May 26, 2010

Desi Ratnasari dan Larasitanya BPN


Mobil Larasita untuk program pengurusan tanah secara mobile -admin (beritajakarta.com)
Mobil Larasita untuk program pengurusan tanah secara mobile -admin (beritajakarta.com)
Mungkin anda pernah melihat iklan BPN soal perselisihan dua petani soal batas tanahnya yang didamaikan oleh si cantik Desi Ratnasari di teve. Yup, itu adalah iklan soal Larasitas BPN.
Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Pertanahan (Larasita) ini sering diklaim oleh BPN sebagai contoh sertifikasi pertanahan yang termasuk pionir  di dunia. Oleh sebab itu Kepala BPN, Joyo Winoto, PhD mengakui di depan Komisi II DPR-RI telah mendapat penghargaan dari Bank Dunia karena program ini.
BPN kerap memberi penjelasan bahwa program LARASITA membuat terobosan soal mobile office atau kantor bergerak yang melayani sertifikasi pertanahan rakyat. Menurut BPN, latar belakang program ini disebabkan unit terendah kantor pertanahan saat ini hanya terdapat di ibukota kabupaten. Sementara, sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan. Sehingga, dengan terobosan ini mayoritas rakyat dapat terlayani dalam program sertifikasi pertanahan. Pendeknya, dengan mobile office petugas BPN dapat melayani rakyat hingga ke pelosok dengan mobil atau sepeda motor program Larasita.
Program ini diresmikan oleh Presiden SBY di pelataran Candi Prambanan, Klaten,16 Desember 2008. Saat itu penulis hadir disana karena diundang oleh BPN. Dan, kami mengkritik keras program ini di media massa.
Menurut saya, waktu itu program ini bukan terobosan, tapi pemborosan. Memang benar bahwa sebagian besar rakyat kita berada dipedesaan, tapi jawaban yang tepat bukan mobile office tetapi koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah yang mempunyai tangan hingga ke RT, jauh lebih efektif, murah dan tepat sasaran. Sebab unsur kepala desa hingga RT yang sangat tahu kondisi dan sejarah tanah-tanah yang digarap oleh warganya.
Menurut Desi Ratnasari, Larasita juga bertujuan menemukan tanah terlantar, dan sengketa pertanahan. Jika membaca Peraturan Kepala BPN tentang Larasita, program ini memang ditujukan untuk menemukan objek reforma agraria. Jadi pada saat petugas BPN turun ke desa-desa dengan kendaraan Larasita. Ditemukanlah objek tanah yang dapat digunakan untuk reforma agraria.
Ini juga dapat dipastikan mustahil tercapai, sebab jika itu sasaran pekerjaannya (baca: menemukan objek RA), maka yang dilakukan bukanlah sertifikasi tanah, tetapi melakukan registrasi tanah-tanah khususnya di pedesaan. Peraturan dimasalalu yang pernah ada adalah PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah. registrasi ini dilakukan bersama aparat desa. Sehingga ada istilah desa lengkap soal data agraria dan desa belum lengkap. Registrasi dalam PP ini bukanlah sertifikasi, sebab sertifikasi adalah ujung dari proses pendaftaran tanah. Dengan proses registrasi memang akan ditemukan ketimpangan struktur agraria di desa sekaligus tanah objek reforma agraria atau land reform.
Kritik selanjutnya adalah, sertifikasi pada struktur agraria yang timpang (kepemilikan, penguasaan dan tataguna tanah) justru akan melegalkan struktur yang timpang tersebut. Jadi kalau ada banyak orang tidak bertanah, ada sedikit orang dan badan usaha menguasai tanah yang luas, sertifikasi adalah jalan melegalkan ketimpangan tersebut. Terakhir, sertifikasi tanpa didahului oleh reforma agraria hanya akan menjadi fondasi utama dari pasar tanah liberal, dan tentusaja sangat bertentangan dengan UUPA 1960.
Kenyataannya, program ini memang telah menyeret petani yang bertanah kecil semakin cepat kehilangan tanahnya, karena tanah yang bersertifikat tersebut semakin mudah dijual atau diagunkan kepada perbankan. Dalam keadaan bertanah sempit dan situasi makro ekonomi yang tidak berpihak kepada petani, maka sertifikasi pertanahan adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanah petani semakin cepat terjual dan jatuh kepada pemodal besar, sehingga ketimpangan tanah pun semakin lebar.
Itulah sebabnya tanah pertanian sekarang ini semakin banyak dimiliki oleh kelompok non petani  yang tinggal di kota, sementara petani gurem telah menjadi buruh tani.
Waktu itu, saya berkesimpulan bahwa program ini memang arahan Bank Dunia yang mendorong terjadinya liberalisasi pertanahan di Indonesia melalui proyek hutang Land Administration Project (LAP) dan Land Management dan Policy Development Project (LMPDP). Mungkin saja sinyalemen ini benar mengingat Bank Dunia memberi penghargaan besar kepada proyek Larasita BPN.
Setahun lebih Larasita berjalan, telah banyak uang rakyat digelontorkan. Sertifikasi tanah adalah hak warga negara, mendapatkan tanah juga untuk kehidupan yang layak juga adalah hak para petani tak bertanah.
Kesimpulan saya masih sama dengan awal program ini. LARASITA program yang boros dan tidak layak dilanjutkan.

May 24, 2010

Jual Pulau Nusantara


Sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia dan bahkan pernah menjuluki dirinya sendiri sebagai benua maritim, kekayaan lautan Indonesia memang tak berbilang banyaknya. Namun, belum semua kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan dan membawa berkah besar bagi seluruh rakyat. Sehingga, sampai sekarang, segala kekayaan tersebut masih tercatat sebagai potensi kekayaan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sering mendengar iklan-iklan yang berniat menjual pulau-pulau Indonesia. Banyak yang ditawarkan, yang saya ingat tawaran pulau-pulau di NTT, di daerah Mentawai, di Kepulauan Seribu dan Kawasan Indonesia Timur. Bahkan, sempat diiklankan di situs terkenal, blog dan media-media internasional di luar negeri.Kebanyakan ditawarkan sebagai area bisnis pariwisata.

Bagaimana bisa orang punya sertifikat atas pulau. Secara hukum tidak bisa. Namun, apasih yang tidak dapat disiasati. Misalnya, larangan seluruh pulau kecil dimiliki seorang dalam satu sertifikat. Ya, sertifkatnya bisa dua orang dalam satu keluarga. Atau, kalau tidak mau ya buat saja sertifikat dengan luasan 95 persen luasan pulau. Selesai persoalan.

Terus kok bisa orang asing yang punya sertifikat. Yang benar adalah atas nama badan hukum yang dimiliki oleh orang asing tersebut.

Soal begini bukannya segera ditertibkan kedepan malah akan semakin semrawut  Mengapa semakin semrawut.. Dalam tulisan depan akan saya ulas sedikit tentang UU nya.  Selamat Malam.

May 21, 2010

Polisi Selalu Ikut-Ikutan dan Diikutkan




Di negeri kita, kelakuan polisi dalam konflik agraria mirip-mirip dengan saudara tuanya di zaman Orde Baru yaitu Angkatan Darat. Mereka keras, bengis dan berpihak kepada yang bermodal kuat. Meskipun, mudah saja mereka menolak tuduhan tersebut dan akan bilang berpihak kepada yang benar menurut hukum yang berlaku. Soalnya, kalau sudah bicara hukum formal, posisi rakyat memang lemah. Hampir sebagian besar tidak didukung oleh data-data yang kuat berupa surat-surat formal sebagai bukti kepemilikan dan pengelolaan.

Kok bisa rakyat tidak punya sertifikat dan bukti tanah lainnya. Banyak alasannya, misalnya karena prosedur mendapatkan sertifikat tanah yang bertele-tele dan mahal. Belum lagi ada masyarakat yang menganggap tidak terlalu penting mensertifikatkan tanah segera. Soal lainnya, mereka berada di kawasan yang statusnya dikategorikan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Nah, kalau sudah begini, tidak bisa disertifikatkan. Masalah lainnya, penetapan kawasan hutan kan sepihak saja dari pemerintah.

Pemerintah Daerah gemar mengundang investor. Investor yang masuk ke daerah biasanya perkebunan, kehutanan, tambang dan tambak atau wisata. Nah, semuanya membutuhkan lahan.pemda mengeluarkan izin lokasi kepada perusahaan-perusahaan ini. Dengan berbekal surat izin lokasi saja, perusahaan bisa menggandeng polisi untuk memaksa rakyat meninggalkan lahan mereka. Kawin mawinnya kepentingan modal dengan penguasa bisa berakibat sangat buruk di tengah rakyat.

Kok polisi bisa ikut-ikutan, atau dikutkan. Soalnya kan duit. Bukan hukum yang adil. tul gak?

May 18, 2010

Benarkah REDD Menguntungkan Masyarakat Adat













Benarkah penerapan REDD kelak bakal menguntungkan masyarakat adat. Soalnya, kita mafhum, sebagian besar hutan yang masih benar-benar terjaga dan alami karena ada masyarakat adat yang turut menjaganya. Bukan tangan pemerintah dengan dinas-dinasnya yang bejibun itu yang menyebabkan hutan terjaga.

Tentusaja jika ditanya sebuah kemungkinan semacam itu di kemudian hari, jawabannya hanya ada dua.Ya dan Tidak. Itu saja. Sebab, sampai sekarang REDD yang menjadi dasar perdagangan karbon itu baru wacana yang belum diimplementasikan. Memang kabarnya sudah ada beberapa tahapan ujicoba pelaksanaan REDD di beberapa tempat di Indonesia. Tapi, belum ada kabar kalau hal tersebut telah menguntungkan Masyarakat Adat.

Saya berpendapat belitan masalah masih pada siapa yang diakui oleh pemerintah sebagai "pemegang hak" hutan tersebut. Belum ada masyarakat adat berikut lokasi hidupnya diakui secara jelas oleh pemerintah. Sehingga kelak,  mereka dapat memperoleh manfaat langsung dari perdagangan karbon tersebut.

Jika dibuka peluang masyarakat adat memperoleh penguatan hak-hak kelola mereka atas hutan dan areal turun temurun mereka sebagai bagian dari identitas kultur, biasanya juka secara bersamaan dibuka kesempatan yang sama bagi pemilik modal berbuat serupa. Kontestasi secara bersamaan di tengah birokrasi yang memperjual belikan izin telah membuat hak masyarakat adat bukannya menguat justru dikalahkan oleh kepentingan legal dan modal.

Saya kira terlalu terburu-buru jika dikatakan Masyarakat Adat akan mendapatkan keuntungan dari REDD

Wasalam

Ramai-Ramai Mendorong Pembubaran Perhutani


Nah, nah, bagi anda yang mencintai lingkungan hidup dan kelestarian hutan di Jawa tentu geleng-geleng kepala soal niatan Walhi, KPA, LBH-Bandung, Pergerakan, Organisasi Petani, Organisasi Mahasiswa yang mendorong pembubaran Perum. Perhutani. Perusahaan BUMN yang diserahi tugas mengelola 2.7 juta hektar lahan hutan di Jawa.

Namun, itulah faktanya. Perhutani di Jawa tidak pernah menjelma menjadi perusahaan yang kuat dengan pengelolaan tanah yang sedemikian luas. Bahkan, selama ini, hutan-hutan semakin rusak. Ratusan ribu lahan perhutani juga berkonflik dengan masyarakat sekitar perusahaan mereka.

Perhutani sendiri bukannya tidak berupaya untuk menurunkan tensi "kemarahan" rakyat disekitar areal perhutani. Mereka mengembangkanm konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Namun, pola ini dipandang belum menguntungkan masyarakat.

Selama ini, pemerintah paling merasa bisa menjaga fungsi dan kelestarian hutan. Diciptakankanlah badan dan perusahaan yang tugas dan fungsinya menjaga fungsi dan kelestarian hutan. Namun, operasionalisasinya di lapangan sangat bermusuhan dengan masyarakat. Masyarakat dianggap perusak dan penjarah hutan. Meskipun, di dalam badan dan perusahaan yang dibentuk pemerintah jauh lebih banyak bercokol para penjarah hutan.

Karena sikapnya yang memusuhi rakyat, kalaupun tidak begitu ya minimalnya curiga dengan rakyat, maka dalam menjaga dan melestarikan hutan tidak pernah mengajak partisipasi rakyat. Karena itu, banyak sekali konflik masyarakat sekitar dengan perhutani.

Akhirnya, kalangan NGO merasa bahwa Perhutani selayaknya dibubarkan, direorganisasi dimana peran serta masyarakat diperluas, sehingga hutan dapat berkontribusi bagi seluruh rakyat khususnya masyarakat sekitarnya.

Kita tunggu saja....perkembangan dari tuntutan masyarakat ini terhadap Perhutani

May 14, 2010

REDD Bukan Obat Kerusakan Lingkungan


Program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang sekarang santer dibicarakan adalah usaha dunia mengurangi polusi dari penggundulan dan perusakan hutan. Jadi, negara-negara maju dan berkembang diminta mengurangi emisi gas buang untuk mengurangi pemanasan global dan perubahan iklim yang semakin ekstreem.

Namun, kalau gas emisi dikurangi secara drastis, yang berarti penggunaan energi menurun, maka ekonomi dunia juga terancam mundur dan ini jelas ada keterkaitannya kehidupan ekonomi global yang bisa berdampak pada, misalnya: laju pengurangan kemiskinan menjadi terhambat. Jadi, pelan-pelan saja (kayak lagu aja :).

Karena negara industri mengurangi polusinya pelan-pelan, maka mereka harus membayar kerusakan lingkungan kepada negara-negara yang masih banyak hutannya. Soalnya, hutan-hutan inilah yang menyerap karbon atau gas buang dari industri.  Negara yang punya hutan diberi kompensasi atas jasa hutannya menyerap karbon dunia dan komitmennya menjaga hutan.

Berapa harga yang harus dibayar oleh perusahaan pencemar atau negara pencemar? Pastilah harga yang disepakati, kelak diatur dalam sistem pasar karbon. Tetapi, negara-negara maju pencemar juga meminta kepastian soal hutan-hutan yang diperuntukkan untuk menyerap karbon tersebut benar-benar tidak ada aktivitas ekonomi produksi dan hanya diperuntukkan menyerap karbon.

Lalu, upah menyerap karbon dibayar kepada siapa? Dalam ujicoba dan debat internasional yang berlangsung, ternyata dibayar kepada pemerintah pusat, daerah atau perusahaan yang mempunyai izin diatas area konsesi hutan tersebut dan menggunakannya untuk konservasi.

Inilah letak persoalannya, bukankah perusahaan pencemar atau negara pencemar bisa membeli izin hutan di negara seperti Indonesia misalnya. Sehingga, sesungguhnya dia membayar kepada dirinya sendiri. Jadi ia hanya mengeluarkan uang untuk membeli konsesi hutan, membayar penjaga hutan, sementara uang perdagangan karbon sebagian besar balik lagi kenegaranya.

Lagi-lagi, mekanisme perdagangan karbon akan mengucilkan petani, masyarakat adat dan kaum marginal lainnya. Suara petani hilang oleh kepentingan bisnis baru. Bisnis konservasi.

May 5, 2010

Food Estate


Banyak yang ingin petani kecil kita berganti saja dengan perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan produk-produk pertanian seperti beras, sayuran dsb secara modern. Dengan demikian, wajah pertanian menjadi modern, canggih dan tentu tidak lagi kumuh oleh petani desa yang miskin.

Yang pingin hal itu segera terwujud adalah pemerintah. Nah, untuk itu dibutuhkan investasi yang sangat besar untuk mengubah wajah pertanian kita tersebut. Tak heran, banyak regulasi dihasilkan untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ini. Wilayah juga sudah disiapkan, khususnya wilayah luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua.

Apa masalahnya? Masalahnya petani kita banyak yang tidak punya tanah, miskin, dan teknologi tertinggal. Nah, bukankah seharusnya tanah diprioritaskan terlebih dahulu untuk petani.

Banyak investor tercatat telah berminat, seperti Korea Selatan, China, Timur Tengah. Negara-negara ini sedang lapar lahan untuk mengamankan cadangan pangan dalam negeri mereka. Bisa jadi, kejadian seperti gas berulang bakal berulang. Kita eskportis gas terbesar dunia, tapi di dalam negeri kekurangan gas.

Mendorong petani-petani hanya menjadi buruh-buruh pertanian sangat membuat miris. Cetak biru kementerian pertanian kita ternyata jauh dari visi mensejahterakan petani.