Kompas Cetak, Sabtu, 14 Januari 2012
Anggota Komisi II DewanPerwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Malik Haramain, mengakutak habis pikir, ada rekannya sesame wakil rakyat yang memiliki pikiranmerevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokokAgraria atau UUPA. Dengan nada berang, ia menuding koleganya itu ditunggangikepentingan kapitalis karena ingin meliberalisasi tanah di Indonesia.
Staf khusus Kepala BadanPertanahan Nasional (BPN), Usep Setiawan, menyebut, justru di masa reformasiini UUPA mendapatkan tantangan paling berat. Berbagai upaya menghapus, dalambahasa halus merevisi UUPA, wakil rakyat mengambil jalan melingkar. Merekamencoba memereteli UUPA sebagai paying besar ketentuan perundangan yang terkaitagraria. Lalu, muncullah UU No.14/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-pulau Kecil, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,hingga UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Usep menyebut berbagai UU itu bagian dari kebijakan sektoralisme negaradalam mengatur persoalan agraria. Tak hanya menjadikan persoalan agraria dalamkapling sektoral, UU itu juga menggiring terjadinya liberalisme. Berbagaiproduk legislasi yang liberalistik disimpulkan bukan solusi atas akar soalagraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintastataran yang menempatkan rakyat sebagai korban (Usep, 2010).
Lihatlah bagaimana UU Penanaman modal yang menurut Usep secara telanjangmenunjukkan komitmen ideologis di lembaga eksekutif dan legislatif untukmengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hakatas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor nyaris diberikan setengahabad.
Bandingkan bagaimana penguasaan rakyat atas tanah di negerinya sendiri.Faktanya, hingga hari ini hanya ada sedikit orang yang menguasai tanah,sementara mayoritas rakyat tidak bertanah. Data BPN tahun 2010 menyebutkan, 0,2persen orang Indonesia menguasai 56 persen seluruh aset nasional, yang 87persen di antara aset itu berupa tanah. Data lainnya menyebutkan, 7,2 jutahektar tanah yang dikuasai swasta secara sengaja ditelantarkan. Adapaun 85 persen petani Indonesia adalahpetani gurem dan petani tidak bertanah alias buruh tani.
Contoh lain diutarakan Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium PembaruanAgraria (KPA) Iwan Nurdin. UU Kehutanan, misalnya, menghidupkan kembali asas domein verklaring (wilayah yang takdapat dibuktikan kepemilikan secara formal dinggap dipunyai oleh negara).Padahal, hukum kolonial itu dihapus pada konsiderans UUPA.
“UU Kehutanan sepihak menunjuk 70 persen daratan Indonesia sebagai kawasankehutanan, dan jika rakyat tidak bisa membuktikan hak formalnya, kawasan itudikukuhkan sebagai kawasan hutan. UU Kehutanan jelas bertentangan secarakeseluruhan karena membatasi wewenang UUPA hanya berlaku di luar kawasanhutan,” katanya.
Contoh lain, dalam Pasal 6 UUPA menyebutkan, tanah harus memiliki fungsisosial. Pasal 7 dengan tegas melarang kepemilikan tanah yang melampaui batas.“UU Perkebunan secara keseluruhan justru tidak membatasi kepemilikan pengusahaperkebunan sehingga perusahaan dan grupnya bisa mempunyai jutaan hektar kebunsawit. Pasal 20 UU Perkebunan memperbolehkan adanya pam swakarsa sehinggamendorong terjadiya konflik,” kata Iwan.
Presiden Soekarno dan anggota DPR pada waktu itu, yang menghasilkan UUPA,sesungguhnya dengan sangat brillan dan visioner melihat persoalan bangsa inidari sisi agraria. Dalam penjelasan umum, UUPA menilai pengabaian hak rakyatdan konflik agraria terjadi karena struktur agraria warisan kolonialmemberlakukan hukum agraria Belanda AgrarischeWet tahun 1870 hingga sistem tanam paksa di masa kolonial.
Untuk menyelesaikan persoalan agraria warisan kolonial, UUPA memandatkanpada negara agar melakukan pembaruan agraria. Apa saja langkahnya? UUPAmengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Dengan PP ini,pemerintah wajib membentuk panitia landreform dari pusat sampai desa untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkantanah dan ganti rugi bagi yang tanahnya diambil negara untuk diredistribusikan.
Untuk menentukan obyek tanah yang akan dibagikan. PP Nomor 10 Tahun 1961mengatur pendaftaran tanah untuk menemukan tanah kelebihan maksimum, tanahtelantar, tanah yang tidak dikerjakan langsung oleh pemiliknya (absentee), dan tanah negara yang bisadiberikan kepada rakyat.
”Agar mencegah konflik dalam pelaksanaanya, dibentuk pengadilan landreform. Untuk mencegah rakyat terjerembab dalam pertanian skala kecil dankurang berkembang, hak guna usaha dalam UUPA diprioritaskan pada organisasipetani dan koperasi. Jadi, desain UUPA dalam soal hak guna usaha (HGU) adalahrakyat, bukan perusahaan seperti sekarang,” kata Iwan.
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah jangan memancing kemarahan rakyatdengan terus mengangkangi hak mereka atas tanah. Kamis (12/1) sore, merekamenjebol pagar yang melindungi gedung DPR. Tak mustahil, mereka juga bisamenjebol dukungan pada kepemimpinan nasional.
JAMINAN BAGI RAKYAT
DALAM UU NOMOR 5 TAHUN 1960 (UUPA)
Pasal 9 Ayat 2
Tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untukmemperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, bagi dirisendiri maupun keluarganya.
Pasal 13
Pemerintah berusaha agar usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara sertakepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, denganmemberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang
Anggota Komisi II DewanPerwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Malik Haramain, mengakutak habis pikir, ada rekannya sesame wakil rakyat yang memiliki pikiranmerevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokokAgraria atau UUPA. Dengan nada berang, ia menuding koleganya itu ditunggangikepentingan kapitalis karena ingin meliberalisasi tanah di Indonesia.
Staf khusus Kepala BadanPertanahan Nasional (BPN), Usep Setiawan, menyebut, justru di masa reformasiini UUPA mendapatkan tantangan paling berat. Berbagai upaya menghapus, dalambahasa halus merevisi UUPA, wakil rakyat mengambil jalan melingkar. Merekamencoba memereteli UUPA sebagai paying besar ketentuan perundangan yang terkaitagraria. Lalu, muncullah UU No.14/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-pulau Kecil, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,hingga UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Usep menyebut berbagai UU itu bagian dari kebijakan sektoralisme negaradalam mengatur persoalan agraria. Tak hanya menjadikan persoalan agraria dalamkapling sektoral, UU itu juga menggiring terjadinya liberalisme. Berbagaiproduk legislasi yang liberalistik disimpulkan bukan solusi atas akar soalagraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintastataran yang menempatkan rakyat sebagai korban (Usep, 2010).
Lihatlah bagaimana UU Penanaman modal yang menurut Usep secara telanjangmenunjukkan komitmen ideologis di lembaga eksekutif dan legislatif untukmengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hakatas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor nyaris diberikan setengahabad.
Bandingkan bagaimana penguasaan rakyat atas tanah di negerinya sendiri.Faktanya, hingga hari ini hanya ada sedikit orang yang menguasai tanah,sementara mayoritas rakyat tidak bertanah. Data BPN tahun 2010 menyebutkan, 0,2persen orang Indonesia menguasai 56 persen seluruh aset nasional, yang 87persen di antara aset itu berupa tanah. Data lainnya menyebutkan, 7,2 jutahektar tanah yang dikuasai swasta secara sengaja ditelantarkan. Adapaun 85 persen petani Indonesia adalahpetani gurem dan petani tidak bertanah alias buruh tani.
Contoh lain diutarakan Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium PembaruanAgraria (KPA) Iwan Nurdin. UU Kehutanan, misalnya, menghidupkan kembali asas domein verklaring (wilayah yang takdapat dibuktikan kepemilikan secara formal dinggap dipunyai oleh negara).Padahal, hukum kolonial itu dihapus pada konsiderans UUPA.
“UU Kehutanan sepihak menunjuk 70 persen daratan Indonesia sebagai kawasankehutanan, dan jika rakyat tidak bisa membuktikan hak formalnya, kawasan itudikukuhkan sebagai kawasan hutan. UU Kehutanan jelas bertentangan secarakeseluruhan karena membatasi wewenang UUPA hanya berlaku di luar kawasanhutan,” katanya.
Contoh lain, dalam Pasal 6 UUPA menyebutkan, tanah harus memiliki fungsisosial. Pasal 7 dengan tegas melarang kepemilikan tanah yang melampaui batas.“UU Perkebunan secara keseluruhan justru tidak membatasi kepemilikan pengusahaperkebunan sehingga perusahaan dan grupnya bisa mempunyai jutaan hektar kebunsawit. Pasal 20 UU Perkebunan memperbolehkan adanya pam swakarsa sehinggamendorong terjadiya konflik,” kata Iwan.
Presiden Soekarno dan anggota DPR pada waktu itu, yang menghasilkan UUPA,sesungguhnya dengan sangat brillan dan visioner melihat persoalan bangsa inidari sisi agraria. Dalam penjelasan umum, UUPA menilai pengabaian hak rakyatdan konflik agraria terjadi karena struktur agraria warisan kolonialmemberlakukan hukum agraria Belanda AgrarischeWet tahun 1870 hingga sistem tanam paksa di masa kolonial.
Untuk menyelesaikan persoalan agraria warisan kolonial, UUPA memandatkanpada negara agar melakukan pembaruan agraria. Apa saja langkahnya? UUPAmengamanatkan pembaruan agraria melalui Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Dengan PP ini,pemerintah wajib membentuk panitia landreform dari pusat sampai desa untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkantanah dan ganti rugi bagi yang tanahnya diambil negara untuk diredistribusikan.
Untuk menentukan obyek tanah yang akan dibagikan. PP Nomor 10 Tahun 1961mengatur pendaftaran tanah untuk menemukan tanah kelebihan maksimum, tanahtelantar, tanah yang tidak dikerjakan langsung oleh pemiliknya (absentee), dan tanah negara yang bisadiberikan kepada rakyat.
”Agar mencegah konflik dalam pelaksanaanya, dibentuk pengadilan landreform. Untuk mencegah rakyat terjerembab dalam pertanian skala kecil dankurang berkembang, hak guna usaha dalam UUPA diprioritaskan pada organisasipetani dan koperasi. Jadi, desain UUPA dalam soal hak guna usaha (HGU) adalahrakyat, bukan perusahaan seperti sekarang,” kata Iwan.
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah jangan memancing kemarahan rakyatdengan terus mengangkangi hak mereka atas tanah. Kamis (12/1) sore, merekamenjebol pagar yang melindungi gedung DPR. Tak mustahil, mereka juga bisamenjebol dukungan pada kepemimpinan nasional.
JAMINAN BAGI RAKYAT
DALAM UU NOMOR 5 TAHUN 1960 (UUPA)
Pasal 9 Ayat 2
Tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untukmemperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, bagi dirisendiri maupun keluarganya.
Pasal 13
Pemerintah berusaha agar usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara sertakepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, denganmemberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang
No comments:
Post a Comment