Anugerah Perkasa, Bisnis Indonesia 1 Januari 2012
JAKARTA: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta segera untuk membentuk badan nasional untuk pembaruan agraria terkait dengan masih berlangsungnya konflik pertanahan di Indonesia dan kegagalan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan kegagalan penanganan konflik pertanahan selama ini menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik antar kementerian yang terkait dengan persoalan tersebut. Selain itu, sambungnya, otoritas agraria yakni BPN telah gagal menjalankan reformasi agraria.
"Oleh karena itu Presiden harus segera membentuk badan khusus itu. Badan tersebut juga langsung bertanggung jawab kepada Presiden dan memiliki tugas di antaranya merumuskan strategi pembaruan agraria dan mengkoordinasikan departemen yang terkait dengan agraria," ujar Iwan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Selain itu, paparnya, badan tersebut bertugas untuk menata struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya. Tak hanya itu, Iwan menambahkan, namun juga melakukan penanganan konflik-konflik agraria, baik warisan masa lalu, maupun konflik-konflik agraria yang mungkin akibat kegagalan BPN selama ini.
Dia menuturkan badan maupun komisi itu diusulkan bekerja hanya dalam jangka waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan pembaruan agraria. KPA menilai keanggotaan komisi ini wajib merepresentasikan unsur pemerintahan, unsur organisasi rakyat , organisasi sipil, dan pakar yang sejak awal memfokuskan dalam perjuangan dan tujuan-tujuan pembaruan agraria.
Terkait dengan pembaruan agraria, Iwan mengatakan, badan itu harus memiliki rencana pelaksanaan sistem pendataan objek dan subjek; data peruntukkan tanah; desain redistribusi tanah dalam skema rumah tangga pertanian, kolektif; desain larangan dan sanksi bagi penerima tanah yang menelantarkan dan atau menjual tanah.
Selain itu terdapat sanksi berat bagi pemalsu objek dan subjek pembaruan agraria; desain keterlibatan dan peran para pihak dalam pelaksanaan pembaruan agraria; serta desain dukungan akses infrastruktur dan keuangan setelah distribusi dilakukan.
“Kekerasan akan terus terjadi disebabkan oleh tatacara penyelesaian sengketa agraria nasional yang belum memiliki rumusan sistem politik agraria yang utuh serta kelembagaan yang secara khusus menyelesaikan masalah-masalah agraria yang terjadi,” papar Iwan.
Pada 2011, KPA mencatat sedikitnya konflik lahan terjadi di atas area seluas 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga sepanjang 2011.
Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas kasus adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infrastruktur (21 kasus), pertambangan (delapan kasus), dan pertambakan (satu kasus). Jumlah total kasus mencapai 163 atau naik dibandingkan dengan periode 2010 yakni 106 kasus.
Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengklaim berhasil menyelesaikan 5.666 kasus pertanahan hingga Oktober 2011 dengan pelbagai kriteria masalah. Walaupun demikian Komisi II DPR RI meminta lembaga itu memfokuskan pada persoalan lahan terkait dengan aset negara dan BUMN.
Kepala BPN Joyo Winoto mengatakan pihaknya memiliki lima kriteria dalam pengkajian dan penanganan kasus pertanahan hingga akhir Oktober lalu. Secara total, BPN telah menyelesaikan 5.666 kasus pertanahan di Indonesia.
“Kriteria I atau K1 adalah penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus sebanyak 2.073 kasus, K2 adalah penerbitan surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah sebanyak 101 kasus, K3 adalah pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sebanyak 952 kasus,” ujar Joyo seperti dalam laporan singkat DPR di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sementara dua kriteria lainnya adalah K4 yakni pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang proses perkara di pengadilan sebanyak 1.819 kasus dan K5 merupakan pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan yang penyelesaiannya bukan termasuk kewenangan BPN sebanyak 721 kasus.
No comments:
Post a Comment