Koran Jakarta, Selasa, 28 September 2010
Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati. Adalah sebuah peribahasa masyarakat jawa yang berarti secuil tanah adalah sejengkal kehormatan yang siap untuk dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Itu adalah kalimat ampuh yang siap membakar amarah, sekaligus membulatkan tekad. Itu adalah tata bahasa manusia agraris yang setiap hari ber-gaman (bersenjata) arit dan memanggul pacul.
Bagi kaum tani, tanah adalah segala-galanya, sebab di sanalah tempat lahir Dewi Sri.
Sirah peri bahasa di atas kini bisa dipungut kembali untuk memahami kenapa Presiden Soekarno pada 26 Agustus 1963 menerbitkan Keppres yang menyatakan bahwa hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebagai Hari Tani Nasional.
“UUPA adalah UU Pertama setelah 15 tahun Indonesia merdeka. UU yang mengatur pertanahan dengan sangat populis,” terang Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Badan Pertanahan Nasional (BPN), Endriatmo Sutarto, pekan lalu, di Yogyakarta.
Menurut Endriatmo, karena sifat populis yang melekat pada UUPA itulah, sampai hari ini tetap menjadi rujukan bagi pegiat pertanahan di negeri ini, apalagi dengan ditambah kenyataan bahwa sampai hari ini belum lahir satu pun produk hukum yang memihak kepada kepentingan rakyat.
“Namun, sayangnya, karena sifat kerakyatannya itulah UUPA dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik Orde Baru, maka UU tersebut seperti dibekukan,” tuturnya.
Laporan FAO tahun ini menyebutkan bahwa kelaparan penduduk dunia pada 2009 mencapai 1,02 miliar jiwa, 36,7 juta jiwa di antaranya adalah penduduk negeri ini.
Data di Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 mencatat bahwa kemiskinan perdesaan berjumlah 29,36 juta jiwa, jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk miskin di perkotaan yang mencapai 20,62 juta jiwa.
“Dan jumlah kemiskinan perdesaan ini sebenarnya setara dengan jumlah petani gurem yang tercatat sebanyak 13,7 juta jiwa pada 2003 dan 15,6 juta jiwa pada 2008,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Ya’kub.
Sensus Pertanian pada 2003 menyebutkan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga pada 1993 menjadi 13,7 juta keluarga pada 2003 (2,6 persen per tahun).
Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). “Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani akibat semakin sempitnya lahan pertanian.
Di sisi lain, tanah makin terkonsentrasi pada golongan kecil konglomerat. Hanya 6,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasional. Sekitar 62-87 persen aset itu dalam bentuk tanah, ” jelas Yakub.
Dampak dari semua hal di atas, nyanyian “tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, benar-benar tinggal nyanyian sunyi pengantar tidur. Bangsa agraris yang dulunya merupakan produsen dan lumbung pangan itu, menurut SPI, kini justru menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia.
Dipaparkan Yakub, sejak 1998- 2006, hampir 50 persen beras yang diperdagangkan di tingkat internasional atau kira-kira dua juta ton lebih diimpor ke Indonesia.
Negeri ini juga mengimpor 70 persen dari total kebutuhan susu nasional, 45 persen pasokan kedelai, 15 persen kacang tanah, 50 persen daging, 10 persen jagung, dan satu juta ton garam.
“Secara umum ketergantungan pangan melalui impor telah menghabiskan dana tiap tahunnya mencapai 51 triliun rupiah,” tandas Yakub yang juga anggota Dewan Ketahanan Pangan Nasional ini.
Kebergantungan terhadap impor itu, pada gilirannya, menciptakan situasi rawan pangan.
Pada tahun lalu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), laporan dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY, (BKPP) sebanyak 137 desa di DIY masuk daftar desa yang berkategori rawan pangan dengan separo di antaranya berada di Kabupaten Gunung Kidul.
“Perincian desa rawan pangan tersebut, masing-masing 77 desa terdapat di Kabupaten Gunung Kidul, 35 desa di Kabupaten Kulon Progo, 18 desa di Kabupaten Bantul, dan 6 desa di Kabupaten Sleman,” kata Kepala Bidang Distribusi BKPP DIY, Hardiyanto.
Konflik Agraria
Dalam situasi rawan pangan, kemiskinan, dan ketiadaan lahan garapan petani itu, konfl ik agraria antara petani melawan pengusaha dan negara berlangsung secara masif dan menjadi konflik sosial berlarut.
Menurut Deputi Riset Dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, konfl ik agraria yang terjadi di Indonesia selalu berlangsung dalam pola yang mirip.
“Kemiripannya, dalam konflik ini, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penembakan, serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Ini terus dihadapi petani dalam memperjuangkan pembaruan agraria,” kata Iwan.
Konflik itu tersebar di 2.834 desa atau kelurahan, 1.355 kecamatan, dan 286 kabupaten atau kota. Sedangkan luas tanah yang dipersengketakan mencapai 10 juta hektare dan menyebabkan tak kurang dari satu juta keluarga petani menjadi korban.
Dicontohkan Iwan, potret kasus agraria dalam beberapa tahun ini, yakni kejadian Bulukumba, tragedi Tanak Awuk 2005, kriminalisasi petani garut 2006, kasus petani di Lampung, dan terakhir penembakan 12 petani Rengas Ogan Ilir -Sumatra Selatan pada Desember 2009, serta di awal tahun 2010 terjadi kasus petani di Kampar Riau.
Sebagai perbandingan, data dari Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa pada 2009, dari setidaknya 4.000 laporan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM, 62 persen di antaranya merupakan kasus lingkungan hidup dan konflik agraria.
Sedangkan data dari BPN, pada 2007 telah terjadi 4.581 kasus sengketa pertanahan, 858 kasus konflik pertanahan, dan 2.952 kasus perkara pertanahan. Secuil tanah itu memang musti direbut hingga mati. Indonesia tanah air subur dan kaya. Subur, tentu saja. Kaya, sepertinya kita mesti mengelus dada.
YK/L-1
No comments:
Post a Comment