Iwan Nurdin
Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 1960 adalah sosok perundangan yang bernasib tragis. Dalam proses penyusunannya, UU ini dirancang oleh sebuah Panitia Negara yang terdiri dari para pakar lintas ilmu, negarawan, dan politisi sebelum draft akhir-nya diserahkan kepada DPR untuk dibahas dan disetujui. Dalam sejarah Indonesia, belum adaUU yang secara khusus dirancang sedemikian khusus kecuali UUPA.
Sementara, setelah diundangkan, sampai usianya yang telah mencapai lebih setengah abad hampir semuanya dipenuhi oleh proses penyelewengan dan pengingkaran.
Pada masa Soekarno ia dijalankan setengah hati dan penuh kerumitan dari sisi birokrasi khususnya dalam hal pelaksanaan segi-segi land reform sehingga telah memicu aksi sepihak dari kelompok komunis dan perpecahan politik dari desa hingga ke kota.
Pada masa Orde Baru, bukan saja land reform dianggap tabu, UUPA 1960 juga dianggap produk komunis dan dipreteli dengan lahirnya berbagai UU sektoral seperti kehutanan, pertambangan yang mengacu kepada UU penanaman modal.
Pada masa reformasi, terjadi pemanggilan kembali kepada agenda reforma agraria melalui lahirnya TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Memang, kelahiran TAP MPR ini mengundang kontroversi, sebab dengan janji akan menjalankan reforma agraria, TAP ini mengamanatkan untuk terlebih dahulu melakukan mereview seluruh kebijakan agraria yang tidak sesuai dengan agenda reforma agraria dan membuat UU baru yang pro kepada reforma agraria.
Namun, review kebijakan dan mendorong lahirnya UU baru di DPR dan Pemerintah sesungguhnya berada dalam arus yang sangat berlainan dengan reforma agraria yang pro rakyat. Arus yang mengemuka adalah arus neoliberal dan kehendakn mengeleminasi UUPA 1960.
Dimasa Megawati, lahir sebuah Kepres yang mengamanatkan agar dirancang UU Agraria yang baru kepada BPB. Oleh BPN, kemudian diusulkan sebuah RUU Sumber Daya Agraria (RUU-SDA). RUU ini mendapat tentangan keras oleh berbagai kalangan masyarakat sipil, hingga pemerintahan Megawati berakhir status RUU belum disetujui oleh DPR.
Pada masa SBY, Kepala BPN Joyo Winoto meneruskan perintah Kepres dengan menarik rancangan RUU SDA di parlemen dan menggantinya dengan sebuah usulan tentang Amandemen UUPA 1960. Dengan melakukan amandemen, menurut Ka. BPN semangat UUPA 1960 bisa direvitalisasi dan hal-hal yang kurang dalam UUPA bisa ditambahkan ke dalam pasal-pasal baru. Langkah amandemen ini juga kemudian dihentikan dengan kesapakatan politik bersama antara Komisi II dan BPN pada tahun 2007 dan untuk menghentikan usulan amandemen UUPA 1960.
Langkah penghentian tersebut kemudian berlanjut dengan usulan bahwa BPN akan segera membuat sebuah RUU Pertanahan kepada DPR. (bersambung ya).
Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 1960 adalah sosok perundangan yang bernasib tragis. Dalam proses penyusunannya, UU ini dirancang oleh sebuah Panitia Negara yang terdiri dari para pakar lintas ilmu, negarawan, dan politisi sebelum draft akhir-nya diserahkan kepada DPR untuk dibahas dan disetujui. Dalam sejarah Indonesia, belum adaUU yang secara khusus dirancang sedemikian khusus kecuali UUPA.
Sementara, setelah diundangkan, sampai usianya yang telah mencapai lebih setengah abad hampir semuanya dipenuhi oleh proses penyelewengan dan pengingkaran.
Pada masa Soekarno ia dijalankan setengah hati dan penuh kerumitan dari sisi birokrasi khususnya dalam hal pelaksanaan segi-segi land reform sehingga telah memicu aksi sepihak dari kelompok komunis dan perpecahan politik dari desa hingga ke kota.
Pada masa Orde Baru, bukan saja land reform dianggap tabu, UUPA 1960 juga dianggap produk komunis dan dipreteli dengan lahirnya berbagai UU sektoral seperti kehutanan, pertambangan yang mengacu kepada UU penanaman modal.
Pada masa reformasi, terjadi pemanggilan kembali kepada agenda reforma agraria melalui lahirnya TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Memang, kelahiran TAP MPR ini mengundang kontroversi, sebab dengan janji akan menjalankan reforma agraria, TAP ini mengamanatkan untuk terlebih dahulu melakukan mereview seluruh kebijakan agraria yang tidak sesuai dengan agenda reforma agraria dan membuat UU baru yang pro kepada reforma agraria.
Namun, review kebijakan dan mendorong lahirnya UU baru di DPR dan Pemerintah sesungguhnya berada dalam arus yang sangat berlainan dengan reforma agraria yang pro rakyat. Arus yang mengemuka adalah arus neoliberal dan kehendakn mengeleminasi UUPA 1960.
Dimasa Megawati, lahir sebuah Kepres yang mengamanatkan agar dirancang UU Agraria yang baru kepada BPB. Oleh BPN, kemudian diusulkan sebuah RUU Sumber Daya Agraria (RUU-SDA). RUU ini mendapat tentangan keras oleh berbagai kalangan masyarakat sipil, hingga pemerintahan Megawati berakhir status RUU belum disetujui oleh DPR.
Pada masa SBY, Kepala BPN Joyo Winoto meneruskan perintah Kepres dengan menarik rancangan RUU SDA di parlemen dan menggantinya dengan sebuah usulan tentang Amandemen UUPA 1960. Dengan melakukan amandemen, menurut Ka. BPN semangat UUPA 1960 bisa direvitalisasi dan hal-hal yang kurang dalam UUPA bisa ditambahkan ke dalam pasal-pasal baru. Langkah amandemen ini juga kemudian dihentikan dengan kesapakatan politik bersama antara Komisi II dan BPN pada tahun 2007 dan untuk menghentikan usulan amandemen UUPA 1960.
Langkah penghentian tersebut kemudian berlanjut dengan usulan bahwa BPN akan segera membuat sebuah RUU Pertanahan kepada DPR. (bersambung ya).
No comments:
Post a Comment