March 28, 2008

Konflik Tanah Perkebunan, Kemana Seharusnya Berujung?

Oleh: Iwan Nurdin
Dalam sebuah Rapat Kordinasi antara BPN-RI dengan Komisi II DPR RI bulan lalu, Kepala BPN Joyo Winoto, PhD mendapatkan berbagai kritik dan pertanyaan dari DPR-RI tentang penanganan konflik/sengketa pertanahan yang berjalan sangat lambat.

Menurut catatan BPN, data sengketa agraria tahun 2006 berjumlah 1423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2810 kasus. Setelah diverifikasi kembali data tahun 2007: jumlah sengketa menjadi 4581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2052 kasus sehingga total kasus menjadi 7491 kasus.

Menurut BPN, sengketa adalah jenis permasalahan tanah yang tidak melibatkan masyarakat banyak dan bukan disebabkan oleh persoalan structural kekuasaan dan kebijakan secara langsung. Sementara, Konflik adalah permasalah tanah yang bersifat structural dan melibatkan masyarakat banyak. Dan, perkara adalah permasalahan tanah yang dilimpahkan penanganannya melalui pengadilan.

Persoalan ini telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan, digunakan secara optimal seluas: 607.886 atau seluas 6.078.860.000 M2 ha. Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp.15.000). Maka kerugian Negara telah mencapai Rp 91,1829 Triliun.

Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp. 146,804 Triliun.

Jadi sesungguhnya pemerintah telah menghitung sendiri bahwa kebijakan-kebijakan pertanahan saat ini yang sangat amburadul itu dan telah merugikan negara dan rakyat begitu besar.

Catatan Pembanding
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik yang bersifat struktural sampai dengan tahun 2001 saja telah mencapai 1753 (Jauh lebih besar dari 858 yang dikategorikan konflik oleh BPN tahun 2007) dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Dari keseluruhan sengketa tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus (19.6%) terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus (13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan sengketa tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 115 kasus (6.6%) merupakan sengketa akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 77 kasus (4.4%) sengketa akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah sengketa yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Selebihnya adalah karena transmigrasi, sarana pemerintah, fasilitas militer dll.

Sementara kasus-kasus di atas belum terselesaikan, jumlah konflik setiap tahun terus bertambah akibat lambannya penyelesaian. Dalam catatan tahun 2007, KPA mencatat bahwa sepanjang 2007, terjadi sedikitnya 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa.

Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar

Memberi Ujung Pada Konflik
Kita patut prihatin bahwa konflik terbesar tetap berada di areal perkebunan. Artinya konflik pada tanah-tanah yang diatur oleh UUPA dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, HGU diatur dalam pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan kelanjutan dari erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie.

Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU sesungguhnya diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi/perusahaan. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern disatu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal disisi yang lain.

Lebih lanjut, hak erpacht dan consessie yang dikonversi kedalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam sebuah pidato sebelum pengesahan UUPA September 1960 merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht dan consessie tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya semua keruwetan hak barat atas tanah sudah selesai pada tahun 1980.

Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan PTPN. Padahal, sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge oleh Orde Baru. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

Dilain pihak secara bersamaan, korporasi swasta juga diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU diatas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang telah memanipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA. Seharusnya pemerintah menerjemahkan Hak Menguasai Negara dipandu dengan kewajiban yang jelas yaitu: diabdikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian, pemberian HGU selama ini sebenarnya telah dengan sengaja mempertahankan praktek marjinalisasi ekonomi pertanian rakyat kita.

Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan yang dimiliki oleh rakyat. Bahkan,mengacu kepada PP ini, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang memberi Hak Guna Usaha tanpa pembedaan asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun, jauh lebih lama dari Hukum Agraria Belanda yang memberi hak selama-lamanya 75 tahun.

Penelusuran ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” baik oleh UUPA apalagi oleh pandangan masyarakat sekitar. Pemberian HGU selama ini secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kerapnya gejala petani dan masyarakat adat mengidentikkan perusahaan perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal telah menjadikan perusahaan perkebunan menjadi objek gerakan okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya perusahaan perkebunan berdiri diatas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial.

Dengan demikian, pemerintah semestinya menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM agar segera membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) terkait maraknya konflik agraria. Di dalam kerjanya, khusus untuk perkebunan, komisi ini bisa segera melakukan audit terhadap HGU dan menyelesaikan segenap persoalan didalamnya dengan mengutamakan hak rakyat atas tanah.

Kemudian, sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuai UUPA 1960 sehingga terdapat sebuah desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju sistem yang lebih berkeadilan sosial.

Jakarta, 4 Maret 2008



Iwan Nurdin

No comments: