February 28, 2012

Pansus Konflik Agraria dan Kejahatan Bisnis Perkebunan

Oleh: Iwan Nurdin

Beberapa kalangan terus mendesak agar DPR-RI segera membentuk Panitia Khusus DPR tentang Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (Pansus Agraria). Menyusul meletupnya konflik agraria di berbagai wilayah. Kabarnya, saat ini sudah 72 anggota DPR sepakat untuk pansus ini.

Bagi DPR, yang terus menerus disorot dengan berbagai skandal anggaran, usulan masyarakat agar parlemen membentuk pansus untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada parlemen. Selain itu, untuk meluruskan “ilusi” pemerintah yang mengharu biru dengan pikirannya sendiri soal keberhasilan ekonomi dan kepercayaan investasi terhadap Indonesia yang terus membaik.

Bagi para petani, langkah pansus sendiri adalah langkah lari “marathon” yang melelahkan. Sebab, persoalan petani terkait ketiadaan tanah, konflik agraria sesungguhnya secara peraturan sudah diberikan jalan keluar yaitu: pelaksanaan reforma agrarian sesuai dengan UUPA 1960 dan Tap MPR Np.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Artinya, jika alam pikiran DPR sejiwa dengan rakyat yang diwakilinya, pekerjaan parlemen adalah mendesak pemerintah menjalankan pelaksanaan reforma agrarian sebagai kewajiban pemerintah menjalankan Konstitusi, Tap MPR dan UUPA.

Agar pansus berjalan efektif dan tidak bernasib seperti aneka pansus sebelumnya yang berujung pada kompromi dan politik dagang sapi, maka pansus harus memahami dengan benar akar masalah konflik agraria di Indonesia. Bahkan, melalui pansus ini parlemen dan pemerintah harus mulai menyadari betapa kejahatan bisnis agraria di Indonesia sangat primitif dan dilindungi oleh hukum.

Salah satu tujuan pansus diusulkan para petani yang sedang berkonflik tersebut adalah memastikan DPR mendesak penyelesaian ribuan konflik agrarian dan merekomendasikan pemerintah segera menjalankan pembaruan agraria sesuai dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Untuk sampai kepada rekomendasi tersebut, DPR harus dapat memahami beragam jenis konflik agraria yang berjenjang dan model-model kejahatan bisnis perkebunan, kehutanan, serta bisnis pertambangan yang selama ini melahirkan konflik agraria. Terlebih konflik perkebunan.

Salah satu titik konflik agraria tertua dan terbanyak adalah konflik di wilayah perkebunan. Mulai dari konflik agraria perkebunan warisan kolonial Belanda hingga perkebunan inti plasma yang selama ini di dorong oleh pemerintah.

Konflik Perkebunan
Konflik perkebunan warisan kolonial banyak terdapat di Jawa dan Sumatera Utara bagian Timur. Perkebunan tersebut saat ini mayoritas dikelola oleh BUMN perkebunan. Mayoritas BUMN mendapatkan perkebunan karena nasionalisasi perkebunan Belanda pada tahun 1950-an. Sementara, kita tahu bahwa perkebunan tersebut dahulunya dibangun dengan cara merampas tanah-tanah rakyat. Padahal, area PTPN adalah titik paling sulit dalam menyelesaikan sengketa agrarian akibat berbagai instansi yang mesti dilibatkan yakni Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, BPN dan Pemda. Dan, koordinasi kelembagaan antar instansi ini untuk secara khusus membicarakan penyelesaian konflik agraria hamper dipastikan tidak pernah ada.

Selain itu, Pansus DPR juga harus segera mengevaluasi Kementerian Pertanian, dalam hal ini Dirjen Perkebunan, Dinas Pertanian atau Perkebunan yang ada di Pemerintah Daerah. Karena, jajaran isntansi ini hampir tidak pernah telihat turun tangan secara aktif untuk menghentikan konflik-konflik agraria yang ada disektor perkebunan.

Pada perkebunan yang didirikan setelah Orde Baru berkuasa hingga sekarang, penulis melihat ada beberapa fase-fase konflik yang harus diurai sehingga praktek bisnis jahat oleh perkebunan nakal bisa terlihat.

Pertama, fase normative. Fase ini berawal dari pemberian izin lokasi, izin prinsip perkebunan yang diberikan oleh Bupati, Gubernur yang kerapkali bertabrakan dengan wilayah kelola masyarakat. Sementara, setelah mendapatkan izin, kerapkali perusahaan perkebunan memaksa rakyat menyerahkan lahan dengan memberikan ganti kerugian tidak wajar. Setelah proses ini, perusahaan mendaftarkan tanah sebagai HGU kepada BPN. Kerapkali, perusahaan mendapatkan HGU dengan proses yang tidak wajar dan cacat prosedur sehingga areal HGU mencaplok lahan-lahan warga.

Kedua, fase pembangunan perkebunan. Konflik jenis ini diawali perusahaan perkebunan yang mengajak masyarakat untuk bermitra dengan masyarakat. Awalnya, masyarakat menyerahkan lahan untuk dibangun kebun plasma oleh perusahaan. Sebelum melangkah kepada pembangunan, perusahaan melakukan MoU dengan masyarakat.

Karena absennya pemerintah daerah dan dinas pertanian dalam melindungi warga, kerapkali perjanjian kerjasama sangat merugikan petani. Akibatnya, sering ditemukan tanah-tanah milik masyarakat yang diserahkan kepada perusahaan perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru dimasukan dalam sertifikat HGU perusahaan.

Kondisi tersebut melahirkan fase konflik selanjutnya, yakni fase konversi kebun plasma. Banyak ditemukan bahwa petani banyak menerima kebun plasma justru lahannya jauh dari lokasi rumah dan sarana transportasi. Selain itu, banyak petani menerima areal yang tanahnya kurang subur, luas areal tidak sesuai, daftar penerima plasma fiktif, bibit kualitas asalan, jumlah pokok tanaman yang sedikit, hingga jumlah kredit yang melambung. Kasus di Sei Sodong di Mesuji Sumsel adalah contoh nyata jenis konflik fase ini.

Selanjutnya, fase konflik perkebunan fase ke empat yakni fase produksi dikarenakan oleh banyaknya pemotongan yang dilakukan oleh perusahaan kepada petani plasma. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menguraikan bahwa besaran pemotongan atau sortasi yang sering dilakukan dalam perkebunan sawit hingga sebesar empat persen setiap kali panen.

Jadi, praktek jahat perkebunan nakal selama ini banyak dikarenakan oleh ketiadaan pengawasan dalam bisnis perkebunan selama ini. Oleh sebab itu, audit legal dan sosial ekonomi terhadap kehadiran perkebunan skala besar wajib dilakukan oleh pansus konflik agrarian. Sehingga, ada rekonstruksi pembangunan perkebunan yang lebih berkadilan di masa depan dan menjamin keadilan agraria. Rekonstruksi tersebut adalah bagian dari pembaruan agraria.

Jakarta 17 Januari 2011

Iwan Nurdin

February 27, 2012

Sekelumit Soal Tanah Adat

Saya mencoba menuliskan pandangan pendek saya tentang penyelesaian persoalan tanah adat yang menjadi tanah-tanah perkebunan.

Konflik tanah ulayat banyak diakibatkan oleh diambilnya tanah-tanah tersebut yang dimiliki oleh pengusaha perkebunan dan kehutanan.Terkait dengan Perkebunan, banyak tanah-tanah tersebut diambil oleh perusahaan Belanda pada masa kolonial. Tanah-tanah tersebut diambil secara paksa oleh perusahaan kolonial dengan mengacu pada Domein Verklaring, yaitu tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom-nya (hak milik) oleh masyarakat dianggap sebagai tanah negara.

Dengan dasar tersebut, maka tanah-tanah milik ulayat masyarakat adat tersebut dianggap sebagai tanah negara (pemerintah Hindia Belanda), sehingga perusahaan perkebunan menyewa kepada pemerintah dengan Hak Erpacht selama 75 tahun. Sehingga, banyak berdiri perusahaan-perusahaan perkebunan di Jawa, Sumatera Tmur dsb.

Selain itu, ada juga perusahaan perkebunan era kolonial menyewa langsung tanah-tanah masyarakat adat, menyewa tanah-tanah kesultanan untuk dijadikan perkebunan.

Namun, pada masa kemerdekaan, tanah-tanah tersebut tidak dikembalikan kepada masyarakat. Justru, tanah-tanah perkebunan tersebut dinasionalisasi menjadi perusahaan perkebunan yang kemudian kita kenal sebagai PTPN. Sehingga, tanah-tanah PTPN eks perkebunan kolonial tersebut sebagian besar berdiri di atas klaim-klaim tanah masyarakat adat dan bahkan klaim tanah-tanah milik kerajaan/kesultanan.

Bagaimana menyelesaikan tanah-tanah tersebut, khususnya tanah yang dahulunya disewa oleh perkebunan Belanda kepada masyarakat adat, atau dirampas oleh perkebunan Belanda.

Pada masa kemerdekaan, UUPA 1960 mengatur dalam aturan konversi, bahwa tanah-tanah eks erpfacht tersebut harus segera diselesaikan selambat-lambatnya 20 tahun setelah diundangkannya UUPA 1960. Sehingga, pada tahun 1980, seharusnya proses mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dijadikan perkebunan sudah diselesaikan. Sayangnya, justru tanah-tanah tersebut dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN yang artinya tanah rakyat tidak yang dirampas pada masa kolonial tidak dikembalikan.

Oleh karena itu, jika saat ini hendak diselesaikan melalui mekanisme politik nasional yang mewadahi dan menyelesaikan klaim-klaim masyarakat atas tanah ini.

Sementara, untuk tanah-tanah adat yang dahulunya disewa oleh perkebunan Belanda kemudian menjadi PTPN dan telah diberi HGU, maka harus ditelusuri dokumen tersebut untuk menjadi dasar bagi pengembalian tanah rakyat.

Selain itu, ada juga tanah-tanah milik masyarakat adat yang diambil alih oleh perkebunan swasta dan negara pada masa kemerdekaan. mereka diminta menyerahkan tanah-tanah adat secara adat dengan proses ganti rugi tanaman. selanjutnya, tanah-tanah tersebut dijadikan HPL (Hak Pengelolaan ) atas nama Pemda. Kemudian, di atas HPL tersebut diterbitkan HGU kepada perusahaan perkebunan.

Setelah HGU habis, ternyata tanah tersebut tidak kembali kepada masyarakat adat, namun kembali kepada Pemda sebagai pemegang HPL. Oleh sebab itu, menurut saya, kedepan seharusnya HPL tidak atas nama Pemda, namun atas nama masyarakat adat setempat.  Sementara untuk menyelesaikan tanah-tanah adat yang sudah menjadi HPL harus dikembalikan segera kepada masyarakat adat

Sementara, untuk menyelesaikan tanah-tanah adat yanga ada saat ini dan belum terkonversi menjadi wilayah-wilayah lain milik pemerintah dan perusahaan, pemerintah harus segera membuat pendaftaran tanah secara aktif wilayah-wilayah masyarakat adat.

Demikian pandangan awal saya. Besok disambung lagi

February 10, 2012

Pemerintah Tak Sentuh Akar Konflik


Kompas    Rabu, 08 Pebruari 2012
Meski eksesif dan telah mengakibatkan meningkatnya korban jiwa di kalangan rakyat, pemerintah tak pernah mau serius menyentuh akar konflik agraria. Bahkan, upaya penyelesaian konflik melalui lembaga resmi seperti Badan Pertanahan Nasional, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hingga kementerian terkait selalu menemui jalan buntu. Konflik agraria terus terjadi.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin di Jakarta, Selasa (7/2), menyebut, pemerintah tak pernah mau serius menyetuh akar konflik agraria, yakni ketimpangan penguasaan lahan. Pemerintah, ujar Iwan, tak pernah mau melakukan pembaruan agraria, yang salah satu agenda utamanya menata kembali penguasaan lahan dan mendistribusikannya kepada rakyat.

Akibatnya, setiap kali rakyat mengadukan persoalan tanah, tak ada lembaga resmi yang bisa menyelesaikannya. Dia mencotohkan, untuk konflik di kawasan kehutanan, terdapat dua tempat di Kementerian Kehutanan yang menangani konflik tanah di kawasan hutan, yaitu steering committee (SC) konflik pada Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dan tim resolusi konflik yang dibentuk Menteri Kehutanan.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P yang juga inisiator Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR, Budiman Sudjatmiko. Menurut Budiman, salah satu tujuan Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 adalah melaksanakan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Karena itu, pembentukan Pansus bisa memberi rekomendasi kepada DPR dan Presiden untuk memprioritaskan pembahasan RUU menjadi UU yang memberi perlindungan efektif terhadap hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan.

Sebelumnya, mantan penasihat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji, Ifdhal Kasim, mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera melaksanakan rekomendasi kebijakan TGPF Mesuji.

Selain memberikan rekomendasi kebijakan, TGPF juga memberikan rekomendasi kasus. Ada tujuh rekomendasi, yaitu penuntasan penegakan hukum pelaku kekerasan, selidiki dugaan pelanggaran HAM dalam kasus kematian Made Aste (warga), berikan bantuan kepada korban luka yang masih memerlukan perawatan medis, pemda diminta membantu anak korban terutama di bidang pendidikan.

Rekomendasi lainnya adalah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberi perlindungan kepada saksi dan korban, pemerintah harus menerbitkan badan usaha jasa pengamanan dan perusahaan penguna pengamanan itu, dan langkah penegakan hukum kepada pembuat dan pengedar potongan video kekerasan yang tidak sesuai temuan fakta TGPF.

February 7, 2012

Presiden diminta turun tangan atasi sengketa lahan



Oleh: ANUGERAH PERKASA

JAKARTA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak untukmemimpin langsung penyelesaian konflik agraria di Tanah Air, menyusul meningkatnya korban maupun kerugian yang muncul dari sengketa tanah yang tak kunjung selesai.

Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan keresahan masyarakat mengenai konflik agraria sudah mencapai litik ekstrem yakni telah jatuhnya korban.
Kasus pembakaran kantor Bupati Bima. Lombok, NTB pada 26 Januari 2012 dinilai sebagai salah satu bentuk perlawanan masyarakat.

"Saatnya Presiden memimpin langsung penyelesaian konflik agraria dan menjalankan reformasi agraria yang sela ma inidijanjikan. Apalagi keresahan dan perlawanan masyarakat sudah mengambil bentuk paling ekstrem," ujarnya kemarin.

Mengutip Antam, puluhan ribu warga yang berunjuk rasa di Kantor Bupati Bima pada.pekan lalu terkait dengan reaksi atas penanganan insiden di Pelabuhan Sape, 24 Desember 2011, masyarakat mengamuk danmembakar kantor pemerintah daerah itu.

Selain bangunan, sepeda motor dan kendaraan lainnya di kompleks Kantor Bupati Bima itu juga dibakar massa. Demonstran mengamuk karena dihadang oleh aparat kepolisian ketika hendak masuk kompleks kantor bupati itu.

Aksi unjuk rasa yang berujung pembakaran itu terkait dengan tuntutan pembebasan 56 warga Lambu dan Sape yang sebelumnya berunjuk rasa di Pelabuhan Sape, dan tengah ditahan aparat kepolisian untuk diproses hukum.

Tuntutan lainnya yakni pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) yang dikantongi oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), sebagaimana tuntutan dalam aksi sebelumnya.
Iwan menuturkan dengan kejadian tersebut, pemerintah seolah-olah membutuhkan sinyal yang lebih keras lagi dalam penyelesaian konflik agraria. "Ini terutama di wilayah tambang, kebun dan kehutanan. Seolah-olah pemerintah baru akan bergerak jika sudah jatuh korban jiwa dan kemarahan yang meluas," katanya.
KPA mencatat pada tahun lalu, sedikitnya konflik lahan terjadi di area seluas 472.084,44 hektare de-ngan melibatkan 69.975 kepala keluarga.

Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infra-stnikiur (21 kasus), pertambangan (delapan kasus), dan pertambakan (satu kasus). Total kasus mencapai 163, meningkat dibandingkan dengan 106 kasus pada 2010.

Fase dalam konflik agraria, salah satunya adalah konflik izin lokasi oleh pemerintah daerah dan penerbitan hak guna usaha (HGU) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sebelumnya, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mendesak DPR segera membentuk pansus penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam, tanpa melakukan revisi terhadap UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.


Dia menegaskan pansus juga harus bersifat lintas komisi karena konflik agraria ini tidak hanya melibatkan satu sektor, tetapi antarsektor. "Masalah utama agraria di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar," ujarnya.

Penguasa Senang Salah Gunakan Kekuasaan

JAKARTA, KOMPAS.com - Indra, Anggota Tim Reformasi Agraria Fraksi Partai Keadilan Sejahetera di Jakarta, Senin (6/2/2012) menilai, menggunungnya persoalan sengketa agraria tersebut disebabkan oleh tidak sinkronnya perundang - undangan terkait agraria dan adanya penyalahgunaan kekuasan oleh penguasa.
Sengketa agraria yang mencuat dan menjadi perhatian publik akhir-akhir ini, seperti kasus Mesuji di Lampung (warga adat dan PT Silva Inhutani di tanah register 45 di kawasan Way Buayaserta warga Desa Sri Tanjung, Nipah Kuning, dan Keagungan Dalam versus PT Barat Selatan Makmur Investindo), Mesuji di Sumatera Selatan (di derah desa sungai sodong OKI bersengketa dengan PT SWA).

Kasus di Riau, penembakan enam masyarakat oleh Brimob dari Polda Sumatera Utara (warga desa Batang Kumuh, kecamatan Tambusai, kabupaten Rokan Hulu, Riauversus PT Mazumah Agro Indonesia), Pulau Padang yang sekarang sedang kemah di depan DPR (antara warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti dan PT RAPP), Bima, dan Papua.

Semua kasus ini merupakan puncak gunung es dari Sengketa Agraria yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Tahun 2011 lalu, Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin di Kompas, Senin (5/2) mengatakan, terjadi konflik agraria sebanyak 69.975 keluarga yang melibatkan areal seluas 472.048,44 hektar lahan.

Dalam analisis substansi hukum, Indra menganggap perlu sinkronisasi UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agaraia dengan UU lainnya agar bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah.
"Berbicara substansi banyak sekali benturan antara satu UU dengan UU lainnya, seperti UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kehutanan, UU perkebunan,UU Perikanan, UU Migas , UU Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil " jelasnya.

Dalam hal pelaksanaan peraturan perundang - undangan yang saling berbenturan tersebut diperparah dengan sikap dan mentalitas Instansi terkait, mulai dari BPN, Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, dan Pemerintah Daerah yang kerapkali menjadi alat bagi pegusaha dalam mengembangkan usahanya, yang tentu akan mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat kecil.
Tidak heran jika tanah ulayat, tanah adat, dan bahkan tanah bersertifikatpun dirampas dan diabaikan eksistensinya demi kepentingan para pemodal dan dengan dalih investasi.

"Padahal kita mengetahui secara nyata Spirit Pengelolaan agrarian yang baik dan benar telah dituntun Pasal 33ayat 3 UUD 1945 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara merujuk pada prinsip pengayoman oleh instansi pemerintah terkait, bukan memanfaatkan kekuasaan untuk menyengsarakan rakyat dengan mengambil dan menyerahkan kepada investor asing maupun dalam negeri," ujarnya. 

Konflik Agraria Paling Eksesif

Jakarta, Kompas - Konflik agraria merupakan jenis konflik horizontal yang paling eksesif saat ini. Tingkat keragaman konflik dan jumlah korbannya juga tercatat paling tinggi. Potensi konflik agraria yang sangat besar meliputi sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.
Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengungkapkan, potensi konflik agraria bakal semakin besar ke depan karena pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Pembangunan proyek infrastruktur bakal menggunakan UU itu ketika harus berhadapan dengan tuntutan rakyat atas tanah yang dijadikan lokasi proyek.
Menurut Iwan, wajah paling buruk dalam konflik agraria terdapat pada kawasan pertambangan mineral dan batubara. ”Sebab, peraturan yang ada hanya memungkinkan rakyat keluar dari area izin usaha pertambangan dengan pola ganti kerugian. Tidak ada celah rakyat untuk terlibat sedikit pun. Pesisir selatan Jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Maluku, dan Papua adalah wilayah utama konflik pertambangan,” kata Iwan di Jakarta, Minggu (5/2).
Data KPA menyebutkan, sedikitnya 64,2 juta hektar tanah atau 33,7 persen daratan di Indonesia telah diberikan kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara dalam bentuk izin konsesi. Menurut Iwan, mengutip data Jaringan Tambang, data ini belum termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 41.750.107 hektar, kontrak karya (KK) total luasan 22.764.619,07 hektar, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) seluas 7.088.078 hektar.
Selain persoalan konsesi pertambangan mineral dan migas, menurut Iwan, konflik agraria juga terjadi karena penunjukan kawasan kehutanan oleh pemerintah. Iwan mengatakan, pemerintah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan seluas 136,94 juta hektar atau 69 persen dari total luas wilayah Indonesia. ”Padahal, sampai hari ini, kawasan yang ditunjuk sepihak tersebut menyisakan 121,74 juta hektar atau 88 persen kawasan hutan yang belum ditata batasnya. Sedikitnya terdapat 19.000 desa definitif yang masuk ke dalam kawasan hutan yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak konstitusionalnya seperti pelayanan sertifikat pertanahan, pengembangan ekonomi melalui infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, pendidikan, dan kesehatan,” kata Iwan.
Dia mengatakan, hampir semua wilayah Nusantara, kecuali Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, mempunyai masalah dengan konflik kawasan kehutanan dengan masyarakat.
Jenis konflik agraria lainnya yang sampai sekarang terus terjadi adalah konflik di kawasan perkebunan. Menurut Iwan, konflik perkebunan merupakan konflik paling tua dan paling banyak memakan korban jiwa. Disebut paling tua karena sebagian konflik perkebunan merupakan warisan kolonial seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan sebagian Pulau Jawa. Konflik perkebunan jenis baru terjadi karena pembukaan besar-besaran kawasan perkebunan seperti di Kalimantan dan Papua. Konflik jenis baru ini terjadi sejak fase perizinan hingga bagi hasil produksi antara perusahaan inti dan plasma (rakyat).
Menurut Iwan, konflik agraria tak pernah bisa terselesaikan hingga saat ini karena pemerintah tak punya komitmen kuat mengatasi persoalan utamanya. Pemerintah, lanjut Iwan, selalu abai dengan hak-hak rakyat. Konflik agraria yang terjadi baru-baru ini seperti di Mesuji dan Bima tak diselesaikan dengan menggunakan perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA mengamanatkan dilakukannya pembaruan agraria, yang salah satu intinya meredistribusikan lahan kepada rakyat dan menata kembali penguasaan atas lahan. (BIL)