Lumpur Lapindo, Lumpur Porong atau Lumpur Sidoarjo, memilih kata-kata yang berbeda saja sudah menyatakan banyak hal. Pemerintah menyebutnya sebagai Lumpur Sidoarjo. Baiklah, saya ikut saja dengan istilah ini. Pasalnya, luapan lumpur sidoarjo yang tak kunjung berhenti tersebut telah menelan banyak korban, khususnya kampung dan pemukiman yang tenggelam dibenam lumpur.
Akhirnya, untuk menanggulangi dampak tersebut, pemerintah membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Berdasarkan Perpres 48/2008, area terdampak yang ditetapkan oleh pemerintah, tanah-tanahnya akan dibeli oleh pemerintah dan karenanya para penduduk harus mengosongkan area terdampak tersebut.
Pemerintah melalui BPLS menetapkan bahwa harga pembelian adalah: Harga Rumah dan Bangunan Rp. 1.5 juta permeter, Tanah Kering/pekarangan dibeli Rp. 1 Juta per meter dan tanah sawah 120 ribu permeter.Selisih dari harga tersebut yang jauh telah membuat banyak oknum menarik pungutan kepada rakyat. Pendeknya, ada oknum-oknum dari badan ini, pemerintah desa, dan BPN yang memungut fee dari warga bahkan disertai ancaman.
Menurut warga sering mereka diancam kalau tidak mau memberi fee maka tanahnya akan ditetapkan secara sepihak menjadi tanah sawah yang tentusaja uang pembeliannya menjadi sedikit. Meskipun tanah masyarakat tersebut adalah tanah kering berdasarkan bukti legal dari BPN dan dokumen pembayaran pajak.
Selanjutnya, ditemukan laporan dari warga, tanah-tanah yang dibeli BPLS juga selalu berkurang ukurannya. Misalnya dari bukti sertifikat atau girik tanah masyarakat luasnya 1500 meter persegi. Namun, hasil team verifikasi selalu menyatakan bahwa tanah mereka berkurang hingga sepuluh persen dari luasan yang tercantum. Padahal, lazimnya tanah masyarakat dengan teknik pengukuran masalalu dan masa sekarang seharusnya luasannya yang tertera di surat kurang dari ukuran yang senyatanya. Perlu ada penelusuran lebih lanjut di pihak warga yang tanahnya dibeli dengan "ukuran baru" tersebut apakah juga dilaporkan sama dalam dokumen pembelian yang tercatat di BPLS.
Terakhir, ada laporan dari masyarakat bahwa tanah-tanah fasum dan fasos juga dijual kepada BPLS. Hal ini bisa terjadi tentu karena ada kerjasama antara berbagai pihak di BPLS dan oknum pemerintah desa. Mustahil jika lapangan bola misalnya, menjadi milik salah satu orang dengan nama jelas jika rumus "tahu sama tahu" tidak dipakai.
Tiga jenis persoalan ini belum dilirik oleh KPK untuk diselidiki, atau karena belum ada laporan resmi ya. Kalau melihat meningkatnya kekayaan oknum-oknum di BPLS dan pemerintah desa yang sangat mencolok, saya kira pandangan bahwa ada korupsi di lembaga ini patut diselidik baik oleh KPK atau kepolisian.
Sambil kami mengumpulkan lebih banyak bukti dari masyarakat untuk meneruskan laporan ke pihak terkait, ada baiknya pemerintah turun membenahi BPLS
Akhirnya, untuk menanggulangi dampak tersebut, pemerintah membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Berdasarkan Perpres 48/2008, area terdampak yang ditetapkan oleh pemerintah, tanah-tanahnya akan dibeli oleh pemerintah dan karenanya para penduduk harus mengosongkan area terdampak tersebut.
Pemerintah melalui BPLS menetapkan bahwa harga pembelian adalah: Harga Rumah dan Bangunan Rp. 1.5 juta permeter, Tanah Kering/pekarangan dibeli Rp. 1 Juta per meter dan tanah sawah 120 ribu permeter.Selisih dari harga tersebut yang jauh telah membuat banyak oknum menarik pungutan kepada rakyat. Pendeknya, ada oknum-oknum dari badan ini, pemerintah desa, dan BPN yang memungut fee dari warga bahkan disertai ancaman.
Menurut warga sering mereka diancam kalau tidak mau memberi fee maka tanahnya akan ditetapkan secara sepihak menjadi tanah sawah yang tentusaja uang pembeliannya menjadi sedikit. Meskipun tanah masyarakat tersebut adalah tanah kering berdasarkan bukti legal dari BPN dan dokumen pembayaran pajak.
Selanjutnya, ditemukan laporan dari warga, tanah-tanah yang dibeli BPLS juga selalu berkurang ukurannya. Misalnya dari bukti sertifikat atau girik tanah masyarakat luasnya 1500 meter persegi. Namun, hasil team verifikasi selalu menyatakan bahwa tanah mereka berkurang hingga sepuluh persen dari luasan yang tercantum. Padahal, lazimnya tanah masyarakat dengan teknik pengukuran masalalu dan masa sekarang seharusnya luasannya yang tertera di surat kurang dari ukuran yang senyatanya. Perlu ada penelusuran lebih lanjut di pihak warga yang tanahnya dibeli dengan "ukuran baru" tersebut apakah juga dilaporkan sama dalam dokumen pembelian yang tercatat di BPLS.
Terakhir, ada laporan dari masyarakat bahwa tanah-tanah fasum dan fasos juga dijual kepada BPLS. Hal ini bisa terjadi tentu karena ada kerjasama antara berbagai pihak di BPLS dan oknum pemerintah desa. Mustahil jika lapangan bola misalnya, menjadi milik salah satu orang dengan nama jelas jika rumus "tahu sama tahu" tidak dipakai.
Tiga jenis persoalan ini belum dilirik oleh KPK untuk diselidiki, atau karena belum ada laporan resmi ya. Kalau melihat meningkatnya kekayaan oknum-oknum di BPLS dan pemerintah desa yang sangat mencolok, saya kira pandangan bahwa ada korupsi di lembaga ini patut diselidik baik oleh KPK atau kepolisian.
Sambil kami mengumpulkan lebih banyak bukti dari masyarakat untuk meneruskan laporan ke pihak terkait, ada baiknya pemerintah turun membenahi BPLS
No comments:
Post a Comment