January 20, 2012

Dua Area Panas Konflik Lahan di Sumut

JAKARTA – Tim Terpadu penanganan sengketa lahan yang dibentuk Pemprov Sumut dan instansi terkait lainnya, barangkali bisa menjadikan pemetaan konflik yang dibuat Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) ini sebagai masukan penting.

KPA mengidentifikasi, ada dua wilayah di Sumut yang merupakan area panas sengketa lahan. Pertama, area yang merupakan bekas perkebunan Deli yang dibangun Belanda di tahun 1917 ke bawah. Areanya antara lain mencakup kawasan pantai timur Sumut.
“Mulai dari Asahan, Binjai, Deliserdang, hingga yang jauh Pematangsiantar,” terang Deputi Sekertaris Jendral KPA, Iwan Nurdin, kepada JPNN di Jakarta, Rabu (18/1).
Model sengketa untuk kawasan ini menyangkut lahan eks perkebunan jaman Belanda, yang di era awal kemerdekaaan dinasionalisasi menjadi lahan PTPN.  Belanda mengambil lahan dari tanah milik masyarakat dan atau masyarakat adat.
Selanjutnya, pada 1979 pernah ada upaya redistribusi tanah, yang menurut UU Pokok Agraria, lahan yang diduduki warga harus dikeluarkan dari area perkebunan. Sebelumnya, tahun 1960-an, ada sejumlah surat land reform yang dikeluarkan. Sebagian tanah di Sumut sudah mendapatkan surat land reform ini.
“Tapi karena ada masalah politik, tanah tak jadi didistribusikan, tapi malah balik lagi ke PTPN. Ini harus diselesaikan sendiri sesuai tipe konfliknya,” beber Iwan.
Yang kedua adalah konflik lahan di area perkebunan yang izinnya dikeluarkan di era Orde Baru hingga era sekarang. Ini biasanya lahan kebun sawit dan HTI. Areanya sebagian besar di kawasan Tapanuli bagian Selatan.
Sumber konflik menyangkut masalah kawasan hutan yang dilepas menjadi area perkebunan, padahal di sana ada tanah-tanah garapan masyarakat atau masyarakat adat.  Juga dipicu masalah dengan perusahaan perkebunan inti plasma.
Iwan menjelaskan, di wilayah panas kedua ini, konflik bisa muncul di beberapa fase. Fase pertama adalah fase normatif berupa izin lokasi perkebunan  hingga yang diberikan oleh bupati atau gubernur, izin usaha perkebunan dimana kewenangan ada daerah dengan dasar regulasi menteri pertanian, dan hak guna usaha (HGU) yang kewenangan ada di BPN.
Jenis-jenis konflik pada fase ini adalah tumpang tindih lahan dengan penduduk, ganti kerugian tidak wajar kepada penduduk yang tanahnya dicaplok perkebunan hingga penerbitan sertifikat HGU yang cacat prosedur.
Fase kedua, masih menurut Iwan, adalah fase pembangunan kebun. Banyak masyarakat yang diajak untuk menjadi mitra perkebunan dan menyerahkan lahan pertanian mereka untuk bergabung dalam pola plasma inti perkebunan.
Seringkali kesepakatan-kesepakatan plasma tersebut tidak menguntungkan petani, tertutup, bahkan manipulatif. Namun karena ketiadaan pendamping dari sisi masyarakat mereka akhirnya menandatangai MoU dengan perkebunan.
Pada proses ini, lanjut Iwan, seharusnya pemda dan dinas pertanian hadir untuk melindungi warga agar tidak tertipu atau memahami  dengan benar skema yang ditawarkan perusahaan.
“Karena itu, sering ditemukan, lahan-lahan yang diserahkan masyarakat kepada perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru banyak yang dimasukkan kedalam sertifikat HGU perusahaan,” paparnya.
Sehingga, ketika rakyat menerima kebun plasma justru lahannya jauh dari lokasi rumah warga,  bukan tanah pertanian mereka sebelumnya, kurang baik kesuburannya, jenis bibit tanaman kualitas asalan, hingga jumlah tanaman yang sedikit dari seharusnya.
Lebih jauh, banyak petani tidak mendapatkan lahan yang dijanjikan karena perkebunan mengisi plasma dengan daftar nama orang lain, daftar nama fiktif hingga oknum aparat dan pejabat.  “Tak heran konflik tanah menjadi semakin semrawut, kusut dan dalam menyelesaikannya banyak kepentingan terlibat,” terang  itu.
Pada fase ketiga adalah fase produksi. Dijelaskan Iwan, biasanya konflik perkebunan dengan petani plasma karena penentuan harga pembelian oleh perusahaan yang tidak wajar dan  pungutan panen yang tinggi. Padahal petani plasma tersebut harus membayar cicilan kredit plasma.
“Akhirnya karena frustasi yang tinggi, banyak petani memilih agar lahan-lahan mereka dikembalikan saja seperti semula seperti sebelum masuknya perkebunan,” kata aktivis yang lama konsen ke masalah pertanahan itu.
“Fase-fase konflik ini  kerap terjadi dalam konflik kebun. Ini terjadi karena bisnis perkebunan tidak di awasi dengan benar oleh pemerintah,” imbuhnya.
Iwan menilai, selama ini pengawasan terhadap perkebunan oleh pemerintah sangat lemah. Kementerian Pertanian dalam hal ini Dirjen Perkebunan dan Dinas Pertanian/Perkebunan di pemda, menurutnya, harus dievaluasi karena tidak pernah terlihat turun tangan secara aktif untuk menghentikan konflik-konflik perkebunan.  (sam/jpnn)

Indonesian Activists Seek Land Reform, But House Has Other Ideas

Anita Rachman | January 14, 2012 Jakarta Globe
Despite mounting calls for an agrarian reform law, especially after the recent spate of violence over land disputes, the House of Representatives appears adamant that it isn’t needed.

Activists have long been pushing for a bill that would establish and regulate an integrated system over how the country’s natural resources are used by oft-conflicting parties.

They want something more substantial than the 1960 Regulation on the Basics of Agrarian Affairs which, while clearly protective of the people’s rights to the land, is not substantial enough to safeguard those rights in practice.

Should they succeed, it would finally put into effect a 2001 People’s Consultative Assembly (MPR) decree that mandates the creation of such a law.

The lack of one, activists have argued, has led to a number of land dispute cases over the years, many of them violent.

However, lawmakers don’t seem to agree.

Committee Is Enough


On Friday, a day after a massive land reform protest in front of the legislative building in Senayan, lawmakers maintained that they would not work on a new law to solve the country’s numerous land disputes.

Instead, lawmakers initiated a plan to establish a special committee that would involve members from all political factions and commissions.

Such a committee, in handling specific cases, would have the right to summon relevant people or institutions and come up with recommendations for officials and law enforcers.

An Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) lawmaker, Budiman Sudjatmiko, who has spearheaded the new plan, said he had already collected 35 signatures from House members. He said they spanned all political factions, except the ruling Democrat Party, which is opposed to the idea.

Under House rules, a proposal to establish a special committee can be submitted to a House plenary session for approval if it has at least 25 signatures. But Budiman said he and the other initiators were shooting for at least 100 signatures from the total 560 lawmakers.

Even if the special committee isn’t approved, said Hakam Naja, a National Mandate Party (PAN) lawmaker, House Commission II overseeing home affairs already has a working committee on land disputes.

“And we have started working,” said Hakam, the deputy chairman of the commission. “There are 167 land dispute cases. We are going to work on big cases, and use the model to solve other cases too.”

Chronic Problems

The country’s chronic land dispute problems made headlines last month when a group of farmers from Mesuji in Lampung went to the House to report the alleged massacre of farmers in their district by law enforcers and security officers working for a plantation company.

Another high-profile incident took place recently in Bima, West Nusa Tenggara, when the police killed and injured protesters during a demonstration against a gold mining company.

According to Budiman, an investigation by lawmakers found that since 2004, 189 farmers have been killed for their land, with 22 in the last year alone.

The Commission on Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) has said that it identified eight violent land disputes involving companies last year and that three people died in the disputes with another 56 injured. It said seven people were still being intimidated and 14 had been arbitrarily detained.

“I must say that a special committee will never solve the root of these problems,” said Nurkholis Hidayat, director of the Jakarta Legal Aid Foundation (LBH Jakarta). “It might solve cases that are ongoing now, but not the root. If lawmakers are serious, they can work on the laws.”

Contradicting Laws

Indonesia, Nurkholis said, does have a solid pro-people law on agrarian affairs. The 1960 basic law clearly ensures the rights of the Indonesian people to the land, he said. But it doesn’t go into detail, he added, only explaining the basic principles.

“And the sectoral laws [derived from the 1960 basic law] we see today do not follow the principles stated by the 1960 basic law,” he said.

Those sectoral laws include legislation on forestry, minerals and coal mining, oil and gas, and plantations. Most have been targets of judicial review requests by various groups, assisted by LBH Jakarta, Nurkholis said.

“There are so many articles that contradict the 1960 basic law. Some of them overlap as well,” he said.

For instance, according to Iwan Nurdin, the deputy secretary general of the Agrarian Reform Consortium (KPA), Article 7 of the 1960 basic law stipulates that “to not harm public interests, excessive land ownership and control is not allowed.”

Despite this, Article 9 of the Mineral and Coal Mining Law puts the sole authority for deciding how much land a company can take for mining in the hands of officials and lawmakers.

In practice, Iwan said, this means the government and House only nod when a company wants a lot of land for mining.

“So a special committee cannot guarantee that problems like this will be solved,” he said.

Nurkholis said that what was needed was a comprehensive amendment of all the articles in the sectoral laws that contradicted the 1960 law, and also a new integrated law to regulate the ownership of natural resources.

Iwan added that the 2001 MPR decree on agrarian reform and natural resources mandated the House to review all flawed articles in the sectoral laws and draw up the kind of law his group had been asking for.

Still, he said, the KPA would give the House’s solution — the special committee — a chance.

“But we are going to monitor and give them a deadline,” Iwan said. “Within 100 days there should be some concrete steps taken by lawmakers to settle these problems.”

Different Times

PAN lawmaker Hakam Naja, however, doesn’t buy the idea that the sectoral laws cited by the activists should be revised.

Hakam argued that using the 1960 basic law as the sole reference for sectoral laws did not make sense and that people should understand that a different social climate existed when that law was passed back in 1960 under President Sukarno.

“With the era of globalization and global investment, we need to understand that land has an economic value,” he said. “Back then in 1960, the situation was different.”

Amending the sectoral laws is possible, Hakam said, but not within one House term. And the House, he said, cannot revise all the laws at the same time.

“And there really is no need to draft and deliberate another law on natural resources,” he said, referring to the MPR’s 2001 decree.

House Commission II’s proposed committee on land disputes, he added, will help people resolve their cases immediately, without having to wait years for a revised law.

But MPR deputy chairman Hajriyanto Tohari said that lawmakers could not ignore the decree, which is binding and considered second only to the Constitution in terms of weight.

Besides, Hajriyanto said, he agreed that a new law on how the government should handle natural resources was needed.

“I think the MPR must give the House of Representatives and the government a warning. Like it or not, members must follow the MPR’s decree,” he said.


Additional reporting by Markus Junianto Sihaloho

Indonesian Land Grab Cases ‘Remain Unresolved’

Jakarta Globe, 9 Januari 2012 
The Indonesian Forum for the Environment says hundreds of conflicts over land ownership in 2011 have still not been resolved.

“We have reported instances of land grabs to the authorities, but the standard response we have received is ‘we will handle it,’ ” Berry Nahdian Furqon, executive director of the group known as Walhi, said on Saturday. “These are empty words.”

He said Walhi was looking for two outcomes to the cases: the rightful return of the land to the people, and appropriate sanctions against the offending parties, including those who used violence against the people.

Walhi reported 103 incidents of land grabs throughout 2011, and said that the conflicts led to the deaths of 12 people and left more than 120 injured.

“We have submitted reports on all the conflicts to the Forestry Ministry, the National Land Agency [BPN] and the relevant administrations,” Berry said. “There needs to be political pressure for us to see progress on these cases.”

He called on the public to get engaged in large-scale peaceful demonstrations to get the government to act on the cases.

“I also hope members of the press help to bring this issue to the fore,” he added.

Land conflicts that have resulted in the recent killing of villagers in Mesuji and the police’s heavy-handed repression of protests in Sape, West Nusa Tenggara, are only the tip of the iceberg, Berry added.

Many conflicts do not receive the appropriate response from the government, and instead civil society groups are drawn to the cause, leading to Walhi, the Agrarian Reform Consortium (KPA), the Legal Aid Institute (LBH) and academics establishing a joint secretariat to receive reports from people who have had their land unfairly expropriated by large firms such as mines and plantations.

Walhi’s reports on the number of land grabs in 2011 is conservative compared to a report issued by the KPA, which identified 163 such cases last year. The KPA also claimed that 22 people were killed in the conflicts.

The KPA said East Java had the most reported cases, at 36, followed by North Sumatra (25), Southeast Sulawesi (15), Central Java (12), Jambi (11), Riau (10) and South Sumatra (nine).

It also said more than 472,000 hectares of land was expropriated, affecting 69,975 households.

Iwan Nurdin from the KPA said that there was an increase in the number of incidents and in the level of violence in 2011 compared to 2010, when there were 106 cases and three deaths reported. 

Antara

January 16, 2012

UUPA Tidak Dijalankan

Kompas Cetak, Kamis, 12 januari 2012

Jakarta, Kompas - Dorongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA bisa memperburuk konflik pertanahan di negeri ini. Konflik selama ini terjadi sebab UUPA tak dijalankan secara benar.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, pemahaman sebagian anggota DPR bahwa UUPA sebagai penyebab maraknya konflik (Kompas, 11/1) adalah penilaian yang ahistoris dan tak memahami persoalan agraria. Konflik pertanahan di Indonesia justru terjadi karena UUPA tak pernah dijalankan secara benar semasa Orde Baru, bahkan diselewengkan.

”Pemahaman ahistoris inilah yang membuat banyak regulasi terkait agraria dan sumber daya alam selama ini justru memperburuk keadaan,” papar Iwan di Jakarta, Rabu (11/1).

Konflik agraria, ujar Iwan, bersumber dari ketimpangan hak atas tanah. Hanya sedikit orang yang menguasai tanah, sementara mayoritas rakyat Indonesia tidak bertanah. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) 2010 menyebutkan, hanya sekitar 0,2 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional, 87 persen di antaranya berupa tanah. Data lainnya, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai swasta sengaja ditelantarkan. Sementara 85 persen petani Indonesia tidak bertanah alias buruh tani.

Iwan mengatakan, jika UUPA dijalankan, banyak konflik agraria teratasi dengan baik. Konflik pertanahan juga terjadi gara-gara tumpang tindih UU sektoral, seperti UU Kehutanan dan UU Sumber Daya Air, yang tidak mengacu pada UUPA.

Jika ingin menyelesaikan konflik, DPR seharusnya mengingatkan pemerintah agar menjalankan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan UUPA dan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001. UUPA mengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Malik Haramain, mengaku terkejut dengan adanya dorongan dari sebagian anggota DPR untuk merevisi UUPA. Ada pihak di DPR yang sengaja ingin mengobrak-abrik UUPA. Padahal, isi UUPA sangat pro rakyat.

Aksi serentak

Secara terpisah, saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Rabu, Juru Bicara Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia Henry Saragih menuturkan, Kamis ini akan ada aksi serentak yang digelar Sekretariat Bersama di Jakarta dan 27 provinsi lain serta di luar negeri. Aksi itu menuntut reforma agraria, pembaruan desa, dan keadilan ekologis menuju Indonesia berkeadilan sosial.

”Semula aksi akan kami gelar 10 Januari lalu. Karena banyak pihak yang bergabung, aksi kami tunda menjadi 12 Januari ini. Di Jakarta, peserta aksi berkumpul di Masjid Istiqlal, lalu ke Istana Negara dan ke DPR,” kata Henry. Ia didampingi anggota DPR, Budiman Sudjatmiko, dan pengurus organisasi massa lainnya.

Menurut Henry, yang juga Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, aksi akan diikuti sekitar 15.000 orang dari berbagai unsur masyarakat. (bil/lok/isw/nta)

Ketimpangan Penguasaan Lahan Menjadi Persoalan

Kompas Cetak, Jumat, 06 Januari 2012

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, biasa disebut UUPA, tidak membenarkan penguasaan tanah yang melampaui batas. Pengaturan batas minimum dimaksudkan supaya setiap orang mencapai skala usaha ekonomi dalam produksi pertanian. Batas maksimum dimaksudkan supaya setiap orang mengerjakan tanah berdasarkan kemampuannya. Bila penguasaan tanah melebihi kemampuan, berarti mempekerjakan buruh dalam mengelola tanah itu. Hal ini tidak dikehendaki UUPA.

Namun, menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Arsyad, beberapa saat lalu, selama Orde Baru hingga masa reformasi, amanat UUPA diabaikan. Penguasaan tanah didasarkan pada sektoralisme hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, hutan oleh Kementerian Kehutanan dan perkebunan oleh Kementerian Pertanian. Selain itu terjadi penurunan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat akibat eksploitasi lahan yang berlebihan dan tidak terkendali sejak masa Orde Baru hingga kini.

Persoalan yang hampir selalu jadi pemicu konflik adalah ketimpangan penguasa dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah ataupun sumber daya alam. Pemerintah tampak membabi buta dalam memberikan izin dan hak eksploitasi hutan, lahan tambang, perkebunan besar, dan pembukaan tambak.

Menurut Idham, masalah ketimpangan bisa disaksikan dalam hal penguasaan aset produktif nasional. Hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasi 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Ketimpangan juga berlangsung di sektor kehutanan. Sampai kini sekitar 17,38 juta hektar diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk izin usaha pengusahaan hasil hutan dan kayu (IUPHHK) dan 8,8 juta hektar untuk hutan tanaman industri (HTI). Sekitar 15 juta hektar untuk hak guna usaha (HGU) bidang perkebunan.

Ketimpangan agraria juga ditunjukan dengan 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Ironisnya, terjadi peningkatan jumlah petani kecil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada periode 1993-2003, jumlah petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang.

Idham menyodorkan kondisi getir petani Indonesia. Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Bagi mereka yang memiliki lahan, rata-rata pemilikannya hanya 0,36 hektar.

Rentetan kasus konflik agraria pun hanyalah puncak gunung es dari persoalan agraria yang hingga kini tidak pernah terselesaikan pemerintah. Dari catatan KPA, di tahun 2011 saja tercatat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia, yang melibatkan 69.975 keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Tahun 2011, warga yang tewas akibat konflik agraria mencapai 22 orang. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah konflik dan warga yang tewas meningkat tajam. Tahun 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan tiga korban jiwa.

Iwan Nurdin dari KPA pun melacak eskalasi konflik agraria yang meningkat pasca pengesahan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Begitu UU itu disahkan, investasi yang paling banyak masuk ke negeri ini adalah perkebunan dan pertambangan. Tahun 2008-2009 bisa dikatakan sebagai tahun pengurusan izin oleh investor. Tahun 2010 tahapannya negosiasi dengan masyarakat, sosialisasi pemerintah daerah (pemda), kepada rakyatnya soal investor yang masuk ke daerah.

”Tahun 2011 saatnya rakyat memakai instrumen demokrasi untuk menolak. Mereka melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan ke DPR,” kata Iwan. Tanpa upaya tegas melaksanakan pembaruan agraria, konflik yang lebih besar terjadi di masa mendatang.

Waspadai Upaya Liberalisasi Agraria

Kompas Cetak, Sabtu, 14 Januari 2012

Anggota Komisi II DewanPerwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Malik Haramain, mengakutak habis pikir, ada rekannya sesame wakil rakyat yang memiliki pikiranmerevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokokAgraria atau UUPA. Dengan nada berang, ia menuding koleganya itu ditunggangikepentingan kapitalis karena ingin meliberalisasi tanah di Indonesia.

Staf khusus Kepala BadanPertanahan Nasional (BPN), Usep Setiawan, menyebut, justru di masa reformasiini UUPA mendapatkan tantangan paling berat. Berbagai upaya menghapus, dalambahasa halus merevisi UUPA, wakil rakyat mengambil jalan melingkar. Merekamencoba memereteli UUPA sebagai paying besar ketentuan perundangan yang terkaitagraria. Lalu, muncullah UU No.14/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-pulau Kecil, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,hingga UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Usep menyebut berbagai UU itu bagian dari kebijakan sektoralisme negaradalam mengatur persoalan agraria. Tak hanya menjadikan persoalan agraria dalamkapling sektoral, UU itu juga menggiring terjadinya liberalisme. Berbagaiproduk legislasi yang liberalistik disimpulkan bukan solusi atas akar soalagraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintastataran yang menempatkan rakyat sebagai korban (Usep, 2010).

Lihatlah bagaimana UU Penanaman modal yang menurut Usep secara telanjangmenunjukkan komitmen ideologis di lembaga eksekutif dan legislatif untukmengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hakatas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor nyaris diberikan setengahabad.

Bandingkan bagaimana penguasaan rakyat atas tanah di negerinya sendiri.Faktanya, hingga hari ini hanya ada sedikit orang yang menguasai tanah,sementara mayoritas rakyat tidak bertanah. Data BPN tahun 2010 menyebutkan, 0,2persen orang Indonesia menguasai 56 persen seluruh aset nasional, yang 87persen di antara aset itu berupa tanah. Data lainnya menyebutkan, 7,2 jutahektar tanah yang dikuasai swasta secara sengaja ditelantarkan. Adapaun 85 persen petani Indonesia adalahpetani gurem dan petani tidak bertanah alias buruh tani.

Contoh lain diutarakan Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium PembaruanAgraria (KPA) Iwan Nurdin. UU Kehutanan, misalnya, menghidupkan kembali asas domein verklaring (wilayah yang takdapat dibuktikan kepemilikan secara formal dinggap dipunyai oleh negara).Padahal, hukum kolonial itu dihapus pada konsiderans UUPA.

“UU Kehutanan sepihak menunjuk 70 persen daratan Indonesia sebagai kawasankehutanan, dan jika rakyat tidak bisa membuktikan hak formalnya, kawasan itudikukuhkan sebagai kawasan hutan. UU Kehutanan jelas bertentangan secarakeseluruhan karena membatasi wewenang UUPA hanya berlaku di luar kawasanhutan,” katanya.

Contoh lain, dalam Pasal 6 UUPA menyebutkan, tanah harus memiliki fungsisosial. Pasal 7 dengan tegas melarang kepemilikan tanah yang melampaui batas.“UU Perkebunan secara keseluruhan justru tidak membatasi kepemilikan pengusahaperkebunan sehingga perusahaan dan grupnya bisa mempunyai jutaan hektar kebunsawit. Pasal 20 UU Perkebunan memperbolehkan adanya pam swakarsa sehinggamendorong terjadiya konflik,” kata Iwan.

Presiden Soekarno dan anggota DPR pada waktu itu, yang menghasilkan UUPA,sesungguhnya dengan sangat brillan dan visioner melihat persoalan bangsa inidari sisi agraria. Dalam penjelasan umum, UUPA menilai pengabaian hak rakyatdan konflik agraria terjadi karena struktur agraria warisan kolonialmemberlakukan hukum agraria Belanda AgrarischeWet tahun 1870 hingga sistem tanam paksa di masa kolonial.

Untuk menyelesaikan persoalan agraria warisan kolonial, UUPA memandatkanpada negara agar melakukan pembaruan agraria. Apa saja langkahnya? UUPAmengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Dengan PP ini,pemerintah wajib membentuk panitia landreform dari pusat sampai desa untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkantanah dan ganti rugi bagi yang tanahnya diambil negara untuk diredistribusikan.

Untuk menentukan obyek tanah yang akan dibagikan. PP Nomor 10 Tahun 1961mengatur pendaftaran tanah untuk menemukan tanah kelebihan maksimum, tanahtelantar, tanah yang tidak dikerjakan langsung oleh pemiliknya (absentee), dan tanah negara yang bisadiberikan kepada rakyat.

”Agar mencegah konflik dalam pelaksanaanya, dibentuk pengadilan landreform. Untuk mencegah rakyat terjerembab dalam pertanian skala kecil dankurang berkembang, hak guna usaha dalam UUPA diprioritaskan pada organisasipetani dan koperasi. Jadi, desain UUPA dalam soal hak guna usaha (HGU) adalahrakyat, bukan perusahaan seperti sekarang,” kata Iwan.

Oleh karena itu, DPR dan pemerintah jangan memancing kemarahan rakyatdengan terus mengangkangi hak mereka atas tanah. Kamis (12/1) sore, merekamenjebol pagar yang melindungi gedung DPR. Tak mustahil, mereka juga bisamenjebol dukungan pada kepemimpinan nasional.

JAMINAN BAGI RAKYAT
DALAM UU NOMOR 5 TAHUN 1960 (UUPA)
Pasal 9 Ayat 2
Tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untukmemperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, bagi dirisendiri maupun keluarganya.

Pasal 13
Pemerintah berusaha agar usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara sertakepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, denganmemberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang

Long-awaited land acquisition law passed

Jakarta Post, 12/17/2011
The House of Representatives endorsed the long-awaited land acquisition law for public development in Jakarta on Friday.

The new law is expected to solve conflicts that have, in the past, often resulted in delays of public infrastructure projects.

Daryatmo Mardianto, an Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) legislator who led the House’s special committee deliberating the bill, said that the law was badly needed to help cope with infrastructure problems in the country.

“Infrastructure projects are the key drivers to boost the Indonesian economy. This law sets the time frame of every acquisition process without ignoring the rights of the public,” Daryatmo said.

By having the law, all legal proceedings pertinent to land acquisition for a government-commissioned infrastructure project should be completed within 436 working days at the most.

The law also allowed a more democratic process for providing a 60 day public consultation period before acquiring land.

If the public disagreed with providing the land, they could appeal to the state administrative court (PTUN), which would then issue a ruling in no more than 30 days. Should the public remain dissatisfied with the ruling, they will be given a 14 day period to appeal to the Supreme Court, which should issue a ruling within 30 days.

However, if the public agree with all the terms and conditions after the public consultation period, all business and legal procedures for the land acquisition should be complete within 260 days.

After that, the National Land Agency (BPN) would step in and assign an independent appraisal team, consisting of independent financial experts with expertise in agrarian issues certified by the BPN, to determine the value of compensation due to be paid to the public.

The valuation process must be completed in 30 days and it could be paid in the form of money, re-settlement, land ownership, or stock ownership in the government project.

Landowners who disagree with the compensation settlement or the proposed land price can file a legal complaint and seek court rulings up to the Supreme Court.

The head of the BPN, Joyo Winoto, said that the implementation regulation of the law was expected to finish within a year.

“However, we are expecting that the presidential decree for this law will be finished within six months,” Joyo told The Jakarta Post.

Regarding compensation, he said that the public could have more than one form of settlement. “If the public wants money and re-settlement for compensation, we will give that,” he added.

In a separate interview, Fatchur Rochman, the chairman of Indonesian Toll Road Association (ATI) said that he was very content with the passing of bill, saying that delay of infrastructure projects had caused severe headaches for businesspeople.

However, he warned that the implementation regulations should be issued by the end of 2012 at the latest, unless the execution of land acquisitions would still take a long time. “Some presidential decrees are issued three to four years after the passing. We do not want such things to happen because the land acquisition law will then be useless,” he told the Post.

The Consortium for Agrarian Reform (KPA) said the land acquisition law only accommodated the interests of the government and not necessarily the people. “We will ask the Constitutional Court to review the law,” KPA campaign deputy Iwan Nurdin told the Post. (nfo)

Legal confusion sparks nationwide land dispute

Tifa Asrianti, The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 12/27/2011 10:35 PM Legal confusion surrounding the management of land resources has resulted in conflict between businesspeople and locals, which at times has ended bloodily, agrarian experts have said.

Arie Hutagalung, the University of Indonesia’s expert on agrarian affairs said that when deliberating the 2004 Law on Plantation, the 2009 Law on Mineral and Coal and the 1999 Forestry Law, the government and the House of Representatives had failed to make reference to the Agrarian Law of 1960.

“For instance, the Plantation Law opens the door for the local administration to give a permit for private companies to manage up to 100,000 hectares. The Agrarian Law meanwhile stipulates that it should be no more than 20,000 hectares,” she said.

Arie said that there was also a clash between the Agrarian Law and the three laws on the issue of rights for indigenous communities. “The Forestry Law does not recognize the rights of indigenous communities, something that has been clearly regulated by the Agrarian Law,” she said.

Iwan Nurdin, campaign deputy for the Consortium for Agrarian Reform (KPA) said that the three new laws were endorsed to secure the interests of the business community.

“Agrarian politics in those three laws is based on the interests of investors. Those laws close access to land for the local people,” he said.

He said that the Forestry Law was clear in its stipulation on what the central government and local administration could give as compensation to companies.

The same also went for both the Plantation Law and Mineral and Coal Law, he said.

“When the two laws allow for the forest to be given as a concession, they fail to take into account the presence of the local community that relies on the forest for their livelihood,” he said.

As a solution, Iwan said that instead of appointing big companies to manage the concessionary land, the government should start trusting local communities to manage them.

Data from the KPA said that there were 163 agrarian conflicts during 2011.

Two weeks before the Bima riot on Saturday, the public was shocked by the alleged mass killing in Mesuji, Lampung, allegedly over the encroachment of traditional land by private companies.

Of the 25 million hectares of productive forest concessions (HPH), more than 8 million hectares were under the industrial forest concession (HTI) scheme and 12 million hectares were given to palm oil companies.

Arie said that to prevent future conflicts, local administrations should show more accountability to the local community.

Private companies should also fulfill their obligations in finding new lands for local people whose land would be occupied before the companies started their operations.

In the mining sector, companies should also reclaim land, upon which they would run their operation.

She also said that it was not always a sad story for local communities.

She said that in Bengkulu, a private company only needed to make a verbal request to locals who would later give up their land for commercial projects.

“It depends on the political will of politicians and government officials. They should work together to carry out agrarian reform,” she said.

Iwan said that the government should refrain from issuing new agrarian-related regulations before conducting a thorough review on the four laws.

January 6, 2012

Janji Pembaruan Agraria Tidak Pernah Ditunaikan

Kompas, Kamis, 05 januari 2012
Mata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkaca-kaca, mulutnya tertahan sejenak tak mampu melanjutkan pidatonya. Presiden tak kuasa menahan haru, lalu menitikkan air mata. Itu terjadi di Istana Bogor pada 21 Oktober 2010 dalam peringatan ke-50 Hari Agraria.

”Saya terharu melihat tadi,” ujar Presiden kala itu. Untuk sesaat, ia seperti tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Sebelumnya, Presiden menyaksikan tayangan video tentang permasalahan tanah dan petani di Cilacap, Jawa Tengah. Tak berapa lama, Presiden pun melanjutkan pidato. Kata dia, tema besar yang diusung pemerintah adalah tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

”Mari camkan betul tema besar ini, misi besar ini agar di negeri kita rakyat menjadi tuan tanah, menjadi tuan yang memiliki bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,” ujar Presiden.


Saat itu, Presiden membagikan sertifikat tanah kepada 10 petani. Mereka bagian dari 5.100 keluarga dari empat desa di Cilacap yang memenuhi syarat mendapat redistribusi lahan seluas 266 hektar.

Pencitraan
Banyak yang mengganggap air mata Presiden ketika itu merupakan bagian dari politik pencitraan semata. Baca misalnya bagaiman Direktur Reform Institute Yudi Latif dalam kolomnya di Kompas saat itu mengatakan, makna air mata tersebut hanya Presiden yang tahu. Itu karena, menurut Yudi, satu hal yang pasti, jeritan harapan keadilan korban lumpur Lapindo belum kunjung terkabulkan. Sementara itu, selama masa pemerintahan Yudhoyono, otoritas Badan Pertanahan Nasional mengizinkan jutaan hektar tanah dikuasai segelintir orang (terutama modal asing) yang kian meminggirkan akses rakyat kecil atas lahan. Yudi pun bertanya, apakah Presiden tak menyadarinya?

Bagi Yudi, dengan kesenjangan yang lebar antara ekspresi keharuan dan ekspresi keadilan, tetes air mata Presiden belum sanggup meneteskan air mata rakyatnya. Terlebih klaim redistribusi lahan kepada 5.100 keluarga petani di Cilacap belakangan ternyata diketahui hanya akal-akalan yang dibuat seolah memang telah ada tanah yang dibagi-bagikan kepada petani.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengungkapkan, 266 hektar yang dibagikan kepada petani Cilacap tersebut sejak 1960-an memang merupakan areal yang hendak dibagikan kepada rakyat dalam bentuk Surat Keputusan Redistribusi. Belakangan, tanah tersebut dikuasai PT Rumpun Sari Antan. Setelah masa hak guna usaha perusahaan itu habis, rakyat akhirnya mendapatkan haknya yang tertunda puluhan tahun. ”Dan, tidak gratis karena rakyat harus bayar Rp 15.000 per meter,” kata Iwan.

Jadi, menurut Iwan, sertifikat tanah yang dibagikan Presiden tersebut bukanlah bagian dari redistribusi lahan yang menjadi inti pembaruan agraria. Hal ini karena sejak awal memang tanah tersebut hak petani Cilacap.

Tangisan Presiden makin terlihat sebagai bagian pencitraan jika kita melacak lebih ke belakang saat dia hendak maju dalam Pemilu Presiden 2004 bersama Jusuf Kalla. Saat itu, Yudhoyono-Kalla membuat buku visi, misi, dan program capres dan cawapres dengan judul Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera. Yudhoyono menulis, agenda pembangunan yang dia janjikan selama 2004-2009 salah satunya adalah mendorong pelaksanaan refroma agraria (halaman 56). Janji revitalisasi pertanian dan pedesaan Yudhoyono kala itu dengan jelas disebutkan, salah satunya melaksanakan reforma agraria.

Inti pembaruan agraria adalah land reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (Usep Setiawan, 2010). Sekretaris Jenderal, KPA Idham Arsyad mengatakan, land reform dalam pengertian sempit adalah redistribusi tanah kepada orang yang tidak bertanah. Dalam pengertian yang lebih luas, land reform bermakna sebagai upaya untuk menata struktur kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan sumber daya alam yang timpang untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, UUPA tidak menghendaki adanya ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah dan sumber daya alam.

Sudahkah tunaikah janji Presiden Yudhoyono melakukan pembaruan agraria? Konflik tanah di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, hingga bentrokan warga yang menolak pertambangan dengan aparat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, membuat kita membuka mata konflik agraria seperti bom waktu yang bisa meledak kapan pun selama pemerintah tak pernah tuntas menyelesaikan pembaruan agraria.

Di masa Presiden Soekarno, pemerintah memiliki perangkat lengkap untuk melakukan pembaruan agraria melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan sebutan UUPA). Menurut Idham, UUPA disusun agar tanah dan sumber daya alam benar-benar digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. UUPA menjadi hukum agraria nasional baru menggantikan kebijakan agraria kolonial. UUPA sebagai perwujudan Indonesia merdeka agar tanah dan sumber daya alam menjadi alat kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Sejak dikeluarkan UUPA pada 1960, semua peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada Agrarische Wet 1870 dinyatakan tidak berlaku.

January 4, 2012

Akar Konflik Mesuji Dilupakan

JAKARTA, KOMPAS.com

Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji dinilai melupakan akar masalah. Pemerintah diharapkan proaktif mengambil langkah-langkah penyelesaian agar persoalan tidak terulang di masa depan.

Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, tim hanya fokus pada kekerasan. Padahal, kekerasan hanya dampak dari kasus. ”Akar kasus itu adalah konflik agraria, perebutan lahan antara warga dan perusahaan perkebunan besar,” ujarnya kepada Kompas, Selasa (3/1/2012).

Jika pemerintah serius, penyelesaian harus dimulai dari akar masalah, yakni persoalan agraria. ”Salah satu penyelesaian untuk agraria adalah dengan mencabut HGU perkebunan sawit PT SWA dan PT BSMI, plus SK HTI Silva Inhutani,” ujarnya.

Selanjutnya, dibutuhkan proses rekonstruksi di lokasi tersebut dengan membangun kebun dan hutan. Pembangunan itu harus memperkuat hak-hak rakyat di bidang pertanahan dan tata cara produksi yang adil dan menjadi model ke depan di berbagai wilayah.

Iwan juga mengatakan, penyelesaian komprehensif dapat dilakukan dengan mengesahkan rancangan peraturan pemerintah reforma agraria. Tanpa peraturan itu, konflik agraria dikhawatirkan akan terus terjadi. 

Rekomendasi TGPF Tragedi Mesuji Artifisial

JAKARTA, KOMPAS.com  3 Januari 2012
Rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tragedi Mesuji dinilai masih sangat artifisial dan tak menjawab persoalan utama terjadinya kekerasan di Mesuji, baik di Lampung maupun Sumatera Selatan. Seharusnya TGPF juga mampu merekomendasikan solusi atas persoalan konflik agraria, sehingga menjadi model dalam menyelesaikan persoalan serupa yang banyak terjadi di Indonesia.
Menurut Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin, rekomendasi TGPF tragedi Mesuji tak menjawab persoalan pelanggaran hak asasi manusia karena konflik agraria. Iwan mengatakan, rekomendasi TGPF masih sangat artifisial, belum masuk dalam substansi persoalan agraria di Indonesia.

Rekomendasi TGPF terhadap tragedi Mesuji antara lain adalah mendorong percepatan proses hukum terhadap pelaku utama kekerasan yang menyebabkan korban jiwa, memberi bantuan hukum pada para tersangka sehingga proses hukumnya berjalan adil, memberi bantuan pengobatan kepada korban yang menjalani perawatan, melakukan penegakan hukum pada spekulan tanah hingga evaluasi terhadap penggunaan tenaga keamanan swasta. Dengan rekomendasi tersebut, menurut Iwan, konflik yang sama tetap bakal terus terjadi.

Iwan mengatakan, rekomendasi TGPF seharusnya menjawab persoalan mengapa konflik agraria terus terjadi. Mesuji hanya jadi salah satu dari sekian banyak konflik agraria yang terjadi terkait keberadaan perkebunan swasta dalam jumlah besar yang menelantarkan hak-hak rakyat di sekitar perkebunan.
"Seharusnya TGPF bisa merekonstruksi ulang pembangunan kebun yang memperkuat hak-hak masyarakat, baik dari sisi perusahaan dan masyarakat, serta ke depannya menjadi model bagi penyelesaiaan sengketa bagi pembangunan perkebunan di masa depan," tutur Iwan, Selasa (3/1/2012) di Jakarta.

January 3, 2012

BPN Dinilai Gagal Urus Tanah

Anugerah Perkasa, Bisnis Indonesia 1 Januari 2012

JAKARTA: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta segera untuk membentuk badan nasional untuk pembaruan agraria terkait dengan masih berlangsungnya konflik pertanahan di Indonesia dan kegagalan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan kegagalan penanganan konflik pertanahan selama ini menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik antar kementerian yang terkait dengan persoalan tersebut. Selain itu, sambungnya, otoritas agraria yakni BPN telah gagal menjalankan reformasi agraria.
"Oleh karena itu Presiden harus segera membentuk badan khusus itu. Badan tersebut juga langsung bertanggung jawab kepada Presiden dan memiliki tugas di antaranya  merumuskan strategi pembaruan agraria dan mengkoordinasikan departemen yang terkait dengan agraria," ujar Iwan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Selain itu, paparnya, badan tersebut bertugas untuk menata struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya. Tak hanya itu, Iwan menambahkan, namun juga melakukan penanganan konflik-konflik agraria, baik warisan masa lalu, maupun konflik-konflik agraria yang mungkin akibat kegagalan BPN selama ini.
Dia menuturkan badan maupun komisi  itu diusulkan  bekerja hanya dalam jangka waktu  yang  ditetapkan untuk  pelaksanaan pembaruan agraria. KPA menilai keanggotaan komisi ini wajib merepresentasikan unsur pemerintahan, unsur  organisasi rakyat , organisasi sipil, dan pakar yang sejak awal memfokuskan dalam perjuangan dan tujuan-tujuan pembaruan agraria.
Terkait dengan pembaruan agraria, Iwan mengatakan, badan itu harus memiliki rencana pelaksanaan sistem pendataan objek dan subjek;  data peruntukkan tanah; desain redistribusi tanah dalam skema rumah tangga pertanian, kolektif;  desain larangan dan sanksi bagi penerima tanah yang menelantarkan dan atau menjual tanah.
Selain itu terdapat  sanksi berat bagi pemalsu objek dan subjek pembaruan agraria;  desain keterlibatan dan peran para pihak dalam pelaksanaan pembaruan agraria;  serta desain dukungan akses  infrastruktur dan keuangan setelah distribusi dilakukan.
“Kekerasan akan terus terjadi disebabkan oleh tatacara penyelesaian sengketa agraria  nasional yang belum memiliki rumusan sistem politik agraria yang utuh serta kelembagaan yang secara khusus menyelesaikan masalah-masalah agraria yang terjadi,” papar Iwan.
Pada 2011, KPA mencatat sedikitnya konflik lahan terjadi di atas area seluas 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga sepanjang 2011.
Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas kasus adalah perkebunan  (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infrastruktur (21 kasus), pertambangan (delapan kasus), dan pertambakan (satu kasus). Jumlah total kasus mencapai 163 atau naik dibandingkan dengan periode 2010 yakni 106 kasus.
Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengklaim berhasil menyelesaikan 5.666 kasus pertanahan hingga Oktober 2011 dengan pelbagai kriteria masalah. Walaupun demikian Komisi II DPR RI meminta lembaga itu memfokuskan pada persoalan lahan terkait dengan aset negara dan BUMN.
Kepala BPN Joyo Winoto mengatakan pihaknya memiliki lima kriteria dalam pengkajian dan penanganan kasus pertanahan hingga akhir Oktober lalu. Secara total, BPN telah menyelesaikan 5.666 kasus pertanahan di Indonesia.
“Kriteria I atau K1 adalah penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus sebanyak 2.073 kasus,  K2 adalah penerbitan surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah sebanyak 101 kasus, K3 adalah pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sebanyak 952 kasus,” ujar Joyo seperti dalam laporan singkat DPR di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sementara dua kriteria lainnya adalah K4  yakni pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang proses perkara di pengadilan sebanyak 1.819 kasus dan K5 merupakan pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang penyelesaiannya bukan termasuk kewenangan BPN sebanyak 721 kasus.

KPA: Temuan TGPF Momentum Reforma Agraria

JPNN, NASIONAL - HUKUM
Selasa, 03 Januari 2012 , 13:13:00


JAKARTA - Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin mengatakan, temuan awal Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji membuktikan bahwa pemahaman soal akar konflik agraria yang telah mengakibatkan pelanggaran HAM belum mau diselesaikan pemerintah.

Terlebih lagi, TGPF juga menemukan fakta selain aparat kepolisian, Pamswakarsa, dan masyarakat juga melakukan kekerasan sebagai aksi dan reaksi konflik antar warga dengan perusahaan tersebut. "Ini membuktikan akar persoalan agraria harus diselesaikan dulu dengan mencabut HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan sawit PT BSMI, PT SWA, dan SK HTI (Hutan Tanaman Industri) PT Silva Inhutani," kata Iwan kepada JPNN di Jakarta, Selasa (3/1).

Dengan demikian lanjut Iwan, langkah ini bisa menjadi momentum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) reformasi Agraria yang dijanjikan namun belum terelaisasikan. Sehingga, temuan TGPF itu  tidak menjadi alat cuci tangan pemerintah dalam konflik agraria yang terjadi.

"Selanjutnya dibutuhkan proses rekontruksi di tiga lokasi itu dengan melakukan pembangunan kebun dan hutan yang memperkuat hak-hak rakyat dalam bidang tanah dan tata cara produksi yang adil dan menjadi model kedepan di berbagai wilayah," tandasnya.

Seperti diketahui,  Investigasi Awal TGPF menemukan sengketa lahan antara warga dengan perusahaan di tiga lokasi konflik di Mesuji Lampung maupun Sumatera Selatan. Sengketa lahan tersebut sudah terjadi dalam proses yang cukup lama.

Temuan lain, korban jiwa yang meninggal akibat bentrokan untuk periode 2010-2011 berjumlah 9 orang. Di Register 45 dan desa Sri Tanjung (Mesuji, Lampung) masing masing tempat satu orang. sedangkan desa Sodong, Sumatera Selatan 7 orang.

Selain itu, ditemukan fakta, kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah, ada dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, serta aparat keamanan dengan tingkat detai keterlibatan yang berbeda-beda di masing-masing setiap lokasi. (kyd/jpnn)

2011, Tahun Perampasan Tanah Rakyat

Jakarta, kompas - Konsorsium Pembaruan Agraria menyebut tahun 2011 sebagai tahun perampasan tanah rakyat karena banyaknya konflik agraria dan tingginya jumlah rakyat yang meninggal akibat sengketa itu. Data KPA menunjukkan, sepanjang tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di Indonesia dengan jumlah rakyat atau petani yang menjadi korban meninggal akibat konflik ini mencapai 22 orang.
Menurut Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, dibandingkan tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah konflik agraria ataupun rakyat yang meninggal. Iwan menggambarkan, tingginya angka konflik agraria merupakan bentuk upaya perampasan hak rakyat atas tanah, baik oleh negara maupun pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa. KPA mencatat, tahun 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan tiga orang meninggal.


Dari data KPA, konflik agraria yang terjadi pada tahun 2011 melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2010, rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di wilayah tambak atau pesisir. Dari sebaran konflik, Jawa Timur sebagai wilayah yang paling banyak dengan 36 kasus, disusul Sumatera Utara (25), Sulawesi Tenggara (15), Jawa Tengah (12), Jambi (11), Riau (10), Sumatera Selatan (9), dan sisanya tersebar di sejumlah provinsi.
Iwan mengatakan, kasus Mesuji dan bentrok aparat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, yang mencuat akhir- akhir ini, hanya puncak gunung es dari fenomena konflik agraria di Indonesia.

Menurut Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Priatna, banyaknya jumlah konflik agraria, tetapi tak sebanding dengan respons pemerintah, mengundang keprihatinan elemen masyarakat sipil. Menurut Mukri, sejumlah elemen masyarakat sipil seperti Walhi, KPA, LBH, hingga akademisi dan sejumlah perguruan tinggi berinisiatif mendirikan Sekretariat Bersama yang akan menampung semua pengaduan masyarakat berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang timpang dan tak berkeadilan.

”Kami ingin, apa yang terjadi di Mesuji, Bima, dan banyak tempat lain tidak lagi dianggap angin lalu,” kata Mukri.

Didata
Secara terpisah, Direktur Konflik Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ronsen Pasaribu mengungkapkan, BPN dalam waktu dekat akan mendata daerah rawan konflik pertanahan antara masyarakat dan instansi/ badan hukum. Pendataan itu dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya konflik berdarah seperti di Mesuji, Lampung, dan Sodong, Sumatera Selatan. ”Daerah rawan itu lebih-lebih pada karakteristik perkebunan besar yang ada HGU (hak guna usaha)- nya,” kata Ronsen, Selasa.

Selama ini, Ronsen mengakui, BPN sering didatangi masyarakat yang mengadukan konflik pertanahan. Kemarin, sejumlah orang dari Kabupaten Siak, Riau, pun mendatanginya untuk melaporkan perkembangan pelaksanaan hasil gelar perkara yang dilakukan di BPN.

Menurut Ronsen, konflik pertanahan tidak sama antara satu kasus dan yang lain. Tipe kasus beragam, mulai dari penguasaan dan kepemilikan tanah (tertinggi kasusnya), tumpang tindih izin lokasi, masalah batas, tanah ulayat, obyek land reform, pengadaan tanah, hingga lokasi imigrasi. ”Untuk masalah penanganan ini, kadang masyarakat salah membaca. Tak cuma masyarakat, instansi pemerintah pun kadang ikut salah. Seolah-olah harus bisa diselesaikan (BPN),” katanya.

Dalam beberapa kasus, BPN tidak dapat menyelesaikan konflik pertanahan secara tuntas karena keterbatasan kewenangan BPN. Ia mencontohkan konflik di Register 45 Mesuji, Lampung, ataupun Sodong. Kedua kasus itu tidak pernah dibawa ke BPN. BPN tidak punya kewenangan terkait kedua lahan itu karena masih masuk kawasan hutan di bawah Kementerian Kehutanan.
(BIL/ANA/FAJ)
Kompas, 28 Desember 2011