Jakarta, kompas - Konsorsium Pembaruan Agraria menyebut tahun 2011 sebagai tahun perampasan tanah rakyat karena banyaknya konflik agraria dan tingginya jumlah rakyat yang meninggal akibat sengketa itu. Data KPA menunjukkan, sepanjang tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di Indonesia dengan jumlah rakyat atau petani yang menjadi korban meninggal akibat konflik ini mencapai 22 orang.
Menurut Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, dibandingkan tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah konflik agraria ataupun rakyat yang meninggal. Iwan menggambarkan, tingginya angka konflik agraria merupakan bentuk upaya perampasan hak rakyat atas tanah, baik oleh negara maupun pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa. KPA mencatat, tahun 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan tiga orang meninggal.
Dari data KPA, konflik agraria yang terjadi pada tahun 2011 melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2010, rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di wilayah tambak atau pesisir. Dari sebaran konflik, Jawa Timur sebagai wilayah yang paling banyak dengan 36 kasus, disusul Sumatera Utara (25), Sulawesi Tenggara (15), Jawa Tengah (12), Jambi (11), Riau (10), Sumatera Selatan (9), dan sisanya tersebar di sejumlah provinsi.
Iwan mengatakan, kasus Mesuji dan bentrok aparat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, yang mencuat akhir- akhir ini, hanya puncak gunung es dari fenomena konflik agraria di Indonesia.
Menurut Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Priatna, banyaknya jumlah konflik agraria, tetapi tak sebanding dengan respons pemerintah, mengundang keprihatinan elemen masyarakat sipil. Menurut Mukri, sejumlah elemen masyarakat sipil seperti Walhi, KPA, LBH, hingga akademisi dan sejumlah perguruan tinggi berinisiatif mendirikan Sekretariat Bersama yang akan menampung semua pengaduan masyarakat berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang timpang dan tak berkeadilan.
”Kami ingin, apa yang terjadi di Mesuji, Bima, dan banyak tempat lain tidak lagi dianggap angin lalu,” kata Mukri.
Didata
Secara terpisah, Direktur Konflik Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ronsen Pasaribu mengungkapkan, BPN dalam waktu dekat akan mendata daerah rawan konflik pertanahan antara masyarakat dan instansi/ badan hukum. Pendataan itu dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya konflik berdarah seperti di Mesuji, Lampung, dan Sodong, Sumatera Selatan. ”Daerah rawan itu lebih-lebih pada karakteristik perkebunan besar yang ada HGU (hak guna usaha)- nya,” kata Ronsen, Selasa.
Selama ini, Ronsen mengakui, BPN sering didatangi masyarakat yang mengadukan konflik pertanahan. Kemarin, sejumlah orang dari Kabupaten Siak, Riau, pun mendatanginya untuk melaporkan perkembangan pelaksanaan hasil gelar perkara yang dilakukan di BPN.
Menurut Ronsen, konflik pertanahan tidak sama antara satu kasus dan yang lain. Tipe kasus beragam, mulai dari penguasaan dan kepemilikan tanah (tertinggi kasusnya), tumpang tindih izin lokasi, masalah batas, tanah ulayat, obyek land reform, pengadaan tanah, hingga lokasi imigrasi. ”Untuk masalah penanganan ini, kadang masyarakat salah membaca. Tak cuma masyarakat, instansi pemerintah pun kadang ikut salah. Seolah-olah harus bisa diselesaikan (BPN),” katanya.
Dalam beberapa kasus, BPN tidak dapat menyelesaikan konflik pertanahan secara tuntas karena keterbatasan kewenangan BPN. Ia mencontohkan konflik di Register 45 Mesuji, Lampung, ataupun Sodong. Kedua kasus itu tidak pernah dibawa ke BPN. BPN tidak punya kewenangan terkait kedua lahan itu karena masih masuk kawasan hutan di bawah Kementerian Kehutanan.
(BIL/ANA/FAJ)
Kompas, 28 Desember 2011
Menurut Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, dibandingkan tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah konflik agraria ataupun rakyat yang meninggal. Iwan menggambarkan, tingginya angka konflik agraria merupakan bentuk upaya perampasan hak rakyat atas tanah, baik oleh negara maupun pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa. KPA mencatat, tahun 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan tiga orang meninggal.
Dari data KPA, konflik agraria yang terjadi pada tahun 2011 melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2010, rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di wilayah tambak atau pesisir. Dari sebaran konflik, Jawa Timur sebagai wilayah yang paling banyak dengan 36 kasus, disusul Sumatera Utara (25), Sulawesi Tenggara (15), Jawa Tengah (12), Jambi (11), Riau (10), Sumatera Selatan (9), dan sisanya tersebar di sejumlah provinsi.
Iwan mengatakan, kasus Mesuji dan bentrok aparat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, yang mencuat akhir- akhir ini, hanya puncak gunung es dari fenomena konflik agraria di Indonesia.
Menurut Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Priatna, banyaknya jumlah konflik agraria, tetapi tak sebanding dengan respons pemerintah, mengundang keprihatinan elemen masyarakat sipil. Menurut Mukri, sejumlah elemen masyarakat sipil seperti Walhi, KPA, LBH, hingga akademisi dan sejumlah perguruan tinggi berinisiatif mendirikan Sekretariat Bersama yang akan menampung semua pengaduan masyarakat berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang timpang dan tak berkeadilan.
”Kami ingin, apa yang terjadi di Mesuji, Bima, dan banyak tempat lain tidak lagi dianggap angin lalu,” kata Mukri.
Didata
Secara terpisah, Direktur Konflik Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ronsen Pasaribu mengungkapkan, BPN dalam waktu dekat akan mendata daerah rawan konflik pertanahan antara masyarakat dan instansi/ badan hukum. Pendataan itu dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya konflik berdarah seperti di Mesuji, Lampung, dan Sodong, Sumatera Selatan. ”Daerah rawan itu lebih-lebih pada karakteristik perkebunan besar yang ada HGU (hak guna usaha)- nya,” kata Ronsen, Selasa.
Selama ini, Ronsen mengakui, BPN sering didatangi masyarakat yang mengadukan konflik pertanahan. Kemarin, sejumlah orang dari Kabupaten Siak, Riau, pun mendatanginya untuk melaporkan perkembangan pelaksanaan hasil gelar perkara yang dilakukan di BPN.
Menurut Ronsen, konflik pertanahan tidak sama antara satu kasus dan yang lain. Tipe kasus beragam, mulai dari penguasaan dan kepemilikan tanah (tertinggi kasusnya), tumpang tindih izin lokasi, masalah batas, tanah ulayat, obyek land reform, pengadaan tanah, hingga lokasi imigrasi. ”Untuk masalah penanganan ini, kadang masyarakat salah membaca. Tak cuma masyarakat, instansi pemerintah pun kadang ikut salah. Seolah-olah harus bisa diselesaikan (BPN),” katanya.
Dalam beberapa kasus, BPN tidak dapat menyelesaikan konflik pertanahan secara tuntas karena keterbatasan kewenangan BPN. Ia mencontohkan konflik di Register 45 Mesuji, Lampung, ataupun Sodong. Kedua kasus itu tidak pernah dibawa ke BPN. BPN tidak punya kewenangan terkait kedua lahan itu karena masih masuk kawasan hutan di bawah Kementerian Kehutanan.
(BIL/ANA/FAJ)
Kompas, 28 Desember 2011
No comments:
Post a Comment