July 26, 2007
Lahan Pertanian dan Hak Asasi Petani
Oleh Usep Setiawan
Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi yang diprakarsai oleh Departemen Pertanian RI bersama DPR RI menarik untuk dicermati, seiring dengan rencana pemerintah untuk mulai melaksanakan reforma agraria di tahun 2007 ini.
Keberadaan RUU ini merupakan respons pemerintah atas menyusutnya lahan pertanian yang mengancam ketahanan pangan nasional. Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian dibutuhkan untuk mencukupi ketersediaan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani sebagai inti dari revitalisasi pertanian.
Draf II (14 Juni 2007) RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi mengandung lima poin pertimbangan, dua poin mengingat, mencakup 12 bab, dan 40 pasal. Konsideran RUU ini, mengingat pada UUD 1945 (Pasal 20 ayat [1], Pasal 21, dan Pasal 33) dan UU No 26/2007 tentang penataan ruang.
Pada bagian menimbang digariskan; "bahwa dengan semakin meningkatnya pertambahan penduduk dan kebutuhan perumahan serta perkembangan ekonomi, mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, sehingga mempengaruhi kedaulatan dan ketahanan pangan".
Kita memang tengah membutuhkan komitmen nasional untuk mencegah laju konversi lahan pertanian, menciptakan kedaulatan pangan, sekaligus melindungi hak-hak asasi petani.
Cegah Konversi
Martin Sihombing (Bisnis Indonesia, 03/4/07) melaporkan bahwa dalam periode 1980-2005, sumber pertumbuhan produksi padi bertumpu pada peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produktivitas padi tumbuh 3,53 persen dan pe- riode 2000-2005 tumbuh 1,22 persen. Sedangkan pada periode 1980-1989, luas panen tumbuh 1,78 persen dan pada periode 2005 minus 0,17 persen. Peningkatan padi menunjukkan titik jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984.
Kalau pada periode 1981-1989 neraca sawah masih positif 1,6 juta hektare (ha), maka periode 1999-2002 neraca sudah negatif 400.000 ha. Ini menunjukkan laju konversi lahan sawah makin tinggi. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan, sangat mungkin dalam 10 tahun ke depan kemampuan negara dalam memproduksi padi akan sangat berkurang.
Menurut Badan Pusat Statistik, konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (1992-2002). Konversi lahan sawah di Jawa sebagian besar (58,3 persen) berupa alih guna jadi permukiman. Di Sumatera dan pulau lainnya, 50,6 persen beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah.
Pasal 3 RUU ini mengungkap 9 tujuan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi: (a) menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (b) mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan; (c) meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat; (d) mencegah alih fungsi lahan pertanian pangan; (e) mendorong pengalihan fungsi lahan non-pertanian pangan ke pertanian pangan serta mendorong pembukaan lahan baru pertanian pangan abadi; (f) memperkuat jaring pengaman sosial ekonomi kerakyatan; (g) memperkuat penyediaan lapangan kerja produktif; (h) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan (i) mempertahankan multifungsi pertanian.
Politik agraria nasional akan menentukan corak peraturan perundang-undangan dan praktik kebijakan agraria di lapangan. Sepanjang Orde Baru, pengkhianatan terhadap UU Pokok Agraria No 5/1960 (UUPA) dilakukan secara konsisten. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktik politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekayaan alam yang abai prinsip populisme UUPA.
Implikasinya, di sektor pertanian terjadi ketidakadilan agraria yang akut. Hasil lima kali Sensus Pertanian (SP) menunjukkan rata-rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari 1,05 ha (1963) menjadi 0,99 ha (1973), lalu jadi 0,90 ha (1983), lantas 0,81 ha (1993), dan tahun 2003 sudah di bawah 0,5 ha. Jumlah petani gurem pada 1983 mencapai 40,8 persen, tahun 1993 jadi 48,5 persen, dan 2003 berjumlah 56,5 persen. Sempitnya penguasaan lahan jadi faktor penting penyebab kemiskinan petani.
Secara substansi, draf RUU ini ternyata tidak bersangkut paut dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hukum atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan tak terkaitnya substansi RUU ini dengan reforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakan pertanian yang belum mencerminkan kehendak menuntaskan problem pokok agraria dengan mengacu cita-cita para pendiri republik.
Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan dari sejumlah masalah yang tengah melilit pertanian kita: penyediaan lahan untuk produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan. Dua problem utama agraria, ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan maraknya konflik/sengketa pertanahan tak tersentuh RUU ini.
Ketimpangan dan konflik harus diselesaikan terlebih dulu, atau dibuat terintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi. Tanpa didahulukannya penyelesaian ketimpangan dan konflik, dikhawatirkan RUU ini tak efektif mengatasi sumber persoalan, malah berpotensi memperkusut keadaan.
Hak Asasi Petani
Di luar soal ketersediaan lahan (objek), legislasi untuk melindungi hak-hak petani (subjek) juga tak kalah penting dipikirkan. Untuk itu, pemerintah dan DPR hendaknya mulai mengambil langkah nyata merumuskan RUU perlindungan hak asasi petani --sebagaimana tercantum dalam daftar Prolegnas DPR. Untuk itu Deklarasi Cibubur layak dirujuk.
Hasil "Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani" (Komnas HAM, dkk, 17-20 April 2001) di Cibubur Jakarta telah merinci peta situasi dan kondisi serta argumen-argumen pokok sebagai dasar pijakan hak asasi petani.
Mukadimah Deklarasi Cibubur menyatakan: "... sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Negara wajib mengakui hak-hak petani untuk mencapai taraf penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya, dan hak untuk bebas dari kelaparan, melalui tindakan pembaruan agraria".
Deklarasi hak asasi petani mencakup 8 bagian dan 67 tujuh butir, meliputi; hak-hak petani atas hidup dan atas penguasaan dan pemakaian sumber daya alam dan kemampuan pribadinya; hak petani atas produksi dan konsumsi, serta pemasaran produk, pengadaan asupan, dan jaminan mutu akan produknya. Diuraikan pula hak petani untuk berorganisasi, dan melanjutkan keturunannya serta makhluk hidup lainnya yang menjamin kelangsungan hidupnya, dan hak atas pengungkapan.
Selain pemerintah dan legislatif, M Ridha Saleh (aktivis lingkungan dan agraria) dkk yang baru terpilih sebagai anggota Komnas HAM (2007-2012) sewajarnya menaruh perhatian serius terhadap hak asasi petani sebagai bagian dari pelaksanaan reforma agraria sejati. Semakin terlindungi dan terpenuhi hak petani, makin maju penegakan HAM di Indonesia.
Penulis adalah Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), alumnus Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran Bandung