December 14, 2009

Urgensi Pembaruan Agraria

Romanus Ndau Lendong

Keselamatan kita hanya datang dari petani, bukan pengacara, dokter atau tuan tanah kaya. (Mohandas Karamchand Gandhi).

Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan peran profesi lain, Gandhi memang memberikan tempat terhormat bagi petani. Alasannya, di negara-negara agraris petani merupakan kelompok masyarakat terbesar. Petani merupakan kekuatan yang amat menentukan karena memproduk kebutuhan dasar manusia, yakni pangan. Dengan itu, Gandhi hendak mengingatkan berbagai rezim di dunia agar harkat dan martabat petani mendapat tempat proporsional.

Apa yang dikatakan Gandhi relevan untuk Indonesia, saat ini. Di negeri ini, petani, nelayan, dan perempuan adalah kekuatan ekonomi produktif yang amat menentukan. Karya petani berperan utuk menyediakan makanan kepada segenap elemen bangsa. Ironisnya, nasib petani, nelayan, dan perempuan selalu tergusur dan terlupakan.

Soal agraria (tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah merupakan asal dan sumber makanan. (Tauchid, 1952;6-7). Kepemilikan tanah adalah masalah hak asasi manusia (HAM), karena menjadi pangkal bagi terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi dan politik. Itu berarti, pengabaian terhadap hak atas tanah merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Sadar akan hal tersebut, Mohammad Hatta menegaskan bahwa kepemilikan lahan bagi petani, nelayan, dan perempuan miskin sejalan dengan dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan melawan kolonialisme tidak lain adalah perjuangan merebut hak atas tanah.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Agraria juga menyatakan secara tegas bahwa tanah adalah napas dan hidup rakyat. Kepemilikan tanah merupakan hak mutlak yang harus dipenuhi oleh negara agar rakyat tidak terjebak dalam belitan kemiskinan dan keterbelakangan. Ironisnya, kemerdekaan yang kita capai belum berarti buat petani, nelayan, dan perempuan miskin. Kepemilikan lahan di kalangan petani hanya berkisar 0,250 hektare, sehingga sekadar bertahan hidup pun sudah tidak memadai lagi. Penelitian Sekretariat Bina Desa Sadajiwa di Karawang tahun 2004 menunjukkan, lebih dari 70 persen buruh tani tidak memiliki lahan sendiri.


Komoditas Politik

Ada tiga tekad yang hendak dicapai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, yakni mewujudkan kesejahteraan umum, menegakkan keadilan, dan mendewasakan demokrasi. Bagi petani, nelayan, dan perempuan, harapan tersebut bisa dicapai, bila hak atas tanah dijamin oleh negara. Di sinilah arti penting janji pemerintahan SBY untuk mendistribusikan lahan seluas 8,15 juta hektare kepada petani. Janji ini satu paket dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang diluncurkan dua tahun silam, namun hingga kini masih belum jelas realisasinya.

Terjaminnya kecukupan pangan merupakan agenda serius bagi bangsa ini. Selain untuk menopang kehidupan dan kesejahteraan rakyat juga untuk memastikan bahwa kekuasaan politik tetap terjaga dan bisa bekerja optimal. Harus diakui, pangan atau sembako merupakan fenomena politik yang sangat dirasakan rakyat kecil. Pangan memiliki pengaruh kuat terhadap politik. Kelaparan adalah sumber keberingasan, kekerasan, dan kehancuran. (Fahmid, 2004;vi). Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada 1998 merupakan buah dari pergerakan rakyat yang lapar, karena harga sembako melangit, pengangguran meluas, dan kemiskinan akut.

Ceita tentang berakhirnya kekuasaan, karena rakyat yang lapar dan tak berdaya bukan khas Indonesia. Krisis pangan sempat melanda dunia tahun 2008, yang meruntuhkan kekuasaan di banyak negara. Kenyataan tersebut sering luput dari perhatian elite politik di negeri ini. Persoalan agraria umumnya dan pangan khususnya belum mendapat perhatian optimal.

Salah satu kritik terhadap SBY-Boediono adalah soal paham neoliberal yang memayungi kebijakan ekonominya. Wajah nyata ekonomi neoliberal adalah deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi di semua sektor termasuk pertanian. Wakil Presiden

Boediono dinilai sebagai tokoh penting di balik kebijakan ekonomi yang berpotensi menganaktirikan kepentingan rakyat kecil dan sebaliknya menguntungkan pemilik modal. Kritik terhadap sistem ekonomi neoliberal sudah lama dikibarkan berbagai kalangan, terutama aktivis LSM, dan akademisi.

Di bidang pertanahan, neoliberalisme menyentuh pasar harga tanah untuk kepentingan industri. Kini, agraria berada dalam tarikan dua kelompok kepentingan besar, yakni rezim kapitalis-global yang menghendaki soal agraria dipersiapkan masuk ke pasar bebas sejagad yang meminimalkan intervensi negara dalam investasi di satu pihak dan kekuatan birokrasi, serta pengusaha yang masih berusaha untuk mempertahankan mekanisme investasi melalui intervensi negara. Kedua rezim ini memiliki karakter yang sama dalam hal memperlakukan rakyat. Ketimpangan agraria, bagi kedua kekuatan ini dianggap taken for granted, bahkan cenderung dipertajam. Agraria diidap industrial dan urban biases. (KRHN dan KPA, 1998; v).

Jika demikian, kesenjangan kepemilikan lahan antara kelompok kaya dan miskin merupakan keniscayaan yang sulit diantisipasi. Penelitian Noer Fauzi dkk tahun 1998 tentang kepemilikan lahan menunjukkan dua fenomena berikut.

Pertama, terjadinya penyusutan lahan pertanian secara sistematis yang membuat petani kehilangan lahan dan produksi pertanian terus merosot tajam. Setidaknya 2 persen lahan pertanian setiap tahun dialihfungsikan untuk kebutuhan pengembangan proyek jalan tol, real estate, dan lapangan golf. Kedua, meningkatnya ketimpangan penguasaan lahan pertanian antara kelompok kaya dan kaum miskin. Tercatat 20 persen orang kaya (tuan tanah, pemilik modal, dan pejabat) menguasai 69 persen dari seluruh luas lahan pertanian. Sebaliknya, 80 persen warga miskin (petani, nelayan, dan perempuan miskin) hanya menguasai 31 persen.


Argumen Penting

Tekad KIB II untuk mewujudkan kemakmuran di satu sisi dan merosotnya kepemilikan lahan bagi rakyat miskin di sisi lain menjadi argumen penting untuk mewujudkan pembaruan agraria (PA). Pertama, merombak bentuk ketidakadilan agraria dengan menghancurkan monopoli penguasaan tanah dan kekayaan alam oleh penguasa dan tuan tanah. Kedua, membagikan (meredistribusikan) tanah dan kekayaan alam (sumber-sumber agraria) secara adil kepada petani dan golongan sosial lain. Ketiga, membuka peluang bagi petani untuk mengelola sumber-sumber agraria, menata produksi, mempromosikan penggunaan bahan-bahan pertanian lokal, dan sebagainya.

Jadi, PA adalah pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi, dan struktur pelayanan pendukung. PA menjadi model perubahan atau perombakan sosial guna mengubah struktur agraria ke sistem yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan bangsa. Dewasa ini, berkembang pemikiran tentang pembaruan agraria yang didasarkan pada inisiatif rakyat, bukan pada kedermawanan dan inisiatif negara. Hal tersebut merupakan agenda strategis untuk memulihkan hak-hak petani, yang sejauh ini sulit diwujudkan, karena lemahnya komitmen negara.

Inisiatif rakyat berperan untuk menegakkan prinsip-prinsip pokok PA sebagai berikut. Pertama, PA harus mampu mewujudkan keadilan bagi semua, termasuk perempuan dalam hal kepemilikan lahan dan sumber-suber agraria. Kedua, mendorong kesejahteran. Konsekuensinya, tanah dan kekayaan alam harus dikembalikan pada fungsi hakikinya, yakni sebagai jiwa dan napas hidup rakyat. Jadi, tanah bukan komoditas dagang yang bisa dipermainkan sesuai kehendak pemilik modal.

Ketiga, partisipatif, yakni terlibatnya rakyat secara penuh dan utuh dalam mewujudkan PA. Rakyat juga berhak untuk mengawasi dan menikmati manfaat dari sumber-sumber agraria. Keempat, berkelanjutan. PA tidak selesai pada redistribusi tanah dan kekayaan alam saja, tetapi juga mencakup upaya-upaya yang sistematik untuk menjamin terwujudnya manfaat dalam jangka panjang.

Diperlukan kebulatan tekad semua pihak untuk menegaskan pentingnya melaksanakan PA sebagai agenda mendesak saat ini. Konsistensi pemerintahan SBY-Boediono dan inisiatif rakyat dalam mendorong PA merupakan langkah penting untuk menjamin hak-hak rakyat sekaligus menyelesaikan berbagai sengketa agraria secara damai dan bijak. Terwujudnya PA membuat harapan rakyat akan kemakmuran, keadilan, dan demokrasi semakin realistis.

Penulis adalah Associate Researcher Sekretariat Bina Desa Sadajiwa Jakarta
dikutip dari Suara Pembaruan, 8 Desember 2009

No comments: