January 24, 2011

Perubahan Iklim dan Kedaulatan Pangan


Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya berubah. Satu-satunya yang tetap di dunia adalah perubahan itu sendiri. Kata-kata ini, bukan lagi sekedar ucapan kaum philosof dunia untuk menyemangati aktivis yang gemar perubahan dan anti kemapanan.

Tapi, ini jenis perubahan yang kurang disukai banyak orang. Yup, "Perubahan Iklim",  atau "climate change". Kata yang sekarang begitu banyak dipakai oleh media massa, menjadi diskusi para abg, aktivis, ilmuan universitas hingga para pengambil kebijakan.

Mengapa tidak disukai? Sebab, katanya perubahan iklim bakal mengancam ras manusia. Mungkin, aneka makhluk hidup di muka bumi ini tidak akan punah seluruhnya jika bumi makin panas, tapi manusia bisa jadi bakal punah jika perubahan iklim akibat pemanasan bumi terus menerus terjadi.

Indonesia sendiri adalah negara yang rawan dengan perubahan iklim, bentuknya yang kepulauan tentu akan mengancam jika air laut terus naik dan mengakibatkan kota-kota dan pemukiman pantai tenggelam. Sementara, perubahan iklim juga akan mempengaruhi soal musim. Sekarang musim hujan, musim panas selain perbedaan suhunya sangat ekstreem juga semakin sulit diprediksi. Dengan begitu, para petani akan semakin mudah mengalami kegagalan panen.

Dunia mengajukan berbagai skema untuk menghambat laju pemanasan global, salah satunya dengan "membeli" hutan-hutan di negara-negara berkembang untuk dipertahankan keasliannya. Untuk keluar dari perdebatan politis, negara-negara maju membicarakan soal tersebut ke hal yang lebih ekonomis semisal perdagangan karbon. Jadi, bagi negara yang menjaga hutan dengan baik dianggap telah menyerap karbon yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi, sehingga berhak mendapatkan pembayaran dari negara penghasil emisi karbon. Ketika debat diarahkan kepada hal-hal yang lebih ekonomis ternyata pemimpin dunia lebih "lebih mudah" diajak bicara lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Namun, perubahan iklim juga menyangkut bagaimana menyiapkan pangan bagi dunia. Jika dipecah menjadi persoalan negara bangsa, bagaimana setiap negara bisa menghasilkan atau mengadakan pangan bagi warganya.  FAO berkali-kali mengingatkan bahwa perubahan iklim telah menyumbang kegagalan panen bagi petani pangan di berbagai negara, membuat harga bahan makanan naik dan telah menyulut naiknya tensi politik di berbagai negara.

Di Indonesia, penghasil pangan yang utama adalah petani khususnya petani gurem dan nelayan yang sebagian besar adalah nelayan tradisionil. Perubahan iklim telah membuat banyak petani gagal panen dan mengakibatkan banyak nelayan tidak bisa melaut. Karena itu, harga-harga pangan diberitakan melonjak naik karena petani dan nelayan tidak bisa beraktifitas normal.

Jadi pendek kata perubahan iklim itu mengancam kedaulatan pangan sebuah bangsa.

Perubahan yang demikian menuntut pemerintah harus menyediakan sistem penyediaan pangan nasional yang lebih jangka panjang dan memberikan insentif yang menarik bagi petani pangan. Di Sumatera dan Kalimantan, banyak petani telah meninggalkan sawah mereka dan menggantinya dengan tanaman sawit atau karet. Karena pertanian pangan selain menguras tenaga lebih banyak hasilnya juga minim.Di Jawa, banyak lahan-lahan pertanian subur berganti menjadi perumahan dan kawasan industri.

Selain itu, lahan-lahan yang dibuka juga tidak prioritaskan kepada petani dan pertanian pangan. Semua dicadangkan untuk pengusaha besar.Dengan begitu iklim semakin berubah akibat aktifitas manusia, sementara ancaman kelaparan dan kemiskinan justru mengancam pada petani kecil dan nelayan. hmmmmm



 

January 17, 2011

Para Pembunuh Petani Jambi


Belum hilang ingatan tentang kekejaman Brimob Polda Jambi saat membunuh Ahmad Adam pada November lalu di desa Senyerang Kab Tanjung Jabung Barat. Belum juga tuntas polisi mengusut dan menghukum pelaku penembakan tersebut. Kembali, Brimob Polda Jambi menembaki dan memberondong petani dengan peluru saat menjaga perkebunan milik Sinarmas Group.

Enam petani ditembak saat terlibat bentrokan di perkebunan plasma PT Krisna Duta Agroindo (KDA) milik Sinarmas Group di Desa Karang Mendapo, Kabupatan Sarolangun, Jambi, Sabtu (15/1).
Mereka rata-rata tertembak di bagian punggung. Keenam korban masing-masing Suhen (35), Syaiful (46), Munawir (30), Pahmi (32), Agus (26), dan Nur Indonesia (35). Korban kini dirawat di Rumah Sakit Raden Mat Taher Jambi.

Ini adalah Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) di tahun 2011. Penembakan berawal ketika ratusan petani hendak memanen sawit di areal perkebunan milik grup Sinar Mas itu. Tapi niat mereka dihalangi polisi. Bentrok pun tak terelakkan. Warga mengklaim menguasai 1.200 hektare lahan di perkebunan itu. Namun PT KDA cuma mengakui hak warga seluas 400 hektare.

Kepala Desa Karang Mendapo M. Rusdi mengatakan, warga saban hari memanen di lahan itu. Tapi sejak sepekan ini perusahaan menempatkan sejumlah polisi dan melarang warga masuk ke areal perkebunan.

Berdasarkan informasi, situasi di kawasan tersebut memanas sejak satu pekan terakhir. Petani yang memanen sawit, dicegat aparat kepolisian. Buah sawit mereka kemudian disita.Sejumlah petani yang tengah memanen sawit kembali dihadang aparat Brimob Polda Jambi. Ketika hendak melakukan perlawanan, aparat melepaskan tembakan, dan mengenai enam petani. para petani langsung dilarikan ke Kota Jambi untuk memperoleh pengobatan.

Sedangkan tujuh lainnya ditahan aparat. "Kami sangat kecewa, kenapa para petani yang tengah memanen sawit di lahannya sendiri, malah ditembaki aparat," tutur Rusdi Karmen, Kepala Desa Karang Mendapo.

Ada apa dengan Kebun dan HTI milik Sinarmas di Jambi? Dalam beberapa bulan telah menelan korban demikian besar. Apakah pemda dan kepolisian sudah tidak dapat ikut menyelesaikan konflik? Atau hanya bisa melindungi perusahaan atas nama hukum?

Sepertinya ini bukan peluru terakhir yang akan bersarang di tubuh petani. Sebab, konflik lainnya berjalan tanpa ada usaha penyelesaian yang adil dan berpihak pada korban. Semoga perkiraan saya keliru.

17 Januari, 2011.

January 14, 2011

Melihat Land Grabbing di Indonesia


Land Grabbing, atau perampasan tanah oleh korporasi-korporasi besar di bidang pangan atas tanah-tanah rakyat adalah nama baru bagi trend lama yang terus terjadi di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Ada banyak alasan mengapa perusahaan pangan dunia yang sudah ada, atau perusahaan besar lainnya mulai melirik untuk membangun bisnis di bidang pangan. Sebab, selain besarnya kebutuhan pangan dunia seiring pertambahan penduduk dunia (potensi pasar), juga pemanfaatan produk turunan bahan pangan sebagai sumber energy (agrofuel atau biofuel).

Naiknya harga pangan kerap disebabkan besarnya kebutuhan pangan, prediksi iklim yang semakin sulit. Padahal, juga dikarenakan komoditas pertanian dan pangan telah lama menjadi ajang spekulasi. Bahkan, sejak tahun lalu hingga sekarang, harga komoditas pangan naik secara luar biasa karena spekulasi di bursa-bursa komoditas dan bursa berjangka.

Namun, tentu selalu ada masalah klasik yang sudah kerap mengikuti keinginan para pebisnis besar, yaitu: kelangkaan sumberdaya lahan di dunia.

Di Indonesia, pemerintah gencar menawarkan tanah-tanah baru di Kalimantan dan Papua untuk perusahaan-perusahaan pangan global. MIFEE di Papua adalah sebuah contoh kongkrit dari perampasan tanah rakyat.

Pemerintah berkali-kali mengatakan bahwa tidak akan mengambil tanah adat masyarakat di Merauke. Memang benar, sebab sampai sekarang Perda soal tanah adat di Merauke belum juga disahkan oleh pemerintah.

Pemerintah juga berkata bahwa tidak akan mengambil tanah hutan, secara hukum memang bisa saja benar dan itu mudah dilalukan pemerintah. Sebab, penunjukan dan pelepasan kawasan hutan kerapkali sekehendak Jakarta saja. Bukan atas pertimbangan hukum, ekonomi, politik yang bersifat kerakyatan.

Jadi, landgrabbing di Indonesia adalah hal nyata. perampasan tanah untuk kepentingan korporasi pangan akan menjadi trend.

Di Indonesia, asal muasal investor banyak berasal dari negara-negara yang butuh pangan besar seperti China, Korea Selatan. Mereka gencar menanam modal untuk pasokan pangan di negara mereka. Sekarang, investor Timur Tengah juga berbuat serupa. Tentu, karena tanah dan iklim disana tidak cocok untuk pertanian pangan.

Jadi banyak negara tengah menyiapkan pangan bagi negaranya sendiri dengan berinvestasi di negara seperti Indonesia. Masalah besarnya adalah: Petani Indonesia sebagian besar tidak punya tanah, lalu mengapa tanah pertanian yang ada diserahkan kepada perusahaan?

Jakarta, 14  Januari 2011