August 28, 2012

Community Right to Agrarian Conflict Victims Could Not Ignored

JAKARTA, KOMPAS.com – Deputy Secretary General of the Agrarian Reform Consortium (KPA) Iwan Nurdin judge, the President still has not received a report that the whole land conflict in Indonesia due to the chaotic-chaotic law. As a result, the requested law enforcement not related to the settlement of land conflicts and create a sense of justice in society.

“When there is conflict, law enforcement can not solve it because law enforcement does not coincide with the justice community as victims of agrarian conflict,” said Iwan, Wednesday (25/07/2012) in Jakarta.

President Susilo Bambang Yudhoyono expressed the need for reform of land administration to avoid conflicts due to overlapping land ownership. The announcement was made at the opening meeting of the coordination area of ​​law implemented in the building of the Attorney General, on Wednesday.

According to John, the President must also understand that the agrarian conflict occurs because of imbalance of land ownership had gone mad. About 20 million farmers are smallholders and landless class, while on the other hand employers can control hundreds of acres of land jutaaan. Protection of people’s assets, particularly land and natural resources, is very weak, either through legal registration by the government and the recognition of their status.
Conflict

widening land, should make the President led the direct solution by providing real decisions, which directly executed in matters of land disputes and provide justice for victims.

Iwan also expect the President to form a team that receives a complaint of conflict resolution, review, and provide a way out to run all the parties.

“In the future should be addressed overlapping laws about land and fueled the agrarian court,” said Iwan.




July 26, 2012

Masyarakat Kehilangan Identitas

KONFLIK LAHAN TERUS BERLANJUT

Pontianak, Kompas - Konflik antara warga dan aparat, pemerintah, atau swasta terkait penguasaan lahan sulit mereda karena mereka yang kehilangan tanah merasa kehilangan identitas. Masyarakat akan merebut identitasnya lagi. Di sisi lain, pemerintah lamban menangani persoalan ini.

Demikian diingatkan Guru Besar Sosiologi Konflik dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Syarif Ibrahim Alqadrie, Ketua Indonesia Human Rights Committee for Social Justice Gunawan, dan Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Jumat (20/7).

Pendekatan legalistik semata tak bisa dipakai guna menyelesaikan konflik yang bersumber dari penguasaan lahan itu.

”Masyarakat yang kehilangan tanahnya karena diambil alih perusahaan atau negara akan kehilangan identitas. Konflik timbul saat masyarakat menyadari perlunya identitas bagi mereka,” kata Syarif. Tanah adalah tempat untuk mengaktualisasikan identitas masyarakat.

Konflik terkait perebutan penguasaan lahan masih terjadi di lokasi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Sekitar 3.000 petani dari Gerakan Petani Penesak Bersatu, Jumat, mendatangi Polda Sumsel di Palembang. Petani menuntut agar rekan mereka yang ditangkap polisi terkait perusakan fasilitas milik PTPN VII Cinta Manis dibebaskan. Kekerasan yang terjadi di lokasi PTPN VII sudah berlangsung sepekan ini.

Dari Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga dilaporkan terjadi konflik antara warga dan perusahaan pertambangan emas di Desa Wahang, Kecamatan Pinu Pahar. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Heribertus Naif menuturkan, kekerasan terjadi sejak pekan lalu. Empat warga dilaporkan terluka dan lima rumah warga terbakar. Konflik terkait lahan di kawasan ini terjadi sejak tahun 2010.

Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, juga terjadi bentrokan antara warga dan polisi terkait eksploitasi emas oleh perusahaan yang mengancam lahan milik warga. Seorang warga tewas tertembak dalam bentrokan itu (Kompas, 20/7).

Diakui Iwan, pemerintah lamban dalam menangani persengketaan lahan, yang bisa berujung dengan kekerasan, dalam masyarakat ini. Bahkan, KPA mencatat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingkar janji karena pernah menjanjikan akan membuat peraturan pemerintah di bidang pertanahan yang lebih melindungi kepentingan petani/masyarakat adat.

Untuk penyelesaian sengketa, lanjut Gunawan, harus segera dibentuk tim mediasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Keberadaan perusahaan swasta dan PTPN perlu dikaji kembali karena kemungkinan ada pengabaian hukum saat mereka berusaha di lapangan.

Akumulasi kemarahan

Syarif menegaskan, konflik bisa timbul karena akumulasi kemarahan masyarakat menghadapi persoalan lahan yang tak kunjung selesai. Di banyak tempat, lahan adat dan kawasan budidaya masyarakat diambil alih perusahaan dengan bagi hasil yang tak menguntungkan masyarakat.

”Sistem pengambilalihan lahan, seperti dari 10 hektar lahan masyarakat hanya dikembalikan 3 hektar dalam bentuk perkebunan, bisa menjadi pemicu. Anak- cucu orang yang menyerahkan lahan itu akan menuntut karena mereka tak lagi memiliki cukup lahan,” kata Syarif.

Gunawan mengatakan, PTPN, misalnya, dibangun seharusnya untuk memberikan kesejahteraan kepada warga sekitarnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Kenyataannya, justru konflik yang terus-menerus terjadi.

Iwan mengatakan, aksi warga yang mempersoalkan lahannya yang dikuasai perusahaan atau PTPN tak boleh dipandang dalam konteks kekinian saja. Harus dirunut proses mendapatkan lahan itu. Pada masa lalu, banyak lahan diambil paksa dari warga.

Menurut Iwan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memungkinkan negara mengabaikan perlindungan kepada warganya. Peraturan pertanahan yang lebih adil bagi warga jadi solusi untuk konflik lahan.

Pemetaan lahan

Terkait konflik terus-menerus antara warga dan PTPN VII Cinta Manis, Gubernur Sumsel Alex Noerdin menginstruksikan segera dilakukan pemetaan lahan. Hal ini dilakukan untuk mendata lahan yang memiliki hak guna usaha (HGU). Jika ada lahan di luar HGU yang menjadi hak PTPN, dibuat kebijakan agar lahan itu diserahkan kepada yang benar-benar berhak.

Kamis sore, Alex mendatangi lokasi konflik di Ogan Ilir dan berdialog dengan warga. Ia berusaha menenangkan warga yang membawa berbagai senjata dan menyatakan berpihak kepada masyarakat sepanjang tuntutannya memiliki dasar yang benar.

Alex juga menyatakan hukum harus ditegakkan. Perusakan dan pembakaran sekitar 1.200 hektar lahan tebu milik PTPN VII Cinta Manis adalah pelanggaran hukum yang serius. Kasus itu harus dipisahkan dengan tuntutan warga untuk memiliki lahan.

Alex tak mencampuri penangkapan 12 warga yang diduga terlibat perusakan dan pembakaran lahan milik PTPN VII Cinta Manis. Bahkan, polisi sudah menetapkan sembilan orang di antaranya sebagai tersangka. ”Tiga orang lainnya akan dibebaskan karena tak terbukti melanggar hukum,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Raja Haryono.

Di Sumba Timur, polisi sudah bisa meredakan kekerasan yang terjadi. Namun, warga tetap meminta perusahaan pertambangan emas keluar dari desanya.(IRE/KOR/RAZ/AHA)
KOMPAS CETAK KAMIS SABTU 21 Juli 2012

Petani Labura Mengadu ke Menhut

Kasus PT. Sawita Ledong Jaya

JAKARTA - Perwakilan Kelompok Tani Karya Lestari dan Penghijauan, Desa Sukarame, Kecamatan Kualuh Hulu, Labuhanbatu Utara (Labura), Sumut, yakni Tumino (40) dan Efendi Marpaung (36), bertemu dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Gedung Kemenhut, Jakarta, Senin (23/7).

Didampingin aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi-Nasional), perwakilan petani ini mengadukan beroperasinya PT. Sawita Ledong Jaya, yang dinilai telah menghilangkan dan menggusur kebun-kebun masyarakat untuk diganti dengan sawit. Sementara, perusahaan yang jelas-jelas melanggar hukum bisa bebas beroperasi bahkan mendapat perlindungan dari aparat.

Diadukan juga ke Menhut, PT. Sawita Ledong Jaya yang lokasi kebun dan pabriknya berada di dalam kawasan Hutan Lindung namun tetap dibiarkan oleh Kepolisian, Pemda Sumut, dan Pemda Labuhanbatu Utara.

"Menerima aduan tersebut, Menteri Kehutanan berjanji  akan segera menurunkan tim ke lapangan untuk mengecek kenyataan di lapangan. Menteri juga mengaku heran sebab jelas-jelas Badan Planologi Kehutanan menjelaskan sejak tahun 2005 bahwa kawasan tersebut adalah kawasan Hutan Lindung," ujar Deputi Sekjen KPA Iwan Nurdin kepada JPNN ini usai mendampingi perwakilan petani Labura, kemarin (23/7).

Dalam pertemuan tersebut, menhut didampingi Dirjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) Kemenhut, Darori.

Dalam pertemuan tersebut, Iwan Nurdin berharap agar pemerintah segera mengambil langkah penegakan hukum terhadap perusahaan sawit ini. Sementara untuk menyelesaikan persoalan Kelompok Tani Karya Lesatari yang berjumlah 450 KK, dimana perkebunan swadaya mereka berada di dalam kawasan hutan lindung dan berdekatan dengan areal perkebunan sawit dimaksud, menurut Iwan, bisa diselesaikan dengan pola Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Desa.

Menurutnya, model penyelesaian yang demikian itu sama sekali tidak diupayakan oleh Pemprov Sumut dan Pemkab Labura sehingga konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat terus terjadi.

"Usulan Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Desa dalam kawasan hutan lindung kepada masyarakat adalah solusi agar lingkungan tetap terjadi dan masyarakat mendapatkan hasil yang bisa menguntungkan secara ekonomi," ujar Iwan.

Sebagaiman diketahui bahwa konflik lahan di Labura ini telah menelan korban jiwa Desman Sianipar (17) pada konflik 11 Agustus 2010 silam. (sam/jpnn)
JPNN tanggal 25 Juli 2012

June 6, 2012

Sengketa Lahan Dibiarkan


Batam, - Sengketa lahan, yang dapat berujung pada konflik sosial, bukan persoalan baru. Namun, sengketa itu cenderung dibiarkan, tanpa penyelesaian yang berarti. Rakyat tetap tersisihkan. Padahal, sebenarnya ada beberapa model penyelesaian yang bisa dilakukan pemerintah.

”Seperti juga tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2012 konflik agraria merata di Indonesia. Ada konsentrasi pengusahaan lahan oleh perusahaan besar. Sebagian besar konflik disebabkan masalah pertanahan yang tidak pernah selesai,” papar Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Senin (28/5), di Batam

Tahun ini, selain terjadi di Mesuji (Sumatera Selatan dan Lampung), letupan konflik agraria juga terjadi di Sungai Mencirim (Sumatera Utara) dan Jember (Jawa Timur). Sengketa lahan terjadi antara warga atau perambah dan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara, khususnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan badan usaha milik daerah. Sengketa lahan umumnya terkait perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

Di Sumsel, konflik antara warga dari sejumlah desa dan PTPN VII Cinta Manis, Senin, makin memanas pula. Ratusan pekerja PTPN VII Cinta Manis, yang tergabung dalam Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII, kemarin, berunjuk rasa di Polda Sumsel dan Kantor Gubernur Sumsel di Palembang. Pekerja mendesak Polri dan Pemerintah Provinsi Sumsel memberikan perlindungan kepada pekerja dan perusahaan itu.

Pekerja juga meminta penduduk tidak mengklaim lahan tanpa bukti kepemilikan yang sah. Kasus perebutan lahan antara warga dari 13 desa di sekitar perkebunan tebu dan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir terjadi sejak tahun 1982. Warga menilai lahan mereka diambil alih dengan ganti rugi yang tak sesuai.

Di Aceh, sengketa lahan antara warga dan perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU) dan izin konsesi lain mengancam Kawasan Rawa Tripa. Kawasan yang dikelola perusahaan perkebunan sawit pemegang HGU tumpang tindih dengan lahan hutan, yang mencapai 62.000 hektar. Warga dari tujuh desa di sekitar kawasan itu menolak perkebunan kelapa sawit yang mereka nilai mengambil alih lahan mereka secara tidak sah. Menurut Koordinator Program Rawa Tripa Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Halim Gurning, konflik lahan di kawasan itu terjadi sejak tahun 1990 dan sampai kini masih berlangsung.

Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam menambahkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit di provinsi itu sejak empat tahun terakhir memicu 288 konflik antara perusahaan dan warga. Sengketa itu juga cenderung dibiarkan oleh pemerintah, termasuk oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sengketa warga dengan perusahaan memuncak karena banyak perusahaan memaksakan kerja sama pemakaian lahan yang merugikan warga. ”Dari 10 hektar lahan yang diserahkan pada perusahaan, warga mendapat paling banyak 3 hektar kebun kelapa sawit. Warga masih dibebani kredit Rp 50 juta dengan dalih untuk menyiapkan lahan,” kata Adam.

Tahun 2012 muncul pula konflik lahan baru. Hal itu terlihat di Kalimantan Selatan, tempat warga Dayak di Gunung Meratus memprotes penerbitan izin hutan tanaman industri (HTI) di wilayah adat mereka. ”Konflik ini memperpanjang daftar perampasan hak warga oleh negara dan pemodal,” ujar Iwan Nurdin.

Sengketa diperburuk dengan peraturan yang cenderung memihak pemodal. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang memungkinkan negara mengabaikan perlindungan terhadap warga.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta mengungkapkan, konflik lahan terjadi dan akan terus terjadi. Hal ini sebagai dampak dari kebijakan pertanian (perkebunan) Pemerintah Indonesia yang berorientasi ekspor. ”Misalnya, seberapa pun besar permintaan minyak sawit di pasar dunia akan dipenuhi oleh Indonesia. Konflik lahan pun tak terelakkan,” ungkapnya. Pengusaha dan petani pasti tergiur oleh harga komoditas sawit yang sangat tinggi. Apalagi pemerintah mendukung.

KPA mencatat, tahun lalu konflik agraria ini melibatkan 69.975 keluarga di seluruh Indonesia. Mereka bersengketa atas areal seluas 476.048 hektar. ”Tahun lalu 22 orang tewas akibat konflik pertanahan,” kata Iwan.

BPN harus aktif

Dari Medan, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Raden Heru Prakoso mengatakan, polisi berupaya menyelesaikan konflik yang berawal dari sengketa lahan secara dialogis. Pertengahan Januari lalu, Polda Sumut mengundang berbagai kalangan untuk berdialog terkait konflik agraria itu.

Bahkan, unsur pimpinan daerah Sumut, seperti Kepala Polda Inspektur Jenderal Wisjnu Amat Sastro dan Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, sudah bertemu membahas upaya dialogis penyelesaian konflik lahan. Pertemuan juga dihadiri Panglima Kodam I/Bukit Barisan Mayor Jenderal TNI Lodewijk F Paulus, Kepala Kejaksaan Tinggi Basuni Masyarif, dan semua kepala daerah.

Kantor Wilayah BPN Sumut diminta aktif menangani kasus sengketa lahan pula. BPN menjadi simpul penting dalam sengketa lahan yang rawan konflik. ”Kami berharap pertemuan itu ditindaklanjuti BPN dan pemerintah daerah,” kata Heru.

Menurut Heru, sengketa lahan di Sumut sangat rawan memicu konflik horizontal. Polda Sumut mencatat, tahun 2005-2011 terjadi 2.833 konflik lahan di provinsi itu (Kompas, 28/5).

Kepala Tata Usaha BPN Sumut Ahmad Yani menjelaskan, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) berupaya memetakan lahan yang selama ini menjadi obyek sengketa. BPN Sumut bertugas mengukur lahan itu untuk dijadikan patokan batas lahan. Rencananya akhir Mei ini pengukuran itu rampung.

Siapkan formula

Staf khusus Kepala BPN, Usep Setiawan, di Jakarta menuturkan, BPN menyiapkan formula kebijakan pembaruan agraria untuk mengatasi sengketa lahan dan konflik terkait tanah yang kian meningkat. Akan tetapi, diakui, BPN tak mungkin menyelesaikan konflik tanah sendirian. Semua pemangku kepentingan terkait agraria harus mau duduk bersama merumuskan langkah pembaruan agraria.Formula yang ideal bagi penyelesaian konflik agraria adalah pelaksanaan pembaruan agraria secara menyeluruh. Formula ini sekarang sedang disiapkan BPN,” ujar Usep.

Usep mengatakan, titik sentral dalam pelaksanaan pembaruan agraria adalah mengatasi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta kekayaan alam lainnya. Salah satu langkah pembaruan agraria yang jamak dilakukan adalah redistribusi lahan milik negara atau swasta kepada petani tak bertanah alias petani gurem.

Namun, BPN tak mungkin bekerja sendiri. ”Butuh juga langkah yang sama dilakukan instansi terkait, termasuk pemerintah daerah. Pendekatan sporadis dan parsial dalam menangani konflik yang beragam dan masif tak akan efektif,” kata Usep.

Menurut Usep, sepantasnya Presiden turun tangan. Konflik lahan adalah bom waktu yang bisa menjadi sumber gangguan sosial dan politik. Presiden harus mengarahkan semua sektor agar membuat strategi khusus bersama mengatasi konflik agraria.(AHA/RAZ/BIL/IRE/EGI/MAS/MHF/HAN/INK/UTI/JON/REN)
Kompas Cetak 29 Mei 2012

May 24, 2012

Konflik PTPN II dan Masyarakat

 BINJAI-Bentrok antara warga dengan karyawan PTPN 2 di Kecamatan Kutalimbaru masih menyisakan kepanikan dan suasana mencekam. Bahkan, di beberapa kampung sekitar lokasi bentrok warganya menghilang. Mereka pergi karena takut ditangkap polisi karena terlibat dalam bentrokan dan pembakaran truk PTPN 2, Selasa (22/5) lalu.

Di lokasi bentrokan, tepatnya di Desa Salang Paku, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, puluhan personel kepolisian dari Polresta Medan dibantu petugas Polresta Binjai masih terlihat berjaga-jaga, Rabu (23/5). Informasi yang diterima Sumut Pos, sejumlah petugas juga melakukan penyisiran ke perkampungan warga guna mencari pelaku pembakaran mobil. Tampak sejumlah petugas berpakaian sipil terus memantau pergerakan warga di kampung tersebut.

Suasana di perkempungan pun tampak lengang. Beberapa warga hanya berkumpul di beberapa titik. Bahkan, beberapa pria terlihat serius memandangi setiap orang yang masuk ke perkampungan itu. Tatapan-tatapan curiga melihat orang asing begitu tampak. Desa Salang Paku pun berubah drastis layaknya di wilayah konflik.

Hal itupun diakui Ketua Kelompok Tani Maju Jaya, Zakaria. Menurutnya, memang sejak terjadinya bentrok dengan karyawan PTPN2 Selasa lalu, sejumlah petugas mulai melakukan penyisiran. Hal itu membuat suasana semakin mencekam dan penuh dengan kepanikan. “Tapi kami nggak tahu mereka mencari siapa,” ujarnya.

Dia menambahkan, pascabentrok sejumlah warga yang ikut terlibat dalam aksi tersebut langsung berhamburan meninggalkan lokasi bentrok. Mereka takut bakal menjadi sasaran penangkapan petugas kepolisian. “Mereka sudah pergi semua, saya nggak tahu ke mana,” ucapnya.
Ketika ditanya warga yang terlibat bentrok berasal dari mana, Zakaria mengatakan seluruh warga berasal dari kampung di sekitar lokasi. “Ya warga disini semua, kan disini ada beberapa kampung,” sebutnya.

Dia juga mengatakan, pihaknya hanya mempertahankan tanaman jagung yang ingin di okupasi pihak PTPN2. Pasalnya, lahan eks PTPN2 itu, merupakan lahan peninggalan orangtua mereka yang dikuasai PTPN2 sejak berpuluhan tahun. “Sampai kapan pun kita tetap bertahan,” urainya.

Dia menceritakan, aksi penyerangan yang dilakukan warga, bukan tak beralasan. Soalnya, jika pihaknya tidak menyerang terlebih dahulu, mereka takut akan mati konyol dihajar pihak PTPN2 yang jelas menang jumlah. “Kita sudah pengalaman soal ini (penyerangan, Red), karena sebulan lalu, pihak PTPN2 juga melakukan penyerangan kepada warga saat melakukan okupasi dan menghancurkan lahan yang mereka tanami,” jelasnya.

Bahkan, Zakaria menduga, kalau pihak PTPN2 juga menyewa preman untuk memotong tanaman pisang mereka dengan kelewang. Tidak hanya itu, preman itu juga sempat melepaskan tembakan sebanyak enam kali agar warga tidak mendekat.  “Kami nggak mau mati koyol. Sebab, Kamis (19/4) lalu, mereka juga melakukan okupasi dengan mengandalkan preman. Bahkan, mereka melepaskan tembakan sebanyak 6 kali, agar warga tidak mengejar,” ungkap Zakaria.

Kejadian Selasa lalu, kata Zakaria, warga memang sudah siap menghadapi karyawan PTPN 2 yang ingin melakukan okupasi. “Kejadian kemarin juga ada premannya kok. Sebab, aku sempat melihat jika ada sekitar 25 orang preman Simalingkar, yang membawa parang ikut di dalam mobil,” timpal seorang warga bernama Iwan.

KPA: Preman Bergabung dengan Karyawan

Sementara, Humas PTPN2 Sei Semayang Eka Dama Yanti, saat dikonfirmasi mengatakan, memang pihaknya ada melakukan okupasi sebulan lalu. Namun, saat itu pihaknya menjadi korban. “Memang kita sempat melakukan okupasi sebulan lalu, tapi kita dihalangi warga saat mencabut dua batang pohon pisang,” kata Eka.

Soal penggunaan jasa preman juga menjadi catatan pihak Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Jakarta. “Informasi dari lapangan, itu para preman bayaran yang bergabung dengan karyawan,” cetus Deputi Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin.

Lantas apa kepentingan mafia tanah? Iwan membeberkan dari aspek historis masalah tanah di sana. Dipaparkan, lahan-lahan PTPN II itu dulunya, di era Presiden Soekarno, sebagian sudah dibagikan kepada rakyat dan sudah disertai Surat Keterangan Pembagian Tanah (SKPT) dan Surat Land Reform. “Ada yang menyebutnya sebagai tanah suguhan. Di surat-surat itu tadi sudah disebutkan tanah menjadi hak milik rakyat,” terang Iwan.

Hanya saja, lanjut Iwan, di awal-awal rezim Orde Baru, rakyat di sana dituduh komunis sehingga tanah-tanah yang sudah dibagi di era Bung Karno, dirampas lagi oleh negara dan diterbitkan HGU untuk PTPN-PTPN, termasuk untuk PTPN II.

Belakangan, rakyat yang merasa dirugikan melakukan gugatan. BPN pun bersikap, dengan menerbitkan surat perintah agar ditunda dulu perpanjangan HGU untuk PTPN II. “Sehingga banyak tanah PTPN II tak dapat diperpanjang HGU-nya karena ada tanah rakyat di situ,” imbuhnya.

Nah, status tanah yang seperti itulah yang dicoba dimainkan para mafia tanah, yang melibatkan ormas-ormas kepemudaan. “Mereka menebangi tanaman warga, memagarinya, dan PTPN membiarkan saja. Saya yakin ada pengusaha-pengusaha hitam. Saya takutnya, ini ada kolaborasi oknum-oknum di PTPN II dengan pengusaha hitam, yang paham itu tanah sengketa, lantas mau menduduki. Harapannya, nanti begitu pemerintah bilang ‘kembalikan tanah ke rakyat’, mereka yang justru akan menguasai,” beber Iwan.

Kecurigaan ini diperkuat dengan fakta di lapangan, lanjut Iwan, dimana ketika warga yang menduduki lahan, pihak PTPN II cepat sekali bereaksi. “Tapi begitu para preman yang memagari, didiamkan saja,” ujarnya.

KPA mendesak agar Pemda dan pihak-pihak terkait secepatnya meneliti ulang status tanah. Bagi yang sudah menjadi hak milik warga, yang dibuktikan dengan adanya SKPT, Surat Land Reform, dan Surat Tanah Suguhan, langsung dikembalikan lahan itu ke rakyat.
KPA juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dugaan adanya permainan preman dan spekulan tanah. “Mafia tanah yang luar biasa pat gulipatnya itu ada di Sumut,” tegasnya. (ndi/sam)

March 22, 2012

Kepentingan Umum Dalam UUPA 1960 (1)

 Oleh Iwan Nurdin

Kepentingan Umum menurut UUPA terkait fungsi sosial hak atas tanah .seperti disebut dalam pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 

Dalam penjelasannya diuraikan: Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.

Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).

Selanjutnya, kepentingan umum secara eksplisit juga disebutkan didalam UUPA:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (pasal 7).
Pasal ini dijabarkan kedalam pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Penjelasan pasal 17: Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebutselanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya para bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.

Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.

Catatan:Pelaksanaan pasal 7 dan pasal 17 ini kemudian yang melahirkan peraturan-peraturan terkait dengan pelaksanaan land reform pada masa itu. Jadi: fungsi sosial dalam kerangka kepentingan umum atas tanah dimaksudkan untuk menciptakan keadilan social melalui reforma agraria

Selanjutnya, Kepentingan Umum juga secara eksplisit disebutkan di dalam pasal 18: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Penjelasan: Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.

Pelaksanaan dari pasal ini melahirkan UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di Atasnya.

March 20, 2012

Spekulan Mesuji Masih Berkeliaran

JAKARTA - Mantan Juru Bicara Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji Indriaswati Dyah Saptaningrum mengatakan, ulah Ketua Lembaga Adat Megou Pak Wan Mauli itu hanya satu dari sebagian banyak spekulan tanah yang memanfaatkan konflik di Mesuji.

Berdasarkan hasil investigasi awal TGPF, pihaknya menemukan banyak spekulan tanah di Mesuji. Karena itu, sesuai rekomendasi, tim meminta aparat penegak hukum mengusut para mafia tanah tersebut.

’’Kami (TGPF) sudah minta Menko Polhukam (Djoko Suyanto) bikin rapat setelah temuan awal yang juga mengundang pejabat pemda dan meminta polda ambil langkah-langkah cepat,’’ kata Indri kepada Radar Lampung di Jakarta kemarin (7/3).

Terlebih, banyaknya aksi spekulan tanah saat itu juga didukung bukti-bukti kuitansi yang ditunjukkan pemerintah daerah (pemda). Termasuk beberapa selebaran tentang pembukaan lahan di wilayah konflik tersebut. ’’Karena banyaknya spekulan, (bukti) kuitansinya saja segepok,’’ ujar Indri.

Namun, dia tak bisa memastikan berapa jumlah calo tanah yang beraksi di wilayah Register 45 tersebut. Termasuk apakah spekulan itu juga melibatkan aparat pemerintah. ’’Waduh, tanya ke polda saja. Yang diusut polisi waktu itu saja ada 24,’’ tandasnya.

Kepada koran ini, Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyatakan, penangkapan Wan Mauli hanya sebuah pengalihan isu. Sebab, pemerintah tak bisa menyelesaikan masalah intinya, yaitu sengketa tanah antara warga dengan perusahaan.

Menurut dia, tanah di sana merupakan tanah masyarakat adat yang memang sudah ada sebelum perusahaan itu berdiri. Kemudian, lanjut Iwan, pemerintah secara sepihak menganggap tanah itu kawasan hutan dan diberikan izin hutan tanaman industri (HTI). ’’Bukankah pemerintah juga jual-beli izin tanpa dasar hak yang kuat,” tudingnya.

Iwan juga menduga bukti kuitansi yang diamankan oleh pihak kepolisian belum tentu terkait jual-beli tanah. ’’Sebab, kami dapat informasi, itu adalah kuitansi pengurusan perjuangan tanah,” ucapnya.

Semestinya, pihak kepolisian fokus pada rekomendasi Komnas HAM dan TGPF Mesuji. Sebab, kata dia, akar permasalahannya adalah mengapa ada izin HTI yang luasnya melebihi batas kawasan hutan sesuai peta residen Lampung, sehingga areal kelebihan itu sejak dahulu diklaim sebagai kawasan adat.

’’Kalau polisi hendak fokus pada jual-beli lahan kawasan hutan itu, mereka juga harus berimbang menyelidiki mengapa ada perluasan izin areal kawasan hutan produksi untuk PT Silva Inhutani yang tidak sesuai dengan luas kawasan hutan yang sebenarnya diakui sejak dahulu (sebagai tanah adat), sehingga (perusahaan) mengambil tanah adat,’’ pungkasnya.

Terpisah, penangkapan Wan Mauli bak tamparan keras bagi Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megou Pak Saurip Kadi yang paling getol menyuarakan sengketa lahan Mesuji hingga mendunia.

Ia sangat menyesalkan perbuatan Wan Mauli yang dituding sebagai calo tanah di wilayah Register 45. Namun, purnawirawan TNI ini berharap mayarakat adat tetap kompak dan tidak terpecah belah dengan penangkapan ini.

Sebab, kata dia, dengan kejadian ini masyarakat adat merasa dipermalukan oleh ulah orang yang tak bertanggung jawab tersebut. ’’Kalau memang Pak Mauli memanfaatkan konflik untuk kepentingan pribadi, silakan polisi memproses hukum,’’ kata Saurip yang mengaku belum mengetahui secara pasti penyebab tersangka ditahan aparat kepolisian.

Menurutnya, perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan hak tanahnya akan diteruskan. Jangan sampai perjuangan itu terhenti karena ulah ketua lembaga adatnya. ’’Lembaga adat jangan pecah karena kesalahan pribadi seseorang,’’ ujar Saurip.

Meski dalam transaksinya, tersangka menjual nama lembaga adat dengan modus memperjuangkan hak tanah. Saurip menyatakan, pihaknya tetap akan memberikan bantuan hukum selama proses penyidikan tersangka.

Dari sana, kata dia, pihaknya bisa melihat perbuatan yang dilakukan oleh tersangka memang untuk perjuangan atau buat kepentingan pribadi. ’’Nanti dilihat berapa uang yang dikatakan untuk perjuangan dan berapa uang yang masuk kantong pribadi,’’ jelasnya.

Meski perjuangan Lembaga Adat Megou Pak dikotori oleh oknum yang memanfaatkan situasi, Saurip menegaskan akan terus berusaha mendapatkan hak tanah rakyat yang dinilainya selama ini menjadi korban penzaliman pemerintah.

Diketahui, Direktorat Kriminal Umum Polda Lampung menahan Ketua Lembaga Adat Megou Pak Wan Mauli. Pria 61 tahun ini sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan tanah di Register 45 kepada warga Mesuji.

Wan Mauli ditahan atas laporan Syaiful cs ke Polda Lampung dengan Nomor LP/56/II/2012/SPKT tertanggal 6 Februari 2012 tentang Penipuan.

Kepala Bidang Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih menjelaskan, dalam pemeriksaan, Wan Mauli diajukan 27 pertanyaan di ruang Ditreskrimum. Jumlah saksi yang sudah diperiksa sebanyak 18 orang. Mereka warga Tuguroda, Sungai Buaya, Mesuji, yang merasa ditipu Wan Mauli selama bulan September-Desember 2011.

Modus yang digunakan tersangka, para korban memberikan sejumlah uang kepada Wan Mauli untuk membeli tanah seluas 2/4 hektare. Di mana dua hektare digunakan warga untuk ladang, sisanya untuk permukiman.

 Untuk warga yang sudah lama bermukim di Tugu Roda dimintai uang Rp1 juta. Sedangkan untuk warga baru yang tinggal dimintai uang Rp1,5 juta. Selain membeli tanah Register 45, masyarakat diperintahkan Wan Mauli untuk menjadi anggota Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (HTRMI) dengan dibebani biaya sebesar Rp225 ribu.

 Barang bukti yang dimiliki Polda Lampung untuk menahan Wan Mauli berupa satu lembar kuitansi tertanggal 18 Desember 2011 sejumlah Rp3 juta, satu lembar kuitansi tertanggal 20 Desember 2011 sejumlah Rp1 juta, dan satu lembar tanda terima uang tertanggal 2 Desember 2011 sejumlah Rp25 juta.

Kemudian satu lembar penerimaan uang tertanggal 23 Desember 2011 sejumlah Rp5 juta dan satu lembar penerimaan uang tertanggal 26 Desember 2011 sejumlah Rp5 juta yang penggunaannya untuk pengurusan sengketa tanah dan transportasi.

Lalu surat tanda terima uang yang diterima dan ditandatangani oleh Wayan Karas, lima lembar ditandatangani oleh Wan Mauli, satu lembar ditandatangani oleh M. Sudarmin, satu lembar ditandatangani Jalil Kumis, dan satu lembar ditandatangani Trubus.

Selanjutnya sebelas lembar fotokopi tanda terima uang sumbangan dana perjuangan masyarakat, enam lembar tanda terima uang pendaftaran anggota Asosiasi HTRMI dan biaya administrasi, serta satu lembar rekapan dana yang masuk ke Wan Mauli atau lembaga Megou Pak. (kyd/c1/ary)
RADAR LAMPUNG 8 Maret 2012

March 2, 2012

Pengaturan Wilayah, RUU Desa Dorong Pembaruan Agraria

Kompas–Jakarta : Rancangan Undang-Undang Desa yang akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya bisa menjadi perangkat yang mendorong terjadinya pembaruan agraria. Harapannya, Rancangan Undang-Undang Desa ini bisa menciptakan hubungan pertanian dan industri sekaligus relasi desa dengan kota yang saling menguatkan.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di  Jakarta mengatakan, selama ini masyarakat dan pemerintahan desa tidak diberi wewenang dalam mengatur wilayah dan masyarakatnya.

“Apalagi menentukan wilayah mereka atas dasar ulayat untuk diakui negara sehingga sumber-sumber agraria, khususnya tanah, tambang, dan pertanian, dieksploitasi pemerintah di luar desa dan pengusaha dengan dalih investasi dan pembangunan. RUU Desa harus mendorong transformasi pedesaan melalui pembaruan agraria sehingga ke depan tercipta hubungan pertanian dan industri serta relasi desa-kota yang saling menguatkan,” kata Iwan, Selasa (28/2).

RUU Desa, menurut Iwan, diharapkan juga mengatasi persoalan tumpang tindih dalam penentuan wilayah definitif antara kawasan hutan dan wilayah desa. Iwan mengatakan, berdasarkan data peta desa dan peta kawasan hutan Kementerian Kehutanan dengan Badan Pusat Statistik tahun 2009, dari 70.429 desa di Indonesia, sekitar 37 persennya memiliki wilayah yang tumpang  tindih dengan kawasan hutan.

Kondisi itu yang rawan menimbulkan konflik agraria. Masyarakat yang bertahun-tahun mendiami wilayah desa justru dituding sebagai perambah kawasan hutan.

Selasa(28/02) DPR mengesahkan pembentukan Panitia Khusus RUU Desa. Menurut  anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Budiman Sudjatmiko,  keberadaan UU Desa sangat penting bagi keberadaan desa-desa di Indonesia.  Melalui UU Desa, menurut Budiman, desa akan semakin dinamis dan menarik  bagi rakyat untuk tetap mencari penghidupan di desa. “Dengan demikian, arus urbanisasi juga akan berkurang drastis,” katanya.

Selain itu, ujar Budiman, UU Desa memastikan pengaturan soal pengelolaan  aset agraria desa. “Hal itu merupakan bentuk konkret dari pengakuan terhadap desa. Pengelolaan aset dilakukan melalui redistribusi aset ke desa dan dilakukan oleh organisasi masyarakat atau organisasi tani setempat,” katanya.

Untuk itu, UU Desa harus menjamin pembentukan Panitia Reforma Agraria yang mayoritas anggotanya harus organisasi petani/nelayan setempat. Dalam soal penganggaran, UU Desa juga memastikan ada alokasi anggaran dari APBN. (Bil)

Sumber: Kompas Cetak, 1 Maret 2012.

February 28, 2012

Pansus Konflik Agraria dan Kejahatan Bisnis Perkebunan

Oleh: Iwan Nurdin

Beberapa kalangan terus mendesak agar DPR-RI segera membentuk Panitia Khusus DPR tentang Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (Pansus Agraria). Menyusul meletupnya konflik agraria di berbagai wilayah. Kabarnya, saat ini sudah 72 anggota DPR sepakat untuk pansus ini.

Bagi DPR, yang terus menerus disorot dengan berbagai skandal anggaran, usulan masyarakat agar parlemen membentuk pansus untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada parlemen. Selain itu, untuk meluruskan “ilusi” pemerintah yang mengharu biru dengan pikirannya sendiri soal keberhasilan ekonomi dan kepercayaan investasi terhadap Indonesia yang terus membaik.

Bagi para petani, langkah pansus sendiri adalah langkah lari “marathon” yang melelahkan. Sebab, persoalan petani terkait ketiadaan tanah, konflik agraria sesungguhnya secara peraturan sudah diberikan jalan keluar yaitu: pelaksanaan reforma agrarian sesuai dengan UUPA 1960 dan Tap MPR Np.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Artinya, jika alam pikiran DPR sejiwa dengan rakyat yang diwakilinya, pekerjaan parlemen adalah mendesak pemerintah menjalankan pelaksanaan reforma agrarian sebagai kewajiban pemerintah menjalankan Konstitusi, Tap MPR dan UUPA.

Agar pansus berjalan efektif dan tidak bernasib seperti aneka pansus sebelumnya yang berujung pada kompromi dan politik dagang sapi, maka pansus harus memahami dengan benar akar masalah konflik agraria di Indonesia. Bahkan, melalui pansus ini parlemen dan pemerintah harus mulai menyadari betapa kejahatan bisnis agraria di Indonesia sangat primitif dan dilindungi oleh hukum.

Salah satu tujuan pansus diusulkan para petani yang sedang berkonflik tersebut adalah memastikan DPR mendesak penyelesaian ribuan konflik agrarian dan merekomendasikan pemerintah segera menjalankan pembaruan agraria sesuai dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Untuk sampai kepada rekomendasi tersebut, DPR harus dapat memahami beragam jenis konflik agraria yang berjenjang dan model-model kejahatan bisnis perkebunan, kehutanan, serta bisnis pertambangan yang selama ini melahirkan konflik agraria. Terlebih konflik perkebunan.

Salah satu titik konflik agraria tertua dan terbanyak adalah konflik di wilayah perkebunan. Mulai dari konflik agraria perkebunan warisan kolonial Belanda hingga perkebunan inti plasma yang selama ini di dorong oleh pemerintah.

Konflik Perkebunan
Konflik perkebunan warisan kolonial banyak terdapat di Jawa dan Sumatera Utara bagian Timur. Perkebunan tersebut saat ini mayoritas dikelola oleh BUMN perkebunan. Mayoritas BUMN mendapatkan perkebunan karena nasionalisasi perkebunan Belanda pada tahun 1950-an. Sementara, kita tahu bahwa perkebunan tersebut dahulunya dibangun dengan cara merampas tanah-tanah rakyat. Padahal, area PTPN adalah titik paling sulit dalam menyelesaikan sengketa agrarian akibat berbagai instansi yang mesti dilibatkan yakni Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, BPN dan Pemda. Dan, koordinasi kelembagaan antar instansi ini untuk secara khusus membicarakan penyelesaian konflik agraria hamper dipastikan tidak pernah ada.

Selain itu, Pansus DPR juga harus segera mengevaluasi Kementerian Pertanian, dalam hal ini Dirjen Perkebunan, Dinas Pertanian atau Perkebunan yang ada di Pemerintah Daerah. Karena, jajaran isntansi ini hampir tidak pernah telihat turun tangan secara aktif untuk menghentikan konflik-konflik agraria yang ada disektor perkebunan.

Pada perkebunan yang didirikan setelah Orde Baru berkuasa hingga sekarang, penulis melihat ada beberapa fase-fase konflik yang harus diurai sehingga praktek bisnis jahat oleh perkebunan nakal bisa terlihat.

Pertama, fase normative. Fase ini berawal dari pemberian izin lokasi, izin prinsip perkebunan yang diberikan oleh Bupati, Gubernur yang kerapkali bertabrakan dengan wilayah kelola masyarakat. Sementara, setelah mendapatkan izin, kerapkali perusahaan perkebunan memaksa rakyat menyerahkan lahan dengan memberikan ganti kerugian tidak wajar. Setelah proses ini, perusahaan mendaftarkan tanah sebagai HGU kepada BPN. Kerapkali, perusahaan mendapatkan HGU dengan proses yang tidak wajar dan cacat prosedur sehingga areal HGU mencaplok lahan-lahan warga.

Kedua, fase pembangunan perkebunan. Konflik jenis ini diawali perusahaan perkebunan yang mengajak masyarakat untuk bermitra dengan masyarakat. Awalnya, masyarakat menyerahkan lahan untuk dibangun kebun plasma oleh perusahaan. Sebelum melangkah kepada pembangunan, perusahaan melakukan MoU dengan masyarakat.

Karena absennya pemerintah daerah dan dinas pertanian dalam melindungi warga, kerapkali perjanjian kerjasama sangat merugikan petani. Akibatnya, sering ditemukan tanah-tanah milik masyarakat yang diserahkan kepada perusahaan perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru dimasukan dalam sertifikat HGU perusahaan.

Kondisi tersebut melahirkan fase konflik selanjutnya, yakni fase konversi kebun plasma. Banyak ditemukan bahwa petani banyak menerima kebun plasma justru lahannya jauh dari lokasi rumah dan sarana transportasi. Selain itu, banyak petani menerima areal yang tanahnya kurang subur, luas areal tidak sesuai, daftar penerima plasma fiktif, bibit kualitas asalan, jumlah pokok tanaman yang sedikit, hingga jumlah kredit yang melambung. Kasus di Sei Sodong di Mesuji Sumsel adalah contoh nyata jenis konflik fase ini.

Selanjutnya, fase konflik perkebunan fase ke empat yakni fase produksi dikarenakan oleh banyaknya pemotongan yang dilakukan oleh perusahaan kepada petani plasma. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menguraikan bahwa besaran pemotongan atau sortasi yang sering dilakukan dalam perkebunan sawit hingga sebesar empat persen setiap kali panen.

Jadi, praktek jahat perkebunan nakal selama ini banyak dikarenakan oleh ketiadaan pengawasan dalam bisnis perkebunan selama ini. Oleh sebab itu, audit legal dan sosial ekonomi terhadap kehadiran perkebunan skala besar wajib dilakukan oleh pansus konflik agrarian. Sehingga, ada rekonstruksi pembangunan perkebunan yang lebih berkadilan di masa depan dan menjamin keadilan agraria. Rekonstruksi tersebut adalah bagian dari pembaruan agraria.

Jakarta 17 Januari 2011

Iwan Nurdin

February 27, 2012

Sekelumit Soal Tanah Adat

Saya mencoba menuliskan pandangan pendek saya tentang penyelesaian persoalan tanah adat yang menjadi tanah-tanah perkebunan.

Konflik tanah ulayat banyak diakibatkan oleh diambilnya tanah-tanah tersebut yang dimiliki oleh pengusaha perkebunan dan kehutanan.Terkait dengan Perkebunan, banyak tanah-tanah tersebut diambil oleh perusahaan Belanda pada masa kolonial. Tanah-tanah tersebut diambil secara paksa oleh perusahaan kolonial dengan mengacu pada Domein Verklaring, yaitu tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom-nya (hak milik) oleh masyarakat dianggap sebagai tanah negara.

Dengan dasar tersebut, maka tanah-tanah milik ulayat masyarakat adat tersebut dianggap sebagai tanah negara (pemerintah Hindia Belanda), sehingga perusahaan perkebunan menyewa kepada pemerintah dengan Hak Erpacht selama 75 tahun. Sehingga, banyak berdiri perusahaan-perusahaan perkebunan di Jawa, Sumatera Tmur dsb.

Selain itu, ada juga perusahaan perkebunan era kolonial menyewa langsung tanah-tanah masyarakat adat, menyewa tanah-tanah kesultanan untuk dijadikan perkebunan.

Namun, pada masa kemerdekaan, tanah-tanah tersebut tidak dikembalikan kepada masyarakat. Justru, tanah-tanah perkebunan tersebut dinasionalisasi menjadi perusahaan perkebunan yang kemudian kita kenal sebagai PTPN. Sehingga, tanah-tanah PTPN eks perkebunan kolonial tersebut sebagian besar berdiri di atas klaim-klaim tanah masyarakat adat dan bahkan klaim tanah-tanah milik kerajaan/kesultanan.

Bagaimana menyelesaikan tanah-tanah tersebut, khususnya tanah yang dahulunya disewa oleh perkebunan Belanda kepada masyarakat adat, atau dirampas oleh perkebunan Belanda.

Pada masa kemerdekaan, UUPA 1960 mengatur dalam aturan konversi, bahwa tanah-tanah eks erpfacht tersebut harus segera diselesaikan selambat-lambatnya 20 tahun setelah diundangkannya UUPA 1960. Sehingga, pada tahun 1980, seharusnya proses mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dijadikan perkebunan sudah diselesaikan. Sayangnya, justru tanah-tanah tersebut dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN yang artinya tanah rakyat tidak yang dirampas pada masa kolonial tidak dikembalikan.

Oleh karena itu, jika saat ini hendak diselesaikan melalui mekanisme politik nasional yang mewadahi dan menyelesaikan klaim-klaim masyarakat atas tanah ini.

Sementara, untuk tanah-tanah adat yang dahulunya disewa oleh perkebunan Belanda kemudian menjadi PTPN dan telah diberi HGU, maka harus ditelusuri dokumen tersebut untuk menjadi dasar bagi pengembalian tanah rakyat.

Selain itu, ada juga tanah-tanah milik masyarakat adat yang diambil alih oleh perkebunan swasta dan negara pada masa kemerdekaan. mereka diminta menyerahkan tanah-tanah adat secara adat dengan proses ganti rugi tanaman. selanjutnya, tanah-tanah tersebut dijadikan HPL (Hak Pengelolaan ) atas nama Pemda. Kemudian, di atas HPL tersebut diterbitkan HGU kepada perusahaan perkebunan.

Setelah HGU habis, ternyata tanah tersebut tidak kembali kepada masyarakat adat, namun kembali kepada Pemda sebagai pemegang HPL. Oleh sebab itu, menurut saya, kedepan seharusnya HPL tidak atas nama Pemda, namun atas nama masyarakat adat setempat.  Sementara untuk menyelesaikan tanah-tanah adat yang sudah menjadi HPL harus dikembalikan segera kepada masyarakat adat

Sementara, untuk menyelesaikan tanah-tanah adat yanga ada saat ini dan belum terkonversi menjadi wilayah-wilayah lain milik pemerintah dan perusahaan, pemerintah harus segera membuat pendaftaran tanah secara aktif wilayah-wilayah masyarakat adat.

Demikian pandangan awal saya. Besok disambung lagi

February 10, 2012

Pemerintah Tak Sentuh Akar Konflik


Kompas    Rabu, 08 Pebruari 2012
Meski eksesif dan telah mengakibatkan meningkatnya korban jiwa di kalangan rakyat, pemerintah tak pernah mau serius menyentuh akar konflik agraria. Bahkan, upaya penyelesaian konflik melalui lembaga resmi seperti Badan Pertanahan Nasional, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hingga kementerian terkait selalu menemui jalan buntu. Konflik agraria terus terjadi.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin di Jakarta, Selasa (7/2), menyebut, pemerintah tak pernah mau serius menyetuh akar konflik agraria, yakni ketimpangan penguasaan lahan. Pemerintah, ujar Iwan, tak pernah mau melakukan pembaruan agraria, yang salah satu agenda utamanya menata kembali penguasaan lahan dan mendistribusikannya kepada rakyat.

Akibatnya, setiap kali rakyat mengadukan persoalan tanah, tak ada lembaga resmi yang bisa menyelesaikannya. Dia mencotohkan, untuk konflik di kawasan kehutanan, terdapat dua tempat di Kementerian Kehutanan yang menangani konflik tanah di kawasan hutan, yaitu steering committee (SC) konflik pada Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dan tim resolusi konflik yang dibentuk Menteri Kehutanan.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P yang juga inisiator Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR, Budiman Sudjatmiko. Menurut Budiman, salah satu tujuan Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 adalah melaksanakan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Karena itu, pembentukan Pansus bisa memberi rekomendasi kepada DPR dan Presiden untuk memprioritaskan pembahasan RUU menjadi UU yang memberi perlindungan efektif terhadap hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan.

Sebelumnya, mantan penasihat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji, Ifdhal Kasim, mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera melaksanakan rekomendasi kebijakan TGPF Mesuji.

Selain memberikan rekomendasi kebijakan, TGPF juga memberikan rekomendasi kasus. Ada tujuh rekomendasi, yaitu penuntasan penegakan hukum pelaku kekerasan, selidiki dugaan pelanggaran HAM dalam kasus kematian Made Aste (warga), berikan bantuan kepada korban luka yang masih memerlukan perawatan medis, pemda diminta membantu anak korban terutama di bidang pendidikan.

Rekomendasi lainnya adalah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberi perlindungan kepada saksi dan korban, pemerintah harus menerbitkan badan usaha jasa pengamanan dan perusahaan penguna pengamanan itu, dan langkah penegakan hukum kepada pembuat dan pengedar potongan video kekerasan yang tidak sesuai temuan fakta TGPF.

February 7, 2012

Presiden diminta turun tangan atasi sengketa lahan



Oleh: ANUGERAH PERKASA

JAKARTA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak untukmemimpin langsung penyelesaian konflik agraria di Tanah Air, menyusul meningkatnya korban maupun kerugian yang muncul dari sengketa tanah yang tak kunjung selesai.

Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan keresahan masyarakat mengenai konflik agraria sudah mencapai litik ekstrem yakni telah jatuhnya korban.
Kasus pembakaran kantor Bupati Bima. Lombok, NTB pada 26 Januari 2012 dinilai sebagai salah satu bentuk perlawanan masyarakat.

"Saatnya Presiden memimpin langsung penyelesaian konflik agraria dan menjalankan reformasi agraria yang sela ma inidijanjikan. Apalagi keresahan dan perlawanan masyarakat sudah mengambil bentuk paling ekstrem," ujarnya kemarin.

Mengutip Antam, puluhan ribu warga yang berunjuk rasa di Kantor Bupati Bima pada.pekan lalu terkait dengan reaksi atas penanganan insiden di Pelabuhan Sape, 24 Desember 2011, masyarakat mengamuk danmembakar kantor pemerintah daerah itu.

Selain bangunan, sepeda motor dan kendaraan lainnya di kompleks Kantor Bupati Bima itu juga dibakar massa. Demonstran mengamuk karena dihadang oleh aparat kepolisian ketika hendak masuk kompleks kantor bupati itu.

Aksi unjuk rasa yang berujung pembakaran itu terkait dengan tuntutan pembebasan 56 warga Lambu dan Sape yang sebelumnya berunjuk rasa di Pelabuhan Sape, dan tengah ditahan aparat kepolisian untuk diproses hukum.

Tuntutan lainnya yakni pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) yang dikantongi oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), sebagaimana tuntutan dalam aksi sebelumnya.
Iwan menuturkan dengan kejadian tersebut, pemerintah seolah-olah membutuhkan sinyal yang lebih keras lagi dalam penyelesaian konflik agraria. "Ini terutama di wilayah tambang, kebun dan kehutanan. Seolah-olah pemerintah baru akan bergerak jika sudah jatuh korban jiwa dan kemarahan yang meluas," katanya.
KPA mencatat pada tahun lalu, sedikitnya konflik lahan terjadi di area seluas 472.084,44 hektare de-ngan melibatkan 69.975 kepala keluarga.

Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infra-stnikiur (21 kasus), pertambangan (delapan kasus), dan pertambakan (satu kasus). Total kasus mencapai 163, meningkat dibandingkan dengan 106 kasus pada 2010.

Fase dalam konflik agraria, salah satunya adalah konflik izin lokasi oleh pemerintah daerah dan penerbitan hak guna usaha (HGU) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sebelumnya, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mendesak DPR segera membentuk pansus penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam, tanpa melakukan revisi terhadap UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.


Dia menegaskan pansus juga harus bersifat lintas komisi karena konflik agraria ini tidak hanya melibatkan satu sektor, tetapi antarsektor. "Masalah utama agraria di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar," ujarnya.

Penguasa Senang Salah Gunakan Kekuasaan

JAKARTA, KOMPAS.com - Indra, Anggota Tim Reformasi Agraria Fraksi Partai Keadilan Sejahetera di Jakarta, Senin (6/2/2012) menilai, menggunungnya persoalan sengketa agraria tersebut disebabkan oleh tidak sinkronnya perundang - undangan terkait agraria dan adanya penyalahgunaan kekuasan oleh penguasa.
Sengketa agraria yang mencuat dan menjadi perhatian publik akhir-akhir ini, seperti kasus Mesuji di Lampung (warga adat dan PT Silva Inhutani di tanah register 45 di kawasan Way Buayaserta warga Desa Sri Tanjung, Nipah Kuning, dan Keagungan Dalam versus PT Barat Selatan Makmur Investindo), Mesuji di Sumatera Selatan (di derah desa sungai sodong OKI bersengketa dengan PT SWA).

Kasus di Riau, penembakan enam masyarakat oleh Brimob dari Polda Sumatera Utara (warga desa Batang Kumuh, kecamatan Tambusai, kabupaten Rokan Hulu, Riauversus PT Mazumah Agro Indonesia), Pulau Padang yang sekarang sedang kemah di depan DPR (antara warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti dan PT RAPP), Bima, dan Papua.

Semua kasus ini merupakan puncak gunung es dari Sengketa Agraria yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Tahun 2011 lalu, Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin di Kompas, Senin (5/2) mengatakan, terjadi konflik agraria sebanyak 69.975 keluarga yang melibatkan areal seluas 472.048,44 hektar lahan.

Dalam analisis substansi hukum, Indra menganggap perlu sinkronisasi UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agaraia dengan UU lainnya agar bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah.
"Berbicara substansi banyak sekali benturan antara satu UU dengan UU lainnya, seperti UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kehutanan, UU perkebunan,UU Perikanan, UU Migas , UU Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil " jelasnya.

Dalam hal pelaksanaan peraturan perundang - undangan yang saling berbenturan tersebut diperparah dengan sikap dan mentalitas Instansi terkait, mulai dari BPN, Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, dan Pemerintah Daerah yang kerapkali menjadi alat bagi pegusaha dalam mengembangkan usahanya, yang tentu akan mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat kecil.
Tidak heran jika tanah ulayat, tanah adat, dan bahkan tanah bersertifikatpun dirampas dan diabaikan eksistensinya demi kepentingan para pemodal dan dengan dalih investasi.

"Padahal kita mengetahui secara nyata Spirit Pengelolaan agrarian yang baik dan benar telah dituntun Pasal 33ayat 3 UUD 1945 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara merujuk pada prinsip pengayoman oleh instansi pemerintah terkait, bukan memanfaatkan kekuasaan untuk menyengsarakan rakyat dengan mengambil dan menyerahkan kepada investor asing maupun dalam negeri," ujarnya. 

Konflik Agraria Paling Eksesif

Jakarta, Kompas - Konflik agraria merupakan jenis konflik horizontal yang paling eksesif saat ini. Tingkat keragaman konflik dan jumlah korbannya juga tercatat paling tinggi. Potensi konflik agraria yang sangat besar meliputi sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.
Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengungkapkan, potensi konflik agraria bakal semakin besar ke depan karena pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Pembangunan proyek infrastruktur bakal menggunakan UU itu ketika harus berhadapan dengan tuntutan rakyat atas tanah yang dijadikan lokasi proyek.
Menurut Iwan, wajah paling buruk dalam konflik agraria terdapat pada kawasan pertambangan mineral dan batubara. ”Sebab, peraturan yang ada hanya memungkinkan rakyat keluar dari area izin usaha pertambangan dengan pola ganti kerugian. Tidak ada celah rakyat untuk terlibat sedikit pun. Pesisir selatan Jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Maluku, dan Papua adalah wilayah utama konflik pertambangan,” kata Iwan di Jakarta, Minggu (5/2).
Data KPA menyebutkan, sedikitnya 64,2 juta hektar tanah atau 33,7 persen daratan di Indonesia telah diberikan kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara dalam bentuk izin konsesi. Menurut Iwan, mengutip data Jaringan Tambang, data ini belum termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 41.750.107 hektar, kontrak karya (KK) total luasan 22.764.619,07 hektar, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) seluas 7.088.078 hektar.
Selain persoalan konsesi pertambangan mineral dan migas, menurut Iwan, konflik agraria juga terjadi karena penunjukan kawasan kehutanan oleh pemerintah. Iwan mengatakan, pemerintah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan seluas 136,94 juta hektar atau 69 persen dari total luas wilayah Indonesia. ”Padahal, sampai hari ini, kawasan yang ditunjuk sepihak tersebut menyisakan 121,74 juta hektar atau 88 persen kawasan hutan yang belum ditata batasnya. Sedikitnya terdapat 19.000 desa definitif yang masuk ke dalam kawasan hutan yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak konstitusionalnya seperti pelayanan sertifikat pertanahan, pengembangan ekonomi melalui infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, pendidikan, dan kesehatan,” kata Iwan.
Dia mengatakan, hampir semua wilayah Nusantara, kecuali Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, mempunyai masalah dengan konflik kawasan kehutanan dengan masyarakat.
Jenis konflik agraria lainnya yang sampai sekarang terus terjadi adalah konflik di kawasan perkebunan. Menurut Iwan, konflik perkebunan merupakan konflik paling tua dan paling banyak memakan korban jiwa. Disebut paling tua karena sebagian konflik perkebunan merupakan warisan kolonial seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan sebagian Pulau Jawa. Konflik perkebunan jenis baru terjadi karena pembukaan besar-besaran kawasan perkebunan seperti di Kalimantan dan Papua. Konflik jenis baru ini terjadi sejak fase perizinan hingga bagi hasil produksi antara perusahaan inti dan plasma (rakyat).
Menurut Iwan, konflik agraria tak pernah bisa terselesaikan hingga saat ini karena pemerintah tak punya komitmen kuat mengatasi persoalan utamanya. Pemerintah, lanjut Iwan, selalu abai dengan hak-hak rakyat. Konflik agraria yang terjadi baru-baru ini seperti di Mesuji dan Bima tak diselesaikan dengan menggunakan perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA mengamanatkan dilakukannya pembaruan agraria, yang salah satu intinya meredistribusikan lahan kepada rakyat dan menata kembali penguasaan atas lahan. (BIL)

January 20, 2012

Dua Area Panas Konflik Lahan di Sumut

JAKARTA – Tim Terpadu penanganan sengketa lahan yang dibentuk Pemprov Sumut dan instansi terkait lainnya, barangkali bisa menjadikan pemetaan konflik yang dibuat Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) ini sebagai masukan penting.

KPA mengidentifikasi, ada dua wilayah di Sumut yang merupakan area panas sengketa lahan. Pertama, area yang merupakan bekas perkebunan Deli yang dibangun Belanda di tahun 1917 ke bawah. Areanya antara lain mencakup kawasan pantai timur Sumut.
“Mulai dari Asahan, Binjai, Deliserdang, hingga yang jauh Pematangsiantar,” terang Deputi Sekertaris Jendral KPA, Iwan Nurdin, kepada JPNN di Jakarta, Rabu (18/1).
Model sengketa untuk kawasan ini menyangkut lahan eks perkebunan jaman Belanda, yang di era awal kemerdekaaan dinasionalisasi menjadi lahan PTPN.  Belanda mengambil lahan dari tanah milik masyarakat dan atau masyarakat adat.
Selanjutnya, pada 1979 pernah ada upaya redistribusi tanah, yang menurut UU Pokok Agraria, lahan yang diduduki warga harus dikeluarkan dari area perkebunan. Sebelumnya, tahun 1960-an, ada sejumlah surat land reform yang dikeluarkan. Sebagian tanah di Sumut sudah mendapatkan surat land reform ini.
“Tapi karena ada masalah politik, tanah tak jadi didistribusikan, tapi malah balik lagi ke PTPN. Ini harus diselesaikan sendiri sesuai tipe konfliknya,” beber Iwan.
Yang kedua adalah konflik lahan di area perkebunan yang izinnya dikeluarkan di era Orde Baru hingga era sekarang. Ini biasanya lahan kebun sawit dan HTI. Areanya sebagian besar di kawasan Tapanuli bagian Selatan.
Sumber konflik menyangkut masalah kawasan hutan yang dilepas menjadi area perkebunan, padahal di sana ada tanah-tanah garapan masyarakat atau masyarakat adat.  Juga dipicu masalah dengan perusahaan perkebunan inti plasma.
Iwan menjelaskan, di wilayah panas kedua ini, konflik bisa muncul di beberapa fase. Fase pertama adalah fase normatif berupa izin lokasi perkebunan  hingga yang diberikan oleh bupati atau gubernur, izin usaha perkebunan dimana kewenangan ada daerah dengan dasar regulasi menteri pertanian, dan hak guna usaha (HGU) yang kewenangan ada di BPN.
Jenis-jenis konflik pada fase ini adalah tumpang tindih lahan dengan penduduk, ganti kerugian tidak wajar kepada penduduk yang tanahnya dicaplok perkebunan hingga penerbitan sertifikat HGU yang cacat prosedur.
Fase kedua, masih menurut Iwan, adalah fase pembangunan kebun. Banyak masyarakat yang diajak untuk menjadi mitra perkebunan dan menyerahkan lahan pertanian mereka untuk bergabung dalam pola plasma inti perkebunan.
Seringkali kesepakatan-kesepakatan plasma tersebut tidak menguntungkan petani, tertutup, bahkan manipulatif. Namun karena ketiadaan pendamping dari sisi masyarakat mereka akhirnya menandatangai MoU dengan perkebunan.
Pada proses ini, lanjut Iwan, seharusnya pemda dan dinas pertanian hadir untuk melindungi warga agar tidak tertipu atau memahami  dengan benar skema yang ditawarkan perusahaan.
“Karena itu, sering ditemukan, lahan-lahan yang diserahkan masyarakat kepada perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru banyak yang dimasukkan kedalam sertifikat HGU perusahaan,” paparnya.
Sehingga, ketika rakyat menerima kebun plasma justru lahannya jauh dari lokasi rumah warga,  bukan tanah pertanian mereka sebelumnya, kurang baik kesuburannya, jenis bibit tanaman kualitas asalan, hingga jumlah tanaman yang sedikit dari seharusnya.
Lebih jauh, banyak petani tidak mendapatkan lahan yang dijanjikan karena perkebunan mengisi plasma dengan daftar nama orang lain, daftar nama fiktif hingga oknum aparat dan pejabat.  “Tak heran konflik tanah menjadi semakin semrawut, kusut dan dalam menyelesaikannya banyak kepentingan terlibat,” terang  itu.
Pada fase ketiga adalah fase produksi. Dijelaskan Iwan, biasanya konflik perkebunan dengan petani plasma karena penentuan harga pembelian oleh perusahaan yang tidak wajar dan  pungutan panen yang tinggi. Padahal petani plasma tersebut harus membayar cicilan kredit plasma.
“Akhirnya karena frustasi yang tinggi, banyak petani memilih agar lahan-lahan mereka dikembalikan saja seperti semula seperti sebelum masuknya perkebunan,” kata aktivis yang lama konsen ke masalah pertanahan itu.
“Fase-fase konflik ini  kerap terjadi dalam konflik kebun. Ini terjadi karena bisnis perkebunan tidak di awasi dengan benar oleh pemerintah,” imbuhnya.
Iwan menilai, selama ini pengawasan terhadap perkebunan oleh pemerintah sangat lemah. Kementerian Pertanian dalam hal ini Dirjen Perkebunan dan Dinas Pertanian/Perkebunan di pemda, menurutnya, harus dievaluasi karena tidak pernah terlihat turun tangan secara aktif untuk menghentikan konflik-konflik perkebunan.  (sam/jpnn)

Indonesian Activists Seek Land Reform, But House Has Other Ideas

Anita Rachman | January 14, 2012 Jakarta Globe
Despite mounting calls for an agrarian reform law, especially after the recent spate of violence over land disputes, the House of Representatives appears adamant that it isn’t needed.

Activists have long been pushing for a bill that would establish and regulate an integrated system over how the country’s natural resources are used by oft-conflicting parties.

They want something more substantial than the 1960 Regulation on the Basics of Agrarian Affairs which, while clearly protective of the people’s rights to the land, is not substantial enough to safeguard those rights in practice.

Should they succeed, it would finally put into effect a 2001 People’s Consultative Assembly (MPR) decree that mandates the creation of such a law.

The lack of one, activists have argued, has led to a number of land dispute cases over the years, many of them violent.

However, lawmakers don’t seem to agree.

Committee Is Enough


On Friday, a day after a massive land reform protest in front of the legislative building in Senayan, lawmakers maintained that they would not work on a new law to solve the country’s numerous land disputes.

Instead, lawmakers initiated a plan to establish a special committee that would involve members from all political factions and commissions.

Such a committee, in handling specific cases, would have the right to summon relevant people or institutions and come up with recommendations for officials and law enforcers.

An Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) lawmaker, Budiman Sudjatmiko, who has spearheaded the new plan, said he had already collected 35 signatures from House members. He said they spanned all political factions, except the ruling Democrat Party, which is opposed to the idea.

Under House rules, a proposal to establish a special committee can be submitted to a House plenary session for approval if it has at least 25 signatures. But Budiman said he and the other initiators were shooting for at least 100 signatures from the total 560 lawmakers.

Even if the special committee isn’t approved, said Hakam Naja, a National Mandate Party (PAN) lawmaker, House Commission II overseeing home affairs already has a working committee on land disputes.

“And we have started working,” said Hakam, the deputy chairman of the commission. “There are 167 land dispute cases. We are going to work on big cases, and use the model to solve other cases too.”

Chronic Problems

The country’s chronic land dispute problems made headlines last month when a group of farmers from Mesuji in Lampung went to the House to report the alleged massacre of farmers in their district by law enforcers and security officers working for a plantation company.

Another high-profile incident took place recently in Bima, West Nusa Tenggara, when the police killed and injured protesters during a demonstration against a gold mining company.

According to Budiman, an investigation by lawmakers found that since 2004, 189 farmers have been killed for their land, with 22 in the last year alone.

The Commission on Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) has said that it identified eight violent land disputes involving companies last year and that three people died in the disputes with another 56 injured. It said seven people were still being intimidated and 14 had been arbitrarily detained.

“I must say that a special committee will never solve the root of these problems,” said Nurkholis Hidayat, director of the Jakarta Legal Aid Foundation (LBH Jakarta). “It might solve cases that are ongoing now, but not the root. If lawmakers are serious, they can work on the laws.”

Contradicting Laws

Indonesia, Nurkholis said, does have a solid pro-people law on agrarian affairs. The 1960 basic law clearly ensures the rights of the Indonesian people to the land, he said. But it doesn’t go into detail, he added, only explaining the basic principles.

“And the sectoral laws [derived from the 1960 basic law] we see today do not follow the principles stated by the 1960 basic law,” he said.

Those sectoral laws include legislation on forestry, minerals and coal mining, oil and gas, and plantations. Most have been targets of judicial review requests by various groups, assisted by LBH Jakarta, Nurkholis said.

“There are so many articles that contradict the 1960 basic law. Some of them overlap as well,” he said.

For instance, according to Iwan Nurdin, the deputy secretary general of the Agrarian Reform Consortium (KPA), Article 7 of the 1960 basic law stipulates that “to not harm public interests, excessive land ownership and control is not allowed.”

Despite this, Article 9 of the Mineral and Coal Mining Law puts the sole authority for deciding how much land a company can take for mining in the hands of officials and lawmakers.

In practice, Iwan said, this means the government and House only nod when a company wants a lot of land for mining.

“So a special committee cannot guarantee that problems like this will be solved,” he said.

Nurkholis said that what was needed was a comprehensive amendment of all the articles in the sectoral laws that contradicted the 1960 law, and also a new integrated law to regulate the ownership of natural resources.

Iwan added that the 2001 MPR decree on agrarian reform and natural resources mandated the House to review all flawed articles in the sectoral laws and draw up the kind of law his group had been asking for.

Still, he said, the KPA would give the House’s solution — the special committee — a chance.

“But we are going to monitor and give them a deadline,” Iwan said. “Within 100 days there should be some concrete steps taken by lawmakers to settle these problems.”

Different Times

PAN lawmaker Hakam Naja, however, doesn’t buy the idea that the sectoral laws cited by the activists should be revised.

Hakam argued that using the 1960 basic law as the sole reference for sectoral laws did not make sense and that people should understand that a different social climate existed when that law was passed back in 1960 under President Sukarno.

“With the era of globalization and global investment, we need to understand that land has an economic value,” he said. “Back then in 1960, the situation was different.”

Amending the sectoral laws is possible, Hakam said, but not within one House term. And the House, he said, cannot revise all the laws at the same time.

“And there really is no need to draft and deliberate another law on natural resources,” he said, referring to the MPR’s 2001 decree.

House Commission II’s proposed committee on land disputes, he added, will help people resolve their cases immediately, without having to wait years for a revised law.

But MPR deputy chairman Hajriyanto Tohari said that lawmakers could not ignore the decree, which is binding and considered second only to the Constitution in terms of weight.

Besides, Hajriyanto said, he agreed that a new law on how the government should handle natural resources was needed.

“I think the MPR must give the House of Representatives and the government a warning. Like it or not, members must follow the MPR’s decree,” he said.


Additional reporting by Markus Junianto Sihaloho

Indonesian Land Grab Cases ‘Remain Unresolved’

Jakarta Globe, 9 Januari 2012 
The Indonesian Forum for the Environment says hundreds of conflicts over land ownership in 2011 have still not been resolved.

“We have reported instances of land grabs to the authorities, but the standard response we have received is ‘we will handle it,’ ” Berry Nahdian Furqon, executive director of the group known as Walhi, said on Saturday. “These are empty words.”

He said Walhi was looking for two outcomes to the cases: the rightful return of the land to the people, and appropriate sanctions against the offending parties, including those who used violence against the people.

Walhi reported 103 incidents of land grabs throughout 2011, and said that the conflicts led to the deaths of 12 people and left more than 120 injured.

“We have submitted reports on all the conflicts to the Forestry Ministry, the National Land Agency [BPN] and the relevant administrations,” Berry said. “There needs to be political pressure for us to see progress on these cases.”

He called on the public to get engaged in large-scale peaceful demonstrations to get the government to act on the cases.

“I also hope members of the press help to bring this issue to the fore,” he added.

Land conflicts that have resulted in the recent killing of villagers in Mesuji and the police’s heavy-handed repression of protests in Sape, West Nusa Tenggara, are only the tip of the iceberg, Berry added.

Many conflicts do not receive the appropriate response from the government, and instead civil society groups are drawn to the cause, leading to Walhi, the Agrarian Reform Consortium (KPA), the Legal Aid Institute (LBH) and academics establishing a joint secretariat to receive reports from people who have had their land unfairly expropriated by large firms such as mines and plantations.

Walhi’s reports on the number of land grabs in 2011 is conservative compared to a report issued by the KPA, which identified 163 such cases last year. The KPA also claimed that 22 people were killed in the conflicts.

The KPA said East Java had the most reported cases, at 36, followed by North Sumatra (25), Southeast Sulawesi (15), Central Java (12), Jambi (11), Riau (10) and South Sumatra (nine).

It also said more than 472,000 hectares of land was expropriated, affecting 69,975 households.

Iwan Nurdin from the KPA said that there was an increase in the number of incidents and in the level of violence in 2011 compared to 2010, when there were 106 cases and three deaths reported. 

Antara

January 16, 2012

UUPA Tidak Dijalankan

Kompas Cetak, Kamis, 12 januari 2012

Jakarta, Kompas - Dorongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA bisa memperburuk konflik pertanahan di negeri ini. Konflik selama ini terjadi sebab UUPA tak dijalankan secara benar.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, pemahaman sebagian anggota DPR bahwa UUPA sebagai penyebab maraknya konflik (Kompas, 11/1) adalah penilaian yang ahistoris dan tak memahami persoalan agraria. Konflik pertanahan di Indonesia justru terjadi karena UUPA tak pernah dijalankan secara benar semasa Orde Baru, bahkan diselewengkan.

”Pemahaman ahistoris inilah yang membuat banyak regulasi terkait agraria dan sumber daya alam selama ini justru memperburuk keadaan,” papar Iwan di Jakarta, Rabu (11/1).

Konflik agraria, ujar Iwan, bersumber dari ketimpangan hak atas tanah. Hanya sedikit orang yang menguasai tanah, sementara mayoritas rakyat Indonesia tidak bertanah. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) 2010 menyebutkan, hanya sekitar 0,2 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional, 87 persen di antaranya berupa tanah. Data lainnya, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai swasta sengaja ditelantarkan. Sementara 85 persen petani Indonesia tidak bertanah alias buruh tani.

Iwan mengatakan, jika UUPA dijalankan, banyak konflik agraria teratasi dengan baik. Konflik pertanahan juga terjadi gara-gara tumpang tindih UU sektoral, seperti UU Kehutanan dan UU Sumber Daya Air, yang tidak mengacu pada UUPA.

Jika ingin menyelesaikan konflik, DPR seharusnya mengingatkan pemerintah agar menjalankan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan UUPA dan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001. UUPA mengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Malik Haramain, mengaku terkejut dengan adanya dorongan dari sebagian anggota DPR untuk merevisi UUPA. Ada pihak di DPR yang sengaja ingin mengobrak-abrik UUPA. Padahal, isi UUPA sangat pro rakyat.

Aksi serentak

Secara terpisah, saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Rabu, Juru Bicara Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia Henry Saragih menuturkan, Kamis ini akan ada aksi serentak yang digelar Sekretariat Bersama di Jakarta dan 27 provinsi lain serta di luar negeri. Aksi itu menuntut reforma agraria, pembaruan desa, dan keadilan ekologis menuju Indonesia berkeadilan sosial.

”Semula aksi akan kami gelar 10 Januari lalu. Karena banyak pihak yang bergabung, aksi kami tunda menjadi 12 Januari ini. Di Jakarta, peserta aksi berkumpul di Masjid Istiqlal, lalu ke Istana Negara dan ke DPR,” kata Henry. Ia didampingi anggota DPR, Budiman Sudjatmiko, dan pengurus organisasi massa lainnya.

Menurut Henry, yang juga Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, aksi akan diikuti sekitar 15.000 orang dari berbagai unsur masyarakat. (bil/lok/isw/nta)

Ketimpangan Penguasaan Lahan Menjadi Persoalan

Kompas Cetak, Jumat, 06 Januari 2012

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, biasa disebut UUPA, tidak membenarkan penguasaan tanah yang melampaui batas. Pengaturan batas minimum dimaksudkan supaya setiap orang mencapai skala usaha ekonomi dalam produksi pertanian. Batas maksimum dimaksudkan supaya setiap orang mengerjakan tanah berdasarkan kemampuannya. Bila penguasaan tanah melebihi kemampuan, berarti mempekerjakan buruh dalam mengelola tanah itu. Hal ini tidak dikehendaki UUPA.

Namun, menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Arsyad, beberapa saat lalu, selama Orde Baru hingga masa reformasi, amanat UUPA diabaikan. Penguasaan tanah didasarkan pada sektoralisme hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, hutan oleh Kementerian Kehutanan dan perkebunan oleh Kementerian Pertanian. Selain itu terjadi penurunan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat akibat eksploitasi lahan yang berlebihan dan tidak terkendali sejak masa Orde Baru hingga kini.

Persoalan yang hampir selalu jadi pemicu konflik adalah ketimpangan penguasa dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah ataupun sumber daya alam. Pemerintah tampak membabi buta dalam memberikan izin dan hak eksploitasi hutan, lahan tambang, perkebunan besar, dan pembukaan tambak.

Menurut Idham, masalah ketimpangan bisa disaksikan dalam hal penguasaan aset produktif nasional. Hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasi 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Ketimpangan juga berlangsung di sektor kehutanan. Sampai kini sekitar 17,38 juta hektar diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk izin usaha pengusahaan hasil hutan dan kayu (IUPHHK) dan 8,8 juta hektar untuk hutan tanaman industri (HTI). Sekitar 15 juta hektar untuk hak guna usaha (HGU) bidang perkebunan.

Ketimpangan agraria juga ditunjukan dengan 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Ironisnya, terjadi peningkatan jumlah petani kecil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada periode 1993-2003, jumlah petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang.

Idham menyodorkan kondisi getir petani Indonesia. Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Bagi mereka yang memiliki lahan, rata-rata pemilikannya hanya 0,36 hektar.

Rentetan kasus konflik agraria pun hanyalah puncak gunung es dari persoalan agraria yang hingga kini tidak pernah terselesaikan pemerintah. Dari catatan KPA, di tahun 2011 saja tercatat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia, yang melibatkan 69.975 keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Tahun 2011, warga yang tewas akibat konflik agraria mencapai 22 orang. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah konflik dan warga yang tewas meningkat tajam. Tahun 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan tiga korban jiwa.

Iwan Nurdin dari KPA pun melacak eskalasi konflik agraria yang meningkat pasca pengesahan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Begitu UU itu disahkan, investasi yang paling banyak masuk ke negeri ini adalah perkebunan dan pertambangan. Tahun 2008-2009 bisa dikatakan sebagai tahun pengurusan izin oleh investor. Tahun 2010 tahapannya negosiasi dengan masyarakat, sosialisasi pemerintah daerah (pemda), kepada rakyatnya soal investor yang masuk ke daerah.

”Tahun 2011 saatnya rakyat memakai instrumen demokrasi untuk menolak. Mereka melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan ke DPR,” kata Iwan. Tanpa upaya tegas melaksanakan pembaruan agraria, konflik yang lebih besar terjadi di masa mendatang.

Waspadai Upaya Liberalisasi Agraria

Kompas Cetak, Sabtu, 14 Januari 2012

Anggota Komisi II DewanPerwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Malik Haramain, mengakutak habis pikir, ada rekannya sesame wakil rakyat yang memiliki pikiranmerevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokokAgraria atau UUPA. Dengan nada berang, ia menuding koleganya itu ditunggangikepentingan kapitalis karena ingin meliberalisasi tanah di Indonesia.

Staf khusus Kepala BadanPertanahan Nasional (BPN), Usep Setiawan, menyebut, justru di masa reformasiini UUPA mendapatkan tantangan paling berat. Berbagai upaya menghapus, dalambahasa halus merevisi UUPA, wakil rakyat mengambil jalan melingkar. Merekamencoba memereteli UUPA sebagai paying besar ketentuan perundangan yang terkaitagraria. Lalu, muncullah UU No.14/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-pulau Kecil, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,hingga UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Usep menyebut berbagai UU itu bagian dari kebijakan sektoralisme negaradalam mengatur persoalan agraria. Tak hanya menjadikan persoalan agraria dalamkapling sektoral, UU itu juga menggiring terjadinya liberalisme. Berbagaiproduk legislasi yang liberalistik disimpulkan bukan solusi atas akar soalagraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintastataran yang menempatkan rakyat sebagai korban (Usep, 2010).

Lihatlah bagaimana UU Penanaman modal yang menurut Usep secara telanjangmenunjukkan komitmen ideologis di lembaga eksekutif dan legislatif untukmengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hakatas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor nyaris diberikan setengahabad.

Bandingkan bagaimana penguasaan rakyat atas tanah di negerinya sendiri.Faktanya, hingga hari ini hanya ada sedikit orang yang menguasai tanah,sementara mayoritas rakyat tidak bertanah. Data BPN tahun 2010 menyebutkan, 0,2persen orang Indonesia menguasai 56 persen seluruh aset nasional, yang 87persen di antara aset itu berupa tanah. Data lainnya menyebutkan, 7,2 jutahektar tanah yang dikuasai swasta secara sengaja ditelantarkan. Adapaun 85 persen petani Indonesia adalahpetani gurem dan petani tidak bertanah alias buruh tani.

Contoh lain diutarakan Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium PembaruanAgraria (KPA) Iwan Nurdin. UU Kehutanan, misalnya, menghidupkan kembali asas domein verklaring (wilayah yang takdapat dibuktikan kepemilikan secara formal dinggap dipunyai oleh negara).Padahal, hukum kolonial itu dihapus pada konsiderans UUPA.

“UU Kehutanan sepihak menunjuk 70 persen daratan Indonesia sebagai kawasankehutanan, dan jika rakyat tidak bisa membuktikan hak formalnya, kawasan itudikukuhkan sebagai kawasan hutan. UU Kehutanan jelas bertentangan secarakeseluruhan karena membatasi wewenang UUPA hanya berlaku di luar kawasanhutan,” katanya.

Contoh lain, dalam Pasal 6 UUPA menyebutkan, tanah harus memiliki fungsisosial. Pasal 7 dengan tegas melarang kepemilikan tanah yang melampaui batas.“UU Perkebunan secara keseluruhan justru tidak membatasi kepemilikan pengusahaperkebunan sehingga perusahaan dan grupnya bisa mempunyai jutaan hektar kebunsawit. Pasal 20 UU Perkebunan memperbolehkan adanya pam swakarsa sehinggamendorong terjadiya konflik,” kata Iwan.

Presiden Soekarno dan anggota DPR pada waktu itu, yang menghasilkan UUPA,sesungguhnya dengan sangat brillan dan visioner melihat persoalan bangsa inidari sisi agraria. Dalam penjelasan umum, UUPA menilai pengabaian hak rakyatdan konflik agraria terjadi karena struktur agraria warisan kolonialmemberlakukan hukum agraria Belanda AgrarischeWet tahun 1870 hingga sistem tanam paksa di masa kolonial.

Untuk menyelesaikan persoalan agraria warisan kolonial, UUPA memandatkanpada negara agar melakukan pembaruan agraria. Apa saja langkahnya? UUPAmengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Dengan PP ini,pemerintah wajib membentuk panitia landreform dari pusat sampai desa untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkantanah dan ganti rugi bagi yang tanahnya diambil negara untuk diredistribusikan.

Untuk menentukan obyek tanah yang akan dibagikan. PP Nomor 10 Tahun 1961mengatur pendaftaran tanah untuk menemukan tanah kelebihan maksimum, tanahtelantar, tanah yang tidak dikerjakan langsung oleh pemiliknya (absentee), dan tanah negara yang bisadiberikan kepada rakyat.

”Agar mencegah konflik dalam pelaksanaanya, dibentuk pengadilan landreform. Untuk mencegah rakyat terjerembab dalam pertanian skala kecil dankurang berkembang, hak guna usaha dalam UUPA diprioritaskan pada organisasipetani dan koperasi. Jadi, desain UUPA dalam soal hak guna usaha (HGU) adalahrakyat, bukan perusahaan seperti sekarang,” kata Iwan.

Oleh karena itu, DPR dan pemerintah jangan memancing kemarahan rakyatdengan terus mengangkangi hak mereka atas tanah. Kamis (12/1) sore, merekamenjebol pagar yang melindungi gedung DPR. Tak mustahil, mereka juga bisamenjebol dukungan pada kepemimpinan nasional.

JAMINAN BAGI RAKYAT
DALAM UU NOMOR 5 TAHUN 1960 (UUPA)
Pasal 9 Ayat 2
Tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untukmemperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, bagi dirisendiri maupun keluarganya.

Pasal 13
Pemerintah berusaha agar usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara sertakepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, denganmemberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang