December 30, 2009

CATATAN AKHIR TAHUN KPA 2009

Pendahuluan

Tahun 2009 sebagai tahun politik, setelah usai pemilu legislatif dan presiden, suasana politik nasional masih gaduh. Sebuah kegaduhan akibat ketidakpuasan dalam pembagian kue kekuasaan.

Tak heran, soal politik kerakyatan yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat, sebagai pekerjaan rumah pemerintah, masih alpa dikerjakan. Bahkan oleh kegaduhan politik tersebut, seolah lupa ditagih oleh rakyat. Berkenaan dengan kondisi agraria nasional, sepanjang tahun 2009, beberapa catatan pokok yang dapat dirangkum oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) adalah sbb:

1. Masih Digunakannya Cara-cara Primitif Dalam Menyelesaikan Konflik Agraria

Tertembaknya 12 petani di Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan oleh pihak kepolisian Desember 2009, sebelumnya 10 petani Takalar di Sulawesi Selatan juga dilaporkan tertembak pada Agustus 2009, dan dua orang Petani Ujung Kulon, Banten pada Mei 2009. Tahun ini dilaporkan 3 orang petani Bangun Purba, Rokan Hulu, tewas akibat penganiayaan security (pamswakarsa) PT.SSL.

Ini adalah bukti masih dipakainya cara-cara primitif oleh pemerintah seperti penembakan, pembakaran, penganiayaan, penculikan dan bentuk intimidasi lainnya untuk menakut-nakuti rakyat ketika memperjuangkan hak-haknya dalam menyelesaikan sengketa agraria. Sementara, dipenjarakannya nenek Minah, pemuda tani di Batang adalah bukti kerasnya hukum yang harus diterima rakyat dalam kasus-kasus hukum yang sepele saat berhadapan dengan perkebunan.

Tahun ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam 89 laporan kasus konflik agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini tidak kurang dari 7.585 KK. Ini tetap saja angka minimal, sebab metode yang dipakai dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa.

KPA sangat menyesalkan masih dipakainya cara-cara primitif oleh kepolisian khususnya kesatuan Brimob, pam-swakarsa perusahaan perkebunan selama ini. Bahkan, cara-cara kekerasan tersebut lebih mendominasi ketimbang cara-cara mediasi yang diprioritaskan dalam kasus-kasus konflik agraria.

Menurut kami, MoU antara Badan Pertanahan Nasional dan Mabes Polri yang diperpanjang tahun Maret 2009 ini, adalah salah satu sebab mengapa polisi menjadi lebih sering terlibat dalam konflik agraria. Sebab, dengan MoU ini kasus-kasus pertanahan yang semula adalah perdata selalu ditarik ke arah pidana oleh kepolisian. Pemidanaan atau kriminalisasi petani kerap terjadi akibat MoU ini.

2. Lambannya Reformasi Birokrasi Agraria
a. Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan (LARASITA)

Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Pertanahan (Larasita) ini sering diklaim oleh BPN sebagai pionir dunia. Bahkan Kepala BPN mengakui di depan DPR-RI telah mendapat penghargaan dari Bank Dunia karena program ini.

BPN kerap memberi penjelasan bahwa LARASITA adalah mobile office atau kantor bergerak yang melayani sertifikasi pertanahan rakyat. Menurut BPN, latar belakang program ini disebabkan unit terendah kantor pertanahan hanya terdapat di ibukota kabupaten. Sementara, sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan. Sehingga, dengan terobosan ini mayoritas rakyat dapat terlayani dalam program sertifikasi pertanahan. Sebab, dengan mobile office petugas BPN dapat melayani rakyat hingga ke pelosok dengan mobil atau sepeda motor program Larasita.

Setelah setahun berjalan, kritik KPA kepada BPN soal program ini terbukti kebenarannya. Pertama, mayoritas rakyat memang berada di pedesaan, oleh sebab itu yang diperlukan adalah koordinasi BPN dengan pemerintah daerah yang mempunyai tangan hingga ke pemerintah desa bahkan RT. Jadi program ini sesungguhnya boros mulai dari pengadaan, operasional hingga efektifitas sasaran.

Kedua, jika kita membaca Peraturan Kepala BPN tentang Larasita, program ini juga ditujukan untuk menemukan objek reforma agraria pada saat petugas BPN turun ke desa-desa. Ini juga dapat dipastikan mustahil tercapai, sebab jika itu sasaran pekerjaannya (baca: menemukan objek RA) bukanlah sertifikasi tanah, tetapi melakukan registrasi tanah-tanah khususnya di pedesaan. BPN bisa merujuk pada jiwa PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah. Registrasi dalam PP ini bukanlah sertifikasi, sehingga melalui proses registrasi akan ditemukan ketimpangan struktur agraria di desa sekaligus tanah objek land reform.

Ketiga, sertifikasi pada struktur agraria yang timpang (kepemilikan, penguasaan dan tataguna tanah) justru akan melegalkan struktur yang timpang tersebut. Keempat, ini adalah program yang menjadi fondasi utama pasar tanah liberal, dan tentu saja sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Menurut KPA, penghargaan Bank Dunia kepada BPN soal Larasita adalah sinyalemen yang jelas bahwa BPN telah menjalankan praktek pertanahan seperti yang disarankan oleh Bank Dunia. Program ini semata bertujuan mewujudkan pasar tanah bebas di Indonesia sesuai dengan proyek hutang Land Administration Project (LAP) dan Land Management and Policy Development Project (LMPDP) yang telah dijalankan sejak tahun 2005 – 2009.

Kenyataannya, program ini telah menyeret petani yang bertanah kecil semakin cepat kehilangan tanahnya, karena tanah tersebut semakin mudah dijual atau diagunkan kepada perbankan. Dalam keadaan bertanah sempit dan situasi makro ekonomi yang tidak berpihak kepada petani, maka sertifikasi pertanahan –sebut Larasita, tanpa didahului oleh Pembaruan Agraria adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanah petani semakin cepat terjual dan jatuh kepada pemodal besar, sehingga ketimpangan tanah pun semakin lebar. Itulah sebabnya tanah pertanian sekarang ini semakin banyak dimiliki oleh kelompok non petani yang tinggal di kota, sementara petani gurem telah menjadi buruh tani.

b. Tingginya Pungli, Mal Administrasi Dalam Birokrasi Pertanahan

Pungutan tidak resmi dalam mendapatkan pelayanan pertanahan adalah keluhan umum yang belum ditangani oleh BPN secara menyeluruh. Pada tahun 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi menempatkan BPN sebagai lembaga pemerintah nomor dua terkorup di Indonesia. Padahal, pelayanan publik di bidang apapun akan terlaksana dengan baik jika mampu menegakkan azas pemerintahan yang baik dan bersih.

Menurut hasil penelitian Komisi Ombudsman RI, bahwa Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) di BPN belum memenuhi kaidah-kaidah dan standar yang ditetapkan oleh UU Pelayanan Publik.

3. Janji Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Tanpa Implementasi

Pada masa kampanye, SBY mengklaim bahwa pembaruan agraria telah dijalankan pemerintahnya melalui berbagai iklan di media massa semasa pilpres. Program tersebut, adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Ini adalah sebuah klaim yang menyesatkan. Sepanjang 2009, tidak ada UU atau pun Kebijakan Operasional yang ditandatangani oleh SBY yang berisi tentang pelaksanaan Reforma Agraria.

Harus diakui pemerintahan memang mencantumkan Pembaruan Agraria sebagai salah satu program pemerintahannya. Bahkan, wacana yang digulirkan oleh Presiden tentang program ini telah dilakukan sejak awal tahun 2007 tentang rencana melakukan redistribusi tanah seluas 8.1 juta hektar kepada rakyat miskin. Namun, rencana tersebut sampai sekarang masih sebatas wacana politik yang belum melangkah ke tingkat implementasi.

Ketika Pemilihan Presiden usai, dan kembali SBY terpilih sebagai Presiden, langkah awal Presiden tidak menggambarkan keinginan untuk menjalankan Reforma Agraria. Tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari SBY tentang komitmen untuk menjalankan Reforma Agraria. Yang terjadi, SBY dan Kabinet terpilih menyelenggarakan National Summit dan menetapkan agenda 100 hari kerja pemerintahan adalah menyediakan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan investasi, tanpa sekalipun menyebut PPAN sebagai langkah penyediaan tanah bagi rakyat miskin.

4. Program Legislasi di Bidang Pertanahan 2010 Berpotensi Meningkatkan Penggusuran Tanah Rakyat

Pada masa SBY jilid pertama, pemerintah mengawali dengan program infrastructure summit. Hasil dari rembug ini adalah Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepetingan Umum dan Pembangunan. Karena protes keras dari masyarakat, peraturan ini kemudian direvisi menjadi Perpres 65/2006 tanpa perubahan substansi yang berarti.

Seolah mengulang, SBY bersama Boediono atau SBY jilid ke dua memulai pemerintahannya dengan menggelar National Summit. Salah satu rekomendasi dari pertemuan ini adalah menaikkan Perpres 65/2006 menjadi sebuah UU dan telah menjadi prioritas dalam Program 100 hari SBY-Boediono.

Menurut kami, RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY dalam bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Keluhan para investor tentang sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia sangatlah subjektif. Sebab, saat ini banyak sekali ditemukan izin lokasi dan atau tanah yang sudah dibebani hak (HGU, HGB, HP) ditelantarkan oleh para investor. BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7.1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan.

Sementara itu, maraknya penggusuran dan penyerobotan tanah perkebunan dan hutan milik masyarakat adat juga mengindikasikan masih belum dilindunginya hak-hak masyarakat atas tanah, sekaligus juga bukti mudahnya para investor mendapatkan tanah.

Selanjutnya, perdefenisi kepentingan umum dan pembangunan saat ini sangatlah kabur. Sebab, di masa lalu yang disebut dengan kepentingan umum dan pembangunan adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat secara luas dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan.

Sementara saat ini, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar dimiliki serta dioperasionalkan oleh investor swasta nasional dan asing yang berorientasi mencari keuntungan maksimal, padahal sudah selayaknya penggantian tanah menguntungkan rakyat.

Selain itu, menurut kami, yang sangat dibutuhkan rakyat saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.

5. Bertahannya Kemiskinan Petani dan Rakyat Desa

Menurut BPS, penduduk miskin kita telah turun sebesar 2,43 juta jiwa, meski begitu jumlah penduduk miskin kita masih sangat besar yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Padahal angka ini diperoleh dengan menghitung basis konsumsi US$.1 per hari. Tentu jika menggunakan parameter US$.2 angka tersebut akan membengkak luar biasa.

Angka-angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenal siapa kaum miskin itu sesungguhnya. Sampai sakarang, sebagian besar orang miskin bertempat dan menetap di pedesaan, dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten.

Mereka, sampai sekarang belum pernah mendapatkan program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama yang dihadapi mereka, yaitu ketiadaan lahan.

Rekomendasi ke Depan

A. Segera Dilaksanakan Pembaruan Agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pembaruan Agraria sejati adalah jawaban yang paling dibutuhkan rakyat saat ini. Selain sudah dimandatkan oleh UUD 1945, UU Pokok Agraria 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok, pembaruan agraria adalah jalan menghentikan berbagai persoalan sistemik di pedesaan seperti kemiskinan dan pengangguran, persoalan desa-kota dan industri-pertanian yang selama ini tidak terkait dan saling melemahkan.

Pembaruan Agraria yang sudah selesai dijalankan di negara-negara seperti Taiwan, Korea, China, Vietnam, Thailand, Malaysia ternyata telah mampu menjadi pijakan yang kokoh dalam mempersiapkan negara tersebut menjadi negara yang maju dan kuat.

Sementara, tidak dijalankannya Pembaruan Agraria seperti di Indonesia, Philipina telah terbukti membawa persoalan politik, ekonomi, dan sosial yang tidak kunjung usai.

B. Dibutuhkan Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria

Jatuhnya ribuan korban setiap tahun dalam setiap konflik agraria sesungguhnya mempunyai dua pesan yang jelas, yaitu besarnya tuntutan pelaksanaan pembaruan agraria dan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga hukum yang ada.

Menurut kami, sangat dibutuhkan lembaga penyelesaian konflik agraria seperti yang pernah diusulkan oleh Komnas HAM dan masyarakat sipil pada tahun 2005. yaitu, perlu dibentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)

C. Mencabut dan Menghentikan Program Kontra Reforma Agraria

Seperti telah diulas di muka, menurut kami BPN harus menghentikan dan mencabut MoU antara BPN dengan Mabes Polri. Sebab kebijakan ini terbukti telah mendorong banyaknya kriminalisasi terhadap petani. Selanjutnya, pemerintah harus menghentikan RUU Pengadaan Tanah sebelum ada kejelasan rencana pengadaan tanah bagi rakyat miskin dan petani tunakisma di Indonesia.

Penutup
Demikian Laporan Akhir Tahun 2009 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Jakarta, 22 Desember 2009
Idham Arsyad
Sekretaris Jenderal

Soekarno dan Land Reform

Tanpa bermaksud menyederhakan, terdapat dua buah blok besar kebijakan agraria nasional selama 64 tahun Indonesia merdeka. Pertama, kebijakan agraria (neo) populis yang dimulai semenjak disahkannya UUPA 1960 hingga dipenghujung kekuasaan rezim Soekarno. Kedua, kebijakan agraria pro-pasar (kapitalisme) semasa pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga seluruh pemerintahan di masa reformasi.

Memang, semua presiden di negara kita secara formal sesungguhnya menggunakan UUPA 1960 sebagai payung pelaksanaan hukum agraria nasional. Namun dengan pendulum yang sama sekali berlainan. Soekarno di sisi kiri dan Seoahrto dan penerusnya di sisi kanan. Pilihan-pilihan ini memberi gambaran kepada kita semua, bahwa dasar ekonomi politik nasional yang secara sadar dipilih oleh pemerintah yang berkuasa menentukan model rezim agraria yang berlaku.

Soekarno dan Land Reform
Soekarno memahami, bahwa membangun ekonomi bangsa harus dimulai dari menata struktur penguasaan tanah khususnya lahan pertanian. Selama periode transisi 45-60, politik agraria kita masih menggunakan dasar hukum Belanda dan sebagian tata cara pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan ala Jepang. Pola penguasaan tanah belum diatur dalam undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah tidak berada dalam strategi pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih bersifat temporer dan reaktif.

Memang di masa 1945 sampai diberlakukannya UUPA 24 September 1960, sempat juga dilahirkan beberapa UU yang mengatur soal-soal pertanahan seperti penghapusan tanah partikelir dan desa perdikan.
Land reform di masa Soekarno dijalankan melalui ”Paket UU Landreform” seperti UUPA, UU Pokok Bagi Hasil. UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.

Menurut penulis, secara mudah operasionalisasi dari UU dan peraturan-peraturan tersebut adalah: Pertama, untuk membatasi kepemilikan tanah pertanian oleh para tuan tanah, maka dilakukan pembatasan luas maksimum yang diperbolehkan petani untuk dimiliki.
Kedua, Diberlakukan penentuan bagi hasil pertanian yang menguntungkan bagi penggarap, sehingga para pemilik tanah yang tidak menggarapnya secara langsung terdorong untuk menjual tanahnya melalui kebijakan ini. Penentuan Bagi Hasil pertanian ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan harga tanah yang diambil oleh pemerintah dari para pemilik tanah lama.

Ketiga, untuk mencari tanah objek land reform di berbagai wilayah khususnya desa-desa, dilakukan pendaftaran atau registrasi tanah oleh pemerintah desa dan organisasi petani. Sehingga melalui proses pendaftaran ini ditemukan tanah guntai, tanah kelebihan maksimum dan tanah negara bebas lainnya untuk dijadikan objek land reform.

Keempat, dibentuk Panitia Land Reform yang melibatkan unsur pemerintah dan organisasi petani mulai dari tingkat nasional hingga tingkat desa. Panitia ini yang melaksanakan land reform khususnya menentukan objek, subjek dan mekanisme redistribusi.
Terakhir, meskipun terlambat disahkan, Jika terjadi konflik dalam pelaksanaan land reform apakah itu soal penentuan objek, subjek, mekanisme redistribusi dan keluhan lainnya diselesaikan melalui pengadilan landreform.

Wolf Ladejinsky, arsitek land reform Jepang yang menjadi asisten Jenderal Mac Arthur dan bertindak juga sebagai penasehat di Taiwan, mengunjungi Indonesia tiga kali atas undangan Menteri Agraria Mr.Sadjarwo. Ia memberikan ulasan singkat mengapa pelaksanaan land reform di Indonesia pada masa itu sulit dilakukan.
Pertama, ketentuan mengenai batas maksimum pemilikan tanah yang tidak realistis (terlalu luas) khususnya di Jawa tidak memungkinkan pemerintah mendapatkan tanah yang cukup untuk dapat dibagikan. Sementara batas minimum juga tidak realistis sebab tidak terdapat cukup tanah untuk menjamin setiap keluarga petani di Jawa mempunyai tanah dua hektar. Selain itu, menurut Ladejinsky sistem proses yang rumit, administrasi yang buruk dan kecakapan panitia landreform yang rendah adalah sebab lainnya (Rajagukguk:1995).

Senada dengan ladejinsky, dalam laporan mengenai hambatan-hambatan pokok pelaksanaan land reform, Menteri Agraria Republik Indonesia Mr. Sadjarwo, menjelaskan antara lain:
Adanya administrasi tanah yang tidak sempurna, mengakibatkan sukarnya mengetahui secara tepat luas tanah yang akan dibagikan dalam land reform. Kelemahan administrasi ini sering membuka peluang bagi penyelewengan-penyelewengan.
Masih ada orang-orang yang belum menyadari penting dan perlunya land reform bagi penyelesaian revolusi. Kadang-kadang terjadi tindakan-tindakan merintangi land reform dengan berbagai dalih.
Sebagian anggota panitia tidak menaruh perhatian sepenuhnya terhadap pelaksanaan land reform, karena kesibukan tugas atau kepentingan dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan ada tanah yang dibebaskan/dikeluarkan dari daftar tanpa alasan yang benar, sehingga menimbulkan salah alamat dan sebagainya.
Organisasi-organisasi massa tani yang diharapkan memberikan dukungan dan kontrol di sejumlah daerah belum diberi peranan dalam kepanitiaan land reform.
Adanya tekanan-tekanan psikologi dan ekonomis dari tuan-tuan tanah kepada para petani di sejumlah daerah, membuat para petani belum merupakan kekuatan sosial untuk memperlancar pelaksanaan land reform.
Dalam penetapan prioritas, panitia sering menghadapi kesukaran-kesukaran karena penggarap yang tidak tetap, perubahan administrasi pemerintahan sehingga tanah itu menjadi absentee (guntai). Hal ini sering menimbulkan konflik antar petani atau antar golongan.

Dari penjelasan Menteri Agraria tersebut, dapat dilihat adanya beberapa masalah yang cukup penting: Pertama, masalah yang bersifat ke dalam, dari soal kesadaran, pengetahuan, sampai pada kesungguhan, dan komitmen waktu. Kedua, masalah yang bersifat politik, khususnya menyangkut pengorganisasian dukungan politik yang dibutuhkan untuk menjalankan program land reform. Ketiga, menyangkut masalah administrasi, yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai masalah kebijakan.

Karena terjadinya hambatan-hambatan ini, maka kemudian terjadilah apa yang dikenal sebagai gerakan aksi sepihak (unilateral actions). Aksi-aksi sepihak ini menjadi pusat persengketaan. Namun, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan aksi sepihak ini dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Menurut Erpan Faryadi, Anggota Dewan Pakar KPA, aksi-aksi kedua belah pihak sama-sama dapat dikategorikan sebagai aksi sepihak. Karena, aksi-aksi petani untuk melaksanakan Undang-Undang Land Reform secara sepihak dimulai sebagai reaksi atas provokasi dan rintangan dari pihak tuan tanah. Jadi, hampir seluruh gerakan kedua pihak dapat didefinisikan sebagai aksi sepihak. Karena diadakan tanpa menghiraukan prosedur yang normal, misalnya tanpa menunggu keputusan Panitia Land Reform, atau bertentangan dengan keputusan Panitia Land Reform.

Hasil-hasil pembagian tanah landreform dari tahun 1963-1969 di Jawa berjumlah 197.395,6531 hektar kepada 307.904 keluarga. Ini berarti hanya 3,49 persen dari 5.647.000 hektar luas tanah pertanian yang ada. Sementara itu, hanya 8,14 persen rumah tangga dari perkiraan 4.761.065 juta petani pada masa itu.

December 14, 2009

Urgensi Pembaruan Agraria

Romanus Ndau Lendong

Keselamatan kita hanya datang dari petani, bukan pengacara, dokter atau tuan tanah kaya. (Mohandas Karamchand Gandhi).

Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan peran profesi lain, Gandhi memang memberikan tempat terhormat bagi petani. Alasannya, di negara-negara agraris petani merupakan kelompok masyarakat terbesar. Petani merupakan kekuatan yang amat menentukan karena memproduk kebutuhan dasar manusia, yakni pangan. Dengan itu, Gandhi hendak mengingatkan berbagai rezim di dunia agar harkat dan martabat petani mendapat tempat proporsional.

Apa yang dikatakan Gandhi relevan untuk Indonesia, saat ini. Di negeri ini, petani, nelayan, dan perempuan adalah kekuatan ekonomi produktif yang amat menentukan. Karya petani berperan utuk menyediakan makanan kepada segenap elemen bangsa. Ironisnya, nasib petani, nelayan, dan perempuan selalu tergusur dan terlupakan.

Soal agraria (tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah merupakan asal dan sumber makanan. (Tauchid, 1952;6-7). Kepemilikan tanah adalah masalah hak asasi manusia (HAM), karena menjadi pangkal bagi terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi dan politik. Itu berarti, pengabaian terhadap hak atas tanah merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Sadar akan hal tersebut, Mohammad Hatta menegaskan bahwa kepemilikan lahan bagi petani, nelayan, dan perempuan miskin sejalan dengan dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan melawan kolonialisme tidak lain adalah perjuangan merebut hak atas tanah.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Agraria juga menyatakan secara tegas bahwa tanah adalah napas dan hidup rakyat. Kepemilikan tanah merupakan hak mutlak yang harus dipenuhi oleh negara agar rakyat tidak terjebak dalam belitan kemiskinan dan keterbelakangan. Ironisnya, kemerdekaan yang kita capai belum berarti buat petani, nelayan, dan perempuan miskin. Kepemilikan lahan di kalangan petani hanya berkisar 0,250 hektare, sehingga sekadar bertahan hidup pun sudah tidak memadai lagi. Penelitian Sekretariat Bina Desa Sadajiwa di Karawang tahun 2004 menunjukkan, lebih dari 70 persen buruh tani tidak memiliki lahan sendiri.


Komoditas Politik

Ada tiga tekad yang hendak dicapai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, yakni mewujudkan kesejahteraan umum, menegakkan keadilan, dan mendewasakan demokrasi. Bagi petani, nelayan, dan perempuan, harapan tersebut bisa dicapai, bila hak atas tanah dijamin oleh negara. Di sinilah arti penting janji pemerintahan SBY untuk mendistribusikan lahan seluas 8,15 juta hektare kepada petani. Janji ini satu paket dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang diluncurkan dua tahun silam, namun hingga kini masih belum jelas realisasinya.

Terjaminnya kecukupan pangan merupakan agenda serius bagi bangsa ini. Selain untuk menopang kehidupan dan kesejahteraan rakyat juga untuk memastikan bahwa kekuasaan politik tetap terjaga dan bisa bekerja optimal. Harus diakui, pangan atau sembako merupakan fenomena politik yang sangat dirasakan rakyat kecil. Pangan memiliki pengaruh kuat terhadap politik. Kelaparan adalah sumber keberingasan, kekerasan, dan kehancuran. (Fahmid, 2004;vi). Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada 1998 merupakan buah dari pergerakan rakyat yang lapar, karena harga sembako melangit, pengangguran meluas, dan kemiskinan akut.

Ceita tentang berakhirnya kekuasaan, karena rakyat yang lapar dan tak berdaya bukan khas Indonesia. Krisis pangan sempat melanda dunia tahun 2008, yang meruntuhkan kekuasaan di banyak negara. Kenyataan tersebut sering luput dari perhatian elite politik di negeri ini. Persoalan agraria umumnya dan pangan khususnya belum mendapat perhatian optimal.

Salah satu kritik terhadap SBY-Boediono adalah soal paham neoliberal yang memayungi kebijakan ekonominya. Wajah nyata ekonomi neoliberal adalah deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi di semua sektor termasuk pertanian. Wakil Presiden

Boediono dinilai sebagai tokoh penting di balik kebijakan ekonomi yang berpotensi menganaktirikan kepentingan rakyat kecil dan sebaliknya menguntungkan pemilik modal. Kritik terhadap sistem ekonomi neoliberal sudah lama dikibarkan berbagai kalangan, terutama aktivis LSM, dan akademisi.

Di bidang pertanahan, neoliberalisme menyentuh pasar harga tanah untuk kepentingan industri. Kini, agraria berada dalam tarikan dua kelompok kepentingan besar, yakni rezim kapitalis-global yang menghendaki soal agraria dipersiapkan masuk ke pasar bebas sejagad yang meminimalkan intervensi negara dalam investasi di satu pihak dan kekuatan birokrasi, serta pengusaha yang masih berusaha untuk mempertahankan mekanisme investasi melalui intervensi negara. Kedua rezim ini memiliki karakter yang sama dalam hal memperlakukan rakyat. Ketimpangan agraria, bagi kedua kekuatan ini dianggap taken for granted, bahkan cenderung dipertajam. Agraria diidap industrial dan urban biases. (KRHN dan KPA, 1998; v).

Jika demikian, kesenjangan kepemilikan lahan antara kelompok kaya dan miskin merupakan keniscayaan yang sulit diantisipasi. Penelitian Noer Fauzi dkk tahun 1998 tentang kepemilikan lahan menunjukkan dua fenomena berikut.

Pertama, terjadinya penyusutan lahan pertanian secara sistematis yang membuat petani kehilangan lahan dan produksi pertanian terus merosot tajam. Setidaknya 2 persen lahan pertanian setiap tahun dialihfungsikan untuk kebutuhan pengembangan proyek jalan tol, real estate, dan lapangan golf. Kedua, meningkatnya ketimpangan penguasaan lahan pertanian antara kelompok kaya dan kaum miskin. Tercatat 20 persen orang kaya (tuan tanah, pemilik modal, dan pejabat) menguasai 69 persen dari seluruh luas lahan pertanian. Sebaliknya, 80 persen warga miskin (petani, nelayan, dan perempuan miskin) hanya menguasai 31 persen.


Argumen Penting

Tekad KIB II untuk mewujudkan kemakmuran di satu sisi dan merosotnya kepemilikan lahan bagi rakyat miskin di sisi lain menjadi argumen penting untuk mewujudkan pembaruan agraria (PA). Pertama, merombak bentuk ketidakadilan agraria dengan menghancurkan monopoli penguasaan tanah dan kekayaan alam oleh penguasa dan tuan tanah. Kedua, membagikan (meredistribusikan) tanah dan kekayaan alam (sumber-sumber agraria) secara adil kepada petani dan golongan sosial lain. Ketiga, membuka peluang bagi petani untuk mengelola sumber-sumber agraria, menata produksi, mempromosikan penggunaan bahan-bahan pertanian lokal, dan sebagainya.

Jadi, PA adalah pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi, dan struktur pelayanan pendukung. PA menjadi model perubahan atau perombakan sosial guna mengubah struktur agraria ke sistem yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan bangsa. Dewasa ini, berkembang pemikiran tentang pembaruan agraria yang didasarkan pada inisiatif rakyat, bukan pada kedermawanan dan inisiatif negara. Hal tersebut merupakan agenda strategis untuk memulihkan hak-hak petani, yang sejauh ini sulit diwujudkan, karena lemahnya komitmen negara.

Inisiatif rakyat berperan untuk menegakkan prinsip-prinsip pokok PA sebagai berikut. Pertama, PA harus mampu mewujudkan keadilan bagi semua, termasuk perempuan dalam hal kepemilikan lahan dan sumber-suber agraria. Kedua, mendorong kesejahteran. Konsekuensinya, tanah dan kekayaan alam harus dikembalikan pada fungsi hakikinya, yakni sebagai jiwa dan napas hidup rakyat. Jadi, tanah bukan komoditas dagang yang bisa dipermainkan sesuai kehendak pemilik modal.

Ketiga, partisipatif, yakni terlibatnya rakyat secara penuh dan utuh dalam mewujudkan PA. Rakyat juga berhak untuk mengawasi dan menikmati manfaat dari sumber-sumber agraria. Keempat, berkelanjutan. PA tidak selesai pada redistribusi tanah dan kekayaan alam saja, tetapi juga mencakup upaya-upaya yang sistematik untuk menjamin terwujudnya manfaat dalam jangka panjang.

Diperlukan kebulatan tekad semua pihak untuk menegaskan pentingnya melaksanakan PA sebagai agenda mendesak saat ini. Konsistensi pemerintahan SBY-Boediono dan inisiatif rakyat dalam mendorong PA merupakan langkah penting untuk menjamin hak-hak rakyat sekaligus menyelesaikan berbagai sengketa agraria secara damai dan bijak. Terwujudnya PA membuat harapan rakyat akan kemakmuran, keadilan, dan demokrasi semakin realistis.

Penulis adalah Associate Researcher Sekretariat Bina Desa Sadajiwa Jakarta
dikutip dari Suara Pembaruan, 8 Desember 2009