Bertempat di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 6 Oktober 2010, diselenggarakan diskusi mengenai rencana pemerintah mengesahkan RUU-Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Sebuah RUU yang sedang dikebut oleh pemerintah dan parlemen untuk segera disahkan.
Acara tersebut dihadiri oleh kalangan yang selama ini concern dengan pembaruan agrarian di tanah air, diantaranya Berry N Furqon (Direktur Eknas Walhi), Idham Arsyad (Sekjen KPA), M. Nuruddin (Sekjen API), Dianto Bachriadi (Dewan Pakar KPA), Kasmita Widodo (JKPP) Laksmi (Sains Institute) dan para pegiat dari SPI, Kontras, IHCS, Sawit Watch, dan Pergerakan.
Acara ini diselenggarakan oleh KPA mengingat cepatnya pemerintah dan DPR membahas RUU ini. Padahal, menurut kalangan “Pegiat Agraria” RUU ini bukanlah kebutuhan yang mendesak bagi rakyat.
Para peserta diskusi banyak menyoroti latarbelakang RUU ini yang didorong oleh kalangan pengusaha melalui “National Summit”. Bahkan, jika dirunut kebelakang, RUU ini adalah Perpres 36/2005 jo 65/2010 yang dinaikkan menjadi level UU. Pendeknya, ini hanyalah copy-paste dari Perpres yang dahulu menyulut perlawanan masyarakat dan sekarang hendak dijadikan sebuah RUU. Menurut Idham Arsyad, “Jika mau memanjangkan ingatan, tata caranya mendorong lahirnya aturan ini juga serupa. Dahulu, Perpres 35/2005 yang direvisi menjadi Perpres 65/2006 didorong oleh gelaran “infrastructure summit”, sementara sekarang RUU ini didorong melalui “National Summit”.
Dalam diskusi, ditemukan beberapa poin utama yang menyebabkan RUU ini layak untuk ditolak bahkan harus dilawan adalah:
Pertama dengan lahirnya UU semacam ini, penggusuran yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentusaja potensi pelanggaran HAM didalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Bahkan, dengan RUU ini yang sudah memiliki dokumen saja terancam bahaya apalagi yang tidak berdokumen.
Kedua, Cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah.
Ketiga, dalam RUU ini tatacara gantirugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.
Keempat, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol, bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyek-proyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan.
Kelima, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing, ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia.
Akhirnya disepakati bahwa RUU ini akan ditolak dengan membangun koalisi di Jakrta dan daerah-daerah untuk menggagalkan pengesahannya. Jadi, mari lawan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
No comments:
Post a Comment