Bertempat di halaman Istana Bogor, Kamis, 22 Oktober 2010, Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) mengadakan puncak peringatan Hari Agraria Nasional yang ke 50. Peringatan kali ini terasa istimewa, karena sebelumnya sudah beredar berita di beberapa media massa bahwa presiden akan mencanangkan dimulainya program reforma agraria.
Bagi anda yang belum familiar dengan istilah ini, saya bagikan pengertiannya. Reforma Agraria adalah penataan struktur pemilikan dan penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria khususnya tanah. Salah satu program utama reforma agraria adalah redistribusi tanah kepada rakyat/petani miskinsalahsatu.
Namun, lagi-lagi pencanangan tersebut tidak terjadi. Meskipun anehnya, ulasan-ulasan media massa menganggap bahwa presiden telah memulai sebuah gerakan redistribusi tanah. Bahkan, dengan dramatisasi bahwa presiden memulai agenda dengan menangis haru. Untuk hal ini, saya berharap bahwa saya yang salah memahami keadaan.
Sebab bisa saja diklaim bahwa program redistribusi tanah sudah dimulai. Karena, meski tidak ada dalam pidato, pada saat pembagian sertifikat bagi para petani Cilacap di Istana Bogor adalah symbol pencanangan redistribusi 142.159 hektare tanah kepada petani di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi. Lebih detail soal itu tidak dibahas oleh media massa.
Oh ya, mengapa saya menyebut dengan istilah lagi-lagi. Ya, ini adalah undangan ketiga bagi saya untuk hadir dalam sebuah acara BPN dimana presiden melihat secara langsung dan memberikan ucapan selamat kepada para penerima sertifikat tanah. Acara semacam ini telah tiga kali dilakukan oleh SBY dan BPN. Pertama sekali di pelataran candi Prambanan Jogjakarta akhir 2008. Disana, SBY juga menyerahkan sertifikat dan meresmikan program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan). Kedua kali, dilakukan pada Januari 2010 di Merunda, Jakarta Utara. Disini, presiden meresmikan kendaraan Larasita untuk daerah pelosok dan pulau terpencil ditambah dengan instruksi program-program strategis BPN. Dan ketiga kalinya di Istana Bogor lalu.
Secara substansi dari ketiga acara ini belum beranjak banyak, pemerintah belum merealisasikan aturan tentang Pembaruan Agraria (Reforma Agraria). Mengapa aturan tentang Pembaruan Agraria mendesak disyahkan oleh pemerintah? Sebab aturan lama misalnya PP 224/1961 perlu dilengkapi, apalagi alat kelembagaan dan tata hubungan pemerintah pusat dan daerah telah banyak berubah. Sehingga, relevansi PP 224 menjadi berkurang.
Kabarnya, seperti diungkapkan oleh Kepala BPN-RI Joyowinoto dalam berbagai kesempatan, peraturan soal Reforma Agraria sudah disetujui oleh lintas departemen dan tinggal menunggu paraf dari SBY. Dan, PP tersebut akan menjadi kado bagi 50 Tahun UUPA 1960.
Mengapa ketidakadilan struktur agrarian harus segera direform: menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset yang ada di Tanah Air, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.
Selanjutnya, pemerintah telah memberikan 42 juta hektar hutan kepada 301 perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dan 262 unit perusahaan HTI atau hutan tanaman industri (Kementerian Kehutanan 06/09). Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup yang mengontrol 600 perusahaan.
Jika dikelompokkan, perusahaan yang menguasai lebih dari 50 persen tanah republik ini tidak sampai 500 grup, baik perusahaan nasional maupun asing. Akibatnya, kekuatan ekonomi dan politik negeri ini berpusat dan dikendalikan oleh segelintir orang (Chalid Muhammad 2010).
Jadi, reforma agraria itu sebuah kemutlakan untuk menyelamatkan bangsa ini dari penguasaan segelintir orang atau 500 group itu tadi. Semoga peraturan tentang pembaruan agraria segera terbit untuk menegakkan keadilan agraria di tanah air.
No comments:
Post a Comment