Modal, Tenaga Kerja dan Tanah (Sumber Daya Alam) adalah tiga faktor terpenting dalam ekonomi produksi. Soal modal, kita tahu bahwa pasar modal, pasar uang dan perbankan di negara kita sudah maha liberal, siapapun bisa ikut tanpa membedakan orang lokal atau asing. Undang-undang di sektor perbankan, yang sangat memudahkan bank asing beroperasi di Indonesia. Hal itu berbeda dengan peraturan di Malaysia misalnya, yang secara internal melindungi perbankannya dengan sederet diskresi.
Soal tenaga kerja, UU Tenaga Kerja kita telah lama memberi peluang diberlakukannya Labour Market Flexibility (LMF) di Indonesia dengan sistem outsourching dan kerja kontrak telah membuktikan bahwa pasar tenaga kerja yang liberal di dalam negeri sudah berjalan dengan efektif.
Sekarang, seberapa Liberal UU terkait tanah dan SDA alam kita?
Soal Hutan, Perkebunan, Pertambangan minyak gas dan mineral, Perikanan Wilayah Pesisir dan Kelautan, Pangan, sudah dipenuhi dengan kepentingan pemodal besar dan kepentingan negara-negara maju di nusantara ini. Wajar kemudian kekayaan alam tersebut diekspor mentah-mentah kepada negara-negara yang membutuhkan untuk diolah. Apalagi negara ini membutuhkan devisa untuk membayar hutangnya yang menumpuk. Sejumlah undang-undang di bidang energi yang disahkan selepas reformasi 1998. Beleid-beleid itu menyebabkan Indonesia tak punya kedaulatan energi. "Sekitar 70 persen energi kita sekarang dikuasai asing".
Menengok di bidang pertanian, Serikat Petani Indonesia menganalisis ada sekitar 23 beleid yang berkaitan dengan petani, namun tak satu pun yang memperkuat petani gurem atau buruh tani. Peraturan-peraturan itu malah meliberalisasi pertanian sembari menggelar karpet merah bagi korporasi besar. Korbannya antara lain, 12 petani di Kediri, Jawa Timur, yang masuk penjara akibat mengembangkan bibit. Mereka terjerat Undang-undang Pengembangan Budidaya Tanaman, yang membuat budidaya bibit dimonopoli perusahaan. Pasalnya, bibit harus diuji di laboratorium.
Jadi, faktor produksi ekonomi terpenting nasional telah dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan modal dan tentu akan menjadi jelas bagaimana politisi membuat kebijakan di negara kita ini berpihak. Sebab, bagaimana bisa sebuah kebodohan bisa hadir dalam sebuah regulasi nasional.
Dalam suasana demikian, sangat dibutuhkan obor penerang untuk menunjukkan jalan arah kebangsaan nasional kita.
No comments:
Post a Comment