December 30, 2009

CATATAN AKHIR TAHUN KPA 2009

Pendahuluan

Tahun 2009 sebagai tahun politik, setelah usai pemilu legislatif dan presiden, suasana politik nasional masih gaduh. Sebuah kegaduhan akibat ketidakpuasan dalam pembagian kue kekuasaan.

Tak heran, soal politik kerakyatan yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat, sebagai pekerjaan rumah pemerintah, masih alpa dikerjakan. Bahkan oleh kegaduhan politik tersebut, seolah lupa ditagih oleh rakyat. Berkenaan dengan kondisi agraria nasional, sepanjang tahun 2009, beberapa catatan pokok yang dapat dirangkum oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) adalah sbb:

1. Masih Digunakannya Cara-cara Primitif Dalam Menyelesaikan Konflik Agraria

Tertembaknya 12 petani di Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan oleh pihak kepolisian Desember 2009, sebelumnya 10 petani Takalar di Sulawesi Selatan juga dilaporkan tertembak pada Agustus 2009, dan dua orang Petani Ujung Kulon, Banten pada Mei 2009. Tahun ini dilaporkan 3 orang petani Bangun Purba, Rokan Hulu, tewas akibat penganiayaan security (pamswakarsa) PT.SSL.

Ini adalah bukti masih dipakainya cara-cara primitif oleh pemerintah seperti penembakan, pembakaran, penganiayaan, penculikan dan bentuk intimidasi lainnya untuk menakut-nakuti rakyat ketika memperjuangkan hak-haknya dalam menyelesaikan sengketa agraria. Sementara, dipenjarakannya nenek Minah, pemuda tani di Batang adalah bukti kerasnya hukum yang harus diterima rakyat dalam kasus-kasus hukum yang sepele saat berhadapan dengan perkebunan.

Tahun ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah merekam 89 laporan kasus konflik agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini tidak kurang dari 7.585 KK. Ini tetap saja angka minimal, sebab metode yang dipakai dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa.

KPA sangat menyesalkan masih dipakainya cara-cara primitif oleh kepolisian khususnya kesatuan Brimob, pam-swakarsa perusahaan perkebunan selama ini. Bahkan, cara-cara kekerasan tersebut lebih mendominasi ketimbang cara-cara mediasi yang diprioritaskan dalam kasus-kasus konflik agraria.

Menurut kami, MoU antara Badan Pertanahan Nasional dan Mabes Polri yang diperpanjang tahun Maret 2009 ini, adalah salah satu sebab mengapa polisi menjadi lebih sering terlibat dalam konflik agraria. Sebab, dengan MoU ini kasus-kasus pertanahan yang semula adalah perdata selalu ditarik ke arah pidana oleh kepolisian. Pemidanaan atau kriminalisasi petani kerap terjadi akibat MoU ini.

2. Lambannya Reformasi Birokrasi Agraria
a. Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan (LARASITA)

Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Pertanahan (Larasita) ini sering diklaim oleh BPN sebagai pionir dunia. Bahkan Kepala BPN mengakui di depan DPR-RI telah mendapat penghargaan dari Bank Dunia karena program ini.

BPN kerap memberi penjelasan bahwa LARASITA adalah mobile office atau kantor bergerak yang melayani sertifikasi pertanahan rakyat. Menurut BPN, latar belakang program ini disebabkan unit terendah kantor pertanahan hanya terdapat di ibukota kabupaten. Sementara, sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan. Sehingga, dengan terobosan ini mayoritas rakyat dapat terlayani dalam program sertifikasi pertanahan. Sebab, dengan mobile office petugas BPN dapat melayani rakyat hingga ke pelosok dengan mobil atau sepeda motor program Larasita.

Setelah setahun berjalan, kritik KPA kepada BPN soal program ini terbukti kebenarannya. Pertama, mayoritas rakyat memang berada di pedesaan, oleh sebab itu yang diperlukan adalah koordinasi BPN dengan pemerintah daerah yang mempunyai tangan hingga ke pemerintah desa bahkan RT. Jadi program ini sesungguhnya boros mulai dari pengadaan, operasional hingga efektifitas sasaran.

Kedua, jika kita membaca Peraturan Kepala BPN tentang Larasita, program ini juga ditujukan untuk menemukan objek reforma agraria pada saat petugas BPN turun ke desa-desa. Ini juga dapat dipastikan mustahil tercapai, sebab jika itu sasaran pekerjaannya (baca: menemukan objek RA) bukanlah sertifikasi tanah, tetapi melakukan registrasi tanah-tanah khususnya di pedesaan. BPN bisa merujuk pada jiwa PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah. Registrasi dalam PP ini bukanlah sertifikasi, sehingga melalui proses registrasi akan ditemukan ketimpangan struktur agraria di desa sekaligus tanah objek land reform.

Ketiga, sertifikasi pada struktur agraria yang timpang (kepemilikan, penguasaan dan tataguna tanah) justru akan melegalkan struktur yang timpang tersebut. Keempat, ini adalah program yang menjadi fondasi utama pasar tanah liberal, dan tentu saja sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Menurut KPA, penghargaan Bank Dunia kepada BPN soal Larasita adalah sinyalemen yang jelas bahwa BPN telah menjalankan praktek pertanahan seperti yang disarankan oleh Bank Dunia. Program ini semata bertujuan mewujudkan pasar tanah bebas di Indonesia sesuai dengan proyek hutang Land Administration Project (LAP) dan Land Management and Policy Development Project (LMPDP) yang telah dijalankan sejak tahun 2005 – 2009.

Kenyataannya, program ini telah menyeret petani yang bertanah kecil semakin cepat kehilangan tanahnya, karena tanah tersebut semakin mudah dijual atau diagunkan kepada perbankan. Dalam keadaan bertanah sempit dan situasi makro ekonomi yang tidak berpihak kepada petani, maka sertifikasi pertanahan –sebut Larasita, tanpa didahului oleh Pembaruan Agraria adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanah petani semakin cepat terjual dan jatuh kepada pemodal besar, sehingga ketimpangan tanah pun semakin lebar. Itulah sebabnya tanah pertanian sekarang ini semakin banyak dimiliki oleh kelompok non petani yang tinggal di kota, sementara petani gurem telah menjadi buruh tani.

b. Tingginya Pungli, Mal Administrasi Dalam Birokrasi Pertanahan

Pungutan tidak resmi dalam mendapatkan pelayanan pertanahan adalah keluhan umum yang belum ditangani oleh BPN secara menyeluruh. Pada tahun 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi menempatkan BPN sebagai lembaga pemerintah nomor dua terkorup di Indonesia. Padahal, pelayanan publik di bidang apapun akan terlaksana dengan baik jika mampu menegakkan azas pemerintahan yang baik dan bersih.

Menurut hasil penelitian Komisi Ombudsman RI, bahwa Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) di BPN belum memenuhi kaidah-kaidah dan standar yang ditetapkan oleh UU Pelayanan Publik.

3. Janji Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Tanpa Implementasi

Pada masa kampanye, SBY mengklaim bahwa pembaruan agraria telah dijalankan pemerintahnya melalui berbagai iklan di media massa semasa pilpres. Program tersebut, adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Ini adalah sebuah klaim yang menyesatkan. Sepanjang 2009, tidak ada UU atau pun Kebijakan Operasional yang ditandatangani oleh SBY yang berisi tentang pelaksanaan Reforma Agraria.

Harus diakui pemerintahan memang mencantumkan Pembaruan Agraria sebagai salah satu program pemerintahannya. Bahkan, wacana yang digulirkan oleh Presiden tentang program ini telah dilakukan sejak awal tahun 2007 tentang rencana melakukan redistribusi tanah seluas 8.1 juta hektar kepada rakyat miskin. Namun, rencana tersebut sampai sekarang masih sebatas wacana politik yang belum melangkah ke tingkat implementasi.

Ketika Pemilihan Presiden usai, dan kembali SBY terpilih sebagai Presiden, langkah awal Presiden tidak menggambarkan keinginan untuk menjalankan Reforma Agraria. Tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari SBY tentang komitmen untuk menjalankan Reforma Agraria. Yang terjadi, SBY dan Kabinet terpilih menyelenggarakan National Summit dan menetapkan agenda 100 hari kerja pemerintahan adalah menyediakan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan investasi, tanpa sekalipun menyebut PPAN sebagai langkah penyediaan tanah bagi rakyat miskin.

4. Program Legislasi di Bidang Pertanahan 2010 Berpotensi Meningkatkan Penggusuran Tanah Rakyat

Pada masa SBY jilid pertama, pemerintah mengawali dengan program infrastructure summit. Hasil dari rembug ini adalah Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepetingan Umum dan Pembangunan. Karena protes keras dari masyarakat, peraturan ini kemudian direvisi menjadi Perpres 65/2006 tanpa perubahan substansi yang berarti.

Seolah mengulang, SBY bersama Boediono atau SBY jilid ke dua memulai pemerintahannya dengan menggelar National Summit. Salah satu rekomendasi dari pertemuan ini adalah menaikkan Perpres 65/2006 menjadi sebuah UU dan telah menjadi prioritas dalam Program 100 hari SBY-Boediono.

Menurut kami, RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY dalam bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Keluhan para investor tentang sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia sangatlah subjektif. Sebab, saat ini banyak sekali ditemukan izin lokasi dan atau tanah yang sudah dibebani hak (HGU, HGB, HP) ditelantarkan oleh para investor. BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7.1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan.

Sementara itu, maraknya penggusuran dan penyerobotan tanah perkebunan dan hutan milik masyarakat adat juga mengindikasikan masih belum dilindunginya hak-hak masyarakat atas tanah, sekaligus juga bukti mudahnya para investor mendapatkan tanah.

Selanjutnya, perdefenisi kepentingan umum dan pembangunan saat ini sangatlah kabur. Sebab, di masa lalu yang disebut dengan kepentingan umum dan pembangunan adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat secara luas dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan.

Sementara saat ini, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar dimiliki serta dioperasionalkan oleh investor swasta nasional dan asing yang berorientasi mencari keuntungan maksimal, padahal sudah selayaknya penggantian tanah menguntungkan rakyat.

Selain itu, menurut kami, yang sangat dibutuhkan rakyat saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.

5. Bertahannya Kemiskinan Petani dan Rakyat Desa

Menurut BPS, penduduk miskin kita telah turun sebesar 2,43 juta jiwa, meski begitu jumlah penduduk miskin kita masih sangat besar yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Padahal angka ini diperoleh dengan menghitung basis konsumsi US$.1 per hari. Tentu jika menggunakan parameter US$.2 angka tersebut akan membengkak luar biasa.

Angka-angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenal siapa kaum miskin itu sesungguhnya. Sampai sakarang, sebagian besar orang miskin bertempat dan menetap di pedesaan, dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten.

Mereka, sampai sekarang belum pernah mendapatkan program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama yang dihadapi mereka, yaitu ketiadaan lahan.

Rekomendasi ke Depan

A. Segera Dilaksanakan Pembaruan Agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pembaruan Agraria sejati adalah jawaban yang paling dibutuhkan rakyat saat ini. Selain sudah dimandatkan oleh UUD 1945, UU Pokok Agraria 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok, pembaruan agraria adalah jalan menghentikan berbagai persoalan sistemik di pedesaan seperti kemiskinan dan pengangguran, persoalan desa-kota dan industri-pertanian yang selama ini tidak terkait dan saling melemahkan.

Pembaruan Agraria yang sudah selesai dijalankan di negara-negara seperti Taiwan, Korea, China, Vietnam, Thailand, Malaysia ternyata telah mampu menjadi pijakan yang kokoh dalam mempersiapkan negara tersebut menjadi negara yang maju dan kuat.

Sementara, tidak dijalankannya Pembaruan Agraria seperti di Indonesia, Philipina telah terbukti membawa persoalan politik, ekonomi, dan sosial yang tidak kunjung usai.

B. Dibutuhkan Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria

Jatuhnya ribuan korban setiap tahun dalam setiap konflik agraria sesungguhnya mempunyai dua pesan yang jelas, yaitu besarnya tuntutan pelaksanaan pembaruan agraria dan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga hukum yang ada.

Menurut kami, sangat dibutuhkan lembaga penyelesaian konflik agraria seperti yang pernah diusulkan oleh Komnas HAM dan masyarakat sipil pada tahun 2005. yaitu, perlu dibentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)

C. Mencabut dan Menghentikan Program Kontra Reforma Agraria

Seperti telah diulas di muka, menurut kami BPN harus menghentikan dan mencabut MoU antara BPN dengan Mabes Polri. Sebab kebijakan ini terbukti telah mendorong banyaknya kriminalisasi terhadap petani. Selanjutnya, pemerintah harus menghentikan RUU Pengadaan Tanah sebelum ada kejelasan rencana pengadaan tanah bagi rakyat miskin dan petani tunakisma di Indonesia.

Penutup
Demikian Laporan Akhir Tahun 2009 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Jakarta, 22 Desember 2009
Idham Arsyad
Sekretaris Jenderal

No comments: