Kompas Cetak, Kamis, 12 januari 2012
Jakarta, Kompas - Dorongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA bisa memperburuk konflik pertanahan di negeri ini. Konflik selama ini terjadi sebab UUPA tak dijalankan secara benar.
Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, pemahaman sebagian anggota DPR bahwa UUPA sebagai penyebab maraknya konflik (Kompas, 11/1) adalah penilaian yang ahistoris dan tak memahami persoalan agraria. Konflik pertanahan di Indonesia justru terjadi karena UUPA tak pernah dijalankan secara benar semasa Orde Baru, bahkan diselewengkan.
”Pemahaman ahistoris inilah yang membuat banyak regulasi terkait agraria dan sumber daya alam selama ini justru memperburuk keadaan,” papar Iwan di Jakarta, Rabu (11/1).
Konflik agraria, ujar Iwan, bersumber dari ketimpangan hak atas tanah. Hanya sedikit orang yang menguasai tanah, sementara mayoritas rakyat Indonesia tidak bertanah. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) 2010 menyebutkan, hanya sekitar 0,2 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional, 87 persen di antaranya berupa tanah. Data lainnya, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai swasta sengaja ditelantarkan. Sementara 85 persen petani Indonesia tidak bertanah alias buruh tani.
Iwan mengatakan, jika UUPA dijalankan, banyak konflik agraria teratasi dengan baik. Konflik pertanahan juga terjadi gara-gara tumpang tindih UU sektoral, seperti UU Kehutanan dan UU Sumber Daya Air, yang tidak mengacu pada UUPA.
Jika ingin menyelesaikan konflik, DPR seharusnya mengingatkan pemerintah agar menjalankan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan UUPA dan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001. UUPA mengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Malik Haramain, mengaku terkejut dengan adanya dorongan dari sebagian anggota DPR untuk merevisi UUPA. Ada pihak di DPR yang sengaja ingin mengobrak-abrik UUPA. Padahal, isi UUPA sangat pro rakyat.
Aksi serentak
Secara terpisah, saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Rabu, Juru Bicara Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia Henry Saragih menuturkan, Kamis ini akan ada aksi serentak yang digelar Sekretariat Bersama di Jakarta dan 27 provinsi lain serta di luar negeri. Aksi itu menuntut reforma agraria, pembaruan desa, dan keadilan ekologis menuju Indonesia berkeadilan sosial.
”Semula aksi akan kami gelar 10 Januari lalu. Karena banyak pihak yang bergabung, aksi kami tunda menjadi 12 Januari ini. Di Jakarta, peserta aksi berkumpul di Masjid Istiqlal, lalu ke Istana Negara dan ke DPR,” kata Henry. Ia didampingi anggota DPR, Budiman Sudjatmiko, dan pengurus organisasi massa lainnya.
Menurut Henry, yang juga Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, aksi akan diikuti sekitar 15.000 orang dari berbagai unsur masyarakat. (bil/lok/isw/nta)
Jakarta, Kompas - Dorongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA bisa memperburuk konflik pertanahan di negeri ini. Konflik selama ini terjadi sebab UUPA tak dijalankan secara benar.
Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, pemahaman sebagian anggota DPR bahwa UUPA sebagai penyebab maraknya konflik (Kompas, 11/1) adalah penilaian yang ahistoris dan tak memahami persoalan agraria. Konflik pertanahan di Indonesia justru terjadi karena UUPA tak pernah dijalankan secara benar semasa Orde Baru, bahkan diselewengkan.
”Pemahaman ahistoris inilah yang membuat banyak regulasi terkait agraria dan sumber daya alam selama ini justru memperburuk keadaan,” papar Iwan di Jakarta, Rabu (11/1).
Konflik agraria, ujar Iwan, bersumber dari ketimpangan hak atas tanah. Hanya sedikit orang yang menguasai tanah, sementara mayoritas rakyat Indonesia tidak bertanah. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) 2010 menyebutkan, hanya sekitar 0,2 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional, 87 persen di antaranya berupa tanah. Data lainnya, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai swasta sengaja ditelantarkan. Sementara 85 persen petani Indonesia tidak bertanah alias buruh tani.
Iwan mengatakan, jika UUPA dijalankan, banyak konflik agraria teratasi dengan baik. Konflik pertanahan juga terjadi gara-gara tumpang tindih UU sektoral, seperti UU Kehutanan dan UU Sumber Daya Air, yang tidak mengacu pada UUPA.
Jika ingin menyelesaikan konflik, DPR seharusnya mengingatkan pemerintah agar menjalankan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan UUPA dan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001. UUPA mengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Malik Haramain, mengaku terkejut dengan adanya dorongan dari sebagian anggota DPR untuk merevisi UUPA. Ada pihak di DPR yang sengaja ingin mengobrak-abrik UUPA. Padahal, isi UUPA sangat pro rakyat.
Aksi serentak
Secara terpisah, saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Rabu, Juru Bicara Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia Henry Saragih menuturkan, Kamis ini akan ada aksi serentak yang digelar Sekretariat Bersama di Jakarta dan 27 provinsi lain serta di luar negeri. Aksi itu menuntut reforma agraria, pembaruan desa, dan keadilan ekologis menuju Indonesia berkeadilan sosial.
”Semula aksi akan kami gelar 10 Januari lalu. Karena banyak pihak yang bergabung, aksi kami tunda menjadi 12 Januari ini. Di Jakarta, peserta aksi berkumpul di Masjid Istiqlal, lalu ke Istana Negara dan ke DPR,” kata Henry. Ia didampingi anggota DPR, Budiman Sudjatmiko, dan pengurus organisasi massa lainnya.
Menurut Henry, yang juga Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, aksi akan diikuti sekitar 15.000 orang dari berbagai unsur masyarakat. (bil/lok/isw/nta)
No comments:
Post a Comment