July 25, 2009

Revisi PP Pertanahan Tertutup

Kamis, 23 Juli 2009 , 19:26:00

JAKARTA-- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin menilai, proses revisi PP yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) sangat tertutup. Revisi yang tertutup ini, menurut Iwan, menumbuhkan kekhawatiran.

"Arah revisi ini akan semakin menjauh dari usaha menertibkan tanah terlantar. Bahkan, karena proses yang tertutup tersebut akan membuka pintu bagi lahirnya sebuah kebijakan yang tidak selaras bahkan bertentangan dengan para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat miskin yang mengharapkan keadilan agraria di tanah air," ujar Iwan Nurdin dalam keterangan persnya yang dikirim ke JPNN.

Revisi PP tersebut telah berjalan dan posisinya sudah berada di Sekretariat Negara. Berdasarkan informasi yang didapat KPA, rancangan revisi PP telah melewati proses inter-departemen dan harmonisasi di Depkumham. "Informasinya, arah revisi mengungkapkan bahwa revisi lebih dititikberatkan pada proses penertiban tanah terlantar. Dalam identifikasi BPN ditemukan bahwa tanah yang diindikasikan terlantar berjumlah 7.3 juta hektar," ujar Iwan.

Sekretaris Jenderal KPA Idham Arsyad mendesak pemerintah agar jangan terlalu terburu-buru mengesahkan revisi PP itu sebelum memaparkan arah revisi PP ini kepada publik. "Pemerintah, dalam hal ini BPN harus lebih terbuka dan melibatkan rakyat dalam merivisi PP ini. Revisi PP tanah terlantar harus diletakkan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria yang sejati," terang Idham.

Iwan Nurdin mengutip pendapat Prof Maria SW. Sumardjono (Dewan Pakar KPA dari UGM) yang membenarkan proses revisi PP ini sangat tertutup dan bahkan tidak pernah ditemukan adanya naskah akademik. "Sehingga tidak diketahui secara pasti arah revisi ini apakah beririsan dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Apalagi penekanan arah revisi hanya menekankan pada sisi penertiban, sehingga yang menjadi pertanyaan adalah, setelah ditertibkan tanah-tanah tersebut akan diprioritaskan untuk apa. Ini dipertanyakan Prof Maria saat diskusi yang digelar KPA pada 22 Juli lalu," terang Iwan.

Dikatakan Iwan, seharusnya arah revisi PP ini selaras dengan program pembaruan agraria sehingga tanah terlantar menjadi objek pembaruan agraria. Ada beberapa hal yang perlu disiapkan agar revisi ini selaras dengan pembaruan agraria, yakni diseleraskan dengan upaya merevisi PP 224/1961 tentang Land Reform, dan prakarsa menyusun RUU tentang pelaksanaan reform agraria. (sam/JPNN)

July 21, 2009

2,6 Juta Hektare Hutan Sumsel Digasak 20 Perusahaan


Dikutip dari: Beritamusi.com
Oleh: Ruspanda Karibullah

SELAMA 20 tahun ini, hutan di Sumatra Selatan mengalami kerusakan seluas 2,6 juta hektare dari total seluas 3,7 hektare. Kerusakan lebih banyak disebabkan oleh eksplorasi yang dilakukan perusahan perkebunan kelapa sawit, HTI (hutan tanaman industri), dan pertambangan. Diperkirakan hutan di Sumsel akan habis 10 tahun lagi, apabila eksplorasi hutan tidak dihentikan.
”Ada 20 perusahaan yang mengeksplorasi hutan di Sumsel,” kata Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, di kantornya, Jalan A. Rivai No.690-a, Palembang, Kamis (16/07/2009).
Sementara perusahaan PT Rimba Hutani Mas yang izinnya dituntut Walhi Sumsel dicabut, pada aksi ke Dinas Kehutanan Sumsel pada hari ini, Kamis (16/07/2009), merupakan anak perusahaan Sinar Mas Group. Sinar Mas Group bukan hanya menguasai lahan di kabupaten Musi Banyuasin, juga di Ogan Komering Ilir melalui PT Sebangun Bumi Andalas, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Bumi Mekar Hijau.
”Jadi mereka menguasai hutan di Sumsel sekitar 700 ribu hektare,” kata Sadat. ”Tuntutan kami ini sebagai upaya agar Sumsel tidak menjadi titik kerusakan ekologi di Indonesia dan dunia. Kita juga akan mempersoalkan perusahaan-perusahaan lainnya,” kata Sadat.

July 14, 2009

PEMERINTAH KITA TIDAK MENGENAL SIAPA KAUM MISKIN ITU.

Iwan Nurdin Deputi Riset dan Kampanye KPA

BPS baru-baru ini melansir data bahwa kemiskinan kita menurun, pendapat anda?

Ya, Badan Pusat Statistik memang menunjukkan data bahwa penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta jiwa. Sehingga orang miskin sekarang ini berjumlah 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen jumlah penduduk. Tapi harus diingat, bahwa cara mengukur angka kemiskinan kita masih menggunakan basis konsumsi Rp.10000 perkapita/hari atau US$.1 perkapita/hari. Jadi kalau kita hitung dengan pengeluaran versi Bank Dunia sebesar US$ 2/hari/kapita maka angka kemiskinan kita kemungkinan masih sangat tinggi.
Padahal, sudah begitu banyak program pemerintah yang diusahakan untuk mengurangi angka kemiskinan seperti PNPM, Kredit Usaha untuk Rakyat (KUR) dll. Jadi saya melihat bahwa angka kemiskinan yang cenderung stagnan dan tidak pernah turun tersebut disebabkan beberapa hal penting. Pertama, kegagalan pemerintah dalam mengenali siapa kaum miskin tersebut sebenarnya, mereka berada dimana dan mengapa mereka miskin belum banyak dikenali oleh pengambil kebijakan sehingga program-program pemerintah dalam usaha meningkatkan taraf hidup kaum miskin bahkan dengan biaya tidak sedikit tersebut mengalami kegagalan.

Kedua tentusaja soal paradigma pembangunan nasional secara keseluruhan yang dipenuhi oleh watak ekonomi politik neoliberali. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata pada kenyataannya memperlihatkan kepada kita bahwa segelintir orang saja yang tumbuh namun dalam statistik seolah-olah semua orang ikut tumbuh. Jadi PDB kita naik dan ekonomi kita tumbuh itu sesungguhnya ditopang oleh sedikit orang-orang kaya saja yang tumbuh ekonominya. Sementara si miskin tetap saja miskin. Belum lagi kita melihat akhir-akhir ini bahwa pertumbuhan ekonomi banyak ditopang oleh tumbuhnya pasar modal kita yang investasinya sangat jangka pendek dan didominasi oleh modal asing. Pertumbuhan lainnya, banyak di topang oleh ekspor hasil-hasil tambang yang lagi-lagi di dominasi oleh perusahaan asing dan telah menyisakan banyak persoalan mulai dari lingkungan dan konflik tanah. Terakhir, pertumbuhan banyak ditopang oleh hutang luar negeri jadi perangkap hutang dimasa depan semakin besar.
Kembali ke soal penghapusan kemiskinan apa yang sebenarnya harus di lakukan pemerintah?

Kalau kita teliti lagi, orang-orang miskin tersebut sebagian besar berada di pedesaan, lingkungan kumuh di perkotaan dan daerah-daerah yang jauh (pedalaman) dengan infrastruktur dasar yang sangat buruk.. Kemudian kita lihat kembali kalau di pedesaan, sebagian besar mereka adalah petani gurem dan buruh tani. di Jawa saja terdapat 12,5 juta RMT (Rumah Tangga Petani) atau sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, 49% nya tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara di luar Jawa, ada sekitar 18% atau 8 juta jiwa petani yang tidak memiliki lahan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi ada sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsistens/gurem.

Kemudian kita lihat program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini, seperti kredit dan permodalan apakah sesuai dengan keadaan kaum miskin di pedesaan saya yakin kok tidak sesuai.
Pemerintah melupakan bahwa kebutuhan mereka yang paling utama sekarang ini adalah lahan pertanian yang cukup. Jadi pembaruan agraria sangat penting dilaksanakan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan keseluruhan problem pertanian dan pedesaan kita.

Apakah lahan-lahan untuk petani masih tersedia, bagaimana memastikan lahan tersebut dikelola oleh petani sehingga tidak dijual?


Sangat tersedia, kita mengetahui bahwa peruntukan tanah sekarang ini oleh pemerintah lebih banyak digunakan untuk perusahaan besar perkebunan dan kehutanan.ketimbang oleh rakyat. Terlebih lagi wilayah hutan lebih banyak diutamakan untuk investor besar tanpa ada kewajiban melibatkan masyarakat dalam kepemilikan usaha selain menjadikan mereka menjadi buruh. Per-Desember 2003 terdapat 267 unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Tahun 2004 Badan Planologi Kehutanan mengungkapkan bahwa kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan seluas 4,682 juta hektar kepada 503 unit usaha.. Jadi kekayaan agraria kita tidak pernah diabdikan untuk kepentingan rakyat banyak. Meskipun demikian, BPN mengungkapkan bahwa masih terdapat 1.5 juta hektar lahan objek landreform, 650.000 hektar lahan terlantar dan sekitar 7.1 juta lahan hutan produksi yang dapat diberikan kepada rakyat. Itu kalau pemerintah mau melakukan redistribusi tanah tanpa melakukan perombakan struktur agraria yang sekarang timpang dan didominasi perusahaan. Jadi sekedar menghentikan peruntukan tanah untuk perusahaan dan diarahkan untuk rakyat. Sementara kepemilikan mahaluas perusahaan-perusahaan ditinjau ulang kepemilikannya dengan mewajibkan kepemilikan organisasi rakyat atau desa.

Lahan-lahan yang anda sebutkan sebagian besar berada di luar Jawa sementara petani gurem dan buruh tani berada di Jawa. Apakah ini artinya anda merekomendasikan transmigrasi?

Areal lahan sawah di seluruh Jawa hingga tahun 2005 seluas 3 juta hektar dan lahan kering untuk tanaman pangan di Jawa seluas 2 juta hektar. Jadi kalau dihitung per-kapita untuk pangan hanya 359 meter persegi atau 451 meter persegi termasuk lahan kering. Sementara lahan lainnya dikuasai oleh Perhutani dalam bentuk Hutan Negara seluas 2,7 juta hektar dan perkebunan seluas 690 ribu hektar. Jadi, transmigrasi selama ini sebenanrnya memindahkan potensi konflik sosial akibat ketimpangan agraria yang sangat luar biasa di pulau Jawa.

Menurut KPA, terbaik yang dilakukan di Jawa adalah Pembaruan Agraria secara menyeluruh dan menguasahakannya kedalam pertanian terpadu dalam wadah koperasi, badan usaha milik petani atau badan usaha milik desa. Maksudnya, tiga soal mendasar dalam problem pertanian di Jawa selama ini adalah lahan terbatas, tenaga kerja banyak (pengangguran), teknologi pertanian rendah alias tidak berkemban . Persoalan ini dapat diselesaikan dengan model pembaruan agraria seperti yang saya sebut tadi.

Saya melihat bahwa transmigrasi sebagai usaha memindahkan problem pedesaan di Jawa keluar Jawa harus dihentikan. Kalau mau melakukan transmigrasi harus didahului dengan usaha menyelesaikan pembaruan agraria di Jawa.

Apakah Pembaruan Agraria sebenarnya dapat disimpulkan sebagai jalan keluar dari jerat kemiskinan di pedesaan selama ini?


Benar tapi sesungguhnya lebih dari itu. Pembaruan Agraria itu akan memperkuat industri nasional kita, sebab bahan-bahan yang dihasilkan dari sumber-sumber agraria kita apakah pertanian, perkebunan dan pertambangan diabdikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai misal dengan pembaruan agraria, pendapatan petani kita akan naik dengan signifikan sehingga pasar domestik bagi industri kita menjadi lebih luas. Tabungan petani kita juga akan naik sehingga investasi pengembangan pertanian dan industri pertanian semakin tumbuh. Dengan demikian keutuhan dan kepaduan antara desa-kota, pertanian dan industri yang saling menguatkan itu ada pada Pembaruan Agraria. Pembaruan agraria juga menjadi basis demokrasi bukan hanya di pedesaan bahkan secara nasional sebab ia mensyaratkan dukungan dari organisasi petani yang kuat dan solid. Jadi, pembaruan agraria itu basis paling penting bagi lahirnya keadilan sosial sejati di tanah air kita.

Melawan Siklus Lupa Lima Tahunan

Oleh: Khudori-Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Janji manis itu diucapkan lima tahun yang lalu. Ketika bertarung berebut simpati rakyat dengan kandidat lain, duet SBY-JK berjanji melakukan reforma agraria. Reforma agraria menjadi satu dari sejumlah program unggulan yang dijanjikan pasangan yang mengusung semboyan "Bersama Kita Bisa" itu. Hati aktivis LSM, pemerhati agraria, dan pejuang petani kecil berbunga-bunga saat itu, terlebih-lebih petani gurem. Wacana reforma agraria yang layu karena stigma "kiri" diusung menjadi agenda kenegaraan. Terpilihnya SBY-JK sebagai presiden-wakil presiden, meski sulit diukur, tidak lepas dari agenda yang diusungnya itu.

Seperti sebuah "tradisi", begitu meraih dan menduduki posisi yang diinginkan, politikus lupa akan janjinya. Sejarah politik Indonesia mengajarkan hal itu. Pemilih hanya bisa pasrah karena tidak ada mekanisme untuk menagih janji ketika politikus berkuasa. Dalam kondisi seperti itu, di ujung 2006, para pejuang agraria kembali disuguhi angin segar setelah Presiden SBY berjanji akan mengalokasikan 8,15 juta hektare lahan. Dari sisi obyek, lahan 8,15 juta hektare berasal dari konversi hutan kritis plus lahan-lahan obyek land reform. Lahan dibagi: 6 juta hektare untuk petani, sisanya untuk pengusaha.

Reforma agraria bukanlah "bagi-bagi tanah". Reforma agraria adalah land reform plus. Land reform itu sendiri biasa dimaknai sebagai penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, infrastruktur, dan lain-lain.
Pelaksanaan reforma agraria tidaklah sederhana. Misal, apakah cara pelaksanaannya kategori lunak model Jepang (1868), model radikal ala Uni Soviet (1929), atau model moderat seperti Indonesia di masa lalu? Lalu, tempo waktunya apakah sekaligus atau bertahap seperti di Iran. Kemudian jalur-jalurnya apakah mengikuti jalan kapitalis (Inggris, Prancis, Prusia/Jerman, Amerika, Jepang, Korea/Taiwan, Kolombia, dan Meksiko), jalur sosialis (Uni Soviet, Cina, dan Kuba) atau jalur neo-populis (Jepang, Tanzania, Taiwan)?

Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah memahami minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, jika niat pemerintah tulus, baru syarat pertama yang terpenuhi. Namun, para ahli agraria sepakat, syarat pertama ini paling penting karena bisa mengeliminasi syarat lain.

Kini, di senja pemerintahan SBY-JK, janji reforma agraria berlalu tanpa wujud. Tidak lagi terdengar wacana program reforma agraria, bahkan saat SBY-(Boediono) dan JK-(Wiranto) kembali berlaga di ajang pemilu presiden. Program reforma agraria hanya diusung duet Mega-Prabowo. Sejauh ini pemerintah SBY-JK hanya mendorong sertifikasi tanah lewat program Larasita. Program ini sama sekali tidak menyentuh esensi persoalan agraria yang akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang massif. Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2007) mencatat, ada 2.810 kasus tanah besar yang mengakibatkan konflik, serta merugikan negara dan warga. Nilai tanah yang tersandera oleh sengketa itu mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008).

Ketimpangan pemilikan aset di negeri ini sangat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai oleh 440 ribu orang. Di antara mereka pun ada yang penguasaannya amat tinggi dan ada yang tidak. Jika dilihat lebih detail, konsentrasi aset itu sebesar 62-87 persen (tergantung provinsi) berwujud dalam bentuk tanah (Winoto, 2008). Ini berimplikasi pada situasi-situasi genting di negeri ini: ketimpangan ekonomi makin parah (koefisien gini naik dari 0,32 pada 2004 jadi 0,36 pada 2007); kemiskinan (34,96 juta jiwa atau 15,4 persen pada 2008) dan pengangguran (9,4 juta jiwa atau 8,4 persen pada 2008) masih tinggi; gizi buruk 2,3 juta; angka underemployment meningkat dari 29,8 persen (2004) menjadi 30,3 persen (2008); sektor informal masih dominan dari struktur tenaga kerja (69 persen); lingkungan hidup makin rusak; daya saing ekonomi melemah; dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal.

Berapa jauh kita tertinggal? Sebagai ilustrasi, apabila diukur oleh pendapatan per kapita, kita tertinggal oleh Malaysia lebih dari 30 tahun. Industri manufaktur yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja formal yang cukup besar tidak terjadi. Sebab, yang tumbuh tinggi (di atas 9 persen) adalah sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran (non-tradable) yang miskin penyerapan tenaga kerja, capital intensive, dan ditekuni segelintir pelaku. Sampai sekarang sektor pertanian masih jadi penyerap tenaga kerja terbesar (43 persen). Padahal pertumbuhan sektor ini hanya 4,6 persen (sebagian besar disumbang sektor perkebunan). Akibatnya, kemiskinan bertumpuk di sektor ini: 70 persen penduduk miskin di pedesaan bekerja di pertanian.

Bagi petani, tanah merupakan harta yang tak ternilai. Merupakan bagian hidup, sumber hidup, dan kehidupannya berikut harkat dan martabatnya. Bahkan, tanah bagian dari identitas. Itu sebabnya, di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya) . Di etnis lain juga berlaku prinsip yang sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting.

Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang kita kenal memiliki struktur politik, ekonomi, dan sosial yang kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform.

Di pengujung abad ke-20, land reform plus menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistik. Struktur agraria Indonesia saat ini sama persis (meski beda besarannya) dengan awal kita merdeka: feodalistik. Struktur agraria itu hendak dirombak lewat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Sayangnya, para elite politik dan penguasa menjadikan agenda reforma agraria sebagai janji rutin lima tahunan saat pemilu. Kita harus memutus siklus janji lima tahunan dengan memilih pemimpin yang berkomitmen melakukan reforma agraria. **

(Dikutip dari koran tempo)