March 22, 2011

Regulasi Anti Rakyat Terus Tumbuh



Modal, Tenaga Kerja dan Tanah (Sumber Daya Alam) adalah tiga faktor terpenting dalam ekonomi produksi. Soal modal, kita tahu bahwa pasar modal, pasar uang dan perbankan di negara kita sudah maha liberal, siapapun bisa ikut tanpa membedakan orang lokal atau asing. Undang-undang di sektor perbankan, yang sangat memudahkan bank asing beroperasi di Indonesia. Hal itu berbeda dengan peraturan di Malaysia misalnya, yang secara internal melindungi perbankannya dengan sederet diskresi.

Soal tenaga kerja, UU Tenaga Kerja kita telah lama memberi peluang diberlakukannya Labour Market Flexibility (LMF) di Indonesia dengan sistem outsourching dan kerja kontrak telah membuktikan bahwa pasar tenaga kerja yang liberal di dalam negeri sudah berjalan dengan efektif.

Sekarang, seberapa Liberal UU terkait tanah dan SDA alam kita?

Soal Hutan, Perkebunan, Pertambangan minyak gas dan mineral, Perikanan Wilayah Pesisir dan Kelautan, Pangan, sudah dipenuhi dengan kepentingan pemodal besar dan kepentingan negara-negara maju di nusantara ini. Wajar kemudian kekayaan alam tersebut diekspor mentah-mentah kepada negara-negara yang membutuhkan untuk diolah. Apalagi negara ini membutuhkan devisa untuk membayar hutangnya yang menumpuk. Sejumlah undang-undang di bidang energi yang disahkan selepas reformasi 1998. Beleid-beleid itu menyebabkan Indonesia tak punya kedaulatan energi. "Sekitar 70 persen energi kita sekarang dikuasai asing".

Menengok di bidang pertanian, Serikat Petani Indonesia menganalisis ada sekitar 23 beleid yang berkaitan dengan petani, namun tak satu pun yang memperkuat petani gurem atau buruh tani. Peraturan-peraturan itu malah meliberalisasi pertanian sembari menggelar karpet merah bagi korporasi besar. Korbannya antara lain, 12 petani di Kediri, Jawa Timur, yang masuk penjara akibat mengembangkan bibit. Mereka terjerat Undang-undang Pengembangan Budidaya Tanaman, yang membuat budidaya bibit dimonopoli perusahaan. Pasalnya, bibit harus diuji di laboratorium.

Jadi, faktor produksi ekonomi terpenting nasional telah dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan modal dan tentu akan menjadi jelas bagaimana politisi membuat kebijakan di negara kita ini berpihak. Sebab, bagaimana bisa sebuah kebodohan bisa hadir dalam sebuah regulasi nasional.

Dalam suasana demikian, sangat dibutuhkan obor penerang untuk menunjukkan jalan arah kebangsaan nasional kita.

March 21, 2011

RUU Pertanahan: Revitalisasi, Revisi atau Mengganti UUPA 1960?

Iwan Nurdin
 


Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 1960 adalah sosok perundangan yang bernasib tragis. Dalam proses penyusunannya, UU ini dirancang oleh sebuah Panitia Negara yang terdiri dari para pakar lintas ilmu, negarawan, dan politisi sebelum draft akhir-nya diserahkan kepada DPR untuk dibahas dan disetujui. Dalam sejarah Indonesia, belum adaUU yang secara khusus dirancang sedemikian khusus kecuali UUPA.

Sementara, setelah diundangkan, sampai usianya yang telah mencapai lebih setengah abad hampir semuanya dipenuhi oleh proses penyelewengan dan pengingkaran.

Pada masa Soekarno ia dijalankan setengah hati dan penuh kerumitan dari sisi birokrasi khususnya dalam hal pelaksanaan segi-segi land reform sehingga telah memicu aksi sepihak dari kelompok komunis dan perpecahan politik dari desa hingga ke kota.

Pada masa Orde Baru, bukan saja land reform dianggap tabu, UUPA 1960 juga dianggap produk komunis dan dipreteli dengan lahirnya berbagai UU sektoral seperti kehutanan, pertambangan yang mengacu kepada UU penanaman modal.

Pada masa reformasi, terjadi pemanggilan kembali kepada agenda reforma agraria melalui lahirnya TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Memang, kelahiran TAP MPR ini mengundang kontroversi, sebab dengan janji akan menjalankan reforma agraria, TAP ini mengamanatkan untuk terlebih dahulu melakukan mereview seluruh kebijakan agraria yang tidak sesuai dengan agenda reforma agraria dan membuat UU baru yang pro kepada reforma agraria.

Namun, review kebijakan dan mendorong lahirnya UU baru di DPR dan Pemerintah sesungguhnya berada dalam arus yang sangat berlainan dengan reforma agraria yang pro rakyat. Arus yang mengemuka adalah arus neoliberal dan kehendakn mengeleminasi UUPA 1960.

Dimasa Megawati, lahir sebuah Kepres yang mengamanatkan agar dirancang UU Agraria yang baru kepada BPB. Oleh BPN, kemudian diusulkan sebuah RUU Sumber Daya Agraria (RUU-SDA). RUU ini mendapat tentangan keras oleh berbagai kalangan masyarakat sipil, hingga pemerintahan Megawati berakhir status RUU belum disetujui oleh DPR.

Pada masa SBY, Kepala BPN Joyo Winoto meneruskan perintah Kepres dengan menarik rancangan RUU SDA di parlemen dan menggantinya dengan sebuah usulan tentang Amandemen UUPA 1960. Dengan melakukan amandemen, menurut Ka. BPN semangat UUPA 1960 bisa direvitalisasi dan hal-hal yang kurang dalam UUPA bisa ditambahkan ke dalam pasal-pasal baru.  Langkah amandemen ini juga kemudian dihentikan dengan kesapakatan politik bersama antara Komisi II dan BPN pada tahun 2007 dan untuk menghentikan usulan amandemen UUPA 1960.

Langkah penghentian tersebut kemudian berlanjut dengan usulan bahwa BPN akan segera membuat sebuah RUU Pertanahan kepada DPR. (bersambung ya).   

March 20, 2011

Sesat Pikir RUU Pengadaan Tanah




Idham Arsyad
Saat ini RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tengah dibahas panitia khusus DPR. RUU ini merupakan inisiasi pemerintah dan telah lama disiapkan untuk mengatasi kendala perolehan tanah untuk pembangunan.

Selama ini pengadaan tanah untuk pembangunan diatur dalam Peraturan Presiden No 36/2005 juncto PP No 56/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Juga ada UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di Atasnya.

Penulis tak melihat urgensi dan relevansi RUU ini. Patutlah dicurigai RUU Pengadaan Tanah ini sebagai regulasi pesanan. Melihat substansinya, RUU ini lebih menguntungkan pengusaha daripada rakyat, khususnya yang terkena obyek pembangunan.

Substansi RUU ini juga menunjukkan sesat pikir dalam mengatasi problem pengadaan tanah bagi proyek pembangunan. Pertama, RUU ini tak menyebutkan pengertian dan kriteria kepentingan umum. Pengertian dan kriteria tegas akan melindungi pemilik tanah dari penafsiran sepihak penguasa mengenai makna kepentingan umum.

Dua kriteria

Wiradi (2009) mengemukakan, setidaknya ada dua kriteria kepentingan umum dalam pembangunan. Pertama, manfaat obyek pembangunan dapat diakses rakyat secara merata dan lintas batas segmen sosial. Kedua, obyek pembangunan bukan untuk komersial bisnis semata.

Namun, dalam Pasal 13 RUU, beberapa obyek yang disebut sebagai kepentingan umum tak tergolong dalam kriteria kepentingan umum karena aktornya bukan sepenuhnya pemerintah dan dikomersialkan, seperti jalan tol serta infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi.

Kedua, melegitimasi penggusuran tanah rakyat tanpa mekanisme perlindungan korban. RUU ini mensyaratkan kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi. Padahal, sebagian besar tanah rakyat tak dilengkapi dengan dokumen hukum yang lengkap.

Bayangkan, sampai 2008 baru sekitar 39 juta dari 85 juta bidang tanah yang bersertifikat. Data ini belum termasuk tanah di kawasan hutan yang dikuasai masyarakat adat. Artinya, bila RUU diberlakukan, 60 persen rakyat akan digusur tanpa ganti rugi.

Ketiga, RUU ini menciptakan ketakadilan pemilikan dan kian tajamnya penguasaan tanah. Kepala Badan Pertanahan Nasional mengemukakan data, hanya 0,2 penduduk negeri ini yang menguasai 56 persen aset nasional yang 87 persen dalam bentuk tanah. Hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia ialah petani gurem dan petani tak bertanah.

Gambaran semakin menyempitnya lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha. Saat ini sekitar 29 juta hektar untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektar untuk pengusaha hutan tanaman industri, 2,4 juta hektar dikuasai Perhutani, dan 6 juta hektar dikuasai pengusaha perkebunan sawit. Jurang ketimpangan akan makin dalam karena RUU ini juga memfasilitasi pengusaha untuk memperoleh tanah dalam berbagai proyek pembangunan.

Keempat, RUU ini bakal hadir di tengah ketiadaan peta perencanaan penggunaan tanah nasional. Ketiadaan peta itu akan menyuburkan kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya, baik untuk penggunaan ekonomi, politik, maupun pemerintahan, ekologi, cadangan strategis, dan bahkan pertahanan keamanan. Turunan dari persoalan ini mengakibatkan meledaknya konflik perampasan dan penggusuran tanah.

Struktur agraria

Diakui, kita menghadapi kompleksitas persoalan agraria. Dari segi kebijakan, tumpang tindih perundang-undangan dan sektoralisme pengurusan masalah tanah dan sumber daya alam antarsektor masih terjadi. Padahal, konsensus politik mengakhiri sektoralisme ini telah dicapai pada 2001 melalui TAP MPR No IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Kompleksitas persoalan agraria lain adalah sulitnya mewujudkan keadilan agraria bagi rakyat Indonesia, seperti dimandatkan Pasal 33 UUD 1945. Keadilan ini sulit mewujud karena kita mewarisi struktur agraria yang sangat timpang dari masa kolonial sampai pemerintahan Orde Baru. Namun, memasuki era reformasi, kita juga tidak melakukan perombakan mendasar.

Tugas sejarah kita adalah menata struktur agraria yang timpang melalui pelaksanaan reforma agraria, tidak justru membuat aturan yang menambah ruwet persoalan pertanahan dan menjauhkan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya.

Maka, pembahasan RUU ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria.

Idham Arsyad Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria

March 15, 2011

KPK sebaiknya meneliti laporan masyarakat soal BPLS

 Lumpur Lapindo, Lumpur Porong atau Lumpur Sidoarjo, memilih kata-kata yang berbeda saja sudah menyatakan banyak hal. Pemerintah menyebutnya sebagai Lumpur Sidoarjo. Baiklah, saya ikut saja dengan istilah ini. Pasalnya, luapan lumpur sidoarjo yang tak kunjung berhenti tersebut telah menelan banyak korban, khususnya kampung dan pemukiman yang tenggelam dibenam lumpur.

Akhirnya, untuk menanggulangi dampak tersebut, pemerintah membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Berdasarkan Perpres 48/2008, area terdampak yang ditetapkan oleh pemerintah, tanah-tanahnya akan dibeli oleh pemerintah dan karenanya para penduduk harus mengosongkan area terdampak tersebut.

Pemerintah melalui BPLS menetapkan bahwa harga pembelian adalah: Harga Rumah dan Bangunan  Rp. 1.5 juta permeter, Tanah Kering/pekarangan dibeli Rp. 1 Juta per meter dan tanah sawah 120 ribu permeter.Selisih dari harga tersebut yang jauh telah membuat banyak oknum menarik pungutan kepada rakyat.  Pendeknya, ada oknum-oknum dari badan ini, pemerintah desa, dan BPN yang memungut fee dari warga bahkan disertai ancaman.

Menurut warga sering mereka diancam kalau tidak mau memberi fee maka tanahnya akan ditetapkan secara sepihak menjadi tanah sawah yang tentusaja uang pembeliannya menjadi sedikit. Meskipun tanah masyarakat tersebut adalah tanah kering berdasarkan bukti legal dari BPN dan dokumen pembayaran pajak.

Selanjutnya, ditemukan laporan dari warga, tanah-tanah yang dibeli BPLS juga selalu berkurang ukurannya. Misalnya dari bukti sertifikat atau girik tanah masyarakat luasnya 1500 meter persegi. Namun, hasil team verifikasi selalu menyatakan bahwa tanah mereka berkurang hingga sepuluh persen dari luasan yang tercantum. Padahal, lazimnya tanah masyarakat dengan teknik pengukuran masalalu dan masa sekarang seharusnya luasannya yang tertera di surat kurang dari ukuran yang senyatanya. Perlu ada penelusuran lebih lanjut di pihak warga yang tanahnya dibeli dengan "ukuran baru" tersebut apakah juga dilaporkan sama dalam dokumen pembelian yang tercatat di BPLS.

Terakhir, ada laporan dari masyarakat bahwa tanah-tanah fasum dan fasos juga dijual kepada BPLS. Hal ini bisa terjadi tentu karena ada kerjasama antara berbagai pihak di BPLS dan oknum pemerintah desa. Mustahil jika lapangan bola misalnya, menjadi milik salah satu orang dengan nama jelas jika rumus "tahu sama tahu" tidak dipakai.

Tiga jenis persoalan ini belum dilirik oleh KPK untuk diselidiki, atau karena belum ada laporan resmi ya. Kalau melihat meningkatnya kekayaan oknum-oknum di BPLS dan pemerintah desa yang sangat mencolok, saya kira pandangan bahwa ada korupsi di lembaga ini patut diselidik baik oleh KPK atau kepolisian.

Sambil kami mengumpulkan lebih banyak bukti dari masyarakat untuk meneruskan laporan ke pihak terkait, ada baiknya pemerintah turun membenahi BPLS

March 7, 2011

Terkait Kasus Tanah Satgas Mafia Hukum Turun ke Medan

Satgas Mafia Hukum Turun ke Medan
Sumut Pos, 03/03/2011

Terkait dugaan penggunaan surat palsu dan data-data palsu dalam proses gugatan perdata atas tanah seluas 46,11 hektar, antara pihak PTPN II dan Kawasan Industri Medan (KIM) di Mabar melawan 70 anggota Gapoktan Desa Mandiri, petugas Satgas (Satuan Tugas) Pemberantasan Mafia Hukum turun untuk mengawasi lokasi. Kordinasi Poldasu dengan Satgas Mafia Hukum untuk mengawasi adanya praktik-praktik yang dilakukan atau dibekingi oleh mafia-mafia di Sumut serta memeriksa penggunaan surat palsu dan data palsu.

“Satgas Mafia Hukum pun sudah turun untuk mengawasi, Poldasu yang akan berkordinasi dengan Satgas akan terus menyelidiki kasus tersebut,” ujar Dir Reskrim Poldasu, Kombes Pol Agus Ardiyanto melalui telepon selulernya, kemarin (2/3) siang.

Disinggung dugaan keterkaitan mafia yang menunggangi kelompok tani hingga PTPN II dan PT KIM mengadu ke Poldasu pada 5 April 2010 lalu sesuai nomor: LP/126/IV/2010/Dit Reskrim, Agus membantahnya. Dijelaskannya, inti permasalahannya adalah mempertanyakan izin investasi pihak asing (penanaman modal asing/PMA) di lahan tersebut.

“Investor bantu untuk membeli tanah negara. Mereka (gapoktan) mengklaim tanah tersebut miliknya dan mempertanyakan izin para investor dari negara luar yang ingin membeli tanah negara,” ucap Agus.
Dikatakan Agus, hasil penyidikan terhadap Legiman yang ditangkap 13 Februari 2011 lalu, yangbersangkutan tidak mengatahui letak tanahnya.  “Dari data yang dimilikinya, dia (Legiman, Red) tidak mengetahui dimana tanahnya, sedangkan untuk alas haknya saja tidak ada. Jadi kita tidak akan main-mian dengan kasus ini. Akan kita proses sesuai dengan hukum yang berlaku,” cetusnya.

KPA: Banyak Kejanggalan

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencium sejumlah kejanggalan dalam perkara sengketa lahan antara Gabungan Kelompok Tani (Gapokta) Manunggal dengan PTPN II dan PT Kawasan Industri Medan (KM), yang berujung penangkapan seorang petani, Legiman (72).

Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin menjelaskan, polisi tentu memiliki wewenang menahan tersangka jika memiliki cukup bukti pemalsuan surat kuasa permohonan eksekusi atas nama warga seperti yang diadukan oleh PT.KIM dan PTPN II. Namun, kata Iwan, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sudah memutuskan bahwa warga yang tergabung dalam Gapokta adalah pemilik sah tanah tersebut.
“Jadi, dasar keberatan dan aduan dari perusahaan kepada perusahaan sesungguhnya lemah. Sebab, setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap pihak perusahaan tidak memiliki hak atas areal tersebut dan wajib mematuhinya dengan cara keluar dari areal tersebut. Apalagi mereka BUMN dan Perusahaan berbadan hukum, seyogyanya tidak perlu menunggu perintah eksekusi apalagi sampai bertahun-tahun dan barangkali terus mengambil manfaat atas tanah tersebut,” beber Iwan kepada Sumut Pos saat dimintai tanggapan atas kasus ini.

Lebih lanjut Iwan berpendapat, jika melihat kronologisnya, seharusnya pihak yang berkeberatan atas “pemalsuan” tanda tangan sehingga berhak melaporkan para tersangka atas pemalsuan tersebut adalah warga yang tergabung dalam Gapokta. “Bukan pihak perusahaan yang menurut hukum sudah tidak berhak atas tanah tersebut,” cetus Iwan Nurdin.
Karenanya, menurut Iwan, sebelum aparat melakukan penangkapan terhadap Legiman, mestinya diteliti lebih dulu, apakah masyarakat yang tergabung dalam Gapokta memang mewakilkan tanda tangan permohonan eksekusi, atau sekurang-kurangnya tidak keberatan jika tanda tangannya diwakilkan oleh para tersangka. “Jika tidak ada keberatan, tentu tidak ada alasan pihak kepolisian menindaklanjuti laporan dari perusahaan,” ujar Iwan.

Kemelut sengketa lahan semacam ini, kata Iwan, sesungguhnya bisa diatasi jika Polda Sumatera Utara mengingat kembali instrument Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara BPN dan Mabes Polri yang ditandatangi pada 24 Juli 2007 lalu. Di dalamnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) telah mengumumkan kepada publik telah membuat kesepakatan bersama untuk mengatasi masalah pertanahan di Indonesia, dengan nomor: 3/SKB/BPN/2007, No.Pol. B/576/III/2007.  Tindak lanjut dari MoU ini adalah dibentuknya Tim Ad-Hoc Sengketa tanah. “Dengan dibentuknya team ad hoc tersebut, skala prioritas penyelesaian sengketa pertanahan di Sumut seharusnya sudah terpetakan,” ujarnya.

Perkembangan kasus ini, pihak Poldasu menegaskan pihaknya tidak salah tangkap. Legiman dinyatakan sebagai tersangka kasus pemalsuan surat yang kini tengah ditangani Poldasu. “Itu tidak salah tangkap itu benar Legiman yang sudah menjadi tersangka di dalam laporan polisi,” ujar Kabid Humas Poldasu Kombes Pol Heri Subiansaori melalui Kasat IV Tipiter Poldasu AKBP M Butar-Butar, Selasa (1/3), melalui telepon seluler. Dia mengatakan, Poldasu akan terus melakukan penyelidikan dan memproses Legiman secara hukum.

Legiman, oleh polisi disebut berinisial L, bersama tersangka lain berinisial T (Tugimin, rekan Legiman), ditetapkan sebagai tersangka kasus kisruh eksekusi lahan PT KIM yang kepemilikannya diklaim kelompok tani pimpinan Legiman dan manajemen PTPN II.

Perjalanan panjang Legiman (72) dan rekan-rekannya sesama anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapokta) Manunggal memperjuangkan kepemilikan 46,11 hektar lahan di Desa Saentis belum usai. Meski sudah memiliki hak penuh atas kepemilikan lahan dan dikuatkan dengan keputusan pengadilan serta sudah dieksekusi 6 Januari 2011, PTPN II dan PT Kawasan Industri Medan (KM), belum rela melepas hak atas lahan tersebut masih terus digoyang.
Padahal, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam (6 Maret 1999), Pengadilan Tinggi Medan (21 September 2000), keputusan di tingkat Mahkamah Agung 6 Desember 2001, dan peninjauan kembali di MA tahun 2004 sudah memberi kewenangan kepemilikan lahan yang sudah mereka garap sejak 1952 itu. PN Lubuk Pakam bahkan sudah mengeksekusi lahan tersebut pada 6 Januari 2011. (mag-1/sam)

Bentrok Petani vs Aparat, Modus Alihkan Isu

Jawapos
NUSANTARA - SUMUT
Jum'at, 04 Maret 2011 , 02:59:00

JAKARTA -- Deputi Bidang Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai, bentrok antara aparat Brimob Polda Sumut dengan petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapokta) Manunggal, Kamis (3/3), merupakan modus lama yang dimainkan calon investor. Ketika kalah dalam unsur perdata, maka investor akan berupaya mengalihkan ke unsur pidana.

"Diciptakan kekerasan, pengrusakan, penangkapan, ditahan, sehingga warga ketakutan dan tidak bisa memanfatkan lahan. Ini modus lama. Catatan KPA, modus-modus ini juga terjadi di sejumlah daerah," ujar Iwan Nurdin kepada JPNN, kemarin (3/3).

Dia menyayangkan keterlibatan aparat Brimob, yang menurutnya tidak ada relevansinya. Ketika sudah ada putusan yang inchract, maka mestinya unsur pemda yang berada di lokasi, untuk memastikan bahwa lahan tersebut sudah kembali ke tangan warga.  Dikatakan, pola keterlibatan Brimob mirip dengan keterlibatan TNI di era Orde Baru, yang dijadikan alat menyingkirkan warga yang sudah lama tinggal di sebuah lahan yang akan dimanfatkan investor.

Seperti diberitakan, Legiman, anggota Gapokta Manunggal, dinyatakan sebagai tersangka kasus pemalsuan surat yang kini tengah ditangani Poldasu. “Itu tidak salah tangkap itu benar Legiman yang sudah menjadi tersangka di dalam laporan polisi,” ujar Kabid Humas Poldasu Kombes Pol Heri Subiansaori melalui Kasat IV Tipiter Poldasu AKBP M Butar-Butar, Selasa (1/3), melalui telepon seluler. Dia mengatakan, Poldasu akan terus melakukan penyelidikan dan memproses Legiman secara hukum.

Legiman, oleh polisi disebut berinisial L, bersama tersangka lain berinisial T (Tugimin, rekan Legiman), ditetapkan sebagai tersangka kasus kisruh eksekusi lahan PT KIM yang kepemilikannya diklaim kelompok tani pimpinan Legiman dan manajemen PTPN II.

Perjalanan panjang Legiman (72) dan rekan-rekannya sesama anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapokta) Manunggal memperjuangkan kepemilikan 46,11 hektar lahan di Desa Saentis belum usai. Meski sudah memiliki hak penuh atas kepemilikan lahan dan dikuatkan dengan keputusan pengadilan serta sudah dieksekusi 6 Januari 2011, PTPN II dan PT Kawasan Industri Medan (KM), belum rela melepas hak atas lahan tersebut masih terus digoyang.

Padahal, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam (6 Maret 1999), Pengadilan Tinggi Medan (21 September 2000), keputusan di tingkat Mahkamah Agung 6 Desember 2001, dan peninjauan kembali di MA tahun 2004 sudah memberi kewenangan kepemilikan lahan yang sudah mereka garap sejak 1952 itu. PN Lubuk Pakam bahkan sudah mengeksekusi lahan tersebut pada 6 Januari 2011. (sam/jpnn)