October 30, 2010

Tanggapan atas Rencana Pengusiran Petani Kopi Jambi

Pengusiran warga dari kawasan hutan bukan perkara baru. Dahulu, di zaman Orde Baru, para petani kopi di Gunung Balak, Padang Cermin, Lampung diusir dalam sebuah operasi yang melibatkan tentara, polisi, dan aparat pemda. Sampai sekarang, Perhutani bersama dengan aparat kepolisian juga kerap mengusir warga dari kawasan hutan. Operasi wanalaga lodaya adalah operasi kehutanan yang sering dilakukan di Jawa Barat dalam mengusir petani penggarap di kawasan hutan.

Jika kemudian ada khabar bahwa petani kopi di Lembah Masurai, Kab. Merangin Jambi hendak diusir oleh operasi bersama antara Kementerian Kehutanan, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten dan Aparat Kepolisian ini seperti sebuah sejarah yang berulang.

Namun, sebelum pengusiran ini, di media massa sempat diulas bahwa pemerintah daerah sedang mengusahakan sebuah program Hutan Desa yang akan memberi hak pengelolaan kepada masyarakat sekitar  Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas kurang lebih 41.000 hektar. Hutan Desa tersebut adalah jawaban yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat sekitar dalam mengelola hutan. Anehnya, bersamaan dengan itu, pemerintah akan mengusir keluar petani kopi yang kebetulan sebagian besar adalah para pendatang dari luar provinsi Jambi. Wilayah Hutan Desa yang diusulkan dan tempat petani kopi sesungguhnya bersebelahan dan beberapa bersinggungan.

Timbul kecurigaan bahwa Pemda dan Kemenhut tengah melakukan sebuah upaya busuk untuk mengadu domba masyarakat asli dengan pendatang. Kemenhut seolah sedang memberi kabar kepada masyarakat bahwa saya akan memberi hak pengelolaan kepada kalian dalam bentuk hutan desa, namun sayang sebagian lahan kalian sudah diduduki warga pendatang.

Sekarang, marilah kita tilik siapa sesungguhnya pendatang itu? Mereka adalah petani kopi dari Pagar Alam, Lampung, dan Kerinci. Seperti kebiasaan di daerah asalnya, mereka membuka  lahan-lahan hutan dan menanamnya menjadi kebun kopi yang subur. Pola pemukiman mereka menyebar dan tidak mengelompok, sebab mereka membangun rumah semi permanen atau gubuk pada setiap kebun yang digarap.

Kabarnya, mereka datang dibiayai oleh para toke kopi. Bahkan, toke ini membiayai hidup para petani penggarap sebelum petani dapat memanen kopinya. Imbalannya? para petani ini wajib menjual kopi kepada para toke yang membiayai mereka berkebun.

Apakah mereka orang-orang kaya? Bukan. Mereka adalah para pembangun awal sebuah peradaban baru akibat terlempar dari kepemilikan lamanya yang tak mampu mereka pertahankan. Lahan di daerah asalnya telah terjual habis atau terlalu sedikit. Mereka membangun kebun kopi dengan berjuang keras tanpa bantuan sepeserpun dari pemerintah.

Jika Pemda dan Kementerian Kehutanan mau menyelesaikan soal ini, tiada cara lain berembuglah, bermusyawarahlah, supaya mereka mendapatkan hak kelola. Bersama dengan mereka buatlah komitmen supaya jumlah mereka tidak bertambah, beri jangka waktu untuk meninggalkan lokasi yang memang secara hukum tidak dapat sama sekali dikelola rakyat dengan prinsip relokasi.

Persoalan dengan masyarakat sekitar selama ini tidak ada, tentu tak elok membuat isu Hutan Desa pada lokasi yang sama. Harus segera diluruskan sehingga tidak ada kesan pemerintah telah membuat rakyat berhadap-hadapan untuk baku hantam.

Terakhir: secara tegas, tindak dengan tegas dan tangkap para toke yang telah melakukan praktek lintah darat, ijon dan mendorong rakyat melakukan pembukaan lahan hutan secara tidak sah.

No comments: