March 28, 2008

SETELAH MK MEMBATALKAN PASAL 22 UU PENANAMAN MODAL

Oleh: Iwan Nurdin

Pendahuluan

SEBAGIAN KETENTUAN UU PENANAMAN MODAL BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI, begitulah petikan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana kita ketahui tanggal 25 Maret 2008 lalu, Mahkamah Konsitusi (MK) memutuskan bahwa sebagian ketentuan Pasal 22 UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) bertentangan dengan konstitusi.

Bagian dari Pasal 22 UU PM yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan "berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan iperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun".

Selain itu, Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka" juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut MK, dari keseluruhan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, hanya sebagian ketentuan Pasal 22 UU PM bertentangan dengan konstitusi. Argumentasi MK, meskipun terhadap Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai—yang dapat diperpanjang di muka sekaligus itu—negara dikatakan dapat menghentikan atau membatalkan sewaktu-waktu, namun alasan tersebut telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 22 ayat (4) UU PM.

Dengan kata lain, kewenangan negara untuk menghentikan atau tidak memperpanjang HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut tidak lagi dapat dilakukan atas dasar kehendak bebas negara. Padahal, perusahaan penanaman modal dapat mempersoalkan secara hukum keabsahan tindakan penghentian atau pembatalan hak atas tanah itu. Sehingga menurut MK, pemberian perpanjangan hak-hak atas tanah sekaligus di muka tersebut telah mengurangi dan bahkan melemahkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.

Latar Belakang Gugatan
Singkatnya, secara keseluruhan, makna gugatan Judicial Review Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan kawan-kawan yang tergabung dalam Koalisi Gerak Lawan adalah penolakan terhadap liberalisasi semua sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan dasar penyusunan sistem ekonomi kapitalisme yang dijalankan selama ini. Sistem seperti inilah yang hendak dijalankan oleh UU Penanaman Modal.

Prinsip-prinsip dasar dalam UU Penanaman Modal seperti Mekanisme Pasar, Kompetisi Bebas, Liberalisasi Investasi, Perlakuan Sama antara Modal Asing dan Nasional, Larangan Nasionalisasi, adalah inti dari sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Dengan pandangan semacam ini, bagi para penggugat, UU Penanaman Modal tentu saja secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga, dia harus dicabut. Sebagai gantinya, Parlemen dan Pemerintah mestilah menyiapkan UU Investasi yang sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

Dengan melihat putusan tersebut, maka sesungguhnya putusan MK tidak cermat melihat keseluruhan batang tubuh UU ini yang hendak menjalankan praktek ekonomi neoliberal yang luas dan mendalam.

Bagaimana Semestinya Putusan ini Dijalankan
Dengan putusan ini, haruslah semua komponen pemerintahan melihat bahwa dasar-dasar menciptakan pasar tanah yang liberal di Indonesia yang tengah diusahakan oleh UU Penanaman Modal dan UU lainnya itu bertentangan dengan konstitusi kita. Tanah lewat UUPM hendak dijadikan komoditas yang dipertukarkan secara bebas oleh masyarakat tanpa membedakan asing dan nasional. Padahal tanah adalah asset dan sarana dalam menciptakan kemakmuran dan keberlanjutan bangsa Indonesia. Bukan barang/komoditas perdagangan.

Putusan ini akan mengembalikan pengaturan HGU, HGB dan HP akan kembali diatur dalam UUPA 1960. Namun, dalam pelaksanaan selama ini peraturan pemerintah yang mengatur pemberian HGU, HGB dan HP dalam PP No.41/1996 juga mesti ditinjau ulang. Sehingga, HGU misalnya tidak lagi diperuntukkan kepada perusahaan swasta besar. Namun, dalam memberikan HGU pemerintah mengarahkan agar subjek penerima adalah masyarakat petani yang tergabung dalam koperasi. Dengan demikian, usaha-usaha untuk membuat para petani kita menjadi sejahtera dan mengolah tanah dalam system koperasi pertanian yang baik dan modern dapat didorong oleh pemerintah. Bukan lagi mendorong petani menjadi buruh kebun, petani plasma milik perkebunan besar. Memupuk pembentukan modal pedesaan dan pertanian dari rakyat jauh lebih baik ketimbang mengundang masuk dan memberikan sejumlah fasilitas pertanahan berupa HGU bagi investor perkebunan.

Dengan putusan ini, juga haruslah menjadi pijakan dalam memeriksa HGU-HGU yang selama ini merupakan perpanjangan akta konsesie dan erfpach sejak masa Belanda. Sebab, HGU ini menurut UUPA seharusnya sudah dikembalikan kepada masyarakat sekitar pada tahun 1980. Dan, bahkan dalam sejarah sesungguhnya erfpach dan konsesie ini diperoleh Belanda dengan cara merampas tanah masyarakat melalui azas Domein Verklaring UU Agraria Belanda 1870..

Sehingga, dengan langkah ini putusan tersebut dapat membantu dalam menyelesaikan sengketa masyarakat, petani dengan perusahaan perkebunan.

Jakarta, 28 Maret 2008

Iwan Nurdin

Konflik Tanah Perkebunan, Kemana Seharusnya Berujung?

Oleh: Iwan Nurdin
Dalam sebuah Rapat Kordinasi antara BPN-RI dengan Komisi II DPR RI bulan lalu, Kepala BPN Joyo Winoto, PhD mendapatkan berbagai kritik dan pertanyaan dari DPR-RI tentang penanganan konflik/sengketa pertanahan yang berjalan sangat lambat.

Menurut catatan BPN, data sengketa agraria tahun 2006 berjumlah 1423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2810 kasus. Setelah diverifikasi kembali data tahun 2007: jumlah sengketa menjadi 4581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2052 kasus sehingga total kasus menjadi 7491 kasus.

Menurut BPN, sengketa adalah jenis permasalahan tanah yang tidak melibatkan masyarakat banyak dan bukan disebabkan oleh persoalan structural kekuasaan dan kebijakan secara langsung. Sementara, Konflik adalah permasalah tanah yang bersifat structural dan melibatkan masyarakat banyak. Dan, perkara adalah permasalahan tanah yang dilimpahkan penanganannya melalui pengadilan.

Persoalan ini telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan, digunakan secara optimal seluas: 607.886 atau seluas 6.078.860.000 M2 ha. Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp.15.000). Maka kerugian Negara telah mencapai Rp 91,1829 Triliun.

Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp. 146,804 Triliun.

Jadi sesungguhnya pemerintah telah menghitung sendiri bahwa kebijakan-kebijakan pertanahan saat ini yang sangat amburadul itu dan telah merugikan negara dan rakyat begitu besar.

Catatan Pembanding
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik yang bersifat struktural sampai dengan tahun 2001 saja telah mencapai 1753 (Jauh lebih besar dari 858 yang dikategorikan konflik oleh BPN tahun 2007) dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Dari keseluruhan sengketa tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus (19.6%) terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus (13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan sengketa tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 115 kasus (6.6%) merupakan sengketa akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 77 kasus (4.4%) sengketa akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah sengketa yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Selebihnya adalah karena transmigrasi, sarana pemerintah, fasilitas militer dll.

Sementara kasus-kasus di atas belum terselesaikan, jumlah konflik setiap tahun terus bertambah akibat lambannya penyelesaian. Dalam catatan tahun 2007, KPA mencatat bahwa sepanjang 2007, terjadi sedikitnya 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa.

Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar

Memberi Ujung Pada Konflik
Kita patut prihatin bahwa konflik terbesar tetap berada di areal perkebunan. Artinya konflik pada tanah-tanah yang diatur oleh UUPA dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, HGU diatur dalam pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan kelanjutan dari erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie.

Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU sesungguhnya diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi/perusahaan. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern disatu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal disisi yang lain.

Lebih lanjut, hak erpacht dan consessie yang dikonversi kedalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam sebuah pidato sebelum pengesahan UUPA September 1960 merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht dan consessie tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya semua keruwetan hak barat atas tanah sudah selesai pada tahun 1980.

Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan PTPN. Padahal, sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge oleh Orde Baru. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

Dilain pihak secara bersamaan, korporasi swasta juga diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU diatas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang telah memanipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA. Seharusnya pemerintah menerjemahkan Hak Menguasai Negara dipandu dengan kewajiban yang jelas yaitu: diabdikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian, pemberian HGU selama ini sebenarnya telah dengan sengaja mempertahankan praktek marjinalisasi ekonomi pertanian rakyat kita.

Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan yang dimiliki oleh rakyat. Bahkan,mengacu kepada PP ini, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang memberi Hak Guna Usaha tanpa pembedaan asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun, jauh lebih lama dari Hukum Agraria Belanda yang memberi hak selama-lamanya 75 tahun.

Penelusuran ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” baik oleh UUPA apalagi oleh pandangan masyarakat sekitar. Pemberian HGU selama ini secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kerapnya gejala petani dan masyarakat adat mengidentikkan perusahaan perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal telah menjadikan perusahaan perkebunan menjadi objek gerakan okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya perusahaan perkebunan berdiri diatas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial.

Dengan demikian, pemerintah semestinya menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM agar segera membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) terkait maraknya konflik agraria. Di dalam kerjanya, khusus untuk perkebunan, komisi ini bisa segera melakukan audit terhadap HGU dan menyelesaikan segenap persoalan didalamnya dengan mengutamakan hak rakyat atas tanah.

Kemudian, sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuai UUPA 1960 sehingga terdapat sebuah desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju sistem yang lebih berkeadilan sosial.

Jakarta, 4 Maret 2008



Iwan Nurdin

March 17, 2008

Dasar-Dasar Perubahan Kebijakan Agraria Sekarang

Oleh: Iwan Nurdin

A.Ruang Politik Partisipasi
Dalam tradisi ilmu politik modern, kita bisa melacak jejak politik partisipasi sejak masa Revolusi Perancis dengan 3 tuntutannya yang terkenal (egalite, fretarnite, liberte). Slogan ini menjelaskan: Bebas (liberty) dari penindasan sistem monarkhi, setara (equality) dengan setiap orang di dalam sebuah negara dan bersaudara (fraternity) sebagai sebuah bangsa . Melalui Revolusi Perancis, masyarakat tidak lagi melihat dirinya sebagai hamba dari para bangsawan, tetapi memandang dirinya sebagai seorang warganegara (citizen/citoyen) dari sebuah negara-bangsa.

Selanjutnya, perkembangan kapitalisme yang dilepaskan oleh busur panah Revolusi Industri di Inggris, akhirnya menembus tubuh kemanusiaan melalui kolonialisme. Jejak politik partisipasi dapat ditapaki pada penyebaran ide-ide kemerdekaan nasional dan sosialisme sebagai basis perlawanannya.

Berakhirnya PD II, yang diikuti dengan menguatnya kelompok kekuatan politik kelas pekerja dan kelompok sosialis telah membuat dunia barat khususnya Eropa Barat menerapkan kebijakan negara kesejahteraan. Sementara, di negara-negara sosialis komunis lebih tertarik dengan experimentasi sosialis melalui negara totaliter.

Namun, situasi ini tidak berlangsung lama, sebab awal dekade 80-an dunia kembali mengalami krisis akibat kegagalan sistem ekonomi politik keynesian yang mempopulerkan rezim negera kesejahteraan. Negara-negara Eropa Barat mengalami problem dalam meneruskan sistem kesejahteraan sosialnya. Akhirnya, jalan neoliberal dipilih sebagai jawaban. Runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990 juga telah memberi jalan bagi meluasnya pandangan ekonomi politik neoliberal.

Dekade ini, dekade sistem ekonomi neoliberal. Sistem ekonomi ini mensyaratkan sebuah penyesuaian struktur ekonomi, politik dan tentu saja akhirnya hukum kepada pasar . Dimana negara memainkan peran minimal saja.

Ciri utama dan utama dari pandangan neo liberal adalah sikap bermusuhan dengan pemerintah (negara minimal). Bagi kaum neo liberal yang memberi kesejahteraan bukanlah negara. Maka, welfare state harus di preteli. Menurut kaum neo-liberal yang dapat mendorong dan memberikan kesejahteraan adalah pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh pasar (market led-economic growth) .

B.Penguasaan SDA Neoliberal
Khusus di negara kita, ekonomi politik neoliberal sebenarnya sudah mendapatkan fondasi sejak tahun 1988 lewat deregulasi perbankan, meski memperoleh momentum pada tahun 1998 setelah jatuhnya rezim orba dengan membonceng “reformasi”. Sebelumnya, negara kita ini dipenuhi oleh birokrat pemburu rente dan sangat otoriter .

Situasi ekonomi politik neoliberal yang saat ini dijalankan, telah membuat pandangan-pandangan dasar yang ada dalam politik penguasaan negara kita terhadap sumber-sumber agraria semakin lemah dan sarat dengan konflik.

Konflik semacam ini, dalam pandangan hukum disebabkan oleh ketidakpastian hukum. Sehingga penegakan hukum (law enforcement) menjadi sulit. Ketidakpastian ini baik karena ketidak pastian hukum di dalam hukum maupun ketidak pastian karena hukum yang berjalan seiring . Ketidakpastian ini dirasakan juga oleh para pengusaha hingga masyarakat marjinal. Namun, secara cepat, ketidakpastian hukum bagi pengusaha (tanpa pembedaan asing dan nasional) dihilangkan sementara ketidakpastian hukum yang dirasakan masyarakat terus berlangsung . Sehingga, law enforcement seringkali tidak bersetubuh dengan rasa keadilan masyarakat.

Dasar politik hukum penguasaan sumber-sumber agraria di negara kita diatur oleh UUD 1945 pasal 33, dan Hak Menguasai oleh Negara di dalam UUPA No.5/1960 misalnya menjadi semacam ”macan kertas” ditengah hegemoni, dominasi, dan kemegahan modal saat ini.

Meski demikian, akibat perkembangan globalisasi, juga telah memudahkan kolektif perlawanan sosial (salah satunya kelompok masyarakat adat) mampu menaikkan persoalan yang dihadapinya dalam panggung hubungan antar negara bangsa . Harapannya, selain menggalang solidaritas, secara multilateral adiharapkan da semacam etik dan hukum internasional yang mengatur persoalan ini layaknya hukum internasional pada lembaga multilateral ekonomi perdagangan.

Dalam teoritisasi politik, sesungguhnya hasil maksimal dari gerakan semacam ini dapat kita identifikasi sebagai usaha mengembalikan fungsi negara-bangsa agar mempunyai mandat hukum dan operasional hukum di tingkat nasional yang dapat menandingi dan mengatasi rezim modal internasional.

Jika kita memperhatikan gerakan-gerakan anti globalisasi neoliberal yang marak dewasa ini, khususnya di Eropa Barat, gerakan ini sangat kuat dalam mengusung tema-tema sosial politik yang bisa kita kategorikan ingin mengembalikan rezim welfare state. Padahal, tidak mungkin negara maju bisa menjalankan ini semua tanpa menjadikan negara-negara berkembang semacam Indonesia semacam alas kaki.

Dalam sistem ekonomi politik neoliberal, partisipasi tidak dihilangkan. Ia bahkan semacam ”keharusan yang perlu tapi tidak wajib” dan telah diberi makna baru sebagai sebuah keterlibatan transaksi (negosiasi) dari berbagai kelompok yang kesemuanya dipimpin, dibimbing dan didorong oleh pasar dalam kenyataan hubungan yang tidak sejajar.

Bagi kelompok neoliberal, sumber-sumber agraria tidak lebih dari komoditas ekonomi yang seharusnya dapat ditransaksikan secara ekonomi dengan lebih cepat. Wujud ”barang” yang ditransaksikan juga sangat beragam. Mulai dari tanah, tanaman, kekayaan alam, flora, fauna, DNA tanaman hingga kemampuan menyerap karbon.

Dengan dasar ini, soalnya selalu berada berputar pada lingkaran bagaimana masing-masing ”pemilik” tersebut saling mempertukarkan hasil sumber agraria tersebut secara adil. Di negara kita, suasananya menjadi lebih gaduh karena rezim hukum agraria (dalam makna agraria yang luas) sangat tumpang tindih dan penuh dengan ketidakpastian hukum. Masalahnya kemudian berkembang menjadi, siapakah yang paling berhak memiliki dan secara legal dapat bertransaksi?

Disinilah letak masuknya proyek-proyek neoliberal pertanahan dalam mendorong rezim hukum kepemilikan dan penguasaan baru yang sesuai hukum ekonomi pasar . Para pemiliknya (apakah individu, komunitas, badan hukum, dan pemerintah) mestilah mempunyai hubungan hukum yang diakui oleh sistem hukum nasional yang berlaku, tercatat dengan baik, semua informasi di dalamnya dapat diakses dengan mudah, dan dijalankan oleh birokrasi yang efisien. Dengan demikian, kebutuhan kelompok lain khususnya para investor, untuk mendapatkan semua informasi hukum tersebut dan melakukan transaksi di dalamnya dalam berbagai skema ekonomi dapat dipenuhi.

C.Beberapa Masalah
Jika ditelusuri, mengapa kelompok utama neoliberal seperti Bank Dunia memasukkan agenda-agenda pembaruan agraria dan pembenahan hukum kepemilikan didalamnya juga terkait dengan reputasi SAP yang secara nyata telah terbukti gagal mengikis persoalan kemiskinan dan krisis di berbagai belahan dunia .

Pendeknya, agenda reforma agraria bagi Bank Dunia dipandang sebagai sisi penting bagi usaha menumbuhkan pasar konsumen pedesaan. Juga, dengan elemen reforma agraria seperti land titling akan membuka peluang pasar kredit perbankan. Dan, yang terpenting Reforma Agraria dapat menjadi agenda untuk mempertahankan ketergantungan ekonomi petani dan negara secara keseluruhan dalam sistem ekonomi global.

Imajinasi ini sangat berbeda dengan imajinasi UUPA misalnya, agraria (bumi air dan kekayaan alam di dalamnya) adalah sumber dan alat bagi transfromasi masyarakat menuju kesejahteraan yang tetap harus berkait dengan harga diri kebangsaan dan komunitas. Imajinasi lain UUPA seperti kehendak membangun model industrialisasi nasional yang kokoh dalam hubungan desa-kota, industri dan pertanian dan saling menguatkan, dengan salah satu caranya seperti mengharamkan korporasi memiliki HGU sebab prioritas utama diperuntukkan bagi badan usaha bersama/koperasi milik petani/desa/adat/komunitas sebagai alat transformasi agraria tidak sesuai reforma agraria ala Bank Dunia.

Padahal, imajinasi nasional ini, yang seharusnya disempurnakan melalui praktek-praktek yang setia dengan tujuan pencapaian utamanya (esensi berkesinambungan) sepenuhnya telah diselewengkan di dalam praktek negara dalam menjalankan UUPA selama ini.

D.Peluang "AMAN"?
Peluang yang paling besar saat ini berada di alat-alat demokrasi. Apalagi, dengan semakin berkembangnya alat-alat demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang ditandai dengan tumbuhnya organisasi-organisasi akan membuka semakin banyak penyebarluasan gagasan keadilan sosial termasuk di dalamnya masyarakat adat dan reforma agraria.

Jika memakai demokrasi, maka isu yang layak untuk terus dikembangkan adalah melakukan semakin banyak aliansi dalam rangka memanggil negara untuk bekerja semakin banyak dalam peran-peran sosialnya dalam kerangka pemajuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM.

Pekerjaan memanggil peran negara tersebut mestilah didesakkan dengan seperangkat imajinasi kolektif sosial masyarakat yang sama sekali berlainan dengan imajinasi negara neoliberal. Peluang semacam ini yang paling besar memenuhi prasyarat justru berada di organisasi masyarakat adat di wilayahnya.

Artikel presentasi diskusi dalam rangka HUT AMAN ke IX 2008.
Jakarta, 13 Maret 2008

Iwan Nurdin.