"Reforma Agraria: Antara Harapan dan Hambatan"
1. Pendahuluan
Salah satu agenda nasional yang layak mendapatkan catatan di penghujung tahun 2007 ini ialah rencana pemerintah yang dipimpin Presiden SBY mulai pelaksanaan reforma agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (31 Januari 2007). Sebelumnya (28 September 2006) Presiden telah memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala BPN RI yang menetapkan 8,15 juta ha hutan produksi konversi dialokasikan bagi program reforma agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Dasar hukum bagi reforma agraria, pemerintah tetap berpegang kepada UU Pokok Agraria No.5/1960. Setelah mengalami pergulatan sengit, pemerintah bersama DPR RI akhirnya sampai pada kesepakatan untuk mempertahankan UUPA (29 Januari 2007). UUPA dinilai bukan saja relevan, tapi urgen untuk dijalankan, tinggal dibuat aturan operasionalnya.
Hasil rapat kabinet mengenai reforma agraria (22 Mei 2007), Presiden RI berencana menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria; akan diadakan pertemuan presiden dengan gubernur, bupati/walikota, serta; launching PPAN oleh presiden. Rencana ini, tampaknya masih butuh waktu hingga adanya kebulatan tekad di istana.
Di penghujung 2007, reforma agraria ibarat di persimpangan jalan. Di satu sisi, niat politik pemerintah menunjukkan tanda-tanda kemajuan berarti yang menerbitkan harapan di benak publik. Tapi di lain sisi, muncul gejala stagnasi dalam realisasi praktisnya di lapangan. Menutup tahun 2007, aneka harapan dan hambatan pun berbaur menjadi satu.
2. Potret konflik dan legislasi
Jika pemerintah serius mau menjalankan reforma agraria maka perlu dikerahkan aneka sumberdaya yang ada di dalam tubuh negara. Ketulusan dan kepeloporan presiden jadi kunci keberhasilan. Presiden tak usah terlalu memikirkan kelanggengan kekuasaannya, karena hati rakyat tak pernah tidur. Sepanjang 2007, catatan kritis dapat kita berikan bagi dua hambatan terpenting, yakni: (1) Konflik agraria di lapangan, dan (2) Legislasi peraturan perundang-undangan terkait agraria dan sumberdaya alam.
Berbagai kasus muncul dalam skala dan dampak yang mengkhawatirkan. Contoh, kita tak akan mudah melupakan penembakan aparat negara terhadap petani Alas Tlogo Pasuruan, Jatim (30 Mei 2007) dan meruyaknya sengketa tanah di Meruya Jakarta telah mengguratkan catatan tentang masih kisruhnya administrasi pertanahan.
Sepanjang 2007, KPA mencatat peningkatan kekerasan terhadap petani. Setidaknya ada 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa. Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar –lihat lampiran.
Sementara kasus lama masih menumpuk. Dari 1.753 kasus yang direkam KPA (1970-2001) tersebar di 2.834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota) , dengan luas tanah yang disengketakan tak kurang dari 10.892.203 ha dan mengorbankan 1.189.482 KK. Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang ditangani BPN RI, setelah validasi bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkara pertanahan 2.052 kasus.
Untuk menangani sengketa pertanahan yang bernuansa pidana, BPN RI dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) telah membuat kesepakatan bersama, melalui Surat Kesepakatan Bersama, Nomor: 3/SKB/BPN/2007, No.Pol. B/576/III/2007 (14 Maret 2007). Implikasi –yang mungkin tak terbayangkan pembuatnya, ternyata SKB ini memicu keresahan di kalangan kaum tani yang sedang memperjuangkan haknya atas tanah. SKB ini telah dijadikan alat legitimasi baru oleh aparat di lapangan untuk memanggili, mengintimidasi dan mengkriminalkan petani --di Kendal Jateng 17 orang; di Batang 7 orang termasuk ibu-ibu; di Mojokerto Jatim 5 orang; di Aceh 4 pegiat LBH Banda Aceh, dan; di Ogan Komering Ilir Sumsel petani dipanggili dengan dalih adanya SKB BPN-POLRI ini.
Tak tertangani penyelesaian konflik agraria secara sistematis, membuat kita layak khawatir karena bukan saja rakyat yang jadi korban langsung yang menderita, tapi bangsa ini terus terganjal untuk menikmati keadilan agraria sebagai salah satu wujud keadilan sosial yang dicita-citakan. Keamanan nasional dan ketahanan bangsa pun potensial terganggu oleh maraknya konflik agraria di Tanah Air.
Dalam konteks legislasi, pada tahun 2007 juga bermunculan UU pengganjal reforma agraria. Salah satunya adalah UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Menurut UU ini, Hak Guna Usaha untuk perkebunan (asing maupun domestik) bisa diberikan selama 95 tahun! Pemberian HGU 95 tahun, Hak Guna Bangunan 80 tahun, serta Hak Pakai 70 tahun menjadi pertanda masuknya kita ke era penjajahan baru. Bahkan, hukum agraria kolonial Belanda sekalipun hanya memberi izin 75 tahun bagi penanam modal.
UUPM menyediakan kemewahan bagi penanam modal, seperti: keringanan berbagai bentuk pajak, pemberian izin HGU selama 95 tahun, bebas memindahkan modalnya kapan saja, hingga terbebas dari nasionalisasi. UUPM kini sedang digugat di MK. Beberapa pasal UUPM yang diindikasikan melanggar UUD: Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C UUD 1945.
Selain itu, pada tahun 2007 lahir UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menenggelamkan posisi UUPA sebagai payung hukum bagi penataan "ruang" nasional. Sementara UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai produk hukum yang potensial melanggengkan sektoralisme sebagai penyakit akut dalam kebijakan agraria/sumberdaya alam. Pada saat yang sama, Departemen Pertanian dan Badan Legislasi DPR RI berinisiatif menyusun RUU tentang Lahan Pertanian Pangan Abadi yang belum jelas betul kaitannya dengan reforma agraria.
Belum lagi penerapan UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan, serta Perpres 36/2005 (direvisi Perpres 65/2006) jadi alas legal yang mengakibatkan kekerasan terhadap rakyat yang tanahnya dirampas. Pendek kata, konflik agraria yang berlanjut dan menderasnya legislasi pengganjal reforma agraria akan menjadikan medan realisasi reforma agraria jadi kian rumit dan cenderung kontradiktif.
3. Proyeksi 2008
Memasuki tahun 2008, pemerintah harus lebih terang mempraktekkan reforma agraria. Optimismisme harus ditebarkan, kesempatan emas mencetak kebaikan bagi rakyat jangan menguap dan harapan rakyat harus dirawat. Di tengah persimpangan, segeralah ambil arah jelas, lalu jalan lurus dan tancap gas untuk membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan.
Sektor-sektor keagrariaan yang memiliki posisi dan peran strategis dalam pelaksanaan reforma agraria –seperti pertanahan, kehutanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan, pesisir dan kelautan—mesti dipastikan bergerak dalam satu kerangka strategis untuk mensukseskan agenda besar bangsa agraris ini.
Untuk menyambungkan harapan dengan kenyataan serta guna memajukan persiapan pelaksanaan reforma agraria pada tahun 2008, KPA mengajukan beberapa masukan:
1. Perlu ketegasan arah yang digariskan oleh Presiden agar semua unsur pemerintahan mensukseskan pelaksanaan reforma agraria. Perlu kesatuan konsep dan kebijakan antar instansi terkait agraria. Dephut, Deptan, BPN RI, dll harus duduk satu meja dan membuat kesepakatan bergerak dalam satu nafas reforma agraria lintas sektor.
2. Agar kordinasi lancar, maka ego-sektoral semua pejabat dan aparat dari instansi yang terkait tanah dan kekayaan alam harus dikikis habis. Sebagai landasan legal, semua pihak harus memegang teguh semangat, prinsip dan isi konstitusi (Pasal 33, Ayat 3) dan UU Pokok Agraria No.5/1960, dengan tetap mengingat Tap MPR IX/2001.
3. Untuk menangani konflik agraria/sengketa tanah, pemerintah mesti menempuh langkah-langkah luar biasa agar tidak terus jatuh korban di pihak rakyat, dengan segera dibuatnya mekanisme/kelembaga an alternatif. Secara utuh, perlu dibentuk Departemen Agraria, Peradilan Agraria, dan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.
4. Agar pelaksanaan reforma agraria berjalan sinergi dengan denyut nadi kehidupan rakyat, maka kerja-kerja pembentukan dan penguatan organisasi rakyat (petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin lainnya) perlu diperluas dan dimantapkan.
Jakarta, 27 Desember 2007
Sekretaris Jenderal KPA,
Usep Setiawan
No comments:
Post a Comment