January 29, 2008

FAJAR REFORMA AGRARIA DI INDONESIA? DARI AGENDA PETANI KE AGENDA BANGSA

Oleh: Noer Fauzi

Sejak mula saya harus terang-benderang menunjukkan bahwa tempat berangkat dan cara pandang refleksi ini berpinjak dari pengalaman kerja-kerja dalam gerakan-gerakan sosial, organisasi-organisasi non-pemerintah dan kemudian dunia akademis dimana saya sekarang bercokol. Penegasan ini sangatlah membantu, sebab dalam ilmu sosial dan humaniora, tidak dapat dibenarkan ada klaim bahwa penceritaan suatu karya – baik dengan klaim ilmiah, essay filosofis, observasi sekilas, maupun fiksi – adalah bebas dari pengaruh dari posisi-posisi si pembuatnya. Bila ada klaim bahwa narasi ilmu sosial dan humaniora itu bebas-posisi alias netral, maka yang musti diselidiki adalah bukan benar salahnya klaim tersebut, karena akan sia-sia dan tak berkesudahan, melainkan dalam kondisi apa dan bagaimana klaim itu disebarluaskan dan kemudian dianut oleh komunitas tertentu, dan kemudian kepentingan apa yang diemban oleh pengetahuan dan penyebar-penganut pengetahuan tersebut.

Pentingnya posisi dan kesadaran akan posisi (positionality) mempengaruhi isi dan cara pengetahuan disajikan telah disadari oleh sejumlah penulis kalangan antropologi refleksif, sosiologi ilmu, dan feminis di tengah tahun 1980-an (misalnya Clifford dan Marcus 1986; Haraway 1988; Hartsock 1987). Argumen utama yang mereka kemukakan adalah bahwa semua pengetahuan akademik, juga pengetahuan lainnya, senantiasa bergantung situasi (are always situated), dan selalu dihasilkan oleh pelaku yang berposisi tertentu (are always produced by positioned actors), yang bekerja di dalam berbagai hubungan sosial dan di antara berbagai posisi
lain yang dihadapinya. Semua inilah yang membuat satu pengetahuan yang satu berbeda dengan pengetahuan lainnya, sebagai akibat dari proses pembuatannya (dilakukan oleh siapa, bagaimana dan juga untuk siapa bentuk akhir pengetahuan itu mau disajikan). Justru kesadaran dan pengakuan bahwa pengetahuan yang dihasilkan senantiasa bersifat kontekstual dan relasional inilah yang kemudian dinilai lebih jujur, meyakinkan dan memberdayakan para pembaca dan peneliti lainnya untuk melihat hubungan-hubungan baru yang sering tidak terduga, termasuk yang memberi kemungkinan untuk aksi-aksi kolektif yang baru pula (Cook 2005).

Kebangkitan Agenda Reforma Agraria di Badan Dunia, Negara dan Organisasi Gerakan Sosial
Pada jaman sekarang, akses pada tanah dan agenda mengubah struktur agraria – yang biasa dikenal dengan istilah reforma agraria (bahasa spanyol), atau dikenal juga dengan nama agrarian reform (bahasa Inggeris) atau pembaruan agraria (bahasa Indonesia) – telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dari agenda pembangunan dari berbagai badan internasional, negara dan organisasi gerakan sosial pedesaan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Kebangkitan itu diiringi pula oleh beragam cara pandang untuk memahami, menganalisas dan merancang jalannya reforma agraria (Putzel 2000, Ghimire 2001, FAO 2001, Prosterman and Hanstaad 2001, Ghonemy 2003, Cox et al 2003, Moyo and Yeros 2005b, Cauville and Patel 2006, Quan 2006, Borras et al 2006, and Cousin 2007).

Pertama, kegagalan global teori dan praktek neoliberalisme sepanjang 25 tahun, semenjak dilancarkannya apa yang diistilahkan dengan SAP (Structural Adjustment Program) atau Program Penyesuaian Struktural, yang diberlakukan secara menyeluruh dalam suatu negara maupun yang khusus pada sektor pertanian. Apa yang dimaksud dengan SAP itu adalah serangkai paket kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dimulai tahun 1980-an untuk menghadapi krisis hutang yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Paket kebijakan itu dapat dibedakan menjadi dua: stabilisasi dan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural. Sebagaimana diurai Rita Abrahamsen, ”Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnya berjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran Negara melalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program program ini, diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaan domestik baik terhadap barang-barang import maupun eksport. Meskipun program-program stabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan-tindakan penyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalan keseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program ini umumnya lebih berjangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktifitas dan efisiensi, mengubah sumberdaya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapat diperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan” (Abrahamsen, 2003:65-66). Akibat dari SAP ini adalah liberalisasi ekonomi, dimana peran-negara secara drastis telah direduksi melalui pengurangan-pengurangan pengeluaran publik, privatisasi kegiatan-kegiatan sektor- publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.

Kedua, sepanjang periode yang sama, bangkitnya kembali suatu generasi baru gerakan-gerakan sosial pedesaan. Dengan sangat menyadari perbedaan asal-usul dan cara bagaimana gerakan-gerakan itu menampilkan dirinya, titik berangkat pemahaman kita dapat dimulai dari kerangka besar proses penghilangan dunia pedesaan, agraria dan petani (deruralization, deagrarianization and depesasantization processes), yang dilakukan melalui bentuk-bentuk urbanisasi yang umum, dan masuknya perkebunan-perkebunan skala raksasa, perusahaan ekstraksi sumber daya alam (tambang, hutan, dll), industri manufaktur, perluasan kawasan industri dan permukiman, dan lainnya, ke pedesaan. Araghi mengemukakan istilah global depeasantisation untuk gejala “meningkatnya jumlah orang yang tadinya terlibat dalam pertanian … dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah besar-besaran menjadi terkonsentrasi di wilayah perkotaan” (1995:338).

Seperti yang dilaporkan World Population Prospects (1988), di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin – yang pada dalam konteks perang dingin diistilahkan “Dunia Ketiga” – penduduk yang hidup di kota mencapai 41 persen di tahun 2000, melonjak cepat dari 16 persen di tahun 1950 (Araghi 1995). Sejarawan kondang Hobsbawm adalah penyuara dari golongan yang menganggap petani akan lenyap, seperti yang ditulisnya dalam karya klasik Age of Extremes bahwa “… perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yang memutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah the death of the peasantry, kematian petani (yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui) (Hobsbawm,1994: 288-9, 415). Kenyataan ini diperparah oleh ”penerapan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus memberi akibat pemusnahan (dissolving effect) kehidupan petani” (Bryceson dkk 2000: 29), sebagai mana yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian perubahan agraria di Asia, Afrika dan Amerika Latin di akhir abad 20.

Ketiga, adalah suatu faktor kesempatan politik yang terbuka, yang memungkinkan diangkutnya agenda akses atas tanah ke dalam arena-arena pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal, nasional dan global. Perubahan struktur kesempatan politik memberi sinyal dan peluang bagi angkai aksi kolektif tertentu. Tentunya, tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapi struktur kesempatan politik yang tertentu pula. Adalah tidak mungkin menggeneralisir struktur kesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan tertentu. Namun, memang ada perubahan politik utama yang dihadapi oleh masing-masing gerakan pedesaan. Secara umum pada skala nasional, kesempatan politik bagi aksi-aksi kolektif dan perjalanan gerakan sosial dapat dibuka oleh tumbangnya rejim apartheid, transisi dari rejim otoritarian atau komunis, dan adanya berbagai partai politik yang membutuhkan legitimasi dan dukungan mayoritas penduduk pedesaan. Sedangkan pada tingkat global, kesempatan politik itu dapat dibuka melalui perubahan kepemimpinan, kebijakan, orientasi teori dan agenda pembangunan badan-badan internasional.

Penyelidikan atas pemanfaatan kesempatan-kesempatan politik yang tersedia itu, diketahui bahwa bentuk umum dari aksi-aksi kolektif dari gerakan pedesaan saat ini berbeda nyata dengan yang dilakukan gerakan-gerakan yang berkembang di masa kolonial maupun di masa ketika land reform berjaya di tahun 1960an-1970-an. Petras (1998), yang menuliskan bahwa ”Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang terdahulu, yang tidak juga cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak kemana-mana, buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Webster (Webster, 2004:2) menguatkan ”Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata dengan karakter gerakangerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20 dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya.”

Publikasi Akademik yang Mengiringi Kebangkitan Agenda Reforma Agraria
Di publikasi akademik di awal abad 21 ini, pokok bahasan seputar akses pada tanah dan reforma agraria kembali tampil berupa buku maupun artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sekedar sebagai ilustrasi, di awali di tahun 2001, terbit naskah di bawah bendera the UN World Institute for Development Economics Research (WIDER) berjudul Access to Land, Rural Poverty and Public Action (de Janvry et al. 2001). Naskah ini mendiskusikan panjang lebar seluk-beluk betapa pentingnya akses atas tanah dan kebijakan dan tindakan publik untuk memerangi kemiskinan di pedesaan. Buku kumpulan tulisan ini juga menghadirkan evaluasi terhadap dua bentuk land reform, yakni State-led Land Reform dan untuk sebagian menghadirkan Grassroot-Initiatiated Land Reform. Namun, pada intinya buku itu adalah promosi mengenai tak tergantikannya peran pasar dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap tanah, dan perlunya pemerintah mengadopsi Market-assisted Land Reform. Jelas-jelas promosi pendekatan pasar ini dielaborasi dalam buku Land Policies for Growth and Poverty Reduction. World Bank Policy Research Report. Walaupun buku ini dinyatakan sebagai karya karya Klaus Deininger (2003), namun lebih jauh buku ini merupakan “pegangan ideologis” dari the WB’s Thematic Group on Land Policy and Administration (sering disebut secara singkat sebagai The Land Thematic Group), yang mengarahkan proyek-proyek land reform dan manajemen dan administrasi pertanahannya Bank Dunia, dan badan-badan pembangunan internasional lainnya.

Pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (International Fund for Agricultural Development) yang mengeluarkan IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, yang secara eksplisit menghidupkan kembali keunggulan usaha pertanian skala kecil, dan redistribusi tanah skala besar dalam strategi mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Yang memimpin penulis laporan IFAD tersebut adalah Michael Lipton, yang telah terkenal sebagai tokoh pendekatan neo-populis dalam pembangunan pedesaan (Lipton 1977) dan juga khususnya berjasa dalam teorisasi land reform ketika agenda ini sedang jaya-jayanya di badan-badan pembangunan interansional dan negara-negara berkembang di akhir tahun 1970an (Lipton 1974). Laporan tersebut segera dikuatkan oleh artikel panjang dari K.Griffin, A.R. Khan and A. Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land” dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3), yang untuk kembali menghidupkan argumen tentang kebijakan dan praktek urban bias yang memelihara kemiskinan, dan pentingnya land reform sebagai strategi memeranginya.

Sebagai tanggapan atas artikel ini, dan buku Access to Land di atas, Bernstein (2002) “Land Reform: Taking A Long(er) View” dalam Journal of Agrarian Change 2002 No. 2(4) mengedepankan suatu kritik yang tajam berangkat dari pandangan strukturalis Marxis baik terhadap pendekatan pasar maupun neo-populis. Selanjutnya, Byres (2004) menyunting artikel-artikel yang mengelaborasi lebih lanjut pandangan Marxis strukturalis ini dalam Journal of Agrarian Change 2004 No. 4 (1&2) dan mengkritik argumen utama pendekatan neo-populis dengan basis contoh-contoh empiris, yang kemudian ditanggapi balik oleh Griffin, A.R. Khan and A. Ickowitz (2004) dalam karya “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism” dalam Journal of Agrarian Change 2004 no 4(3).

Keseluruhan naskah yang disebut di atas sekarang ini merupakan naskah-naskah wajib bagi para pelajar kebangkitan agenda land reform. Setahun kemudian, terbit pula buku suntingan Sam Moyo and Paris Yeros (2005) Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America, yang mengkoleksi artikel-artikel tentang politik perjuangan tanah dari berbagai belahan negara Afrika, Asia and Latin America. Argumen utama dari para penulis ini memperoleh tanggapan kritis dari Ben Cousin (2006) “Debating the Politics of Land Occupations” dalam Journal of Agrarian Change No. 6(4). Selanjutnya UNDP (the United Nations Development Programme) membiayai dan kemudian menerbitkan studi yang berjudul Land, Livelihoods and Poverty in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries yang disunting oleh A. Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M. Borras Jr, Cristóbal Kay (2007), dan yang terakhir adalah karya-karya tulis yang bermutu tinggi dari suatu lingkaran aktivis yang tergabung dalam LRAN (Land Research Action Network) yang sepanjang tiga tahun pergulatan advokasi kebijakan nasional dan global pada “Agrarian Reform and Food Sovereignty”: Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform, yang disunting oleh Peter Rosset,Raj Patel,Michael Courville (2007).

Sekelumit karya akademik yang diulas di atas, dimaksudkan untuk menunjukkan kecenderungan global dan rangkai karya akademik yang mendebatkan agenda reforma agrarian dari berbagai sudut pandang, dan menghantar pada suatu niat pokok untuk meninjau fajar (?) agenda reforma agraria di Indonesia saat ini. Dalam suasana demikian itu lah refleksi dari kemelut-kemelut keagrariaan saat ini dilakukan. Pesan refleksi utama yang hendak secara tegas disampaikan disini adalah reforma agraria pada dasarnya adalah bukan sekedar agendanya petani, tapi lebih dari itu adalah agenda kebangsaan. Saat ini sedang kita cari adalah cara bagaimana agenda bangsa itu bekerja di atas alas kemelut kelembagaan dan perjuangan kongkrit rakyat untuk mempunyai dan menggarap tanah, dan mengelola kekayaan alam dengan aman dan nyaman.

Perjalanan Panjang Berliku Reforma Agraria di Indonesia
Di dalam sejarah Indonesia sendiri, agenda Reforma Agraria memiliki perjalanan yang panjang, berjalinan dengan pembentukan bangsa dan negara. Elan kebangsaan yang dahulu tumbuh dan ditumbuhkan dari alas pengalaman penderitaan kolektif di bawah imperialisme dan kolonialisme itu, telah menjadi dasar bagi dijalankannya program-program reforma agraria di awal masa dekolonisasi, seperti penghapusan hak istimewa desa-desa perdikan di Banyumas (UU No. 13/1946), penghapusan hak conversie, hak istemewa sekitar 40 perusahaan tebu di Surakarta dan Yogyakarta untuk peroleh tanah dan tenaga kerja (UU Darurat No. 13/1948), legalisasi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat (UU Darurat No. 8/1954), dan pelarangan tanah-tanah partikelir (UU No. 1/1958). Elan kebangsaan itulah yang tidak mengizinkan berlangsungnya struktur agraria yang eksploitatif dan organisasi “negara dalam negara” yang berjalinan langsung dengan penderitaan kaum tani di desa-desa perdikan, kawasan vostenlanden dan tanah-tanah pertikelir itu. Elan kebangsaan dan penderitaan kaum petani ini jua lah yang mendasari pembentukan panitia negara untuk menyusun undang-undang agrarian nasional (melalui Surat Penetapan Presiden No 16/1948), yang selama 12 tahun melalui banyak lika-liku dan pada gilirannya menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan nama UUPA 1960, yang lengkapnya bernama Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria. (Praptodihardjo 1952, Tauchid 1953, Gautama 1973, Soemardjan 1962, Fauzi 1999).

Sayangnya karya monumental bangsa (UUPA 1960) itu, ruang dan program penerapannya menyempit pada sektor pertanian rakyat dengan pengaturan perjanjian bagi hasil agar lebih adil (UU No. 2/1960), pembatasan penguasaan tanah maksimum dan minimum (UU No. 56/PRP/1960), dan cara pelaksanaan redistribusi tanah objek land reform, yakni tanah kelebihan, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah negara lainnya (PP 224/1960). Sistem agraria dan kawasan perkebunan dan kehutanan yang seyogyanya dikenai program reforma agraria berhasil menghindarkan diri dan selamat dari peluruhan yang dilakukan politik agrarian dan pergerakan rakyat pada saat itu. Tenaga rakyat petani yang didorong oleh rasa pemenuhan keadian sosial itu telah digerakkan secara politik untuk berhadapan frontal dengan para tuan tanah. Yang kemudian terjadi adalah penciptaan perjuangan kelas di pedesaan di keseluruhan Jawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Nusa Tenggara. Penyederhanaan dan penyempitan hubungan sosial dan kebudayaan menjadi sekedar hubungan kelas belaka memungkinkan masing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik menemukan arena pertarungannya secara nyata di pedesaan (Lyon 1976, Utrecht 1969, Mortimer 1972). Kelembagaan dan desain penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-demi-desa, panitia land reform hingga pegadilan land reform – pun menjadi arena dari pertarungan itu. Walhasil, yang terbentuk adalah suatu “bara” bagi percik api pertarungan elite nasional yang di tahun 1965- 1966 berujung pada peralihan politik yang brutal dan sangat dramatis dari rejim yang kemudian dijuluki “Orde Lama” ke rejim “Orde Baru” (Cribb 1990, 2001, 2002, Fauzi 1999).

Selanjutnya, di bawah masa konsolidasi kekuasaan orde yang baru, agenda redistribusi kekayaan jelas dikeluarkan dari perancangan strategi pembangunan. Agenda itu akan akan memporak-porandakan koalisi politik antara militer, elite-elite partai politik kanan, teknokrat pro-kapitalime Barat, petani-petani penguasa tanah luas, dan segelintir pengusaha modal besar bangsa pribumi dan asing. Koalisi ini lah yang menjadi sandaran dari strategi pembangunan agraria yang baru (Mas’oed 1983, 1989, Utrecht 1973). Politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun (Husken and White 1989, Kasim dan Suhendar 1996, Fauzi 1977, 1999, Farid 2005).

Keterputusan perjalanan reforma agraria itu, dan selanjutnya pilihan model pembangunan itu menyebabkan terciptanya berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang kronis, kesemerawutan tata penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan konflik agrarian yang berkepanjangan (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Kesemua pusaka itu, yang mungkin saja dapat diwakili dalam konsep “ketidakadilan agraria dan lingkungan” semakin diperhebat dengan cara penanganan dan pemulihan krisis ekonomi yang berlangsung semenjak 1997 sampai 2004, bahkan hingga sekarang. Yang merebak di kalangan rakyat dan pimpinan lokal di banyak daerah adalah sentimen “anti-negara”, sebagai proksi dari anti-praktek rejim Orde Baru, dan merebaknya etno-nasionalime. Ironisnya, instrumen-instrumen pembentukan negara yang demokratis dan terdesetralisir saat ini belum sanggup mendekatkan perjuangan keadilan sosial dan lingkungan itu dengan pembentukan rasa kebangsaan. Kontras dengan hal itu, yang terjadi adalah suatu pendalaman integrasi sumberdaya alam dan tenaga kerja rakyat ke dalam sirkuit kapital modal internasional, yang saat ini telah sampai pada apa yang dirumuskan oleh Karl Dalam suasana demikian, tidak heran bila Ladejinsky (1961) menyatakan “I am almost inclined to to view that it is essentially an anti-land redistribution program, although I am certain that it was not planned that way originally” (Walinsky 1977:298) Polanyi (1944) kekuasaan pasar yang memaksa tenaga kerja, uang dan tanah dilepas dari sistem-sistem sosial yang mengikatnya. Inilah hakekat dari Neoliberalisme, suatu utopia eksplotasi tanpa batas (Bourdieu 1998).

Geliat Reforma Agraria Saat ini
Agenda “Reforma Agraria” dan “pengelolaan sumber daya alam” kembali bergeliat dimulai sejak awal 1990an dan terus digeluti oleh sejumlah sarjana dan aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agraria, serta menghasilkan naskah-naskah studi kondisi agraria dan kritik politik agraria yang dianut rejim Orde Baru (Kasim dan Suhendar 1996, Bachriadi et al 1997, Suhendar dan Winarni 1997, Wiradi 1999). Lebih dari itu, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, konferensi yang dimotori serikat-serikat petani lokal, dan organisasi non-pemerintah tak putus-putusnya menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda reforma agraria (lihat misalnya Harman et al 1995, Fauzi and Fidro 1998). Sementara itu, tuntutan-tuntutan keadilan agrarian dan lingkungan yang dijalankan oleh penduduk-penduduk desa berlangsung terus hingga menemukan momentum yang pas untuk meluaskan aksi-aksi pendudukan tanah itu, yakni saat mengiringi berakhirnya kekuasaan rejim Soeharto, di tahun 1998.

Keterbukaan politiklah yang memungkinkan penampilan terbuka dari berbagai mobilisasi massa hingga pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria di tingkat lokal hingga nasional, yang di antaranya ditulang punggungi oleh aktivis-aktivis agraria dan lingkungan. Ketika kesempatan politik terbuka dalam sidang-sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tahun 1999 hingga 2001, yang terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia 1966-1998, para promoter reforma agraria dan aktivis gerakan lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey 2002, 2003, Bachriadi 2002 , Wiradi 2002, Lucas and Warren 2003, Ya’kub 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi 2002, Soemarjono 2002, 2006, Winoto 2007).

Salah satu badan negara yang selanjutnya mengusung agenda ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks “transitional justice” untuk menyelesaikan pelanggaram HAM di masa Orde Baru.3 Ujung dari usaha ini adalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) yang kemudian ditolak pembentukannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, Komnas bekerjasama dengan organisasi gerakan agraria menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20 April 2001 di Jakarta. Salah satu resolusinya adalah desakan pembentukan TAP MPR tentang Pembaruan Agrarian dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria (Fauzi 2001, Bachriadi 2004, Tim kerja KNUPKA 2004).

Pimpinan BPN-RI pada periode 2002 - 2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya” (Soemardjono 2006). Hal ini tentu menangguk pro dan kontra yang tidak selesai, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, hingga akhirnya tercapai kesepakatan antara pimpinan baru BPN-RI saat ini dengan Komisi II DPR-RI pada tahun 2006 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA. Sedangkan, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto 2006).

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian (Republika Online September 28, 2006), dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini (misalnya untuk sector kehutanan lihat Kartodirjo 2002, Contreras-Hermosilla and Fay 2005, sedangkan untuk sektor pertanian lihat Mayrowani et al 2004), namun di dua departemen itu, agenda reforma agrarian belum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, kita sulit menemukan integrasi program Reforma Agraria di kedua departemen itu. Bahkan inisiatif-inisiatif dari Departemen Kehutanan, mulai dari pembentukan kawasan konservasi yang koersif, pembolehan invesasi pertambahangan di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baru perhutanan sosial, dan Departemen Pertanian, mulai dari revitalisasi perkebunan, perkebunan untuk bahan bakar nabati hingga pelestarian lahan pertanian sawah abadi, dapat dinilai sebagai bentuk-bentuk yang tergolong dalam apa yang disebut Feder (1970) sebagai counterreform. Tentunya hal ini semakin memperumit kelembagaan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam saat ini.

Tatapan Ke Depan: Kebutuhan akan Pengetahuan Teori dan Praktek Reforma Agraria
Saat ini karya tulis akademik berbahasa Indonesia mengenai seluk-beluk kondisi, politik, gerakan dan reforma agraria masih sangat terbatas. Undangan Benjamin White (2005:132) untuk merintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria” sungguh-sungguh relevan untuk Indonesia saat ini. Dengan sangat menyadari bahwa salah satu syarat dari pelaksanaan reforma agraria yang berhasil adalah tersedianya basis pengetahuan yang memadai, maka yang benar-benar diperlukan adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi dan struktur agraria wilayah, kelembagaan agraria, politik dan pembangunan agraria wilayah, dan Kesemerawutan pengelolaan sumber daya alam, serta berbagai inisiatif menjalankan reforma agraria. Reforma agraria meniscayakan ragam-ragam itu. Keragaman itu sungguh adalah kekayaan bangsa Indonesia.


Disampaikan pada acara Refleksi Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta 27 Desember 2007


Penulis Adalah
Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-2002, Kordinator Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan
Agraria 2002-2005. PhD Candidate di University of California – Berkeley, Department Environmental Science, Policy and
Management (ESPM).

No comments: