February 27, 2012

Sekelumit Soal Tanah Adat

Saya mencoba menuliskan pandangan pendek saya tentang penyelesaian persoalan tanah adat yang menjadi tanah-tanah perkebunan.

Konflik tanah ulayat banyak diakibatkan oleh diambilnya tanah-tanah tersebut yang dimiliki oleh pengusaha perkebunan dan kehutanan.Terkait dengan Perkebunan, banyak tanah-tanah tersebut diambil oleh perusahaan Belanda pada masa kolonial. Tanah-tanah tersebut diambil secara paksa oleh perusahaan kolonial dengan mengacu pada Domein Verklaring, yaitu tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom-nya (hak milik) oleh masyarakat dianggap sebagai tanah negara.

Dengan dasar tersebut, maka tanah-tanah milik ulayat masyarakat adat tersebut dianggap sebagai tanah negara (pemerintah Hindia Belanda), sehingga perusahaan perkebunan menyewa kepada pemerintah dengan Hak Erpacht selama 75 tahun. Sehingga, banyak berdiri perusahaan-perusahaan perkebunan di Jawa, Sumatera Tmur dsb.

Selain itu, ada juga perusahaan perkebunan era kolonial menyewa langsung tanah-tanah masyarakat adat, menyewa tanah-tanah kesultanan untuk dijadikan perkebunan.

Namun, pada masa kemerdekaan, tanah-tanah tersebut tidak dikembalikan kepada masyarakat. Justru, tanah-tanah perkebunan tersebut dinasionalisasi menjadi perusahaan perkebunan yang kemudian kita kenal sebagai PTPN. Sehingga, tanah-tanah PTPN eks perkebunan kolonial tersebut sebagian besar berdiri di atas klaim-klaim tanah masyarakat adat dan bahkan klaim tanah-tanah milik kerajaan/kesultanan.

Bagaimana menyelesaikan tanah-tanah tersebut, khususnya tanah yang dahulunya disewa oleh perkebunan Belanda kepada masyarakat adat, atau dirampas oleh perkebunan Belanda.

Pada masa kemerdekaan, UUPA 1960 mengatur dalam aturan konversi, bahwa tanah-tanah eks erpfacht tersebut harus segera diselesaikan selambat-lambatnya 20 tahun setelah diundangkannya UUPA 1960. Sehingga, pada tahun 1980, seharusnya proses mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dijadikan perkebunan sudah diselesaikan. Sayangnya, justru tanah-tanah tersebut dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN yang artinya tanah rakyat tidak yang dirampas pada masa kolonial tidak dikembalikan.

Oleh karena itu, jika saat ini hendak diselesaikan melalui mekanisme politik nasional yang mewadahi dan menyelesaikan klaim-klaim masyarakat atas tanah ini.

Sementara, untuk tanah-tanah adat yang dahulunya disewa oleh perkebunan Belanda kemudian menjadi PTPN dan telah diberi HGU, maka harus ditelusuri dokumen tersebut untuk menjadi dasar bagi pengembalian tanah rakyat.

Selain itu, ada juga tanah-tanah milik masyarakat adat yang diambil alih oleh perkebunan swasta dan negara pada masa kemerdekaan. mereka diminta menyerahkan tanah-tanah adat secara adat dengan proses ganti rugi tanaman. selanjutnya, tanah-tanah tersebut dijadikan HPL (Hak Pengelolaan ) atas nama Pemda. Kemudian, di atas HPL tersebut diterbitkan HGU kepada perusahaan perkebunan.

Setelah HGU habis, ternyata tanah tersebut tidak kembali kepada masyarakat adat, namun kembali kepada Pemda sebagai pemegang HPL. Oleh sebab itu, menurut saya, kedepan seharusnya HPL tidak atas nama Pemda, namun atas nama masyarakat adat setempat.  Sementara untuk menyelesaikan tanah-tanah adat yang sudah menjadi HPL harus dikembalikan segera kepada masyarakat adat

Sementara, untuk menyelesaikan tanah-tanah adat yanga ada saat ini dan belum terkonversi menjadi wilayah-wilayah lain milik pemerintah dan perusahaan, pemerintah harus segera membuat pendaftaran tanah secara aktif wilayah-wilayah masyarakat adat.

Demikian pandangan awal saya. Besok disambung lagi

No comments: