January 29, 2008

FAJAR REFORMA AGRARIA DI INDONESIA? DARI AGENDA PETANI KE AGENDA BANGSA

Oleh: Noer Fauzi

Sejak mula saya harus terang-benderang menunjukkan bahwa tempat berangkat dan cara pandang refleksi ini berpinjak dari pengalaman kerja-kerja dalam gerakan-gerakan sosial, organisasi-organisasi non-pemerintah dan kemudian dunia akademis dimana saya sekarang bercokol. Penegasan ini sangatlah membantu, sebab dalam ilmu sosial dan humaniora, tidak dapat dibenarkan ada klaim bahwa penceritaan suatu karya – baik dengan klaim ilmiah, essay filosofis, observasi sekilas, maupun fiksi – adalah bebas dari pengaruh dari posisi-posisi si pembuatnya. Bila ada klaim bahwa narasi ilmu sosial dan humaniora itu bebas-posisi alias netral, maka yang musti diselidiki adalah bukan benar salahnya klaim tersebut, karena akan sia-sia dan tak berkesudahan, melainkan dalam kondisi apa dan bagaimana klaim itu disebarluaskan dan kemudian dianut oleh komunitas tertentu, dan kemudian kepentingan apa yang diemban oleh pengetahuan dan penyebar-penganut pengetahuan tersebut.

Pentingnya posisi dan kesadaran akan posisi (positionality) mempengaruhi isi dan cara pengetahuan disajikan telah disadari oleh sejumlah penulis kalangan antropologi refleksif, sosiologi ilmu, dan feminis di tengah tahun 1980-an (misalnya Clifford dan Marcus 1986; Haraway 1988; Hartsock 1987). Argumen utama yang mereka kemukakan adalah bahwa semua pengetahuan akademik, juga pengetahuan lainnya, senantiasa bergantung situasi (are always situated), dan selalu dihasilkan oleh pelaku yang berposisi tertentu (are always produced by positioned actors), yang bekerja di dalam berbagai hubungan sosial dan di antara berbagai posisi
lain yang dihadapinya. Semua inilah yang membuat satu pengetahuan yang satu berbeda dengan pengetahuan lainnya, sebagai akibat dari proses pembuatannya (dilakukan oleh siapa, bagaimana dan juga untuk siapa bentuk akhir pengetahuan itu mau disajikan). Justru kesadaran dan pengakuan bahwa pengetahuan yang dihasilkan senantiasa bersifat kontekstual dan relasional inilah yang kemudian dinilai lebih jujur, meyakinkan dan memberdayakan para pembaca dan peneliti lainnya untuk melihat hubungan-hubungan baru yang sering tidak terduga, termasuk yang memberi kemungkinan untuk aksi-aksi kolektif yang baru pula (Cook 2005).

Kebangkitan Agenda Reforma Agraria di Badan Dunia, Negara dan Organisasi Gerakan Sosial
Pada jaman sekarang, akses pada tanah dan agenda mengubah struktur agraria – yang biasa dikenal dengan istilah reforma agraria (bahasa spanyol), atau dikenal juga dengan nama agrarian reform (bahasa Inggeris) atau pembaruan agraria (bahasa Indonesia) – telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dari agenda pembangunan dari berbagai badan internasional, negara dan organisasi gerakan sosial pedesaan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Kebangkitan itu diiringi pula oleh beragam cara pandang untuk memahami, menganalisas dan merancang jalannya reforma agraria (Putzel 2000, Ghimire 2001, FAO 2001, Prosterman and Hanstaad 2001, Ghonemy 2003, Cox et al 2003, Moyo and Yeros 2005b, Cauville and Patel 2006, Quan 2006, Borras et al 2006, and Cousin 2007).

Pertama, kegagalan global teori dan praktek neoliberalisme sepanjang 25 tahun, semenjak dilancarkannya apa yang diistilahkan dengan SAP (Structural Adjustment Program) atau Program Penyesuaian Struktural, yang diberlakukan secara menyeluruh dalam suatu negara maupun yang khusus pada sektor pertanian. Apa yang dimaksud dengan SAP itu adalah serangkai paket kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dimulai tahun 1980-an untuk menghadapi krisis hutang yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Paket kebijakan itu dapat dibedakan menjadi dua: stabilisasi dan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural. Sebagaimana diurai Rita Abrahamsen, ”Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnya berjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran Negara melalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program program ini, diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaan domestik baik terhadap barang-barang import maupun eksport. Meskipun program-program stabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan-tindakan penyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalan keseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program ini umumnya lebih berjangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktifitas dan efisiensi, mengubah sumberdaya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapat diperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan” (Abrahamsen, 2003:65-66). Akibat dari SAP ini adalah liberalisasi ekonomi, dimana peran-negara secara drastis telah direduksi melalui pengurangan-pengurangan pengeluaran publik, privatisasi kegiatan-kegiatan sektor- publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.

Kedua, sepanjang periode yang sama, bangkitnya kembali suatu generasi baru gerakan-gerakan sosial pedesaan. Dengan sangat menyadari perbedaan asal-usul dan cara bagaimana gerakan-gerakan itu menampilkan dirinya, titik berangkat pemahaman kita dapat dimulai dari kerangka besar proses penghilangan dunia pedesaan, agraria dan petani (deruralization, deagrarianization and depesasantization processes), yang dilakukan melalui bentuk-bentuk urbanisasi yang umum, dan masuknya perkebunan-perkebunan skala raksasa, perusahaan ekstraksi sumber daya alam (tambang, hutan, dll), industri manufaktur, perluasan kawasan industri dan permukiman, dan lainnya, ke pedesaan. Araghi mengemukakan istilah global depeasantisation untuk gejala “meningkatnya jumlah orang yang tadinya terlibat dalam pertanian … dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah besar-besaran menjadi terkonsentrasi di wilayah perkotaan” (1995:338).

Seperti yang dilaporkan World Population Prospects (1988), di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin – yang pada dalam konteks perang dingin diistilahkan “Dunia Ketiga” – penduduk yang hidup di kota mencapai 41 persen di tahun 2000, melonjak cepat dari 16 persen di tahun 1950 (Araghi 1995). Sejarawan kondang Hobsbawm adalah penyuara dari golongan yang menganggap petani akan lenyap, seperti yang ditulisnya dalam karya klasik Age of Extremes bahwa “… perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yang memutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah the death of the peasantry, kematian petani (yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui) (Hobsbawm,1994: 288-9, 415). Kenyataan ini diperparah oleh ”penerapan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus memberi akibat pemusnahan (dissolving effect) kehidupan petani” (Bryceson dkk 2000: 29), sebagai mana yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian perubahan agraria di Asia, Afrika dan Amerika Latin di akhir abad 20.

Ketiga, adalah suatu faktor kesempatan politik yang terbuka, yang memungkinkan diangkutnya agenda akses atas tanah ke dalam arena-arena pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal, nasional dan global. Perubahan struktur kesempatan politik memberi sinyal dan peluang bagi angkai aksi kolektif tertentu. Tentunya, tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapi struktur kesempatan politik yang tertentu pula. Adalah tidak mungkin menggeneralisir struktur kesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan tertentu. Namun, memang ada perubahan politik utama yang dihadapi oleh masing-masing gerakan pedesaan. Secara umum pada skala nasional, kesempatan politik bagi aksi-aksi kolektif dan perjalanan gerakan sosial dapat dibuka oleh tumbangnya rejim apartheid, transisi dari rejim otoritarian atau komunis, dan adanya berbagai partai politik yang membutuhkan legitimasi dan dukungan mayoritas penduduk pedesaan. Sedangkan pada tingkat global, kesempatan politik itu dapat dibuka melalui perubahan kepemimpinan, kebijakan, orientasi teori dan agenda pembangunan badan-badan internasional.

Penyelidikan atas pemanfaatan kesempatan-kesempatan politik yang tersedia itu, diketahui bahwa bentuk umum dari aksi-aksi kolektif dari gerakan pedesaan saat ini berbeda nyata dengan yang dilakukan gerakan-gerakan yang berkembang di masa kolonial maupun di masa ketika land reform berjaya di tahun 1960an-1970-an. Petras (1998), yang menuliskan bahwa ”Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang terdahulu, yang tidak juga cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak kemana-mana, buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Webster (Webster, 2004:2) menguatkan ”Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata dengan karakter gerakangerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20 dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya.”

Publikasi Akademik yang Mengiringi Kebangkitan Agenda Reforma Agraria
Di publikasi akademik di awal abad 21 ini, pokok bahasan seputar akses pada tanah dan reforma agraria kembali tampil berupa buku maupun artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sekedar sebagai ilustrasi, di awali di tahun 2001, terbit naskah di bawah bendera the UN World Institute for Development Economics Research (WIDER) berjudul Access to Land, Rural Poverty and Public Action (de Janvry et al. 2001). Naskah ini mendiskusikan panjang lebar seluk-beluk betapa pentingnya akses atas tanah dan kebijakan dan tindakan publik untuk memerangi kemiskinan di pedesaan. Buku kumpulan tulisan ini juga menghadirkan evaluasi terhadap dua bentuk land reform, yakni State-led Land Reform dan untuk sebagian menghadirkan Grassroot-Initiatiated Land Reform. Namun, pada intinya buku itu adalah promosi mengenai tak tergantikannya peran pasar dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap tanah, dan perlunya pemerintah mengadopsi Market-assisted Land Reform. Jelas-jelas promosi pendekatan pasar ini dielaborasi dalam buku Land Policies for Growth and Poverty Reduction. World Bank Policy Research Report. Walaupun buku ini dinyatakan sebagai karya karya Klaus Deininger (2003), namun lebih jauh buku ini merupakan “pegangan ideologis” dari the WB’s Thematic Group on Land Policy and Administration (sering disebut secara singkat sebagai The Land Thematic Group), yang mengarahkan proyek-proyek land reform dan manajemen dan administrasi pertanahannya Bank Dunia, dan badan-badan pembangunan internasional lainnya.

Pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (International Fund for Agricultural Development) yang mengeluarkan IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, yang secara eksplisit menghidupkan kembali keunggulan usaha pertanian skala kecil, dan redistribusi tanah skala besar dalam strategi mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Yang memimpin penulis laporan IFAD tersebut adalah Michael Lipton, yang telah terkenal sebagai tokoh pendekatan neo-populis dalam pembangunan pedesaan (Lipton 1977) dan juga khususnya berjasa dalam teorisasi land reform ketika agenda ini sedang jaya-jayanya di badan-badan pembangunan interansional dan negara-negara berkembang di akhir tahun 1970an (Lipton 1974). Laporan tersebut segera dikuatkan oleh artikel panjang dari K.Griffin, A.R. Khan and A. Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land” dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3), yang untuk kembali menghidupkan argumen tentang kebijakan dan praktek urban bias yang memelihara kemiskinan, dan pentingnya land reform sebagai strategi memeranginya.

Sebagai tanggapan atas artikel ini, dan buku Access to Land di atas, Bernstein (2002) “Land Reform: Taking A Long(er) View” dalam Journal of Agrarian Change 2002 No. 2(4) mengedepankan suatu kritik yang tajam berangkat dari pandangan strukturalis Marxis baik terhadap pendekatan pasar maupun neo-populis. Selanjutnya, Byres (2004) menyunting artikel-artikel yang mengelaborasi lebih lanjut pandangan Marxis strukturalis ini dalam Journal of Agrarian Change 2004 No. 4 (1&2) dan mengkritik argumen utama pendekatan neo-populis dengan basis contoh-contoh empiris, yang kemudian ditanggapi balik oleh Griffin, A.R. Khan and A. Ickowitz (2004) dalam karya “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism” dalam Journal of Agrarian Change 2004 no 4(3).

Keseluruhan naskah yang disebut di atas sekarang ini merupakan naskah-naskah wajib bagi para pelajar kebangkitan agenda land reform. Setahun kemudian, terbit pula buku suntingan Sam Moyo and Paris Yeros (2005) Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America, yang mengkoleksi artikel-artikel tentang politik perjuangan tanah dari berbagai belahan negara Afrika, Asia and Latin America. Argumen utama dari para penulis ini memperoleh tanggapan kritis dari Ben Cousin (2006) “Debating the Politics of Land Occupations” dalam Journal of Agrarian Change No. 6(4). Selanjutnya UNDP (the United Nations Development Programme) membiayai dan kemudian menerbitkan studi yang berjudul Land, Livelihoods and Poverty in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries yang disunting oleh A. Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M. Borras Jr, Cristóbal Kay (2007), dan yang terakhir adalah karya-karya tulis yang bermutu tinggi dari suatu lingkaran aktivis yang tergabung dalam LRAN (Land Research Action Network) yang sepanjang tiga tahun pergulatan advokasi kebijakan nasional dan global pada “Agrarian Reform and Food Sovereignty”: Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform, yang disunting oleh Peter Rosset,Raj Patel,Michael Courville (2007).

Sekelumit karya akademik yang diulas di atas, dimaksudkan untuk menunjukkan kecenderungan global dan rangkai karya akademik yang mendebatkan agenda reforma agrarian dari berbagai sudut pandang, dan menghantar pada suatu niat pokok untuk meninjau fajar (?) agenda reforma agraria di Indonesia saat ini. Dalam suasana demikian itu lah refleksi dari kemelut-kemelut keagrariaan saat ini dilakukan. Pesan refleksi utama yang hendak secara tegas disampaikan disini adalah reforma agraria pada dasarnya adalah bukan sekedar agendanya petani, tapi lebih dari itu adalah agenda kebangsaan. Saat ini sedang kita cari adalah cara bagaimana agenda bangsa itu bekerja di atas alas kemelut kelembagaan dan perjuangan kongkrit rakyat untuk mempunyai dan menggarap tanah, dan mengelola kekayaan alam dengan aman dan nyaman.

Perjalanan Panjang Berliku Reforma Agraria di Indonesia
Di dalam sejarah Indonesia sendiri, agenda Reforma Agraria memiliki perjalanan yang panjang, berjalinan dengan pembentukan bangsa dan negara. Elan kebangsaan yang dahulu tumbuh dan ditumbuhkan dari alas pengalaman penderitaan kolektif di bawah imperialisme dan kolonialisme itu, telah menjadi dasar bagi dijalankannya program-program reforma agraria di awal masa dekolonisasi, seperti penghapusan hak istimewa desa-desa perdikan di Banyumas (UU No. 13/1946), penghapusan hak conversie, hak istemewa sekitar 40 perusahaan tebu di Surakarta dan Yogyakarta untuk peroleh tanah dan tenaga kerja (UU Darurat No. 13/1948), legalisasi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat (UU Darurat No. 8/1954), dan pelarangan tanah-tanah partikelir (UU No. 1/1958). Elan kebangsaan itulah yang tidak mengizinkan berlangsungnya struktur agraria yang eksploitatif dan organisasi “negara dalam negara” yang berjalinan langsung dengan penderitaan kaum tani di desa-desa perdikan, kawasan vostenlanden dan tanah-tanah pertikelir itu. Elan kebangsaan dan penderitaan kaum petani ini jua lah yang mendasari pembentukan panitia negara untuk menyusun undang-undang agrarian nasional (melalui Surat Penetapan Presiden No 16/1948), yang selama 12 tahun melalui banyak lika-liku dan pada gilirannya menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan nama UUPA 1960, yang lengkapnya bernama Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria. (Praptodihardjo 1952, Tauchid 1953, Gautama 1973, Soemardjan 1962, Fauzi 1999).

Sayangnya karya monumental bangsa (UUPA 1960) itu, ruang dan program penerapannya menyempit pada sektor pertanian rakyat dengan pengaturan perjanjian bagi hasil agar lebih adil (UU No. 2/1960), pembatasan penguasaan tanah maksimum dan minimum (UU No. 56/PRP/1960), dan cara pelaksanaan redistribusi tanah objek land reform, yakni tanah kelebihan, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah negara lainnya (PP 224/1960). Sistem agraria dan kawasan perkebunan dan kehutanan yang seyogyanya dikenai program reforma agraria berhasil menghindarkan diri dan selamat dari peluruhan yang dilakukan politik agrarian dan pergerakan rakyat pada saat itu. Tenaga rakyat petani yang didorong oleh rasa pemenuhan keadian sosial itu telah digerakkan secara politik untuk berhadapan frontal dengan para tuan tanah. Yang kemudian terjadi adalah penciptaan perjuangan kelas di pedesaan di keseluruhan Jawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Nusa Tenggara. Penyederhanaan dan penyempitan hubungan sosial dan kebudayaan menjadi sekedar hubungan kelas belaka memungkinkan masing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik menemukan arena pertarungannya secara nyata di pedesaan (Lyon 1976, Utrecht 1969, Mortimer 1972). Kelembagaan dan desain penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-demi-desa, panitia land reform hingga pegadilan land reform – pun menjadi arena dari pertarungan itu. Walhasil, yang terbentuk adalah suatu “bara” bagi percik api pertarungan elite nasional yang di tahun 1965- 1966 berujung pada peralihan politik yang brutal dan sangat dramatis dari rejim yang kemudian dijuluki “Orde Lama” ke rejim “Orde Baru” (Cribb 1990, 2001, 2002, Fauzi 1999).

Selanjutnya, di bawah masa konsolidasi kekuasaan orde yang baru, agenda redistribusi kekayaan jelas dikeluarkan dari perancangan strategi pembangunan. Agenda itu akan akan memporak-porandakan koalisi politik antara militer, elite-elite partai politik kanan, teknokrat pro-kapitalime Barat, petani-petani penguasa tanah luas, dan segelintir pengusaha modal besar bangsa pribumi dan asing. Koalisi ini lah yang menjadi sandaran dari strategi pembangunan agraria yang baru (Mas’oed 1983, 1989, Utrecht 1973). Politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun (Husken and White 1989, Kasim dan Suhendar 1996, Fauzi 1977, 1999, Farid 2005).

Keterputusan perjalanan reforma agraria itu, dan selanjutnya pilihan model pembangunan itu menyebabkan terciptanya berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang kronis, kesemerawutan tata penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan konflik agrarian yang berkepanjangan (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Kesemua pusaka itu, yang mungkin saja dapat diwakili dalam konsep “ketidakadilan agraria dan lingkungan” semakin diperhebat dengan cara penanganan dan pemulihan krisis ekonomi yang berlangsung semenjak 1997 sampai 2004, bahkan hingga sekarang. Yang merebak di kalangan rakyat dan pimpinan lokal di banyak daerah adalah sentimen “anti-negara”, sebagai proksi dari anti-praktek rejim Orde Baru, dan merebaknya etno-nasionalime. Ironisnya, instrumen-instrumen pembentukan negara yang demokratis dan terdesetralisir saat ini belum sanggup mendekatkan perjuangan keadilan sosial dan lingkungan itu dengan pembentukan rasa kebangsaan. Kontras dengan hal itu, yang terjadi adalah suatu pendalaman integrasi sumberdaya alam dan tenaga kerja rakyat ke dalam sirkuit kapital modal internasional, yang saat ini telah sampai pada apa yang dirumuskan oleh Karl Dalam suasana demikian, tidak heran bila Ladejinsky (1961) menyatakan “I am almost inclined to to view that it is essentially an anti-land redistribution program, although I am certain that it was not planned that way originally” (Walinsky 1977:298) Polanyi (1944) kekuasaan pasar yang memaksa tenaga kerja, uang dan tanah dilepas dari sistem-sistem sosial yang mengikatnya. Inilah hakekat dari Neoliberalisme, suatu utopia eksplotasi tanpa batas (Bourdieu 1998).

Geliat Reforma Agraria Saat ini
Agenda “Reforma Agraria” dan “pengelolaan sumber daya alam” kembali bergeliat dimulai sejak awal 1990an dan terus digeluti oleh sejumlah sarjana dan aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agraria, serta menghasilkan naskah-naskah studi kondisi agraria dan kritik politik agraria yang dianut rejim Orde Baru (Kasim dan Suhendar 1996, Bachriadi et al 1997, Suhendar dan Winarni 1997, Wiradi 1999). Lebih dari itu, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, konferensi yang dimotori serikat-serikat petani lokal, dan organisasi non-pemerintah tak putus-putusnya menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda reforma agraria (lihat misalnya Harman et al 1995, Fauzi and Fidro 1998). Sementara itu, tuntutan-tuntutan keadilan agrarian dan lingkungan yang dijalankan oleh penduduk-penduduk desa berlangsung terus hingga menemukan momentum yang pas untuk meluaskan aksi-aksi pendudukan tanah itu, yakni saat mengiringi berakhirnya kekuasaan rejim Soeharto, di tahun 1998.

Keterbukaan politiklah yang memungkinkan penampilan terbuka dari berbagai mobilisasi massa hingga pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria di tingkat lokal hingga nasional, yang di antaranya ditulang punggungi oleh aktivis-aktivis agraria dan lingkungan. Ketika kesempatan politik terbuka dalam sidang-sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tahun 1999 hingga 2001, yang terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia 1966-1998, para promoter reforma agraria dan aktivis gerakan lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey 2002, 2003, Bachriadi 2002 , Wiradi 2002, Lucas and Warren 2003, Ya’kub 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi 2002, Soemarjono 2002, 2006, Winoto 2007).

Salah satu badan negara yang selanjutnya mengusung agenda ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks “transitional justice” untuk menyelesaikan pelanggaram HAM di masa Orde Baru.3 Ujung dari usaha ini adalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) yang kemudian ditolak pembentukannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, Komnas bekerjasama dengan organisasi gerakan agraria menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20 April 2001 di Jakarta. Salah satu resolusinya adalah desakan pembentukan TAP MPR tentang Pembaruan Agrarian dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria (Fauzi 2001, Bachriadi 2004, Tim kerja KNUPKA 2004).

Pimpinan BPN-RI pada periode 2002 - 2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya” (Soemardjono 2006). Hal ini tentu menangguk pro dan kontra yang tidak selesai, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, hingga akhirnya tercapai kesepakatan antara pimpinan baru BPN-RI saat ini dengan Komisi II DPR-RI pada tahun 2006 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA. Sedangkan, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto 2006).

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian (Republika Online September 28, 2006), dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini (misalnya untuk sector kehutanan lihat Kartodirjo 2002, Contreras-Hermosilla and Fay 2005, sedangkan untuk sektor pertanian lihat Mayrowani et al 2004), namun di dua departemen itu, agenda reforma agrarian belum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, kita sulit menemukan integrasi program Reforma Agraria di kedua departemen itu. Bahkan inisiatif-inisiatif dari Departemen Kehutanan, mulai dari pembentukan kawasan konservasi yang koersif, pembolehan invesasi pertambahangan di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baru perhutanan sosial, dan Departemen Pertanian, mulai dari revitalisasi perkebunan, perkebunan untuk bahan bakar nabati hingga pelestarian lahan pertanian sawah abadi, dapat dinilai sebagai bentuk-bentuk yang tergolong dalam apa yang disebut Feder (1970) sebagai counterreform. Tentunya hal ini semakin memperumit kelembagaan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam saat ini.

Tatapan Ke Depan: Kebutuhan akan Pengetahuan Teori dan Praktek Reforma Agraria
Saat ini karya tulis akademik berbahasa Indonesia mengenai seluk-beluk kondisi, politik, gerakan dan reforma agraria masih sangat terbatas. Undangan Benjamin White (2005:132) untuk merintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria” sungguh-sungguh relevan untuk Indonesia saat ini. Dengan sangat menyadari bahwa salah satu syarat dari pelaksanaan reforma agraria yang berhasil adalah tersedianya basis pengetahuan yang memadai, maka yang benar-benar diperlukan adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi dan struktur agraria wilayah, kelembagaan agraria, politik dan pembangunan agraria wilayah, dan Kesemerawutan pengelolaan sumber daya alam, serta berbagai inisiatif menjalankan reforma agraria. Reforma agraria meniscayakan ragam-ragam itu. Keragaman itu sungguh adalah kekayaan bangsa Indonesia.


Disampaikan pada acara Refleksi Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta 27 Desember 2007


Penulis Adalah
Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-2002, Kordinator Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan
Agraria 2002-2005. PhD Candidate di University of California – Berkeley, Department Environmental Science, Policy and
Management (ESPM).

January 15, 2008

Negeri yang Memaklumi Bencana

Oleh: Iwan Nurdin

Hujan, bentuk morfologi bumi, alur sungai dan laut adalah karunia dan takdir Tuhan. Namun, takdir ini tidaklah serta merta membuat kita harus berdekatan dengan bencana alam. Sebab, banyak dari bencana alam ini sebenarnya adalah pilihan bukan takdir. Tidak ada satupun dalil yang bisa mensyahkan bahwa bencana adalah cobaan dari Tuhan. Perilaku kolektif kita sebagai bangsa yang membuat kita lebih memilih bencana alam sebagai rutinitas. Akhirnya, kita bisa memberi embel-embel bencana dengan berbagai kategori-kategori seperti banjir lima tahunan, langganan banjir, musim kebakaran hutan dll.

Bukankah hujan deras tidak membuat manusia mati, karena air tersebut akan ditangkap oleh tanah, meresap dan dialirkan sungai. Pemerintahan yang memberikan izin pembangunan kota secara ngawur, pembalakan hutan, di daerah-daerah tangkapan air adalah penyebab kematian itu. Gempa tidak membunuh manusia, bangunan yang tidak tahan gempalah yang membunuh manusia. Panas musim kemarau tidak membakar hutan, pemerintah yang membiarkan landclearing hutan dengan cara dibakar adalah penyebabnya. Jadi, Tuhan melalui alam ciptaannya tidak pernah memberikan cobaan dan membunuh para manusia. Dengan alur pemikiran demikian, sesungguhnya dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Negara kira telah dengan sengaja melakukan penghancuran kehidupan warganya secara sistematis.

Pemerintah yang demikian inilah yang sesungguhnya setiap hari menaungi seluruh warganya. Ketika bencana datang, yang disiapkan oleh pemerintah prosesi pejabat dan pimpinan partai politik membagikan makanan. Liputan media adalah tujuannya. Kemudian, upacara “pameran kebaikan” ini memberi jalan bagi rencana pembangunan berbagai proyek bencana lainnya seperti penggusuran dan pemindahan paksa penduduk justru dengan tajuk mencegah terulangnya bencana. Tidak ada opsi menghukum para penyebab banjir. Sebab, ini adalah takdir Tuhan. Jadi harap maklum dengan bencana.

Demikianlah pemerintah mengajarkan kepada warganya dalam melihat bencana. Ia dipandang sebagai sebuah kuasa diluar manusia yang didesain oleh tangan tak terlihat dan maha kuat. Padahal, jika hendak mengulitinya sedikit saja, penyebab semua bencana adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang didesain oleh tangan-tangan tak nampak dari golongan ekonomi kuat. Proses ini telah membuat desa-kota, pertanian dan industri kita bertumbuh sekehendak hati aliran modal.



Di tengah banyak pihak dididik menjadi maklum. Publik yang sadar harus tetap berkeras hati untuk tidak maklum. Pasalnya, pemerintah kita masih berani melakukan kebohongan publik dengan mengkambing hitamkan Tuhan dalam setiap bencana. Juga dikarenakan meski secara formal kita telah mengadopsi demokrasi, dengan melihat peristiwa-peristiwa ini, pemerintah yang ada sekarang tetaplah seri lanjutan dari elit birokrasi dan politik warisan negara otoriter birokratik rente Orba.

Warisan yang paling dominan pada birokrasi kita yang telah menyebabkan bencana adalah pandangannya yang sangat keliru dalam melihat sumber-sumber agraria (bumi, air, udara diatasnya). Selama ini, sumber agraria seperti tanah, hutan, pesisir dan kelautan sebagai tempat untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri dan kelompok politik.

Perilaku tersebut telah menyebabkan tata pengelolaan sumber-sumber agraria kita dikotak-kotakkan sebagai sektor yang terpisah dan sulit berkoordinasi kerja. Perburuan rente dalam sektor-sektor ini telah melahirkan ego sektoral yang dominan.

January 4, 2008

Proyeksi Penegakan HAM 2008: Ketidakmauan Penegakan HAM Berlanjut

Koalisi Organisasi Non Pemerintah Hak-hak Asasi Manusia dan Korban Pelanggaran HAM yang terdiri dari Arus Pelangi, Demos, FSPI, HRWG, Imparsial, Kalyanamitra, LBH-APIK, Praxis, Jaringan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (JSKK), INFID, Jaringan relawan Kemanusiaan (JRK), KontraS, Setara Institute, PBHI, Prakarsa, SHMI, Wahid Institute, YLBHI, bermaksud menyampaikan catatan bersama tentang evaluasi dan proyeksi HAM 2007 dan 2008. Catatan ini akan terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu kilas balik 2007, proyeksi penegakan HAM 2008, serta rekomendasi.


1. Kilas Balik
Komitmen negara Republik Indonesia (RI) dalam mengimplementasikan hak-hak manusia cenderung memburuk sepanjang tahun 2007. Kelemahan ini terletak pada inkonsistensi antara apa yang dikesankan dengan apa yang sesungguhnya direalisasikan. Realitas keadaan hak-hak manusia baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya justru mematahkan upaya pemerintah dalam menampilkan citra diplomasi yang baik atau terbuka di mata internasional. Disamping itu kesan positif ini pada dasarnya gagal merespon rangkaian pelanggaran atau pengingkaran hak-hak manusia baik di tingkat internasional seperti Myanmar, Malaysia, Pakistan, buruh migran dan perdagangan karbon (perubahan iklim) maupun di dalam negeri yang dalam praktiknya tidak menghasilkan perubahan signifikan baik melalui tindakan dan kebijakan (violation by commission) dan pembiaran (violation by omission). Pencitraan politik luar negeri di bidang HAM, dengan berbagai kerjasama meknisme HAM internasional, tidak sejalan dengan sikap pemerintah terhadap realitas pelanggaran hak-hak manusia di berbagai negeri terutama dalam bentuk pembatasan dan pengekangan kebebasan sampai pembunuhan kaum oposisi politik.

Bahkan pencitraan diplomasi HAM itu tidak sejalan dengan realitas pelanggaran HAM di berbagai pelosok Indonesia. Keterbukaan pemerintah untuk memberikan akses terhadap dua pelapor khusus dan komisioner tinggi hak-hak manusia PBB, justru tidak didukung sejumlah aparat dalam pelaksanaan misi kunjungan mereka untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak-hak manusia. Aparat penegak hukum tetap ambil bagian dalam kebiasaan atau melakukan praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, terutama sering menggunakan kekerasan dan senjata api dalam menangkap tersangka. Kewajiban POLRI sebagai pelindung hak-hak setiap orang atas ancaman atau gangguan dari pihak ketiga maupun sebagai pembasmi kejahatan tampaknya semakin mengkhawatirkan seiring dengan terus terjadinya penutupan rumah-rumah ibadah dan penyerangan atas kelompok minoritas agama. Pemerintah pun masih berwatak diskriminatif dan represif atas kebebasan yang diperjuangkan kelompok minoritas agama. Situasi ini menandai dibiarkannya praktik kekerasan dan intoleransi dari pihak ketiga dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan dari negara. Kondisi intoleransi dan diskriminasi juga masih terus dialami para korban Tragedi 1965-1966.


Banyaknya kegagalan aparat penegak hukum maupun mekanisme pengadilan untuk menghukum para pelaku kejahatan, termasuk belum terungkapnya secara hukum siapa para pelaku dan orang yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan Munir, semakin menguatkan dugaan proses ini sebagai bagian dari pelembagaan kejahatan tanpa hukuman (impunity). Daftar kegagalan ini terus bertambah bila dihubungkan dengan berbagai kejahatan yang berulang di daerah konflik seperti Poso, bahkan kejahatan yang terburuk sekali pun tidak pernah dihukum. Selain itu, banyak pula kasus atau perkara korupsi yang gagal diproses secara jujur dan non-diskriminasi, menandai kuatnya dugaan impunitas. Seluruh proses pelembagaan impunitas ini semakin memupuskan harapan para korban kejahatan dan pelanggaran hak-hak manusia untuk meraih keadilan.

Dalam pemilikan dan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan dan industri di perkotaan, terutama sengketa lahan, penggusuran kaum miskin kota, dan pembatasan kebebasan berserikat kaum buruh, ditandai dengan keterlibatan aparat kepolisian, militer dan para-militer. Penggunaan kekerasan dan paksaan merupakan ancaman yang serius bagi mereka yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Sebagai contoh, dua bentuk pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) berupa pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) serta perlakuan keji dan penyiksaan yang mengakibatkan kematian warga sipil petani di Alas Tlogo (Jatim) dan kematian tersangka penikam polisi di Jeneponto (Sulsel). Dalam kasus lainnya negara justru menggunakan pihak ketiga (paramiliter) sebagai pelaku untuk menggusur atau menganiaya penggarap lahan. Salah satu peristiwa yang paling merugikan pemilik lahan adalah dibukanya penambangan minyak Lapindo di kawasan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk yang menenggelamkan delapan desa. Kasus Lapindo juga merupakan contoh bagaimana korporasi dengan dukungan negara menolak pemulihan hak-hak korban.

Kebijakan ekonomi liberal pemerintah, meskipun meningkat secara statistik, justru semakin memperburuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan memperluas kelompok miskin. Berbagai laporan audit anggaran yang menunjukkan terjadinya korupsi dan kebocoran anggaran telah menggerus kemampuan pemerintah dalam merealisasi hak-hak ekosob seperti hak atas pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh, kebijakan ini juga kian memperparah pemenuhan hak-hak perempuan dengan kian tingginya angka eksploitasi buruh migran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, tingginya angka kematian ibu dan anak, bahkan menyebabkan terjadinya peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Kendati otonomi daerah membuka partisipasi politik yang lebih tersebar, namun efek pengelolaan otonomi ini juga merupakan ancaman atas implementasi hak-hak lainnya termasuk hak-hak perempuan. Seperti yang terjadi di tingkat nasional maka partisipasi politik perempuan belum juga tercemin dalam kebijakan di daerah. Otonomi daerah juga belum menyentuh perbaikan kondisi anak-anak yang masih menjalani masa kecil mereka di jalan-jalan, dipekerjakan, serta mengalami kekerasan maupun perlakuan buruk atas
anak-anak yang dipenjara.


Di sisi lain menguatnya primordialisme dalam politik otonomi yang beriringan dengan fundamentalisme menjadi ancaman atas keberagaman etnis, politik dan agama. Misalnya, ancaman dan kekerasan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan terkait dengan diberlakukannya Perda yang diskriminatif, termasuk diterapkannya bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia seperti hukuman cambuk di Aceh. Efek pengelolaan otonomi daerah itu mengancam keberadaan kelompok-kelompok yang mempunyai orientasi seksual berbeda. Mereka menghadapi kesulitan untuk mengurus status kependudukan dan hak kewarganegaraan, memperoleh layanan
kesehatan, menjalankan ibadah di rumah-rumah ibadah, kebebasan berkumpul, serta hak atas pekerjaan karena rawan penolakan dan pemecatan. Bahkan ada yang mengalami kriminalisasi karena orientasi seksual dan juga atas posisi mereka sebagai korban dan pelapor. Dalam sebuah operasi ketertiban versi Pemkot di Jakarta, seorang waria terbunuh.

Lemahnya jaminan hukum atas penghormatan dan perlindungan hak-hak manusia terlihat dengan masih belum sinkronnya standar dan norma hak-hak asasi manusia internasional, terutama yang sudah diratifikasi, dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional. Ini juga mennujukkan negara gagal menjalankan kewajibannya sebagai negara pihak. Hal ini tercermin dalam keputusan Mahkamah Konstitusi yang tetap melegalkan hukuman mati, revisi KUHP tetap mempertahankan delik agama dan penghinaan pejabat negara, keberadaaan lembaga Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) sebagai alat represi bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta kebijakan dan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan HAM.


2. Proyeksi penegakan HAM 2008
Ke depan, khususnya di tahun 2008, prospek perlindungan, pemenuhan dan pemajuan Hak-hak asasi manusia tak akan berbeda dengan perkembangan tahun lalu. Pemerintah masih tetap akan inkonsisten dalam kebijakan HAM di luar negeri dan dalam negeri. Faktor-faktor yang kian mempersulit penegakan HAM adalah berlanjutnya kebijakan ekonomi liberal pemerintah, kebijakan pro security yang mengancam kebebasan sipil seperti RUU Rahasia Negara, serta persaingan politik di tingkat nasional dan lokal. Persaingan antar-elite politik ini terutama menjelang pemilihan umum (pemilu) parlemen dan presiden tahun 2009. Misalnya, dengan bertambahnya jumlah partai politik dan tokoh calon independen untuk berkampanye memperebutkan kursi DPR, DPD dan DPRD maupun mereka yang dicalonkan untuk memperebutkan kursi presiden. Sumber daya politik diperkirakan bakal dimobilisasi secara besar-besaran sebagai bagian dari pertarungan politik yang terbuka dengan melibatkan partisipasi politik sebanyak mungkin warga negara. Di sisi lain, substansi UU Politik, khususnya UU Parpol yang baru disahkan, memberi peluang bagi perselingkuhan antara pemilik modal dengan politisi.


Tahun ini juga merupakan bagian dari sejarah peringatan 10 tahun reformasi dan momen peringatan 60 tahun DUHAM. Karena itu tuntutan reformasi akan meningkat, khususnya dalam pemenuhan atas hak-hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Tuntutan pemenuhan HAM oleh negara akan dipertanyakan Dewan HAM dalam mekanisme Pengkajian Berkala Universal (UPR) serta Komite Anti Penyiksaan PBB. Di tahun ini, pelapor khusus PBB tentang Penyiksaan dan Pembela HAM melaporkan temuan mereka tentang perlindungan atas pembela HAM serta implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT).

Berdasarkan perkembangan ini maupun proyeksi politik, implementasi atau realisasi hak-hak manusia adalah hal yang tidak terpisahkan dari kewajiban negara maupun partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan hak-hak manusia. Proyeksi politik ini sekaligus sebagai arena untuk menguji komitmen negara dalam memajukan hak-hak manusia. Pantas dipertanyakan komitmen partai-partai dan tokoh-tokoh politik maupun pemerintah terhadap pemajuan dan perlindungan hak-hak manusia.


3. Rekomendasi
1. Mendesak Pemerintah SBY dan JK untuk konsisten dalam kebijakan HAM luar negeri. Konsistensi diplomasi diperlukan agar Indonesia dapat merespon krisis HAM di tingkat internasional sesuai Konstitusi RI dan standar HAM universal (Burma, Darfur hingga Pakistan).

2. Mendesak Pemerintah, DPR dan Yudikatif untuk mengubah paradigma dalam memajukan HAM, agar dapat konsisten melaksanakan produk-produk hukum yang telah sesuai HAM dan konsisten dalam mengharmonisasi produk-produk hukum yang belum sesuai HAM (RUU KUHAP & KUHP). Tanpa perubahan sikap, maka keadaan HAM tak akan bisa mengatasi masalah impunitas pada kasus Munir dan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, diskriminasi, kriminalisasi HAM, fundamentalisme serta kemiskinan.

3. Mendesak institusi-institusi negara untuk dapat segera menyelesaikan berbagai sengketa agraria yang merugikan rakyat miskin dan menguntungkan pemodal, sekaligus mengakhiri penggunaan Polri dan TNI secara keliru saat menangani sengketa agraria dan penggusuran warga miskin penggarap lahan.

4. Mendesak pemerintah untuk mengubah kerangka kebijakan ekonomi liberal ke arah kebijakan ekonomi dan sosial (pusat dan daerah) yang berorientasi pada perbaikan realisasi hak-hak rakyat atas pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan, sekaligus perbaikan realisasi hak-hak perempuan akibat eksploitasi buruh migran, minimnya akses pendidikan, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga serta kematian ibu dan anak.

5. Mendesak institusi-institusi Negara untuk mengakhiri campur tangan dalam menyikapi perbedaan keyakinan dalam menjalankan hak beragama termasuk menghapuskan Badan Koordinasi PAKEM yang telah digunakan sebagai alat kontrol politik untuk selanjutnya menyerahkan pada pengadilan. Sebaliknya, Negara harus netral dan memperkuat campur tangan dalam menyikapi aksi kekerasan oleh sekelompok orang atas nama agama.

Jakarta, 3 Januari 2008

Jaringan Demokrasi
(Arus Pelangi, Demos, FSPI, HRWG, Imparsial, Kalyanamitra, LBH-APIK, Praxis, Jaringan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (JSKK), INFID, Jaringan relawan Kemanusiaan (JRK), KontraS, Setara Institute, PBHI, Prakarsa, SHMI, Wahid Institute, YLBHI)

January 2, 2008

Catatan Akhir Tahun KPA Tahun 2007

"Reforma Agraria: Antara Harapan dan Hambatan"

1. Pendahuluan
Salah satu agenda nasional yang layak mendapatkan catatan di penghujung tahun 2007 ini ialah rencana pemerintah yang dipimpin Presiden SBY mulai pelaksanaan reforma agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (31 Januari 2007). Sebelumnya (28 September 2006) Presiden telah memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala BPN RI yang menetapkan 8,15 juta ha hutan produksi konversi dialokasikan bagi program reforma agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.

Dasar hukum bagi reforma agraria, pemerintah tetap berpegang kepada UU Pokok Agraria No.5/1960. Setelah mengalami pergulatan sengit, pemerintah bersama DPR RI akhirnya sampai pada kesepakatan untuk mempertahankan UUPA (29 Januari 2007). UUPA dinilai bukan saja relevan, tapi urgen untuk dijalankan, tinggal dibuat aturan operasionalnya.

Hasil rapat kabinet mengenai reforma agraria (22 Mei 2007), Presiden RI berencana menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria; akan diadakan pertemuan presiden dengan gubernur, bupati/walikota, serta; launching PPAN oleh presiden. Rencana ini, tampaknya masih butuh waktu hingga adanya kebulatan tekad di istana.

Di penghujung 2007, reforma agraria ibarat di persimpangan jalan. Di satu sisi, niat politik pemerintah menunjukkan tanda-tanda kemajuan berarti yang menerbitkan harapan di benak publik. Tapi di lain sisi, muncul gejala stagnasi dalam realisasi praktisnya di lapangan. Menutup tahun 2007, aneka harapan dan hambatan pun berbaur menjadi satu.

2. Potret konflik dan legislasi

Jika pemerintah serius mau menjalankan reforma agraria maka perlu dikerahkan aneka sumberdaya yang ada di dalam tubuh negara. Ketulusan dan kepeloporan presiden jadi kunci keberhasilan. Presiden tak usah terlalu memikirkan kelanggengan kekuasaannya, karena hati rakyat tak pernah tidur. Sepanjang 2007, catatan kritis dapat kita berikan bagi dua hambatan terpenting, yakni: (1) Konflik agraria di lapangan, dan (2) Legislasi peraturan perundang-undangan terkait agraria dan sumberdaya alam.

Berbagai kasus muncul dalam skala dan dampak yang mengkhawatirkan. Contoh, kita tak akan mudah melupakan penembakan aparat negara terhadap petani Alas Tlogo Pasuruan, Jatim (30 Mei 2007) dan meruyaknya sengketa tanah di Meruya Jakarta telah mengguratkan catatan tentang masih kisruhnya administrasi pertanahan.

Sepanjang 2007, KPA mencatat peningkatan kekerasan terhadap petani. Setidaknya ada 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa. Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar –lihat lampiran.

Sementara kasus lama masih menumpuk. Dari 1.753 kasus yang direkam KPA (1970-2001) tersebar di 2.834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota) , dengan luas tanah yang disengketakan tak kurang dari 10.892.203 ha dan mengorbankan 1.189.482 KK. Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang ditangani BPN RI, setelah validasi bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkara pertanahan 2.052 kasus.

Untuk menangani sengketa pertanahan yang bernuansa pidana, BPN RI dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) telah membuat kesepakatan bersama, melalui Surat Kesepakatan Bersama, Nomor: 3/SKB/BPN/2007, No.Pol. B/576/III/2007 (14 Maret 2007). Implikasi –yang mungkin tak terbayangkan pembuatnya, ternyata SKB ini memicu keresahan di kalangan kaum tani yang sedang memperjuangkan haknya atas tanah. SKB ini telah dijadikan alat legitimasi baru oleh aparat di lapangan untuk memanggili, mengintimidasi dan mengkriminalkan petani --di Kendal Jateng 17 orang; di Batang 7 orang termasuk ibu-ibu; di Mojokerto Jatim 5 orang; di Aceh 4 pegiat LBH Banda Aceh, dan; di Ogan Komering Ilir Sumsel petani dipanggili dengan dalih adanya SKB BPN-POLRI ini.

Tak tertangani penyelesaian konflik agraria secara sistematis, membuat kita layak khawatir karena bukan saja rakyat yang jadi korban langsung yang menderita, tapi bangsa ini terus terganjal untuk menikmati keadilan agraria sebagai salah satu wujud keadilan sosial yang dicita-citakan. Keamanan nasional dan ketahanan bangsa pun potensial terganggu oleh maraknya konflik agraria di Tanah Air.

Dalam konteks legislasi, pada tahun 2007 juga bermunculan UU pengganjal reforma agraria. Salah satunya adalah UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Menurut UU ini, Hak Guna Usaha untuk perkebunan (asing maupun domestik) bisa diberikan selama 95 tahun! Pemberian HGU 95 tahun, Hak Guna Bangunan 80 tahun, serta Hak Pakai 70 tahun menjadi pertanda masuknya kita ke era penjajahan baru. Bahkan, hukum agraria kolonial Belanda sekalipun hanya memberi izin 75 tahun bagi penanam modal.

UUPM menyediakan kemewahan bagi penanam modal, seperti: keringanan berbagai bentuk pajak, pemberian izin HGU selama 95 tahun, bebas memindahkan modalnya kapan saja, hingga terbebas dari nasionalisasi. UUPM kini sedang digugat di MK. Beberapa pasal UUPM yang diindikasikan melanggar UUD: Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C UUD 1945.

Selain itu, pada tahun 2007 lahir UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menenggelamkan posisi UUPA sebagai payung hukum bagi penataan "ruang" nasional. Sementara UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai produk hukum yang potensial melanggengkan sektoralisme sebagai penyakit akut dalam kebijakan agraria/sumberdaya alam. Pada saat yang sama, Departemen Pertanian dan Badan Legislasi DPR RI berinisiatif menyusun RUU tentang Lahan Pertanian Pangan Abadi yang belum jelas betul kaitannya dengan reforma agraria.

Belum lagi penerapan UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan, serta Perpres 36/2005 (direvisi Perpres 65/2006) jadi alas legal yang mengakibatkan kekerasan terhadap rakyat yang tanahnya dirampas. Pendek kata, konflik agraria yang berlanjut dan menderasnya legislasi pengganjal reforma agraria akan menjadikan medan realisasi reforma agraria jadi kian rumit dan cenderung kontradiktif.

3. Proyeksi 2008
Memasuki tahun 2008, pemerintah harus lebih terang mempraktekkan reforma agraria. Optimismisme harus ditebarkan, kesempatan emas mencetak kebaikan bagi rakyat jangan menguap dan harapan rakyat harus dirawat. Di tengah persimpangan, segeralah ambil arah jelas, lalu jalan lurus dan tancap gas untuk membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan.

Sektor-sektor keagrariaan yang memiliki posisi dan peran strategis dalam pelaksanaan reforma agraria –seperti pertanahan, kehutanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan, pesisir dan kelautan—mesti dipastikan bergerak dalam satu kerangka strategis untuk mensukseskan agenda besar bangsa agraris ini.

Untuk menyambungkan harapan dengan kenyataan serta guna memajukan persiapan pelaksanaan reforma agraria pada tahun 2008, KPA mengajukan beberapa masukan:

1. Perlu ketegasan arah yang digariskan oleh Presiden agar semua unsur pemerintahan mensukseskan pelaksanaan reforma agraria. Perlu kesatuan konsep dan kebijakan antar instansi terkait agraria. Dephut, Deptan, BPN RI, dll harus duduk satu meja dan membuat kesepakatan bergerak dalam satu nafas reforma agraria lintas sektor.

2. Agar kordinasi lancar, maka ego-sektoral semua pejabat dan aparat dari instansi yang terkait tanah dan kekayaan alam harus dikikis habis. Sebagai landasan legal, semua pihak harus memegang teguh semangat, prinsip dan isi konstitusi (Pasal 33, Ayat 3) dan UU Pokok Agraria No.5/1960, dengan tetap mengingat Tap MPR IX/2001.

3. Untuk menangani konflik agraria/sengketa tanah, pemerintah mesti menempuh langkah-langkah luar biasa agar tidak terus jatuh korban di pihak rakyat, dengan segera dibuatnya mekanisme/kelembaga an alternatif. Secara utuh, perlu dibentuk Departemen Agraria, Peradilan Agraria, dan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.

4. Agar pelaksanaan reforma agraria berjalan sinergi dengan denyut nadi kehidupan rakyat, maka kerja-kerja pembentukan dan penguatan organisasi rakyat (petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin lainnya) perlu diperluas dan dimantapkan.

Jakarta, 27 Desember 2007

Sekretaris Jenderal KPA,

Usep Setiawan