March 22, 2012

Kepentingan Umum Dalam UUPA 1960 (1)

 Oleh Iwan Nurdin

Kepentingan Umum menurut UUPA terkait fungsi sosial hak atas tanah .seperti disebut dalam pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 

Dalam penjelasannya diuraikan: Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.

Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).

Selanjutnya, kepentingan umum secara eksplisit juga disebutkan didalam UUPA:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (pasal 7).
Pasal ini dijabarkan kedalam pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Penjelasan pasal 17: Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebutselanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya para bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.

Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.

Catatan:Pelaksanaan pasal 7 dan pasal 17 ini kemudian yang melahirkan peraturan-peraturan terkait dengan pelaksanaan land reform pada masa itu. Jadi: fungsi sosial dalam kerangka kepentingan umum atas tanah dimaksudkan untuk menciptakan keadilan social melalui reforma agraria

Selanjutnya, Kepentingan Umum juga secara eksplisit disebutkan di dalam pasal 18: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Penjelasan: Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.

Pelaksanaan dari pasal ini melahirkan UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di Atasnya.

March 20, 2012

Spekulan Mesuji Masih Berkeliaran

JAKARTA - Mantan Juru Bicara Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji Indriaswati Dyah Saptaningrum mengatakan, ulah Ketua Lembaga Adat Megou Pak Wan Mauli itu hanya satu dari sebagian banyak spekulan tanah yang memanfaatkan konflik di Mesuji.

Berdasarkan hasil investigasi awal TGPF, pihaknya menemukan banyak spekulan tanah di Mesuji. Karena itu, sesuai rekomendasi, tim meminta aparat penegak hukum mengusut para mafia tanah tersebut.

’’Kami (TGPF) sudah minta Menko Polhukam (Djoko Suyanto) bikin rapat setelah temuan awal yang juga mengundang pejabat pemda dan meminta polda ambil langkah-langkah cepat,’’ kata Indri kepada Radar Lampung di Jakarta kemarin (7/3).

Terlebih, banyaknya aksi spekulan tanah saat itu juga didukung bukti-bukti kuitansi yang ditunjukkan pemerintah daerah (pemda). Termasuk beberapa selebaran tentang pembukaan lahan di wilayah konflik tersebut. ’’Karena banyaknya spekulan, (bukti) kuitansinya saja segepok,’’ ujar Indri.

Namun, dia tak bisa memastikan berapa jumlah calo tanah yang beraksi di wilayah Register 45 tersebut. Termasuk apakah spekulan itu juga melibatkan aparat pemerintah. ’’Waduh, tanya ke polda saja. Yang diusut polisi waktu itu saja ada 24,’’ tandasnya.

Kepada koran ini, Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyatakan, penangkapan Wan Mauli hanya sebuah pengalihan isu. Sebab, pemerintah tak bisa menyelesaikan masalah intinya, yaitu sengketa tanah antara warga dengan perusahaan.

Menurut dia, tanah di sana merupakan tanah masyarakat adat yang memang sudah ada sebelum perusahaan itu berdiri. Kemudian, lanjut Iwan, pemerintah secara sepihak menganggap tanah itu kawasan hutan dan diberikan izin hutan tanaman industri (HTI). ’’Bukankah pemerintah juga jual-beli izin tanpa dasar hak yang kuat,” tudingnya.

Iwan juga menduga bukti kuitansi yang diamankan oleh pihak kepolisian belum tentu terkait jual-beli tanah. ’’Sebab, kami dapat informasi, itu adalah kuitansi pengurusan perjuangan tanah,” ucapnya.

Semestinya, pihak kepolisian fokus pada rekomendasi Komnas HAM dan TGPF Mesuji. Sebab, kata dia, akar permasalahannya adalah mengapa ada izin HTI yang luasnya melebihi batas kawasan hutan sesuai peta residen Lampung, sehingga areal kelebihan itu sejak dahulu diklaim sebagai kawasan adat.

’’Kalau polisi hendak fokus pada jual-beli lahan kawasan hutan itu, mereka juga harus berimbang menyelidiki mengapa ada perluasan izin areal kawasan hutan produksi untuk PT Silva Inhutani yang tidak sesuai dengan luas kawasan hutan yang sebenarnya diakui sejak dahulu (sebagai tanah adat), sehingga (perusahaan) mengambil tanah adat,’’ pungkasnya.

Terpisah, penangkapan Wan Mauli bak tamparan keras bagi Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megou Pak Saurip Kadi yang paling getol menyuarakan sengketa lahan Mesuji hingga mendunia.

Ia sangat menyesalkan perbuatan Wan Mauli yang dituding sebagai calo tanah di wilayah Register 45. Namun, purnawirawan TNI ini berharap mayarakat adat tetap kompak dan tidak terpecah belah dengan penangkapan ini.

Sebab, kata dia, dengan kejadian ini masyarakat adat merasa dipermalukan oleh ulah orang yang tak bertanggung jawab tersebut. ’’Kalau memang Pak Mauli memanfaatkan konflik untuk kepentingan pribadi, silakan polisi memproses hukum,’’ kata Saurip yang mengaku belum mengetahui secara pasti penyebab tersangka ditahan aparat kepolisian.

Menurutnya, perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan hak tanahnya akan diteruskan. Jangan sampai perjuangan itu terhenti karena ulah ketua lembaga adatnya. ’’Lembaga adat jangan pecah karena kesalahan pribadi seseorang,’’ ujar Saurip.

Meski dalam transaksinya, tersangka menjual nama lembaga adat dengan modus memperjuangkan hak tanah. Saurip menyatakan, pihaknya tetap akan memberikan bantuan hukum selama proses penyidikan tersangka.

Dari sana, kata dia, pihaknya bisa melihat perbuatan yang dilakukan oleh tersangka memang untuk perjuangan atau buat kepentingan pribadi. ’’Nanti dilihat berapa uang yang dikatakan untuk perjuangan dan berapa uang yang masuk kantong pribadi,’’ jelasnya.

Meski perjuangan Lembaga Adat Megou Pak dikotori oleh oknum yang memanfaatkan situasi, Saurip menegaskan akan terus berusaha mendapatkan hak tanah rakyat yang dinilainya selama ini menjadi korban penzaliman pemerintah.

Diketahui, Direktorat Kriminal Umum Polda Lampung menahan Ketua Lembaga Adat Megou Pak Wan Mauli. Pria 61 tahun ini sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan tanah di Register 45 kepada warga Mesuji.

Wan Mauli ditahan atas laporan Syaiful cs ke Polda Lampung dengan Nomor LP/56/II/2012/SPKT tertanggal 6 Februari 2012 tentang Penipuan.

Kepala Bidang Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih menjelaskan, dalam pemeriksaan, Wan Mauli diajukan 27 pertanyaan di ruang Ditreskrimum. Jumlah saksi yang sudah diperiksa sebanyak 18 orang. Mereka warga Tuguroda, Sungai Buaya, Mesuji, yang merasa ditipu Wan Mauli selama bulan September-Desember 2011.

Modus yang digunakan tersangka, para korban memberikan sejumlah uang kepada Wan Mauli untuk membeli tanah seluas 2/4 hektare. Di mana dua hektare digunakan warga untuk ladang, sisanya untuk permukiman.

 Untuk warga yang sudah lama bermukim di Tugu Roda dimintai uang Rp1 juta. Sedangkan untuk warga baru yang tinggal dimintai uang Rp1,5 juta. Selain membeli tanah Register 45, masyarakat diperintahkan Wan Mauli untuk menjadi anggota Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (HTRMI) dengan dibebani biaya sebesar Rp225 ribu.

 Barang bukti yang dimiliki Polda Lampung untuk menahan Wan Mauli berupa satu lembar kuitansi tertanggal 18 Desember 2011 sejumlah Rp3 juta, satu lembar kuitansi tertanggal 20 Desember 2011 sejumlah Rp1 juta, dan satu lembar tanda terima uang tertanggal 2 Desember 2011 sejumlah Rp25 juta.

Kemudian satu lembar penerimaan uang tertanggal 23 Desember 2011 sejumlah Rp5 juta dan satu lembar penerimaan uang tertanggal 26 Desember 2011 sejumlah Rp5 juta yang penggunaannya untuk pengurusan sengketa tanah dan transportasi.

Lalu surat tanda terima uang yang diterima dan ditandatangani oleh Wayan Karas, lima lembar ditandatangani oleh Wan Mauli, satu lembar ditandatangani oleh M. Sudarmin, satu lembar ditandatangani Jalil Kumis, dan satu lembar ditandatangani Trubus.

Selanjutnya sebelas lembar fotokopi tanda terima uang sumbangan dana perjuangan masyarakat, enam lembar tanda terima uang pendaftaran anggota Asosiasi HTRMI dan biaya administrasi, serta satu lembar rekapan dana yang masuk ke Wan Mauli atau lembaga Megou Pak. (kyd/c1/ary)
RADAR LAMPUNG 8 Maret 2012

March 2, 2012

Pengaturan Wilayah, RUU Desa Dorong Pembaruan Agraria

Kompas–Jakarta : Rancangan Undang-Undang Desa yang akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya bisa menjadi perangkat yang mendorong terjadinya pembaruan agraria. Harapannya, Rancangan Undang-Undang Desa ini bisa menciptakan hubungan pertanian dan industri sekaligus relasi desa dengan kota yang saling menguatkan.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di  Jakarta mengatakan, selama ini masyarakat dan pemerintahan desa tidak diberi wewenang dalam mengatur wilayah dan masyarakatnya.

“Apalagi menentukan wilayah mereka atas dasar ulayat untuk diakui negara sehingga sumber-sumber agraria, khususnya tanah, tambang, dan pertanian, dieksploitasi pemerintah di luar desa dan pengusaha dengan dalih investasi dan pembangunan. RUU Desa harus mendorong transformasi pedesaan melalui pembaruan agraria sehingga ke depan tercipta hubungan pertanian dan industri serta relasi desa-kota yang saling menguatkan,” kata Iwan, Selasa (28/2).

RUU Desa, menurut Iwan, diharapkan juga mengatasi persoalan tumpang tindih dalam penentuan wilayah definitif antara kawasan hutan dan wilayah desa. Iwan mengatakan, berdasarkan data peta desa dan peta kawasan hutan Kementerian Kehutanan dengan Badan Pusat Statistik tahun 2009, dari 70.429 desa di Indonesia, sekitar 37 persennya memiliki wilayah yang tumpang  tindih dengan kawasan hutan.

Kondisi itu yang rawan menimbulkan konflik agraria. Masyarakat yang bertahun-tahun mendiami wilayah desa justru dituding sebagai perambah kawasan hutan.

Selasa(28/02) DPR mengesahkan pembentukan Panitia Khusus RUU Desa. Menurut  anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Budiman Sudjatmiko,  keberadaan UU Desa sangat penting bagi keberadaan desa-desa di Indonesia.  Melalui UU Desa, menurut Budiman, desa akan semakin dinamis dan menarik  bagi rakyat untuk tetap mencari penghidupan di desa. “Dengan demikian, arus urbanisasi juga akan berkurang drastis,” katanya.

Selain itu, ujar Budiman, UU Desa memastikan pengaturan soal pengelolaan  aset agraria desa. “Hal itu merupakan bentuk konkret dari pengakuan terhadap desa. Pengelolaan aset dilakukan melalui redistribusi aset ke desa dan dilakukan oleh organisasi masyarakat atau organisasi tani setempat,” katanya.

Untuk itu, UU Desa harus menjamin pembentukan Panitia Reforma Agraria yang mayoritas anggotanya harus organisasi petani/nelayan setempat. Dalam soal penganggaran, UU Desa juga memastikan ada alokasi anggaran dari APBN. (Bil)

Sumber: Kompas Cetak, 1 Maret 2012.