November 29, 2010

Wajah Polri dan Konflik Agraria Petani

Komisaris Jenderal Timur Pradopo telah diangkat menjadi  Kapolri menggantikan  Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Calon tunggal usulan Presiden SBY ini dianggap patut dan layak oleh anggota Komisi III DPR-RI dari Sembilan fraksi.

Publik tentu berharap bahwa pergantian kepemimpinan akan membawa angin segar bagi reformasi di tubuh kepolisian. Salah satu persoalan penting yang mendapat sorotan publik adalah penuntasan sejumlah kasus dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan polisi. Hasil penilaian Komnas HAM atas rekam jejak Timur Pradopo sepanjang kariernya menjabat di kepolisian, tentu akan menjadi barometer yang secara terus menerus dinilai oleh masyarakat luas.

Pelanggaran HAM
Tak dapat dipungkiri bahwa kepolisian kerap terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Tahun 2009, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) merilis bahwa polisi menempati urutan tertinggi pengaduan kasus HAM. Dari 4.928 kasus pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, terdapat 1.302 kasus yang ditujukan kepada polisi.

Kasus-kasus tersebut terdiri dari 891 kasus yang dialami selama proses penyidikan, legalitas penahanan 177 kasus, sengketa tanah 4 kasus, kekerasan 184 kasus, 30 kasus  menyangkut kedisiplinan, dan 17 kasus mengenai kepegawaian. (Kompas, 30/12/2009).

Khusus untuk sengketa pertanahan, pelanggaran HAM kerap terjadi saat polisi terlibat langsung dalam menangani konflik agraria antara rakyat  dan pengusaha. Pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik agraria ini adalah akibat dari pendekatan keamanan (security approach) dan penggunaan cara-cara kekerasan oleh polisi dalam menangani konflik.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sampai Juni 2010, cara-cara kekerasan dan pendekatan keamanan oleh Polri dalam menangani konflik agraria, khususnya konflik di perkebunan sawit, telah mengakibatkan 64 orang petani di tangkap, dan satu orang meninggal dunia. Sebagai ilustrasi adalah penembakan satuan Brimob yang mengakibatkan kematian Yuniar (45 tahun), petani di Desa Koto Cengar, Kuasing Riau. Kasus ini adalah buntut dari konflik petani dengan perkebunan sawit PT.Tri Bakti Sarimas.

Bila dicermati, keterlibatan polisi dalam konflik agraria sesungguhnya menyimpang dari semangat reformasi kepolisian. Penangan konflik agraria tidak bisa disamakan dengan tindakan kriminal murni.  Sebab konflik agraria yang terjadi adalah akibat dari ketidakadilan agraria yang sedang berlangsung di negeri ini. Hak rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh kepolisian.

Sehingga pendekatan keamanan (security approach) oleh polisi dalam menangani konflik agraria, dengan sendirinya melanggar hak asasi manusia. Sebab menurut undang-undang kepolisian, bahwa dalam menjalankan fungsinya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, polisi haruslah menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Reposisi
Meneruskan reformasi kepolisian menuju polisi pengayom masyarakat dan penopang  tegaknya hak asasi manusia adalah salah satu tugas Kapolri baru. Timur harus mampu mengurangi intensitas pelanggaran hak asasi manusia di lapangan agraria menjadi harapan bagi semua petani di Indonesia.

Selama ini, kaum tani sering berhadap-hadapan langsung dengan pihak kepolisian dalam konflik agraria. Hal ini terjadi karena polisi mengambil posisi sebagai pengawal dan penjaga keamanan dari pemilik modal yang menyewa jasanya. Konflik agraria yang kategorinya konflik perdata biasa berubah menjadi kriminal karena polisi tidak bersikap netral. Bagi kaum tani, tindakan ini disebut sebagai proses kriminalisasi yang bertujuan untuk mematahkan perjuangan petani dalam merebut haknya.

Sebagai Kapolri baru, Timur Pradopo harus melakukan reposisi peran dan fungsi polisi dalam penyelesaian konflik agraria. Ia harus secara tegas melarang polisi terlibat dalam konflik agraria yang melibatkan rakyat dengan pemilik modal, dan menindak anggota polisi yang menjual “jasa pengamanan” bagi pemilik modal di lapangan agraria.

Penyelesaian konflik agraria secara adil adalah prioritas presiden SBY sejak dulu. Program ini menjadi bagian dari rencana pelaksanaan reforma agraria yang ditegaskan dalam pidato presiden SBY, Januari 2007. Karenanya polisi perlu segera mereposisi diri dari aktor pemicu konflik menjadi pengawal rakyat tani untuk mendapatkan hak atas tanah.

Mengabaikannya, berarti membiarkan polisi dibawa bayang-bayang sebagai institusi pelanggar HAM tertingi di Indonesia. Selamat bertugas pak Jendral.

Idham Arsyad, Sekjen KPA

Polisi Berhentilah Menembaki Petani!

Sudah berulangkali dan terasa basi membahas petani yang terus menerus dibunuh oleh aparat karena konflik agraria. Maksud saya, sudah sejak zaman gelap Orde Baru Soeharto hingga saat ini dua belas tahun setelah reformasi bergulir. Petani setiap tahun selalu saja ada yang masti terbunuh oleh aparat

Tidak ada perang, tapi rakyat banyak yang mati terbunuh, demikian saya pernah membaca syair alm.WS Rendra.

Peluru mudah sekali ditembakkan kepada petani, tetapi tidak ada aparat yang dijerat hukum. Meski laporan sudah diberikan kepada Mabes Polri, Komnas HAM dan DPR RI. Justru dengan gagah, mereka berkilah. Sebagai contoh, Kapolda Jambi Brigjen (Pol) Bambang S berkilah di media massa bahwa petani Jambi tewas karena peluru karet dan recosset (peluru mantul) yang ditembakkan aparat. Ini bukan kali pertama aparat selalu merasa benar sendiri. Sebab "hukum" toh ditangan mereka. Miris membacanya. Sebab petani tembus kepalanya oleh peluru tajam.

Mengapa rakyat rela menyabung nyawanya? Sebab tanah sumber penghidupan mereka yang utama telah dirampas oleh perusahaan lewat tangan peraturan pemerintah. Petani tanpa tanah pastilah kehilangan masa depan untuk diri dan keluarganya.

Sebagai pembanding, masyarakat Jakarta saja begitu marah ketika uang koin kembaliannya di supermarket dikembalikan dalam wujud permen. Apalagi masyarakat tani yang melihat tanah perkebunannya diambil pemerintah tanpa permisi.Melihat padinya yang sedang menguning digusur oleh alat-alat berat dengan kawalan aparat. Atau melihat karet dan sawitnya yang sedang menghijau dirobohkan oleh bolduser.

Kapan disadari oleh aparat bahwa membunuh rakyat adalah tindakan yang sungguh-sungguh biadab. Apalagi membunuh rakyat karena mereka sedang merebut haknya yang dicuri. lebih kejam lagi karena sipelaku yang membunuh tidak dijerat hukum dan bahkan terkesan dilindungi.

hmmmm, barangkali ada benarnya celetukan kawan, seburuk-buruknya generasi muda sekarang dimana kami ada didalamnya, jauh lebih jahat dan lebih buruk perilaku generasi tua atas bangsa ini.

(petani dirimu masih saja sendiri).

November 25, 2010

Konflik Lahan Sinarmas Tewaskan Petani Jambi.

Awalnya, hari ini Senin (8/11 2010) PPJ, PT. WKS dan Pemerintah Provinsi Jambi akan mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan sengketa lahan masyarakat dengan perusahaan. Namun, pertemuan tersebut dibatalkan sepihak oleh pemprov Jambi dengan alasan warga petani PPJ hari ini masih melakukan aksi-aksi di lapangan.

Aksi masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ) ini dilakukan di desa Senyerang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Mereka melakukan penyetopan kapal-kapal PT. WKS dan PT. LPPI ( milik Sinarmas group) yang melintasi sungai pengabuan di desa Senyerang dengan menggunakan kapal kecil atau pompong.

Aksi massa ini dilakukan karena tanah masyarakat seluas 7224 ha di desa tersebut sejak 1999 dirampas oleh perusahaan HTI tersebut. Penyetopan ini menyebabkan kal-kapal WKS yang membawa hasil pabrik pulp and paper tidak diperbolehkan melintas oleh warga.

Kemudian, Brimob Polda Jambi, security PT.WKS dan karyawan perusahaan berusaha membuka blockade warga masyarakat dengan cara menembak untuk menakut-nakuti. Karena tembakan, petani tertembak dan tewas bernama Ahmad (45). Ia tewas dengan peluru tembus kepala. Korban ditembak di atas perahu pombong dan tewas di tempat.

Latar Belakang Konflik
PT. WKS (anak perusahaan Sinarmas Group) mendapatkan areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di lima kabupaten di Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo. Seperti yang kerap terjadi, penunjukan kawasan dan penetapan SK oleh menteri kehutanan atas areal konsesi HTI tersebut dibuat secara sepihak. dan kenyataannya, areal konsesi tersebut berada di perkampungan dan kebun-kebun masyarakat. Sesuai dengan SK Menhut No.744/1996, sesungguhnya jika ditemukan areal-areal perkampungan dan kebun masyarakat, maka areal tersebut dikecualikan dan atau dikeluarkan dari wilayah konsesi perusahaan. Namun, perusahaan justru menggusur semua tanaman dan pondok masyarakat untuk menyatakan kampung dan kebun masyarakat tidak pernah ada.

Karena hal tersebut, terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan HTI tersebut. Konflik pecah pada desember 2007 di desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo. Pada saat itu, 12 alat berat PT.WKS yang menggusur kebun karet dan sawit warga dibakar oleh petani. Karena aksi pembakaran ini, 21 petani desa lubuk mandarsah ditangkap dan ditahan oleh kepolisian. Pada tanggal 2-3 Agustus 2010, dua petani desa Senyerang tertembak oleh kepolisian resort Tanjabbar saat berhadap-hadapan dengan warga.

November 3, 2010

Hutan yang Membuat Panas Rakyat

Masih ingat dengan tuduhan NGO bahwa illegal logging yang menyebabkan banjir bandang Wasior? Pejabat langsung membantahnya. Tak kurang presiden sendiri.  Saya bisa paham, sebab bisa jadi bukan illegal loging. tapi legal loging yang destructive yang telah menyebabkan kerusakan tersebut. Karena semua perusahaan mempunyai izin loging, manalah mungkin mereka illegal.

Selain itu, ada ironi lainnya dalam kehutanan kita. Sebab, ada jutaan orang Indonesia tiba-tiba menjadi kehilangan hak atas tanahnya. Sebab, kawasan hutan di Indonesia ditunjuk secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan untuk dibagi menjadi kawasan hutan produksi dan non produksi.

Saat ini, menurut data Kemenhut Indonesia Indonesia memiliki 136,5 juta hektar yang ditetapkan sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan produksi 81,8 juta ha dan hutan lindung 31 juta ha.Untuk area Hutan Produksi, pemerintah telah menerbitkan 304 unit perusahaan mendapatkan izin mengambil kayu alam HPH seluas 33 juta ha, dan 9 juta ha untuk 262 unit perusahaan HTI. Jadi, total hutan yang diserahkan untuk dipakai oleh pengusaha kehutanan seluas 42 juta hektar. Berapa banyak sudah rakyat tergusur dan kehilangan harta bendanya?

Sementara itu, pihak kehutanan menyediakan 588.831 ha hutan produksi untuk HTR (Hutan Tanaman rakyat) bagi masyarakat. Program ini berdampingan dengan hutan kemasyarakatan seluas 165.469 ha dan hutan desa 88.380 ha. Namun, program ini realisasinya di lapangan sangat rendah laporan menyebutkan baru 10 persen.

Jadi, jika kita bicara keadilan, maka pelaksanaan reforma agrarian di kawasan kehutanan adalah kemutlakan yang harus dilakukan di Indonesia.

Bagaimana caranya: pertama kawasan-kawasan yang sudah sejak lama menjadi wilayah masyarakat adat, desa-desa yang secara sepihak ditunjuk menjadi kawasan harus dikeluarkan dari kawasan kehutanan dan diberikan penguatan hak bagi mereka. Kedua, kawasan-kawasan produksi yang sudah diberikan izin konsesinya kepada perusahaan harus ditinjau ulang sebab banyak konflik dengan masyarakat (RAPP Riau dan WKS Jambi adalah contoh kasus konflik tersebut). Ketiga, hutan produksi yang tersisa harus diprioritaskan untuk dikelola oleh rakyat dengan pola-pola pengelolaan yang telah lama tumbuh dimasyarakat.

Cara-cara diatas tidak akan pernah terjadi jika tidak ada reformasi total dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan birokrasi kehutanan nasional khususnya Kementerian Kehutanan dan relasinya dengan sektor lainnya juga hubungan kelembagaannya dengan pemerintahan daerah.

Menyerahkan penguasaan Negara atas hutan kepada institusi Kementerian Kehutanan dengan UU 41/1999 telah memasung puluhan juta hak-hak rakyat. Padahal, keberlangsungan hutan kita juga terus rusak oleh izin-izin HPH dan HTI dari kementerian ini.

sumber foto: beritamusi.com

October 30, 2010

Menjadi Tamu di Istana Bogor

Bertempat di halaman Istana Bogor, Kamis, 22 Oktober 2010, Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) mengadakan puncak peringatan Hari Agraria Nasional yang ke 50. Peringatan kali ini terasa istimewa, karena sebelumnya sudah beredar berita di beberapa media massa bahwa presiden akan mencanangkan dimulainya program reforma agraria.

Bagi anda yang belum familiar dengan istilah ini, saya bagikan pengertiannya. Reforma Agraria adalah penataan struktur pemilikan dan penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria khususnya tanah. Salah satu program utama reforma agraria adalah redistribusi tanah kepada rakyat/petani miskinsalahsatu.


Namun, lagi-lagi pencanangan tersebut tidak terjadi. Meskipun anehnya, ulasan-ulasan media massa menganggap bahwa presiden telah memulai sebuah gerakan redistribusi tanah. Bahkan, dengan dramatisasi bahwa presiden memulai agenda dengan menangis haru. Untuk hal ini, saya berharap bahwa saya yang salah memahami keadaan.

Sebab bisa saja diklaim bahwa program redistribusi tanah sudah dimulai. Karena, meski tidak ada dalam pidato, pada saat pembagian sertifikat bagi para petani Cilacap di Istana Bogor adalah symbol pencanangan redistribusi 142.159 hektare tanah kepada petani di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi. Lebih detail soal itu tidak dibahas oleh media massa.

Oh ya, mengapa saya menyebut dengan istilah lagi-lagi. Ya, ini adalah undangan ketiga bagi saya untuk hadir dalam sebuah acara BPN dimana presiden melihat secara langsung dan memberikan ucapan selamat kepada para penerima sertifikat tanah. Acara semacam ini telah tiga kali dilakukan oleh SBY dan BPN. Pertama sekali di pelataran candi Prambanan Jogjakarta akhir 2008. Disana, SBY juga menyerahkan sertifikat dan meresmikan program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan). Kedua kali, dilakukan pada Januari 2010 di Merunda, Jakarta Utara. Disini, presiden meresmikan kendaraan Larasita untuk daerah pelosok dan pulau terpencil ditambah dengan instruksi program-program strategis BPN. Dan ketiga kalinya di Istana Bogor lalu.


Secara substansi dari ketiga acara ini belum beranjak banyak, pemerintah belum merealisasikan aturan tentang Pembaruan Agraria (Reforma Agraria). Mengapa aturan tentang Pembaruan Agraria mendesak disyahkan oleh pemerintah? Sebab aturan lama misalnya PP 224/1961 perlu dilengkapi, apalagi alat kelembagaan dan tata hubungan pemerintah pusat dan daerah telah banyak berubah. Sehingga, relevansi PP 224 menjadi berkurang.

Kabarnya, seperti diungkapkan oleh Kepala BPN-RI Joyowinoto dalam berbagai kesempatan, peraturan soal Reforma Agraria sudah disetujui oleh lintas departemen dan tinggal menunggu paraf dari SBY. Dan, PP tersebut akan menjadi kado bagi 50 Tahun UUPA 1960.

Mengapa ketidakadilan struktur agrarian harus segera direform: menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset yang ada di Tanah Air, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah telah memberikan 42 juta hektar hutan kepada 301 perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dan 262 unit perusahaan HTI atau hutan tanaman industri (Kementerian Kehutanan 06/09).  Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup yang mengontrol 600 perusahaan.

Jika dikelompokkan, perusahaan yang menguasai lebih dari 50 persen tanah republik ini tidak sampai 500 grup, baik perusahaan nasional maupun asing. Akibatnya, kekuatan ekonomi dan politik negeri ini berpusat dan dikendalikan oleh segelintir orang (Chalid Muhammad 2010).

Jadi, reforma agraria itu sebuah kemutlakan untuk menyelamatkan bangsa ini dari penguasaan segelintir orang atau 500 group itu tadi. Semoga peraturan tentang pembaruan agraria segera terbit untuk menegakkan keadilan agraria di tanah air. 

Tanggapan atas Rencana Pengusiran Petani Kopi Jambi

Pengusiran warga dari kawasan hutan bukan perkara baru. Dahulu, di zaman Orde Baru, para petani kopi di Gunung Balak, Padang Cermin, Lampung diusir dalam sebuah operasi yang melibatkan tentara, polisi, dan aparat pemda. Sampai sekarang, Perhutani bersama dengan aparat kepolisian juga kerap mengusir warga dari kawasan hutan. Operasi wanalaga lodaya adalah operasi kehutanan yang sering dilakukan di Jawa Barat dalam mengusir petani penggarap di kawasan hutan.

Jika kemudian ada khabar bahwa petani kopi di Lembah Masurai, Kab. Merangin Jambi hendak diusir oleh operasi bersama antara Kementerian Kehutanan, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten dan Aparat Kepolisian ini seperti sebuah sejarah yang berulang.

Namun, sebelum pengusiran ini, di media massa sempat diulas bahwa pemerintah daerah sedang mengusahakan sebuah program Hutan Desa yang akan memberi hak pengelolaan kepada masyarakat sekitar  Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas kurang lebih 41.000 hektar. Hutan Desa tersebut adalah jawaban yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat sekitar dalam mengelola hutan. Anehnya, bersamaan dengan itu, pemerintah akan mengusir keluar petani kopi yang kebetulan sebagian besar adalah para pendatang dari luar provinsi Jambi. Wilayah Hutan Desa yang diusulkan dan tempat petani kopi sesungguhnya bersebelahan dan beberapa bersinggungan.

Timbul kecurigaan bahwa Pemda dan Kemenhut tengah melakukan sebuah upaya busuk untuk mengadu domba masyarakat asli dengan pendatang. Kemenhut seolah sedang memberi kabar kepada masyarakat bahwa saya akan memberi hak pengelolaan kepada kalian dalam bentuk hutan desa, namun sayang sebagian lahan kalian sudah diduduki warga pendatang.

Sekarang, marilah kita tilik siapa sesungguhnya pendatang itu? Mereka adalah petani kopi dari Pagar Alam, Lampung, dan Kerinci. Seperti kebiasaan di daerah asalnya, mereka membuka  lahan-lahan hutan dan menanamnya menjadi kebun kopi yang subur. Pola pemukiman mereka menyebar dan tidak mengelompok, sebab mereka membangun rumah semi permanen atau gubuk pada setiap kebun yang digarap.

Kabarnya, mereka datang dibiayai oleh para toke kopi. Bahkan, toke ini membiayai hidup para petani penggarap sebelum petani dapat memanen kopinya. Imbalannya? para petani ini wajib menjual kopi kepada para toke yang membiayai mereka berkebun.

Apakah mereka orang-orang kaya? Bukan. Mereka adalah para pembangun awal sebuah peradaban baru akibat terlempar dari kepemilikan lamanya yang tak mampu mereka pertahankan. Lahan di daerah asalnya telah terjual habis atau terlalu sedikit. Mereka membangun kebun kopi dengan berjuang keras tanpa bantuan sepeserpun dari pemerintah.

Jika Pemda dan Kementerian Kehutanan mau menyelesaikan soal ini, tiada cara lain berembuglah, bermusyawarahlah, supaya mereka mendapatkan hak kelola. Bersama dengan mereka buatlah komitmen supaya jumlah mereka tidak bertambah, beri jangka waktu untuk meninggalkan lokasi yang memang secara hukum tidak dapat sama sekali dikelola rakyat dengan prinsip relokasi.

Persoalan dengan masyarakat sekitar selama ini tidak ada, tentu tak elok membuat isu Hutan Desa pada lokasi yang sama. Harus segera diluruskan sehingga tidak ada kesan pemerintah telah membuat rakyat berhadap-hadapan untuk baku hantam.

Terakhir: secara tegas, tindak dengan tegas dan tangkap para toke yang telah melakukan praktek lintah darat, ijon dan mendorong rakyat melakukan pembukaan lahan hutan secara tidak sah.

October 22, 2010

Pemerintah Bagikan Tanah di 21 Provinsi

VIVAnews - Peringatan Hari Agraria Nasional kali ini berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merayakannya di Istana Bogor dengan memberikan sertifikat tanah hasil land reform atau redistribusi tanah kepada 5.141 kepala keluarga dari empat desa di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Tanah yang dibagi pada petani Cilacap ini tak banyak, hanya 214 hektare sehingga setiap kepala keluarga mendapat kurang dari 400 meter persegi. Namun, pemberian tanah kepada para petani Cilacap ini menjadi simbol untuk redistibusi tanah seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi.

SBY mengatakan tujuan besar negara di bidang pertanahan adalah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. "Mari kita camkan betul visi besar ini. Agar rakyat jadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Saya terharu," kata SBY.

SBY lalu sempat terdiam beberapa saat seperti menahan tangis. Kemudian dengan suara parau, SBY meminta Pemerintah agar menerapkan konstitusi yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar '45.

"Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kita implementasikan niat luhur pendiri republik, rakyat harus dapat akses lebih luas agar kesejahtraan mereka semakin meningkat di negeri tercinta," ucap SBY.

Janji Kampanye

Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, yang hadir dalam acara puncak peringatan Hari Agraria itu menyatakan, land reform merupakan bagian dari janji kampanye SBY sejak 2004. Bahkan pada 31 Januari 2007, SBY menegaskan janji melakukan redistribusi tanah untuk kesejahteraan petani. Pernyataan Presiden itu, kata Nurdin, disambut Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

"Setidaknya, tiga kali Presiden berkomitmen mau mendistribusikan tanah," kata Iwan kepada VIVAnews.

Sebelum pernyataan di Bogor, Presiden pernah menjanjikan hal itu  di Prambanan pada awal 2008 dan di Marunda beberapa waktu lalu. Dan akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Iwan melihat, agenda pemberian sertifikat pada ribuan kepala keluarga hari ini belum sepenuhnya land reform seperti yang diinginkan petani selama ini. Secara regulasi, belum ada peraturan organik yang memaksa aparat kabupaten untuk menjalankan land reform.

Memang ada Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menjadi dasar land reform di era Presiden Soekarno. Namun PP yang masih berlaku itu sudah tak bisa diaplikasikan karena lembaga yang menjalankan seperti Panitia Land Reform sudah tak ada.

Namun, KPA mengapresiasi langkah Presiden hari ini. "Presiden memberikan sinyal mendukung land reform, tapi belum sampai tahap operasional," katanya. Mengapresiasi karena program land reform ini bergulir lagi setelah 45 tahun terhenti.

Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), sebuah organisasi petani yang konsisten menyuarakan perlunya land reform, menilai acara hari ini hanya bagian dari pencitraan. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Achmad Ya'kub, menyatakan, penyerahan sertifikat hanya ujung dari kerangka land reform, belum bisa dikatakan land reform seutuhnya.

"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ini supaya tidak tergadai, belum jelas dari acara hari ini," kata Ya'kub yang mengaku diundang menghadiri penyerahan sertifikat di Istana Bogor namun memilih berada di luar saja, berdemonstrasi bersama ribuan petani.

Menurut Ya'kub, land reform yang dicanangkan SBY juga tidak akan bisa terlaksana tanpa penguatan peran Badan Pertanahan Nasional menjadi sekelas Kementerian Koordinator. "Dengan begitu, dia bisa membawahi perkebunan, pertanian dan kehutanan."

"Ini saja, BPN katanya reformasi agraria, tapi hak guna usaha perkebunan terus dikeluarkan, dari yang yang hanya 3 juta hektare pada 1990-an, sekarang sudah naik menjadi 7 hektare," kata Ya'kub.

Pada saat yang sama, dia melanjutkan, terjadi konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi nonpertanian.

Seharusnya, jika Presiden memang serius memimpin land reform ini, akan ada belasan juta rakyat miskin pedesaan yang dientaskan karena terdapat 7,3 juta hektare lahan terlantar milik negara. Jika satu kepala keluarga rakyat miskin diberi tanah satu hektare, maka akan ada belasan juta orang yang selesai problem pengangguran, kemiskinan dan kelaparannya. "Selain itu, juga ada belasan juta suara mendukungnya dalam Pemilu," kata Ya'kub.

Dan strategi ini akan semakin sukses dengan pengaturan tata guna tanah secara ketat, dipisahkan mana lahan pertanian, perumahan dan komersial. "Kemudian seperti di Jepang, tanah hasil land reform diatur hanya boleh diwariskan pada satu orang supaya tidak ada pemecahan lahan," kata Ya'kub.

Kepala BPN Joyo Winoto menyatakan, pemberian sertifikat pada 5.141 petani di Cilacap ini baru sukses kecil dari Reforma Agraria secara damai. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.

Joyo menargetkan, supaya indeks gini rasio penguasaan tanah mencapai 0,37, diperlukan redistribusi lahan tambahan seluas 6 juta hektare. Dan target ini, kata Joyo, semoga bisa dicapai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar berlaku beserta dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria.

Syarat mereka yang bisa menerima tanah itu adalah kategori miskin, tidak memiliki tanah, punya tanah tapi luasnya kecil, dan berbagai syarat lain. Semua proses itu mirip dengan pelaksanaan PP 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah.

Menurut Joyo, teknik penerapan ini mencontoh Venezuela yang setelah delapan tahun menerapkan prinsip yang mirip dengan pokok-pokok RPP Reforma Agraria ini. Mereka berhasil membagikan tanah seluas 3,7 hektare.

Dalam dua tiga tahun ke depan, Joyo menjelaskan, pemerintah menargetkan 600-700 ribu hektare bisa dibagikan dari tanah sisa PP Tahun 1961. Sementara itu, dengan penerapan RPP Reforma Agraria nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare. Pemerintah menargetkan pembagian tanah itu bisa selesai pada 2025.

Namun, petani miskin di Indonesia jangan senang dulu. Seperti disampaikan Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. "Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya."

• VIVAnews

October 20, 2010

Secuil Tanah Sejengkal Kehormatan

Koran Jakarta, Selasa, 28 September 2010

Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati. Adalah sebuah peribahasa masyarakat jawa yang berarti secuil tanah adalah sejengkal kehormatan yang siap untuk dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Itu adalah kalimat ampuh yang siap membakar amarah, sekaligus membulatkan tekad. Itu adalah tata bahasa manusia agraris yang setiap hari ber-gaman (bersenjata) arit dan memanggul pacul.

Bagi kaum tani, tanah adalah segala-galanya, sebab di sanalah tempat lahir Dewi Sri.

Sirah peri bahasa di atas kini bisa dipungut kembali untuk memahami kenapa Presiden Soekarno pada 26 Agustus 1963 menerbitkan Keppres yang menyatakan bahwa hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebagai Hari Tani Nasional.

“UUPA adalah UU Pertama setelah 15 tahun Indonesia merdeka. UU yang mengatur pertanahan dengan sangat populis,” terang Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Badan Pertanahan Nasional (BPN), Endriatmo Sutarto, pekan lalu, di Yogyakarta.

Menurut Endriatmo, karena sifat populis yang melekat pada UUPA itulah, sampai hari ini tetap menjadi rujukan bagi pegiat pertanahan di negeri ini, apalagi dengan ditambah kenyataan bahwa sampai hari ini belum lahir satu pun produk hukum yang memihak kepada kepentingan rakyat.

“Namun, sayangnya, karena sifat kerakyatannya itulah UUPA dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik Orde Baru, maka UU tersebut seperti dibekukan,” tuturnya.

Laporan FAO tahun ini menyebutkan bahwa kelaparan penduduk dunia pada 2009 mencapai 1,02 miliar jiwa, 36,7 juta jiwa di antaranya adalah penduduk negeri ini.

Data di Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 mencatat bahwa kemiskinan perdesaan berjumlah 29,36 juta jiwa, jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk miskin di perkotaan yang mencapai 20,62 juta jiwa.

“Dan jumlah kemiskinan perdesaan ini sebenarnya setara dengan jumlah petani gurem yang tercatat sebanyak 13,7 juta jiwa pada 2003 dan 15,6 juta jiwa pada 2008,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Ya’kub.

Sensus Pertanian pada 2003 menyebutkan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga pada 1993 menjadi 13,7 juta keluarga pada 2003 (2,6 persen per tahun).

Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). “Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani akibat semakin sempitnya lahan pertanian.

Di sisi lain, tanah makin terkonsentrasi pada golongan kecil konglomerat. Hanya 6,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasional. Sekitar 62-87 persen aset itu dalam bentuk tanah, ” jelas Yakub.

Dampak dari semua hal di atas, nyanyian “tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, benar-benar tinggal nyanyian sunyi pengantar tidur. Bangsa agraris yang dulunya merupakan produsen dan lumbung pangan itu, menurut SPI, kini justru menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia.

Dipaparkan Yakub, sejak 1998- 2006, hampir 50 persen beras yang diperdagangkan di tingkat internasional atau kira-kira dua juta ton lebih diimpor ke Indonesia.

Negeri ini juga mengimpor 70 persen dari total kebutuhan susu nasional, 45 persen pasokan kedelai, 15 persen kacang tanah, 50 persen daging, 10 persen jagung, dan satu juta ton garam.

“Secara umum ketergantungan pangan melalui impor telah menghabiskan dana tiap tahunnya mencapai 51 triliun rupiah,” tandas Yakub yang juga anggota Dewan Ketahanan Pangan Nasional ini.

Kebergantungan terhadap impor itu, pada gilirannya, menciptakan situasi rawan pangan.

Pada tahun lalu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), laporan dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY, (BKPP) sebanyak 137 desa di DIY masuk daftar desa yang berkategori rawan pangan dengan separo di antaranya berada di Kabupaten Gunung Kidul.

“Perincian desa rawan pangan tersebut, masing-masing 77 desa terdapat di Kabupaten Gunung Kidul, 35 desa di Kabupaten Kulon Progo, 18 desa di Kabupaten Bantul, dan 6 desa di Kabupaten Sleman,” kata Kepala Bidang Distribusi BKPP DIY, Hardiyanto.

Konflik Agraria

Dalam situasi rawan pangan, kemiskinan, dan ketiadaan lahan garapan petani itu, konfl ik agraria antara petani melawan pengusaha dan negara berlangsung secara masif dan menjadi konflik sosial berlarut.

Menurut Deputi Riset Dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, konfl ik agraria yang terjadi di Indonesia selalu berlangsung dalam pola yang mirip.

“Kemiripannya, dalam konflik ini, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penembakan, serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Ini terus dihadapi petani dalam memperjuangkan pembaruan agraria,” kata Iwan.

Konflik itu tersebar di 2.834 desa atau kelurahan, 1.355 kecamatan, dan 286 kabupaten atau kota. Sedangkan luas tanah yang dipersengketakan mencapai 10 juta hektare dan menyebabkan tak kurang dari satu juta keluarga petani menjadi korban.

Dicontohkan Iwan, potret kasus agraria dalam beberapa tahun ini, yakni kejadian Bulukumba, tragedi Tanak Awuk 2005, kriminalisasi petani garut 2006, kasus petani di Lampung, dan terakhir penembakan 12 petani Rengas Ogan Ilir -Sumatra Selatan pada Desember 2009, serta di awal tahun 2010 terjadi kasus petani di Kampar Riau.

Sebagai perbandingan, data dari Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa pada 2009, dari setidaknya 4.000 laporan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM, 62 persen di antaranya merupakan kasus lingkungan hidup dan konflik agraria.

Sedangkan data dari BPN, pada 2007 telah terjadi 4.581 kasus sengketa pertanahan, 858 kasus konflik pertanahan, dan 2.952 kasus perkara pertanahan. Secuil tanah itu memang musti direbut hingga mati. Indonesia tanah air subur dan kaya. Subur, tentu saja. Kaya, sepertinya kita mesti mengelus dada.
YK/L-1

October 7, 2010

Melawan Rencana Pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan.

Bertempat di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),  6 Oktober 2010, diselenggarakan diskusi mengenai rencana pemerintah mengesahkan RUU-Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Sebuah RUU yang sedang dikebut oleh pemerintah dan parlemen untuk segera disahkan.
Acara tersebut dihadiri oleh kalangan yang selama ini concern dengan pembaruan agrarian di tanah air, diantaranya Berry N Furqon (Direktur Eknas Walhi), Idham Arsyad (Sekjen KPA), M. Nuruddin (Sekjen API), Dianto Bachriadi (Dewan Pakar KPA), Kasmita Widodo (JKPP) Laksmi (Sains Institute) dan para pegiat dari SPI, Kontras, IHCS, Sawit Watch, dan Pergerakan.  
Acara ini diselenggarakan oleh KPA mengingat cepatnya pemerintah dan DPR membahas RUU ini. Padahal, menurut kalangan “Pegiat Agraria” RUU ini bukanlah kebutuhan yang mendesak bagi rakyat.

Para peserta diskusi banyak menyoroti latarbelakang RUU ini yang didorong oleh kalangan pengusaha melalui “National Summit”. Bahkan, jika dirunut kebelakang, RUU ini adalah Perpres 36/2005 jo 65/2010 yang dinaikkan menjadi level UU. Pendeknya, ini hanyalah copy-paste dari Perpres yang dahulu menyulut perlawanan masyarakat dan sekarang hendak dijadikan sebuah RUU. Menurut Idham Arsyad, “Jika mau memanjangkan ingatan, tata caranya mendorong lahirnya aturan ini juga serupa. Dahulu, Perpres 35/2005 yang direvisi menjadi Perpres 65/2006 didorong oleh gelaran “infrastructure summit”, sementara sekarang RUU ini didorong melalui “National Summit”.
Dalam diskusi, ditemukan beberapa poin utama yang menyebabkan RUU ini layak untuk ditolak bahkan harus dilawan adalah:
Pertama dengan lahirnya UU semacam ini, penggusuran yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentusaja potensi pelanggaran HAM didalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Bahkan, dengan RUU ini yang sudah memiliki dokumen saja terancam bahaya apalagi yang tidak berdokumen.
Kedua, Cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah.
Ketiga, dalam RUU ini tatacara gantirugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.
Keempat, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol, bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyek-proyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan.
Kelima, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing, ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia.
Akhirnya disepakati bahwa RUU ini akan ditolak dengan membangun koalisi di Jakrta dan daerah-daerah untuk menggagalkan pengesahannya. Jadi, mari lawan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

October 6, 2010

Menanti PP Reforma Agraria dari SBY

Kabarnya, presiden SBY akan segera menandatangani PP tentang Reforma Agraria yang telah heboh diwacanakan oleh BPN dan Istana Presiden sejak 2007. Tentu ini adalah kabar baik, sebab telah lama rakyat Indonesia khususnya para petani kecil dan para tuna kisma mengharapkan ada program nyata dari pemerintah yang akan membuat mereka bisa mendapatkan tanah pertanian.

Harapan besar juga digantungkan oleh para petani yang menggarap tanah-tanah yang disebut areal konflik agraria, mereka sangat mengharapkan legalisasi atas tanah-tanah yang sedang mereka garap.

Meski demikian, tentu saja banyak yang bertanya-tanya, sejauh manakah kemajuan draft dari PP yang akan ditandatangani oleh presiden. Sebab, RPP ini berjalan pelan dan penuh misteri.Kabarnya, dari draft yang penulis peroleh, peraturan ini akan bernama PP tentang Reforma Agraria dan Penatagunaan Tanah. Namun, secara isi Reforma Agraria yang dimaksud sangat menjauh dari substansi Reforma Agraria.

Menurut saya, peraturan yang digagas ini justru akan mengerdilkan makna Reforma Agraria sebagai proses penataan kepemilikan, penguasaan, pengusahaan pertanahan menjadi pekerjaan picisan berupa sertifikasi tanah dan celakanya RA diklaim oleh pemerintah telah ia jalankan.

September 28, 2010

Aksi Hari Tani di Depan Istana 2010


Lebih dari 2000 petani yang tergabung dalam Panitia Peringatan Hari Tani Nasional yang diprakarsai Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), dan didukung oleh berbagai Ormas lainya dari mahasiswa, buruh, pemuda dan beberapa LSM menggelar peringatan hari tani 2010 dengan menggelar aksi massa di Istana Merdeka, Jum’at (24/9).

Para petani ini datang dari sejumlah daerah khususnya Jawa Barat dan Banten sejak dini hari dan beristirahat di Masjid Istiqlal. Massa aksi bergerak pada jam 09.00 itu bergerak dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara di Jakarta dan berlangsung tertib dan lancar. Berbagai spanduk berisi tuntutan dan kritik menghiasi sepanjang perjalanan, para orator bergantian memberikan semangat kepada massa aksi sekaligus mengkritik berbagai kebijakan agraria nasional yang lebih berpihak kepada pemodal.

Sebagaimana salah satu orasi yang disampaikan oleh Iwan Nurdin dari KPA yang menegaskan bahwa “Sesungguhnya Presiden SBY dan jajaranya tidak pernah serius menjalankan amanat UUPA 1960, bahkan sikap acuhnya itu berbarengan dengan tindakan politik yang selalu berusaha mengakomodir kepentingan para investor, buktinya saat ini pemerintah sedang menyiapkan secara serius RUU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. UU ini akan semakin memudahkan penggusuran kepada petani, nelayan dan masyarakat adat” tegas Iwan dihadapan ribuan kaum tani yang berbaris rapi di depan Istana.

Oleh sebab itu, salah satu tuntutan dalam peringatan hari tani tahun ini yang peling keras disuarakan oleh petani dan masyarakat sipil lainnya adalah menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan.

September 23, 2010

Petani Sejahtera Baru Sebatas Mimpi

Oleh Idham Arsyad

Setengah abad lalu, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme membuat kebijakan baru pengaturan masalah agraria.

Aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar Pokok Agraria (UUPA).

Kelahiran UUPA menandai era baru sistem hukum dan politik agraria nasional yang menggantikan sistem hukum dan politik agraria kolonial. UUPA datang dengan semangat zaman untuk merombak tatanan politik agraria kolonial. Politik agraria kolonial adalah sebuah politik agraria yang mengabdi bagi kepentingan partikelir asing atau pemodal raksasa dengan mengorbankan rakyat tani di Indonesia.

”Guremisasi”

Di atas politik agraria kolonial, keadaan petani menjadi sengsara, miskin, dan kelaparan. Sebab, hukum yang lahir dari politik agraria kolonial ini mengakibatkan pertanian rakyat tergusur oleh perkebunan. Untuk mendapatkan keuntungan dan tenaga kerja yang banyak dan murah, perkebunan selalu menyasar tanah-tanah yang subur dan padat penduduknya. Rakyat yang kehilangan tanahnya tidak ada pilihan kecuali menjual tenaganya hanya untuk mempertahankan hidup.

Sampai saat ini, penerapan politik agraria kolonial mengakibatkan meningkatnya persentase petani berlahan sempit dan petani tak bertanah. Tauhid (1952) menunjukkan penguasaan tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera pada tahun 1938 rata-rata 0,84 hektar. Khusus di Jawa, keluarga yang punya tanah kurang dari sepertiga hektar mencapai 70 persen, sedangkan keluarga yang punya tanah lebih dari 5 hektar hanya 0,5 persen.

Ironisnya, penguasaan tanah pada masa kolonial ini tidak banyak berubah setelah kemerdekaan. Sensus pertanian dari tahun 1963 hingga 2003 memperlihatkan rata-rata penguasaan lahan oleh petani dari satu periode sensus ke periode sensus yang lain relatif sangat kecil, yaitu antara 0,81 dan 1,05 hektar.

Sementara itu di Jawa, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun sekitar 0,45 hektar. (Bachriadi & Wiradi; 2009)

Penghentian program reforma agraria (land reform) akibat pergantian rezim menjadi salah satu faktor penyebab ”guremisasi” sampai saat ini masih bertahan. Bachriadi & Wiradi (2009) menunjukkan bahwa pelaksanaan reforma agraria pada masa Soekarno membawa perubahan dalam rata-rata kepemilikan tanah, yang meningkat 1,05 hektar setiap keluarga petani. Namun, selama Orde Baru, rata-rata penguasaan tanah oleh petani tidak pernah di atas 1 hektar, sedangkan jumlah petani tak bertanah dan buruh pertanian terus bertambah.

Reforma agraria

Meningkatnya angka petani berlahan sempit dan petani tak bertanah semestinya menjadi peringatan untuk dijalankannya program reforma agraria. Tanpa pembaruan agraria, maka akar kemiskinan, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan, akan sulit diatasi dan kesejahteraan petani hanya mimpi.

Harus diyakini bahwa kemiskinan adalah akibat, dan penyebabnya adalah kapitalisme agraria. Beroperasinya mesin-mesin kapitalisme di lapangan agraria yang mengakibatkan ketimpangan membawa pada ketidakstabilan sosial-ekonomi. Meningkatnya persentase petani gurem dan petani tak bertanah merupakan gambaran buruknya ekonomi negara, khususnya negara yang mengandalkan sektor pertanian. Kepemilikan lahan yang sempit menyebabkan petani mencari makan di sektor lain. Hal ini menjadikan pertanian sebagai pekerjaan tidak pokok yang akhirnya berpengaruh pada produktivitas pertanian yang rendah.

Sejumlah pakar juga mengingatkan bahwa kondisi petani tak bertanah bisa berkontribusi pada erosi dan deforestasi besar-besaran. Kondisinya yang tidak mempunyai tanah bisa mendorong untuk masuk bertanam di wilayah hutan yang tidak boleh dikonversi karena fungsi lingkungannya. (Barraaclough dan Ghimire; 1995/2000).

Adalah mustahil mencapai kesejahteraan petani tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, yang mengakibatkan petani berlahan sempit dan tidak punya lahan.

Ketimpangan penguasaan struktur agraria hanya bisa diatasi dengan kebijakan politik restrukturisasi penguasaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan sumber daya alam. Kebijakan itu harus mencakup pengaturan dan penertiban semua sektor-sektor agraria.

Tidak hanya di pertanahan, tetapi juga di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir, kelautan, dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, tindakan ini disebut sebagai reforma agraria.

Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjalankan reforma agraria pada awal tahun 2007 saatnya untuk direalisasikan. Pada saat itu, Presiden menjanjikan akan melakukan sertifikasi dan redistribusi lahan seluas 9,25 juta hektar yang dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, khususnya di pedesaan.

Untuk menyambungkan dengan konteks persoalan ketimpangan struktur agraria sebagai persoalan pokok yang kita hadapi, maka redistribusi harus diluaskan maknanya menjadi program reforma agraria yang komprehensif.

Dalam hal ini, tanah yang akan diredistribusi sebagai obyek reforma agraria tidak hanya berasal dari bekas hutan konversi, tetapi juga mencakup tanah yang dikuasai secara monopolistik, baik oleh negara maupun swasta, baik individu maupun badan usaha.

Untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh swasta dan badan usaha yang izinnya diperoleh semasa kebijakan politik agraria kapitalistik di era Soeharto seperti Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar, Hak Pengelolaan Hutan (HPH), dan Kuasa Pertambangan (KP) hendaknya dijadikan obyek reforma agraria setelah penguasaannya dialihkan statusnya menjadi tanah negara untuk diredistribusi kepada rakyat.

Selain itu, penetapan obyek reforma agraria juga harus menyertakan tanah telantar, khususnya tanah perkebunan yang tidak aktif lagi dan tanah-tanah lainnya yang telah diambil untuk sejumlah proyek pembangunan, tetapi hanya digunakan sebagai obyek spekulasi, dan juga hamparan tanah perkebunan besar dan wilayah kehutanan yang telah diduduki oleh petani selama periode Orde Baru.

Janji reforma agraria Presiden Yudhoyono tetap harus ditagih. Bukan hanya karena janji adalah utang sehingga harus ditepati, tetapi reforma agraria menjadi satu-satunya jalan untuk mengatasi sejumlah tumpukan persoalan struktural yang dihadapi bangsa ini, misalnya kemiskinan, pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan, dan krisis pangan.

Idham Arsyad Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
Dikutip dari Harian Kompas, 23 September 2010

September 22, 2010

Setengah Abad UUPA 1960


UUPA 1960 tahun ini genap berusia setengah abad. Selama ini, Undang-Undang yang disahkan presiden Soekarno pada tanggal 24 September 1960 tersebut diberlakukan setengah hati dan penuh penyelewengan oleh pemerintah.  Padahal, awalnya kelahiran UUPA 1960 sempat dianggap sebagai terbitnya mentari kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, produk hukum nasional ini sangat jelas keberpihakannya kepada buruh tani, petani kecil, golongan ekonomi lemah untuk mendorong lahirnya badan usaha ekonomi rakyat berupa koperasi dalam rangka membangun relasi pertanian dan industri nasional yang kokoh sehingga tercipta modal nasional yang progresif. Semua hal tersebut, menurut UUPA track yang tepat untuk koridor menciptakan masyarakat Indonesia yang berkeadilan social alias sosialisme a la Indonesia.
Namun, halangan dan rintangan pelaksanaan UUPA 1960 demikian besar. Semasa Orde Lama, kelompok kontra reform atau kelompok anti pembaruan agrarian berhasil mengalienasi program pembaruan agrarian seolah-olah hanya program kelompok komunis bukan program nasional kebangsaan. Akhirnya setelah runtuhnya rezim Orde Lama program ini menjadi momok serius bagi pemerintah.

Setelah Orde Baru berkuasa penyelewengan besar-besaran terhadap UUPA dimulai. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun ini dengan model kapitalisme birokratik rente. Sebuah pola pembangunan masyarakat yang menggabungkan modernisme yang tentu saja a-historis secara sosial, developmentalism yang pro-kapital besar plus otoritarianisme yang menghilangkan demokrasi dan inisiatif rakyat hingga level terendah.Penyelewengan tersebut adalah tersebut adalah dilahirkannya UU yang bersifat sektoral dalam pengelolaan sumber-sumber agraria seperti kehutanan, kelautan dan pertambangan. Sumber ego sektoralisme birokrasi dihari ini.

Peluang UUPA1960 dan program pembaruan agrarian untuk tampil di pentas kebijakan nasional kembali terangkat setelah kejatuhan Orde Baru pada 1998. Namun, seperti diketahui, gelombang demokratisasi politik yang datang datang ke Indonesia diawali dan disebabkan dengan krisis ekonomi. Sehingga, arus demokrasi yang datang tersebut berpasangan dengan reformasi ekonomi nasional. Padahal, sejak awal, reformasi ekonomi nasional yang diterapkan mengacu pada letter of intent antara Indonesia dan IMF. Isi kesepakatan tersebut tiada lain adalah paket program Structural Adjusment Programs (SAPs) yakni program penyesuaian struktur ekonomi nasional kedalam struktur ekonomi neoliberal. Tentusaja, program-program  tersebut sangat jauh dari semangat dan tujuan ekonomi nasional seperti yang dicita-citakan UUPA 1960.

Akhirnya, desakan paket SAPs dan revitalisasi kelompok birokrat rente telah membuat sektoralisme sumber-sumber agraria kembali menguat di masa reformasi. Sepanjang reformasi justru masa subur bagi kelahiran UU yang semakin mengokohkan semangat sektoralisme dalam mengurus agraria. Praktek sektoralisme tersebut  telah mempertahankan rantai birokrasi pemburu rente di tubuh negara (eksekutif dan legislative) serta privatisasi  terhadap sumber-sumber agrarian seperti hutan, air, tambang, perkebunan, pesisir, kelautan dan pulau-pulau kecil kepada pemodal besar baik domestik maupun asing.

Demikianlah, tantangan pelaksanaan pembaruan agrarian setelah limapuluh tahun pengundangan UUPA semakin kompleks.

September 3, 2010

Yang Bertahan dan Tumbuh Menjalar

Oleh Iwan Nurdin
Pendahuluan

Buku karya M. Tauchid yang sekarang hadir ditangan pembaca, sebenarnya telah lama menjadi semacam kitab utama bagi kalangan pelaku gerakan Reforma Agraria di Indonesia era 80-an dan 90-an. Ia menjadi ibu bagi lahirnya buku-buku lanjutan yang ditulis para penganjur dan pelaku gerakan Reforma Agraria mulai dari tingkat pemula hingga paling terkemuka di Indonesia hari ini.

Umumnya terjadi pada masa 80-an, disaat konflik agraria akibat pembangunan satu demi satu mulai muncul dengan cepat diberbagai wilayah pada satu sisi, dan stigma negatif pada gerakan yang mengadvokasi petani korban konflik agraria oleh rezim Orde Baru pada sisi yang lain. Pada masa itu, kebutuhan mendapatkan teks sejarah yang bisa membantu melepaskan stigma tersebut sekaligus membantu menjelaskan situasi konflik agraria sebagai buah dari kebijakan politik agraria masa lampau yang belum pernah terselesaikan oleh pemerintah sangat diperlukan. Jadilah buku ini sebagai ilmu pengetahuan alternative paling lengkap yang dapat menjelaskan situasi persoalan agraria pada masa kolonial dan awal kemerdekaan yang dihadapi Indonesia.

Pada masa itu, di tengah zaman gelap pengetahuan, data-data yang ditampilkan, analisa, dan deskripsi yang digambarkan  M. Tauchid ini begitu mencengangkan para aktivis, sebab betapa struktur agraria dan kebijakan politik agraria nasional Orde Baru tidak mengalami perubahan orientasi yang berarti sejak era kolonial.

Jadilah buku ini memberi basis argumentasi awal yang paling menolong para mahasiswa, sarjana, aktivis tani dan masyarakat adat dalam mendorong perjuangan pembaruan agraria di Indonesia. Dengan ketelitian yang tinggi, penulis buku ini memberikan gambaran tentang struktur agraria warisan kolonial sekaligus memberi petunjuk bagi perombakan struktur agraria melalui gerakan pembaruan agraria.

Keadaan yang Bertahan
 Kesimpulan terpenting yang didapatkan buku ini adalah, bahwa penjajahan di Indonesia akan tergambarkan secara utuh jika kita memahami kebijakan politik agrariaya. Dengan membaca buku ini halaman demi halaman kita akan tertegun, sebab politik agraria warisan era kolonial sesungguhnya secara praktek tetap dipertahankan setelah kita merdeka.

Secara mudah, arah politik agraria dapat dilihat dari aneka produk hukum yang dilahirkannya. Ciri terpenting dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian sumber-sumber agraria khususnya tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal oleh perusahaan. Untuk melegalkan usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di Hindia Belanda.

Agrarische Wet (AW.1870) telah membuka peluang luas bagi investasi perkebunan dan pertanian di lapangan agraria Indonesia. Serangkaian hak atas sumber-sumber agraria diimbuhkan secara lengkap kepada kaum pengusaha yang ingin menguasai tanah-tanah di Indonesia. Sementara, kaum bumiputera hidup dalam ketiadaan perlindungan atas sumber-sumber agrariaya melalui azas domeinverklaring. Sementara di sisi lainnya, hak-hak adat masyarakat atas tanah dilekatkan sedemikian rupa kepada kelompok-kelompok feodal. Jadilah rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dirinya.

Secara ekonomi politik, M. Tauhid menggambarkan bahwa dualisme hukum agraria yang diterapkan oleh Agrarische Wet 1870 sebagai sebuah usaha memuluskan penetrasi dan akumulasi kapitalisme agraria di satu sisi, serta proses menyiapkan secara sistematis suplai buruh dari masyarakat pedesaan yang berwatak borjuasi kecil sekaligus juga dari masyarakat pedesaan yang masih hidup dalam corak feodalisme secara bersamaan kedalam industri perkebunan yang masuk ke Hindia Belanda.

Apakah situasi ini masih bertahan? Disinilah kekuatan sebenarnya dari buku ini yang acapkali disebut kalangan aktivis sebagai ibu pembuka bagi lahirnya analisa lanjutan keadaan agraria nasional hingga masa sekarang.

Marilah kita lihat data agraria Indonesia secara berurutan dalam 20 tahun terakhir. Hasil Sensus Pertanian 1983, rata-rata penguasaan tanah untuk setiap Rumah Tangga Petani (RTP) adalah 0.98 Ha. Sementara di dalamnya, khusus di pulau Jawa 0.58 Ha dan 1.58 Ha diluar Jawa. Kenyataan tersebut semakin parah dalam satu dekade berikutnya. Menurut hasil Sensus Pertanian tahun 1993, pemilikan rata-rata menjadi 0.83 Ha untuk setiap Rumah Tangga Petani dan di dalamnya adalah rata-rata 0.47 Ha untuk Jawa dan 1.27 Ha untuk di luar Jawa .

Dalam realitas kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut diatas, jumlah petani gurem (dengan kepemilikan tanah kurang atau sama dengan 0.20 Ha) terus bertambah. Pada tahun 1983 jumlah petani gurem sebesar 9.532.000 dan menjadi 10.937.000 pada tahun 1993 . tekanan masalah diatas telah menambah semakin banyaknya Rumah Tangga Petani yang menjadi buruh tani atau petani tak bertanah. Selanjutnya, hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah petani gurem telah menjadi 13,7 juta KK pada tahun 2003 .

Dalam wilayah kehutanan, sampai dengan Desember 2003, terdapat 267 Unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Setelah tidak dapat lagi dimanfaatkan, sebagian besar diajukan untuk dilepaskan dari kawasan hutan untuk dijadikan areal perkebunan besar  ketimbang dihijaukan kembali. Sampai dengan tahun 2004 kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan kepada 503 unit usaha untuk dengan luas 4,682 juta hektar (Badan Planologi Kehutanan 2004).

Inilah awan hitam dan gelap yang masih bertahan, sebuah mega politik agraria yang masih saja mengalokasikan tanah-tanah pada usaha skala besar ketimbang rakyat. Sebuah keadaan yang tetap bertahan meski telah mengecap udara kemerdekaan.

Sesuatu yang tumbuh dan menjalar kembali 
Pembaruan agraria di Indonesia adalah usaha kebangsaan yang telah menjadi agenda nasional setelah disyahkannya UUPA 1960. Tujuan pembaruan agraria ini tiada lain adalah merombak struktur agraria nasional warisan kolonial sekaligus menyusun dasar bagi usaha pembangunan nasional. Sayangnya, agenda ini semakin menghilang sekaligus dimusuhi seiring berkuasanya Orde Baru.

Meski menghilang dalam pusaran politik nasional, dalam agenda internasional, pembaruan agraria tidaklah menghilang. Ia semakin hidup dan tetap eksis. Bahkan hingga hari ini. Terbukti, pada tanggal 07-11 Maret 2006, bertempat di Porto Alegre, Brazil, FAO mengadakan sebuah International Conference on Agraria Reform an Rural Development (ICARRD). Dalam deklarasi akhir konferensi ini, yang juga dihadiri oleh Indonesia sebagai delegasi, para peserta menyadari bahwa pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan program agraria reform atau pembaruan agraria.

Sebelumnya, pada Juli 1979 di Roma, disaat sebagian besar dunia berkembang sedang terkagum-kagum melihat perkembangan revolusi hijau dalam bingkai developmentalism,  FAO mengadakan World Conference on Agraria Reform and Rural Development (WCARRD), hasil dari konferensi tersebut yang kemudian tertuang dalam Peasants Charter menegaskan bahwa tanpa pembaruan agraria (agraria reform)hampir mustahil bagi sebuah negara bangsa dapat berhasil menjalankan pembangunan dengan konsep pertumbuhan melalui pemerataan (growth through equity).

Konsep ini, sejalan dengan teori-teori ekonomi pembangunan. Bahkan, telah lama para sarjana mempercayai bahwa penataan secara adil sumber-sumber agraria adalah basis awal pembangunan yang sangat penting sekaligus penjamin keberhasilan bagi sebuah negara bangsa dalam melakukan proses pembangunannya. Studi-studi tersebut tidak melulu disimpulkan oleh kalangan sarjana yang mempunyai tendensi kiri sosialis, kalangan kanan yang sangat memuja mekanisme pasar pun berkesimpulan sama. Meski keduanya menyimpulkan kebutuhan yang sama, bukan berarti tujuan pembaruan agraria yang digagas oleh kedua golongan ini serupa tujuannya.

Serikat Tani
Usaha mendorong kembali dijalankannya pembaruan agraria tidak dapat dipisahkan dari keberadaan serikat tani yang kuat. Politik pelarangan berorganisasi bagi kaum tani diluar organisasi pemerintah yang disediakan telah membuat sumber energi utama yang mendorong pembaruan agraria mengalami krisis sepanjang Orde Baru. Namun, persemaian bibit bagi tumbuhnya gerakan tani tetaplah dilakukan. Inilah usaha menanam kembali organisasi tani yang terus tumbuh menjalar.

Mengamati keberadaan serikat tani pasca kejatuhan Soeharto, baik di level nasional maupun tidak dapat dilepaskan dari konflik agraria yang terjadi akibat kebijakan agraria pada masa Orde Baru hingga dewasa ini. Juga, keberadaan organisasi tani dewasa ini secara tidak langsung memiliki pertalian erat dan jaringan kerja dengan para aktivis kampus dan ornop yang turun mengadvokasi para petani korban.

Pertumbuhan terpenting dan paling awal dari organisasi tani ini banyak ditentukan oleh kemampuan para aktivis memetamorfosakan ketidakpuasan yang dialami oleh kaum tani  menjadi sebuah tali ikatan solidaritas. Ikatan solidaritas ini dibangun dari proses interaksi bersama para aktivis sekaligus upaya sistematis memanggil penderitaan yang dialami oleh rakyat kedalam sebuah konfrontasi tertentu. Konfrontasi inilah yang menimbulkan sebuah tali ikatan bersama organisasi tani. Sehingga, Gerakan Pembaruan Agraria/GPA hampir bisa dipastikan selalu diawali dari langkah kolektif dari sekumpulan orang-orang yang memiliki penderitaan sama melawan suatu bentuk rezim penguasaan tanah yang telah mengeksploitasi mereka secara langsung.

Maka, organisasi-organisasi tani pada tahap awal, hampir melulu menjadi sebuah organisasi yang berjuang melawan rezim perusahaan perkebunan, industri kehutanan atau proyek-proyek perluasan industri dan perkotaan. Pola perjuangannya adalah penyelesaian sengketa tanah yang mendera mereka.

Selanjutnya, lewat proses sistematis, usaha meluaskan jangkauan tangan gerakan tani dari sebuah organisasi tani yang menyelesaikan kasus yang mereka alami menjadi sebuah organisasi yang bersinergi dengan gerakan pembaruan agraria. Bahkan, isu pembaruan agraria nasional hari ini telah mendapatkan ruang yang pasti dalam sanubari organisasi kaum tani di level nasional dan lokal.

Saat ini, tercatat lebih dari lima organisasi petani yang merupakan representasi gerakan petani tingkat nasional. Sementara di wilayah-wilayah, situasi yang lebih cepat terus terjadi. Ratusan organisasi tani tingkat lokal dengan jumlah massa yang tidak sedikit juga terus muncul. Meski demikian, gerakan petani nasional hari ini  tetaplah sebuah gerakan petani tingkat lokal. Sebab, ciri pokok dari organisasi tani nasional dewasa ini adalah meneruskan rantai perjuangan dan persoalan yang dilempar keluar organisasi-organisasi tani di tingkat lokal. Jadi, organisasi nasional sementara ini adalah penerima input dari organisasi tani lokal dan minimal bekerja dengan cara-cara utama sbb: pertama, organisasi nasional berfungsi memperkeras suara-suara dan penderitaan yang dialami di lokal. Misalnya, problem-problem organisasi petani lokal dibawa dalam pentas nasional untuk diadvokasikan kepada titik-titik kekuasaan yang dapat mempengaruhi arah politik para penguasa lokal atau paling sedikit mengurangi derajat penindasan yang sedang dilakukan oleh penguasa lokal kepada gerakan tani di wilayah tersebut. Titik-titik kekuasaan tersebut misalnya Presiden, DPR, Komnas HAM, Mabes Polri, Kementerian terkait dst. Kedua, organisasi nasional membuatkan kerangka baru bagi gerakan pembaruan agraria di tingkat lokal. Misalnya, Organisasi nasional mendorong thema-thema perjuangan seperti kedaulatan pangan, pembaruan agraria sejati, demokrasi, desentralisasi. Ini adalah sebuah upaya membuat kerangka nasional sehingga menjadi pegangan bersama pada tingkat lokal. Ketiga,organisasi nasional adalah suatu bentuk koalisi nasional untuk memberikan dorongan bagi terciptanya suasana yang lebih kondusif bagi tumbuh kembangnya organisasi tani lokal. Upaya ini juga sekaligus mencegah sesuatu keadaan yang buruk yang dapat saja terjadi pada organisasi tani local. Usaha-usaha ini misalnya adalah mendorong lahirnya UU yang mendukung pembaruan agraria, menolak lahirnya UU anti pembaruan agraria, memasukkan isu pembaruan agraria sebagai bagian dari kampanye pemilihan presiden hingga pemerintahan lokal.

Sementara itu, fungsi organisasi petani lokal terhadap organisasi nasional adalah: pertama, organisasi tani lokal menjadi sumber legitimasi terhadap manuver-manuver dan lemparan isu di level nasional yang dilakukan oleh organisasi nasional. Sebab, manuver ini dilakukan dengan basis konstituen yang jelas. Kedua, organisasi tani lokal adalah pemberi inspirasi pada bentuk dan praktek pembaruan agraria pada tingkat nasional. Contohnya adalah bagaimana gerakan-gerakan di lokal mengambil kepemimpinan desa pada pemilu kades. Juga, kesalahan di tingkat lokal dapat pula menjadi satu inspirasi dan dipelajari bagi organisasi nasional misalnya penyakit individualisasi setelah proses reklaiming, menurunnya semangat berorganisasi setelah penyelesaian sengketa dll.

Dengan demikian, sesungguhnya gerakan pembaruan agraria nasional yang ada sekarang pada dasarnya adalah sebuah gerakan lokal. Sehingga, keberlanjutan perjuangan pembaruan agraria di Indonesia sangat ditentukan oleh keberlanjutan eksistensi organisasi tani di tingkat lokal.
Mari kita tilik keberadaan organisasi gerakan petani di local. Pada beberapa tempat, banyak organisasi tani local telah mencapai sebuah bentuk “revolusioner”nya. Keberadaan organisasi ini telah merubah satu sistem kepenguasaan tanah yang lama menjadi sebuah bentuk kepenguasaan tanah yang baru. Misalnya, pada masyarakat disekitar perkebunan, keberadaan organisasi lokal secara cepat telah merubah tata kepemilikan, tata guna dan tata produksi tanah wilayah tersebut akibat aksi reclaiming dan aksi okupasi. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat sekitar wilayah hutan, pola wanatani yang dikembangkan oleh masyarakat telah merubah secara drastis pola penguasaan dan pengelolaan tanah mereka sebelumnya.

Namun, perubahan-perubahan revolusioner di lokal ini belum ditangkap secara baik dan menjadi sebuah kerangka bagi pembangunan gerakan tani. Padahal, basis perubahan inilah yang semestinya menjadi suatu tali ikatan solidaritas keorganisasian serikat tani. Inilah yang sebenarnya menjadi kunci dari transformasi serikat tani Indonesia: dimulai dari organisasi pembela kasus, berubah menjadi organisasi solidaritas antar kasus, kemudian berubah menjadi satu wadah/tempat perjuangan politik dan secara bersamaan di dalam organisasinya ditransformasikan dalam tali ikatan organisasi kelas produksi kaum tani.

Penutup
 M.Tauhid, telah meninggalkan kepada kita buku yang tidak hanya menjadi pemapar dan penjelas bagi keadaan-keadaan agraria kolonial. Tapi telah membuka jalan bagi pekerjaan lanjutan untuk usaha-usaha terpenting dalam menemukan rumah politik hukum dan ekonomi agraria terbaik di Indonesia yang belum terwujud.

Kata Pengantar Iwan Nurdin dalam buku Masalah Agraria karya M.Tauhid
Penerbit: Pewarta Yogyakarta 2009

August 29, 2010

Setengah Abad UUPA 1960


UUPA 1960 tahun ini genap berusia setengah abad. Selama ini, Undang-Undang yang disahkan presiden Soekarno pada tanggal 24 September 1960 tersebut diberlakukan setengah hati dan penuh penyelewengan oleh pemerintah.  Padahal, awalnya kelahiran UUPA 1960 sempat dianggap sebagai terbitnya mentari kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, produk hukum nasional ini sangat jelas keberpihakannya kepada buruh tani, petani kecil, golongan ekonomi lemah untuk mendorong lahirnya badan usaha ekonomi rakyat berupa koperasi dalam rangka membangun relasi pertanian dan industri nasional yang kokoh sehingga tercipta modal nasional yang progresif. Semua hal tersebut, menurut UUPA track yang tepat untuk koridor menciptakan masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial alias sosialisme a la Indonesia.

Namun, halangan dan rintangan pelaksanaan UUPA 1960 demikian besar. Semasa Orde Lama, kelompok kontra reform atau kelompok anti pembaruan agrarian berhasil mengalienasi program pembaruan agrarian seolah-olah hanya program kelompok komunis bukan program nasional kebangsaan. Akhirnya setelah runtuhnya rezim Orde Lama program ini menjadi momok serius bagi pemerintah.

Setelah Orde Baru berkuasa penyelewengan besar-besaran terhadap UUPA dimulai. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun ini dengan model kapitalisme birokratik rente. Sebuah pola pembangunan masyarakat yang menggabungkan modernisme yang tentu saja a-historis secara sosial, developmentalism yang pro-kapital besar plus otoritarianisme yang menghilangkan demokrasi dan inisiatif rakyat hingga level terendah.

Peluang UUPA1960 dan program pembaruan agrarian untuk tampil di pentas kebijakan nasional kembali terangkat setelah kejatuhan Orde Baru pada 1998. Namun, seperti diketahui, gelombang demokratisasi politik yang datang datang ke Indonesia diawali dan disebabkan dengan krisis ekonomi. Sehingga, arus demokrasi yang datang tersebut berpasangan dengan reformasi ekonomi nasional. Padahal, sejak awal, reformasi ekonomi nasional yang diterapkan mengacu pada letter of intent antara Indonesia dan IMF. Isi kesepakatan tersebut tiada lain adalah paket program Structural Adjusment Programs (SAPs) yakni program penyesuaian struktur ekonomi nasional kedalam struktur ekonomi neoliberal. Tentusaja, program-program  tersebut sangat jauh dari semangat dan tujuan ekonomi nasional seperti yang dicita-citakan UUPA 1960.

Akhirnya, desakan paket SAPs dan revitalisasi kelompok birokrat rente telah membuat sektoralisme sumber-sumber agraria kembali menguat di masa reformasi. Sepanjang reformasi justru masa subur bagi kelahiran UU yang semakin mengokohkan semangat sektoralisme dalam mengurus agraria. Praktek sektoralisme tersebut  telah mempertahankan rantai birokrasi pemburu rente di tubuh negara (eksekutif dan legislative) serta privatisasi  terhadap sumber-sumber agrarian seperti hutan, air, tambang, perkebunan, pesisir, kelautan dan pulau-pulau kecil kepada pemodal besar baik domestik maupun asing.

Demikianlah, tantangan pelaksanaan pembaruan agrarian setelah limapuluh tahun pengundangan UUPA nampaknya semakin kompleks.

August 27, 2010

Food Estate Rawan Konflik Tanah

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak pemerintah menunda proyek lumbung pangan, Merauke Food Estate di Papua. Pasalnya proyek ini berpotensi menimbulkan konflik tanah di kalangan masyarakat adat.
Koordinator Bidang Advokasi (ralat: Deputi Kajian dan Kampanye) KPA Iwan Nurdin menyarankan, pemerintah menyiapkan undang-undang soal kepemilikan tanah secara komunal terlebih dulu.Hingga kini ketentuan pertanahan di Indonesia tidak mengatur kepemilikan tanah secara komunal.
“Proyek ini sebaiknya ditunda sampai regulasi tentang hak-hak masyarakat adat, tentang tanah dan sebagainya mendapat kejelasan. Ini bisa lebih berbahaya dari proyek sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan dulu,” ujar Iwan Nurdin.
Proyek lumbung pangan Merauke Food Estate kini tengah dalam tahap persiapan. Proyek ini sudah menimbulkan kekhawatiran bagi warga Merauke, Papua. Mereka takut tanahnya dicaplok untuk proyek tersebut.
Bibit-bibit konflik tanah sudah mulai bermunculan. Pasalnya sistem sewa pakai selama 30 tahun yang diterapkan proyek ini membingungkan warga. Apalagi mayoritas tanah di Merauke adalah tanah adat yang dimiliki secara komunal.

August 26, 2010

MENGAPA FOOD ESTATE MERAUKE PAPUA HARUS DITOLAK

Wawancara KPA dengan Iwan Nurdin

Menurut anda apa yang melatarbelakangi pemerintah begitu getol dengan proyek “Food Estate” di Merauke?Kita menyesalkan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten akhirnya memilih model pembangunan food estate bagi Merauke, Papua dalam wadah Merauke Integrate Food and Energy Estate (MIFEE). Sebab ini mencerminkan bahwa ahli-ahli perencanaan pembangunan ekonomi nasional dan ahli pembangunan pertanian kita yakni Bappenas, Bappeda dan Kementan masih belum berpijak pada realitas masyarakat kita. Sebagian besar dari mereka hanya mengambil mentah-mentah konsep pembangunan pertanian yang selama ini diajukan oleh Bank Dunia, ADB dan direplikasi di tanah air lewat konsep MIFEE.

Padahal, pilihan pembangunan pertanian bagi wilayah Papua khususnya Merauke adalah langkah tepat. Namun, memberikan izin konsesi lahan-lahan skala luas bagi investor tidak ada bedanya dengan pembangunan HTI, Perkebunan Sawit atau produk pertanian apapun. Hal tersebut adalah kekeliruan besar. Pembangunan pertanian semacam ini hanya mendorong rakyat sekitar menjadi buruh perkebunan semata. Kalau kemudian masyarakat asli tidak biasa dan bisa menjadi buruh kebun maka biasanya akan didatangkan pendatang. Maka, pola seperti PIR akan kembali digalakkan. Lebih jauh persoalan akan merembet kepada konflik warga asli dan pendatang di atas konflik tanah.

Apakah proyek ini akan memicu sengketa dan konflik pertanahan?Saya meyakininya. Saat ini, areal yang diperuntukkan untuk MIFEE sebagian besar adalah kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK). Dengan demikian, areal tersebut oleh proses tata ruang akan dimasukkan kedalam kategori APL (Areal Penggunaan Lain) dan disahkan Menteri Kehutanan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa areal tersebut sekarang ini adalah hutan alam yang harus dibersihkan terlebih dahulu. Pembersihan lahan tersebut yang bersamaan dengan pengambilan kayu alam akan memicu konflik dan kerusakan lingkungan.

Harus diingat, biasanya klaim kehutanan selalu tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat yang mengelola hutan sejak lama sesuai tradisinya. Padahal, aturan yang mengakui dan memperkuat hak-hak masyarakat adat atas tanah belum diakomodasi sampai sekarang. Maka saya berkeyakinan saat proyek ini berjalan seketika itu pula benih konflik agraria tumbuh dengan cepat dan memakan korban.

Yang lebih menyedihkan, jika konflik agrarian terjadi maka jalan hukum bagi rakyat untuk mendapatkan tanah mereka kembali seolah tertutup. Sebab, selama ini sulit sekali bagi komunitas masyarakat adat diakui dan diperkuat hak-hak atas tanah dan hutan mereka baik secara sendiri-sendiri maupun secara komunitas.

Dalam berbagai kesempatan anda mengatakan bahwa Food Estate adalah ancaman bagi kedaulatan pangan nasional. Bisa dijelaskan?
Proyek semacam ini akan merubah wajah produsen pangan nasional kita dari sebelumnya pemasok pangan nasional kita adalah para petani kecil skala rumah tangga berganti menjadi perusahaan pangan skala besar.

Harus diingat, perusahaan besar asing dan nasional biasanya ekspor oriented ketimbang mengamankan pasokan dalam negeri. Padahal trend harga pangan dunia selalu mengalami kenaikan. Hal-hal semacam ini akan mendorong mereka untuk menekan pemerintah untuk menyerahkan seluruh harga pangan nasional kedalam mekanisme pasar global atau mereka akan mengekspor hasil produksi mereka. Bukankah hal ini terus memacu kenaikan harga bahan pokok di dalam negeri. Kita bisa berkaca dari harga minyak goreng, kontrol perusahaan besar terhadap produksi CPO telah menyebabkan pemerintah sama sekali tidak bisa mengendalikan harga.

Belum lagi kalau kita melihat pengalaman di negara-negara Afrika memperlihatkan bahwa food estate yang dikelola langsung maupun patungan dengan perusahaan China, Korea Selatan dan Timur Tengah semata-mata didorong untuk mengamankan pasokan pangan Negara asal modal.

Pemerintah meyakini bahwa food estate di Papua akan berhasil mengangkat kesejahteraan rakyat sekaligus menyelesaikan persoalan pangan nasional?
Sejak zaman Belanda, Merauke memang sudah dianggap tempat yang paling tepat untuk mengembangkan pangan dan pertanian. Dahulu pemerintah Belanda juga telah mengembangkan proyek padi Kumbe di Merauke tahun 1943. Kultivasi padi kemudian dilanjutkan dimasa Orde Baru melalui proyek didorong oleh kampus IPB maupun program transmigrasi. Sekarang, melalui MIFEE bukan hanya padi namun jagung, tebu, perikanan dan kelapa sawit hendak dikembangkan di Merauke.

Sebelum proyek ini bisa berjalan dibutuhkan dana besar dalam membangun infrastruktur yang sebagian besar dananya diperoleh dari hutang kepada swasta asing maupun dari Bank Dunia dan ADB. Apakah hutang selama ini secara nasional terbukti bisa mensejahterakan?

Jika proyek ini dijalankan maka akan dibutuhkan tenaga kerja skill rendah, madya hingga ahli. Sebagian besar tentu harus didatangkan dari luar Papua. Bukankah ini sebenarnya pembangunan di Papua bukan pembangunan Papua.

Apa jalan keluar dari MIFEE?Model harus berubah, program pembangunan pertanian yang terintegrasi tersebut harus berubah polanya dari pola yang disetir dan berbasis investor menjadi berbasis komunitas. Dengan demikian, Pembaruan Agraria Sejati adalah jalan keluar yang bisa dan wajib diterapkan. Sebab, dengan berbasis rakyat dan komunitas maka yang didorong adalah badan usaha milik rakyat, badan usaha milik desa atau sejenisnya untuk mengelola program ini dengan mengedepankan prinsip keadilan ekologis tentunya.

June 17, 2010

LAGI-LAGI BRIMOB RIAU MENEMBAK PETANI

Niar (35) perempuan petani dari Desa Koto Cengar, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, tewas ditembak aparat
Brimob Kepolisian Resor Kuantan Singing (Kuansing), Selasa (8/6/10). Seorang petani lainnya, Siman (47), luka serius akibat terjangan peluru tajam. Sebaliknya, kemarahan petani diluapkan dengan
membakar satu truk Brimob Polres Kuansing.

Penembakan itu terjadi menyusul sengketa antara warga petani dan perkebunan kelapa sawit PT Tri Bakti Sarimas. Sampai Selasa petang ini,
ratusan petani masih bertahan di lokasi, sementara polisi berjaga-jaga di areal pabrik dan perkantoran PT TBS (Sripo, 8/6/10).

Peristiwa berdarah Selasa siang itu bermula dari perselisihan antara PT TBS dan warga selaku anggota Koperasi Unit Desa Prima Sehati. KUD dan PT TBS bekerjasama menanam kelapa sawit. Petani KUD Prima Sehati menyediakan lahan seluas 9.300 hektar, sementara PT TBS yang melakukan penanaman sampai panen.

Penanaman sudah dilakukan sejak tahun 1998, namun petani baru mendapatkan hasil usaha pada tahun 2008 atau setelah enam tahun masa panen. Hasil panen yang diberikan PT TBS juga dinilai sangat rendah, yakni Rp 70.000 sebulan untuk lahan seluas dua hektar. Padahal di luar, kelapa sawit yang sudah berumur 10 tahun sudah dapat menghasilkan uang Rp 4 juta. "PT TBS membohongi petani," kata Sutiman.

Warga anggota KUD kemudian berupaya untuk membicarakan kenaikan setoran hasil panen PT TBS. Namun, perusahaan itu tidak menggubris tuntutan petani. Petani akhirnya berdemo dan sejak dua pekan lalu warga petani memblokir jalan di areal plasma sehingga panen terhenti.

Pada Selasa pagi, ratusan petani KUD Prima Sehati memanen sendiri kelapa sawit plasma di areal yang disengketakan. Sementara pihak perusahaan rupanya berupaya menghentikan upaya paksa petani itu dengan mendatangkan aparat Brimob dari Polres Kuansing.

Polisi meminta petani menghentikan pemanenan namun tidak digubris. Bentrokan akhirnya pecah dan polisi menghalau massa dengan tembakan. Dua orang tertembak dan seorang diantaranya meninggal dunia. Ketua KUD Prima Sehati, Supri Suryadi, ditahan dan dibawa ke Mapolres Kuansing di Taluk Kuantan.

Siaran Pers Serikat Petani Kelapa Sawit

Optimalisasi Hasil Produksi Perkebunan kelapa Sawit untuk meminimalisir konflik pembukaan kebun baru
 
Bogor, 07 Juni 2010. Antara optimalisasi kebun dan konflik perkebunan adalah dua buah sisi mata uang yang tidak terpisahkan jika kita memperhatikan kondisi di perkebunan saat ini. Sekitar 9, 4 juta ha luas perkebunan kelapa sawit telah mewariskan begitu banyak konflik dalam perkebunan begitupun hal nya tingkat produksi Tandan Buah Sawit yang sangat rendah. Dalam catatan SPKS, produksi TBS perkebunan milik perusahaan hanya 17 Ton/ Ha/ Tahun sementara petani binaan perusahaan hanya 14 Ton/ha/ Tahun. Berbeda hal perkebunan sawit Milik Malaysia yang tingkat produksi TBS nya 23 Ton/ ha / Tahun dan luasannya setengah dari luasan perkebunan Indonesia, namun tingkat produksi TBS hampir sama.
Konflik menjadi perhatian utama di dalam perkebunan kelapa sawit, karena terkait dengan kehilangan sumber kehidupan masyarakat serta terdapat kekerasan di dalamnya dan ketidakadilan bagi petani kelapa sawit yang bermitra dengan perkebunan besar. Hal ini menjadi perhatian khusus, karena terdapat proyek revitalisasi perkebunan yang di dalamnya terdapat perluasan perkebunan kelapa sawit dan peremajaan kebun tua. Proyek ini berlangsung sejak tahun 2006 hingga saat ini dan sudah terdapat banyak persoalan krusial terkait konflik dengan petani sawit dan masyarakat pemilik lahan yang menurut kami penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali.
Terdapat beberapa catatan terutama konflik perkebunan antara perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit.
Pertama; Peruntukan tanah untuk perkebunan besar. Benturan kepentingan dalam penguasaan tanah untuk pengusahaan tanah untuk perkebunan. Masyarakat merasa memiliki hak atas tanah yang ditentukan kepemilikannya secara turun temurun. Namun negara memiliki kekuasaan lebih untuk menyerahkan tanah milik masyarakat untuk pengusaha perkebunan dalam bentuk pemberian ijin perkebunan.
Kedua adalah perusahaan perkebunan setengah hati membangun kebun plasma. Ini dapat di lihat dari penyerahan kebun plasma kepada petani yang tidak memenuhi standar perkebunan. Penyelewengan kredit oleh perusahaan dapat terlihat dalam proses ini, dengan melihat kondisi kebun yang di serahkan inti tidak optimal.
Ketiga; konflik atas hasil produksi di mana petani tidak memperoleh keuntungan yang cukup dari hasil penjualan Tandan Buah Segar dengan pemotongan secara sepihak melalui indek K dan sortasi buah dalam sistem penentuan Harga TBS.
Pemerintah Indonesia tidak henti-hentinya menawarkan bahkan memaksa proyek perluasan perkebunan skala besar melalui kebijakan revitalisasi perkebunan. Walau sudah memiliki banyak catatan,  revitalisasi itu gagal di beberapa tempat, namun pemerintah terus memberikan tekanan untuk pembukaan kebun baru melalui penegasan-penegasan dalam revitalisasi.
Beberapa cantoh yang dapat di lihat adalah, pemerintah provinsi Kalimantan timur menarget hingga akhir masa jabatannya akan terbangun  perkebunan kelapa sawit hingga satu juta Ha. Di provinsi jambi akan membuka lagi kebun sawit seluas satu juja ha dan kemudian di Riau dan tempat-tempat lainnya akan melakukan hal yang sama walau hanya perbedaan tingkat proyeksi luasan.
Proyeksi luasan dari beberapa pemerintah daerah di Indonesia tidak mempertimbangkan kualitas produksi Tandan Buah Sawit yang rendah yang di pengaruhi banyak factor seperti;
Pertama: Masalah pupuk yang kurang terjamin untuk perkebunan. Pemerintah Indonesia kurang memperhatikan keadilan distribusi pupuk untuk petani dengan membandingkan distribusi bagi perkebunan besar. Perusahaan mendapatkan akses langsung dengan pabrik pupuk sementara tidak bagi petani. Begitupun halnya kelangkaan pupuk Urea yang masih di jawab oleh pemerintah dengan eksport pupuk urea. Banyak petani menjerit akibat kelangkaan pupuk namun tidak di hiraukan dengan keadilan distribusi dan akses.
Kedua: Kondisi kehidupan Buruh yang tidak sejahtera dan banyak di antaranya buruh harian lepas yang juga turut mempengaruhi kerja buruh yang lebih baik untuk perawatan kebun dan perusahaan perkebunan tidak memperhatikan kualitas dengan penguatan kapasitas buruh perkebunan.
Ketiga: Pengawasan sector pemerintah terkait skema kemitraan yang tidak adil bagi petani sawit, dan keempat adalah korupsi penggelapan kredit pembangunan perkebunan untuk rakyat oleh perusahaan perkebunan dengan melihat kualitas dan kelengkapan infrastruktur pembangunan dan perawatan selama masa investasi. Sehingga dari target produksi nasional yang kurang memadai, di deskripsikan di daerah dengan menambah produksi nasional dengan perluasan perkebunan besar.
Kerterbatasan lahan untuk budidaya perkebunan besar, memaksa harus mengalihkan kawasan kelola milik masyarakat dan kawasan-kawasan lindung lainnya yang menjadi sumber pokok kehidupan masyarakat. Selain berkonflik dengan masyarakat, pembukaan perkebunan baru dengan skema kemitraan revitalisasi perkebunan oleh perusahaan juga berkonflik dengan petani kelapa sawit akibat ketidakadilan skema kemitraan seperti yang terjadi di PT. Tribakti Sari Mas di Kuansing Riau, PT. Kebun Ganda Prima di Sanggau, PT. Kresna Duta Agro di jambi, dan PT. Prediksi Guna Tama di Paser Kalimantan Timur. 
Karena itu penting bagi pemerintah untuk mengoptimalisasikan perkebunan-perkebun an yang sudah ada untuk meminimalisir konflik-konflik dari dampak perluasan baru sehingga pemerintah di seluruh Indonesia lebih focus pada optimalisasi perkebunan dan penyelesaian konflik-konflik perkebunan lama.

June 1, 2010

Polisi dan Tentara Masih Terlibat dalam Konflik Agraria


Setahun lalu, di lokasi perusahaan PT. AA Bengkalis Riau, polisi dan security perusahaan membakar pondok-pondok warga, melepaskan anjing untuk memburu warga, dan melepaskan tembakan peluru karet. Saat itu Brimob Polda Riau, Polres Bengkalis dipimpin oleh Kombes Alex Mandalika melakukan operasi pengusiran terhadap warga yang dianggap menyerobot areal izin HTI PT.AA.

Sulit dipercaya bahwa polisi mengerahkan helikopter untuk mengejar-mengejar warga yang kocar-kacir, menjatuhkan sejenis napalm untuk membakar pondok warga hingga seorang bayi dilaporkan tewas. Bulan Agustus 2009, Brimob Sulsel juga menembaki warga di Takalar Sulsel. Ini juga soal konflik tanah. kemudian awal desember 2009 ini kembali Brimob menembaki warga di Ogan Ilir Sumsel.

Mengapa polisi terlibat dan melibatkan diri  dalam konflik tanah? Apakah polisi kita cukup memahami  hukum agraria nasional. Sebab soal tanah bukan ranah polisi.

Dalam soal tanah dengan perusahaan,  proses konflik diawali oleh Bupati dan atau  Gubernur  memberikan izin lokasi. Izin lokasi ini pastinya berada diatas lahan-lahan atau kebun masyarakat. Namun, tidak semua lahan dan kebun dan rumah masyarakat ada sertifikatnya. Bahkan dengan enteng bisa saja dikatakan bahwa areal masyarakat ini berada dalam kawasan kehutanan. Padahal, penetapan  kawasan Kehutanan juga mengharuskan pemerintah mengecek langsung di lapangan. Namun ini tidak pernah dilakukan cukup lewat peta saja. Jadilah izin lokasi dianggap sebagai hak yang bisa dibela oleh aparat polisi. Padahal, izin lokasi harus dilanjutkan dengan pembebasan lahan, dan setelah itu perusahaan wajib mendaftarkan tanah yang sudah dibebaskan dengan ganti kerugian, mereka bisa mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau hak Guna Bangunan (HGB). jJka perusahaan membangun perkebunan diatas kawasan hutan maka terlebih dahulu mendapatkan  perusahaan mendapatkan SK pelepasan kawasan dari menhut dan pemda. Sementara jika perusahaan tersebut bergerak dibidang kehutanan maka ia harus mendapatkan izin perusahaan HTI dari menhut.

Kalaupun perusahaan perkebunan dikarenakan birokrasi kita yang buruk sudah mendapatkan sertifikat HGU atau HGB apakah masyarakat juga boleh diusir-usir.  Harus diingat bahwa sertifikat hanya bisa lahir karena tidak konflik dan klaim dari pihak lain. Kalau ia bisa terbit tentu ada KKN disana, dan jika polisi dipakai untuk mengusir dan menembaki warga, maka selain keblingernya polisi juga dikarenakan BPN dan perusahaan bisa jadi hendak cuci tangan saja. Satu hal lagi, sejak tahun 2007 BPN menjalin kerjasama MOU dengan Mabes Polri. Akibat dari kerjasama ini adalah penangkapan dan penembakan petani menjadi lebih sering.