas sebuah tanah ulayat selalu timbul kesulitan. Jika tanah tidak bernilai ekonomi, jarang ada subyek pemangku ulayat yang secara sukarela menyatakan hak ulayatnya. Tetapi, ketika tanah telah dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis, tiba-tiba pemilik HAT harus menghadapi banyak subyek pemangku ulayat. Itu memang sering membingungkan, " kata Effendi.
Salah satu persoalannya, Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua tidak memiliki pemetaan tanah ulayat di Papua. Kanwil BPN Provinsi Papua juga sering kesulitan mengenali siapa subyek pemangkuan hak ulayat.
Yang lebih parah lagi, saat ini lembaga masyarakat adat juga sering diabaikan oleh anak adat sendiri. Tidak heran jika masyarakat umum sering menilai hukum adat dan hukum tanah ulayat di Papua tidak jelas, tidak memiliki keteraturan, dan terlembaga.
Tanah ulayat di Papua memang rumit. Di Papua terdapat 253 kelompok bahasa, yang menunjukkan sedikitnya di Papua terdapat 253 suku. Setiap suku memiliki keterikatan yang sangat tinggi dengan tanah ulayatnya. Masing-masing suku memiliki mitos sendiri yang menjelaskan ikatan khusus mereka dengan tanah tempat mereka tinggal (Siegfried Zöllner, Budaya Papua dalam Transisi: Ancaman akibat Modernisasi- Jawanisasi- dan Diskriminasi, 2006).
Setiap suku juga memiliki aturan sendiri tentang penguasaan tanah. Sekretaris Umum Dewan Adat Papua, Leonard Imbiri, menyatakan, beberapa suku yang lain tidak mengenal konsep pewarisan tanah ulayat. Banyak suku mengenal konsep pemilikan tanah ulayat sebagai milik komunal. Konsep pemilikan tanah secara individual jarang dikenal.
"Pengaturan hak ulayat itu sendiri sebenarnya sangat terinci. Di Demta, misalnya, ada (bagian ulayat yang difungsikan sebagai) tanah untuk perempuan, tanah untuk lelaki, tanah untuk berkebun, tanah untuk berburu. Batas hak ulayat masing-masing suku pun jelas," ujarnya.
"Siapa orang yang memiliki otoritas untuk memangku hak ulayat juga sangat jelas. Semua orang menghormati pemangku tanah ulayat masing-masing. Setiap pelepasan tanah ulayat harus dilakukan sesuai hukum adat masing-masing. Umumnya dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan para tetua adat. Untuk bisa menggunakan tanah ulayat, seseorang harus melalui proses inisiasi," kata Imbiri.
Ia menilai banyaknya perselisihan tanah di Papua adalah buah dari kebijakan pemerintah yang melumpuhkan pranata, lembaga, dan tatanan adat di Papua, termasuk tatanan adat soal tanah ulayat.
"Yang paling menghancurkan adat di Papua adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Nilai sakral yang berkaitan dengan tanah hilang saat struktur (adat) yang diakui masyarakat adat justru tidak diakui pemerintah. Itu menimbulkan kekacauan hukum tanah ulayat di Papua," kata Imbiri.
Kekacauan itu makin menjadi ketika di masa lalu banyak terjadi perampasan tanah, baik secara represif maupun melalui penipuan. Kekacauan itu menjadi sempurna ketika penguasaan tanah oleh para pemegang HAT tidak memberikan manfaat bagi masyarakat lokal.
Gamang
Seluruh kekacauan sempurna itu akhirnya mewujud ketika di mana-mana masyarakat adat "menggugat" tanah bersertifikat.
Perselisihan tanah di Papua juga bisa berdampak fatal. Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia, berupa pembunuhan kilat, penangkapan yang sewenang-wenang, dan penyiksaan dalam peristiwa Wasior, 13 Juni 2001, misalnya, bermula dari perselisihan tanah ulayat masyarakat adat Wasior.
Banyaknya sengketa tanah membuat para pemegang sertifikat HAT di Papua gamang dengan perlindungan dan jaminan hukum bagi mereka. Karena keraguan para pemegang HAT, Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua terpaksa memverifikasi ulang sertifikat yang telah mereka terbitkan di masa lalu.
Sejak tahun 2004, jumlah sertifikat yang telah diverifikasi mencapai 184.963 sertifikat. Luasan total 184.963 persil tanah yang diverifikasi ulang itu mencapai 7.473.646.201 meter persegi.
Prosedur pengurusan permohonan sertifikat HAT pun diperketat. Rawannya perselisihan tanah di Papua menimbulkan berbagai dampak, termasuk iklim investasi. Pemerintah Provinsi Papua sekalipun tidak berani menjamin bahwa sebuah HAT yang dipegang investor aman dari perselisihan.
"Kami sekarang menganjurkan agar calon investor tidak berusaha memiliki HAT. Lebih baik investor menyewa tanah itu dari pemangku hak ulayat. Atau menjadikan tanah ulayat sebagai bentuk penyertaan modal masyarakat lokal terhadap pendirian kegiatan usaha baru," kata Kepala Badan Promosi dan Investasi Daerah Provinsi Papua Purnama.
Kepala Kanwil BPN Provinsi Papua Emmiel Poluan menjelaskan, BPN dan Pemerintah Provinsi Papua menggodok peraturan daerah khusus tentang tanah ulayat di Papua.
"Peraturan di tingkat provinsi itu diharapkan nantinya dapat diikuti dengan pengaturan di tingkat kabupaten dan kota. Dari pengaturan itu, kami dapat melanjutkan proses reformasi agraria, khususnya di bidang tanah ulayat," kata Poluan.
Ia berharap masyarakat adat aktif melibatkan BPN dalam mengidentifikasi tanah ulayatnya. "Jika pemerintah secara sepihak mengidentifikasi tanah ulayat, ada potensi penolakan masyarakat," kata Poluan.
Imbiri pun optimisme karut-marut tanah ulayat bisa dituntaskan.
"Kalau lembaga adat dihidupkan kembali dan diberikan ruang untuk bekerja independen, kekacauan hukum tanah ulayat di Papua bisa diakhiri.
Pembangunan di Papua (baru akan) efektif (jika) dimulai dengan membangun kembali tatanan masyarakat adat yang diakui (masyarakatnya) ," kata Imbiri.
Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007