February 28, 2011

Land reform stirs emotions in Jakarta

Strait Times, 3 desember 2010
MATA JELI: A PERSPECTIVE ON INDONESIAN AFFAIRS
 
SEVERAL weeks ago, as President Susilo Bambang Yudhoyono was about to make a speech, observers saw tears in the President's eyes.Dr Yudhoyono stopped for almost a minute, biting his lip twice as he fought back the tears.'I was very moved by what I saw just now,' he told his audience. The President had just witnessed farmers receiving certificates of ownership for their land.

After composing himself, Dr Yudhoyono went on to declare that the goal of his government was 'for the people of this country to become landowners, owners of the land and water, and the natural wealth that lies within it'.

The international media largely ignored the incident, which took place in Cilacap, Central Java, on Oct 21. But some sections of the Indonesian-language press saw the episode as real news.
Any government programme designed to provide more land to the country's burgeoning underclasses has the potential to affect millions. And if the President feels strongly enough about the matter to shed tears over it, so much the better.

Approximately 15.6 million households in Indonesia are classified as smallholders (average size 0.36ha) or landless rural families. Assuming an average household consists of five people, this implies that around 78 million citizens are dependent upon the sector.

The President's concern for farmers dates back to 2007, when the government launched its Land for Justice and People's Welfare programme. Official efforts, however, still seem small relative to the scale of the problem. This year, the aim is to distribute 142,000ha of land scattered over 389 villages in 21 provinces.

The programme is supported by the World Bank as part of its Land Management and Policy Development Project, which aims to improve land tenure security. But the government's focus on handing out certificates of ownership to those with longstanding claims and who are already working the land has attracted criticism.
Mr Gunawan Wiradi, an expert on land issues, argues that real reform involves completely altering 'the structural ownership and use of not only land, but also land holdings, including plantations, large ranches and agribusiness plots'.

Reformers point to huge imbalances in land ownership and use. Official statistics, for example, show that there are currently 9.4 million ha of oil palm concessions in the country, of which smallholders control only about 2.9 million ha.The amount of farmland has also declined significantly over the years due to the conversion of productive land to non-farming purposes, including commercial and industrial activities.

Such expansion has often been accompanied by disputes, mostly about compensation paid to farmers.
Responding to demands for a large- scale land redistribution programme, Deputy Agriculture Minister Bayu Krisnamurti argued last month that the idea would not work. This was because of the relatively low availability of agricultural land, especially land owned by the state. Another problem, he said, was the lack of a legal framework.

Critics dispute both points. Speaking to me in Jakarta early last month, Mr Iwan Nurdin of the Consortium for Agrarian Reform cited national land agency (BPN) statistics showing that the country had about 7.1 million ha of degraded production forest that could be distributed.

There was, he said, another 1.5 million ha already identified for redistribution by the BPN based on criteria outlined in a law passed by Parliament in 1960.

This law, ignored by the New Order regime because of its communist associations, empowers the state to compulsorily acquire land from absentee landlords and peasant farmers owning more than 10ha. The land, together with that owned by the state, was then to be distributed to landless farmers or those whose current plots were too small.

Suggestions that Dr Yudhoyono is all emotion and no substance when it comes to land redistribution may be a little unfair. In his Cilacap speech, he revealed that he had ordered the BPN to identify and register millions of hectares of abandoned farming land for possible redistribution.

Mr Iwan conceded that the problem of Indonesians holding multiple identity cards makes it difficult to identify absentee landlords. He also acknowledged that the need for compensation payments would make any land reform programme potentially very costly.

Other problems include the lack of detailed information about how much land in the country is suitable for farming.

But critics say that these problems should not prove insurmountable for a president who feels strongly about the matter.

Exactly how smallholders can be expected to match the efficiency of the country's large palm oil and rubber plantations is not clear. But by focusing on products such as soya beans, meat and milk (of which the country is currently a net importer), such farmers could contribute to national food security. Giving large numbers of landless Indonesians a stake in the economy also has the potential to lift millions out of poverty.
Perhaps, then, emotional scenes like the one in Cilacap would no longer seem quite so newsworthy.
bruceg@sph.com.sg

February 7, 2011

Belajar Kepada China (1)


Baru saja negeri kita mengadakan libur nasional Imlek. Sebuah tradisi baru semenjak reformasi, dan tentusaja peran alm. Gus Dur yang menetapkan tahun baru China sebagai libur nasional. Sebenarnya, maksud alm Gus Dur menjadikan imlek sebagai libur nasional adalah untuk meningkatkan toleransi antar umat yang sempat koyak karena penindasan dan pelarangan di masa Orde Baru dan euforia reformasi itu sendiri. Ya, reformasi telah membuat orang bebas mengungkapkan pendapat dan mendirikan organisasi yang seringkali mengancam kerukunan bersama bahkan mengancam demokrasi itu sendiri.
 
Sebelum dan sesudah perayaan Imlek tahun ini, Indonesia sedang tergagap-gagap melihat pergerakan harga-harga kebutuhan pokok. Bahkan, sumber inflasi yang utama adalah kenaikan harga pangan. Karena itu, pemerintah kemudian secara cepat melakukan impor beras dari Vietnam dan Thailand. Tidak cuma itu, cabe yang sudah lebih sebulan harganya naik gila-gilaan juga telah membuat pemerintah melakukan impor cabe dari China.

China seperti punya segala. Indonesia kekurangan buah-buahan segar dan cabe, mereka punya. Indonesia kekurangan baja, mereka kelebihan. Indonesia butuh mesin mereka bisa sediakan. Jadi, hampir semua produk pertanian, industri ringan hingga industri berat mereka punya.

Disitulah kita bisa belajar banyak. Mengapa harus belajar ke China: Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China, demikian pesan Rasullullah SAW. Bisa jadi, pada masa itu, keunggulan China sudah diketahui dan dikenal di seantero dunia, hingga Muhammad SAW mengeluarkan hadist yang demikian.

Sekarang, pesan tersebut semakin relevan, sebab China pelan tapi pasti bergerak menjadi pemimpin dunia dalam semua bidang.

Indonesia sesungguhnya juga punya potensi yang sama dengan China. Bahkan lebih. Namun, tidak terkelola dengan tujuan nasional yang jelas.Potensi pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan kita begitu melimpah. Tambang juga kita kaya. Dan, tentu saja dengan jumlah penduduk yang besar kita mampu membangun dengan tenaga dan kekuatan nasional.

Sayang, semua hal tersebut masih tersimpan sebagai potensi belum digerakkan sebagai sebuah oleh sebuah kekuatan nasional. Semua kekayaan tersebut sedang digadaikan secara murah, dijarah oleh elit politik negeri, sehingga kehidupan rakyat sebagian besar semakin buruk.

Meski demikian, belum terlambat untuk Indonesia. Pertama sekali kita butuh pemimpin yang visioner dan kuat. Sebuah pemimpin yang mengetahui cara untuk melakukan lompatan jauh kedepan seperti yang diajarkan oleh bapak pendiri China dan juga diajarkan para pendiri republik ini.

Namun, sistem demokrasi yang sekarang diterapkan sangat sulit melahirkan karakter pemimpin yang demikian. Penataan politik nampaknya masih harus terus dilakukan. Bukan dengan demokrasi liberal yang sekarang.

February 4, 2011

Tukar Menukar Tanah Wakaf


Banyak email ditujukan ke saya melalui iwan_selamat@yahoo.com yang menanyakan perihal tanah wakaf. Umumnya mempertanyakan mengapa banyak tanah-tanah wakaf di wilayahnya yang beralih fungsi.
Sebenarnya, menurut peraturan yang ada, tanah wakaf  tidak dapat atau sulit sekali dilakukan alih fungsi. Namun, kenyataannya banyak tanah wakaf berubah fungsi. Jadi, bagaimana bisa?
Dahulu, tukar menukar diatur dalam PP 28/1977 tentang Perwakafan dan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam No: D.II/5/HK.007/901/1989.

Namun, sekarang ini, soal Wakaf di Indonesia diatur dalam UU 41/2004 tentang Wakaf.
Mari kita periksa. Menurut: Pasal 40 Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Pasal 41 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. (3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang. kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. (4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

PP 42 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf  dalam Bab VI Penukaran Harta Benda Wakaf diatur:
Pasal 49 (1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI. (2) Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. (3) Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika: a. harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;dan b. nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. (4) Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur: a. pemerintah daerah kabupaten/kota; b. kantor pertanahan kabupaten/kota; c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota; d. kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.

Pasal 50 Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b dihitung sebagai berikut: a. harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan.
Pasal 51 Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut: a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar tersebut; b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota; c. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan; d. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan e. setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.

Eh, ada juga yang lebih lengkap soal ini:
http://nafisinstitute.blogspot.com/2010/10/peran-badan-wakaf-indonesia-dalam.html

Demikian semoga bermanfaaat.

Ribuan Petani di Sumut Turun ke Jalan


Sumutpos, 28/01/2011


Di Langkat Serbu PT JBP,
di Pakam Datangi DPRD

LANGKAT-Ribuan massa tergabung dalam Aliansi Solidaritas Kaum Tani Indonesia Teluk Aru, Kabupaten Langkat melakukan aksi unjukrasa di areal lahan perkebunan kelapa sawit PT Jaya Baru Pertama (JBP) di Desa Alur Cempedak, Pangkalan Susu, Kamis (27/1).

Aksi ribuan kaum tani ini, menuntut agar PT JBP mengembalikan lahan garapan mereka yang disinyalir telah diserobot oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut. Dengan menggunakan pengeras suara, ribuan kaum tani mencoba menerobos ke pabrik pengolahan kelapa sawit (TBS) yang tak jauh dari kantor JBP.

Menurut pengunjuk rasa, lahan yang mereka tuntut, merupakan lahan garapan orang rua mereka yang telah diserobot oleh PT JBP. Sehingga mereka ingin mengambil kembali lahan tersebut dari tangan pengusaha swasta ini.
“Kami datang kemari untuk mengambil hak kami yang telah diambil PT JBP, jadi kami akan segera mengeksekusi tanah yang dikuasasi oleh PT JBP sesuai dengan  Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960,” teriak pengunjuk rasa.

Pengunjuk rasa juga mengancam tetap bertahan di areal lahan perkebunan PT JBP, jika tuntutan mereka tidak terpenuhi. Dengan mendirikan tenda dan berbagai spanduk mereka menerikan berbagai aspirasi untuk menuntut pelepasan lahan yang mereka anggap dikuasai PT JBP.

Humas PT JBP Sugito Subandi saat dikonfirmasi mengatakan, untuk menyelesaikan masalah ini, pihaknya tetap berperinsip pada penegakan hokum. “Jika masyarakat menganggap ada hak di lokasi perusahaan PT JBP, silahkan menempuh jalur hukum,”tantangnya.

Sebelumnya, ribuan warga kelompok tani wilayah Teluk Aru juga pernah mendatangi kantor DPRD Langkat untuk menyampaikan keluhan serupa. Namun aksi itu ditanggapi dingin oleh wakil rakyat hingga akhirnya mereka kembali melakukan aksi serupa.

Sementara itu, ratusan petani dari Desa Dagang Kerawang Kecamatan Tanjung Morawa, juga melakukan demo ke kantor DPRD Deli Serdang, Kamis (27/1), sekitar pukul 11.30 WIB. Mereka meminta agar DPRD mendesak Pemkab Deli Serdang mendorong Badan Pertanahan Nasional (BPN) Deli Serdang mengeluarkan pernyataan resmi atas keabsahan KRPT/KTPPT sesuai dengan Undang-undang Darurat No 8 Tahun 1954.

“Kami mohon agar tanah kami dikembalikan,” teriak Juli, petani Dagang Kerawang saat orasi.
Pengunjuk rasa juga minta anggota dewan menekan BPN serta instansi terkait, yang dinilai tidak bekerja maksimal dalam menyelesaikan kasus penyerobotan tanah rakyat, yang ada Desa Dagang Kerawang.

Kordinator pengunjuk rasa, Eko Sopianto, menegaskan agar lahan yang sudah dilepas PTPN II, seharusnya dikembalikan kepada Negara. Bukannya dijual kepada oknum pengusaha.

Senada, PS Panoto seorang ahli waris petani penggarap lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II, bahwa saat ini ada lahan seluas 56 hektar di Desa Dagang Kerawang kini akan ditembok oknum pengusaha yang mengklaim tanah itu miliknya.

Setelah mengelar ujuk rasa, sekira 20 menit lamanya, sekretaris Komisi A DPRD H.Abdul Latif Khan menerima perwakilan pengunjuk rasa. Dalam acara dengan pendapat itu, Abdul Latif Khan yang didampinggi anggota komisi A lainnya, Rakhmad Syah malah mengusulkan agar warga Dagang Kerawang melaporkan PTPN 2 ke aparat Kepolisian.
“Bila warga mempunyai alat bukti surat penjualan lahan oleh PTPN 2 kepada oknum pengusaha silahkan laporkan. kalau memang buktinya lengkap, laporkan saja PTPN 2 ke Polisi,” ucapnya.

Selain itu, anggota dewan berjanji akan menyurati Pemkab Deli Serdang, seputar menertiban bangunan pagar yang mulai dibangun diatas lahan itu. bahkan direncanakan komisi A akan mengelar pertemuan dengan instansi terkait untuk membahas permasalahan lahan eks HGU seluas 78,18 hektar tersebut.

Deputi Bidang Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, konflik kepemilikan tanah antara masyarakat dengan PTPN maupun pihak swasta merupakan konflik laten yang sudah sering terjadi. Iwan mengidentifikasi, beberapa sumber konflik. Pertama, tanah-tanah lebih banyak dikuasai oleh perkebunan baik PTPN ataupun swasta sementara masyarakat banyak khususnya petani tidak mendapatkan tanah yang cukup untuk pertanian dan perkebunan.

Kedua, sebagian besar manejemen Perkebunan Negara buruk dan banyak korupsi, akibat tidak kelola dengan benar, perusahaan banyak melakukan penelantaran tanah. “Tentu hal ini sangat menyakitkan masyarakat, sebab di tengah masyarakat kekurangan lahan perkebunan justru menelantarkan tanah. Banyak areal yang terlantar tersebut akhirnya dikelola oleh masyarakat untuk ditanami,” terangnya.

Dijelaskan, penelantaran tanah sebenarnya melanggar hukum UUPA 1960, namun pemda dan BPN seakan membiarkan penelantaran tanah tersebut dan tidak pernah menyatakan tanah tersebut terlantar untuk dapat dibagikan kepada masyarakat penggarap.

Ketiga, menurut Iwan, anehnya di atas tanah-tanah yang sedang bermasalah tersebut HGU tetap diperpanjang oleh BPN-RI. Sesuatu yang melanggar PP 40/1996 tentang Hak Guna Usaha jadi terjadi keanehan HGU bisa terbit di atas tanah sengketa. Karena sudah bersertifikat, dengan mudah perusahaan perkebunan bisa memanggil kepolisian atas nama UU No. 18/2004 tentang Perkebunan karena bisa didenda Rp5 miliar atau pidana kurungan sesuai dengan pasal 21 atau 47 UU Perkebunan.

“Hukum yang keras tentu tidak menyurutkan rakyat melakukan perlawanan atas dasar hak atas tanah sebagai warga Negara ataupun atas dasar klaim kepemilikan mereka di masa lalu. Dengan demikian, konflik terus menerus berlanjut,” ucapnya. (ndi/btr/sam)

February 2, 2011

Konflik Agraria di Deli Serdang Sumatera Utara


Jum'at, 28 Januari 2011 , 04:04:00Bentrok di Deliserdang, KPA Tak Kaget

JAKARTA -- Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tidak kaget mendengar bentrok antara warga dengan pihak PTPN II di kebun Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Deliserdang. Pasalnya, menurut Deputi Bidang Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin, konflik itu merupakan konflik laten yang sudah sering terjadi.

"Konflik PTPN II dengan Masyarakat Adat dan Petani yang tergabung dalam BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) adalah konflik lama yang belum diselesaikan oleh pemerintah. Wilayah sengketa tanah di Kabupaten Deli Serdang, yang kerap pecah konflik adalah Tanjuung Morawa dan Persut Sei Tuan," ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta, kemarin (27/1).

Iwan mengidentifikasi, beberapa sumber konflik laten ini. Pertama, tanah-tanah lebih banyak dikuasai oleh perkebunan baik PTPN ataupun Swasta sementara masyarakat banyak khususnya petani tidak mendapatkan tanah yang cukup untuk pertanian dan perkebunan.

Kedua, sebagian besar manejemen Perkebunan Negara buruk dan banyak korupsi, akibat tidak kelola dengan benar, perusahaan banyak melakukan penelantaran tanah. "Tentu hal ini sangat menyakitkan masyarakat, sebab di tengah masyarakat kekurangan lahan perkebunan justru menelantarkan tanah. Banyak areal yang terlantar tersebut akhirnya dikelola oleh masyarakat untuk ditanami," terangnya.

Dijelaskan, penelantaran tanah sebenarnya melanggar hukum UUPA 1960, namun pemda dan BPN seakan membiarkan penelantaran tanah tersebut dan tidak pernah menyatakan tanah tersebut terlantar untuk dapat dibagikan kepada masyarakat penggarap.

Ketiga, menurut Iwan, anehnya di atas tanah-tanah yang sedang bermasalah tersebut HGU tetap diperpanjang oleh BPN-RI. Sesuatu yang melanggar PP 40/1996 tentang Hak Guna Usaha jadi terjadi keanehan HGU bisa terbit di atas tanah sengketa. Karena sudah bersertifikat, dengan mudah perusahaan perkebunan bisa memanggil kepolisian atas nama UU No. 18/2004 tentang Perkebunan karena bisa didenda Rp 5 M atau pidana kurungan sesuai dengan pasal 21 atau 47 UU Perkebunan.

"Hukum yang keras tentu tidak menyurutkan rakyat melakukan perlawanan atas dasar hak atas tanah sebagai warga Negara ataupun atas dasar klaim kepemilikan mereka di masa lalu. Dengan demikian, konflik terus menerus berlanjut," ucapnya.

Iwan mengatakan, jika dikembalikan kepada hokum positif yang berlaku, maka konflik diselesaikan tanpa menyentuh rasa keadilan rakyat. KPA mengusulkan, solusi awalnya adalah agar Pemerintah, BPN-RI, BPRPI dan PTPN II duduk kembali untuk sebagai para pihak yang bersengketa dengan mediator yang disepakati. "Tujuannya selain mengakui dan mengembalikan hak-hak masyarakat penunggu (BPRPI) atas tanah-tanah mereka sesuai dengan pembaruan agrarian yang sudah diamanatkan oleh presiden melalui PPAN (program pembaruan agrarian nasional). Mendesain kebijakan perkebunan yang baru dimana partisipasi masyarakat bisa dilibatkan," bebernya.

Lebih lanjut Iwan mensinyalir, banyak areal perkebunan Negara di Sumut tidak sesuai antara areal HGU-nya dengan luas lahan yang ada di lapangan. Di sertifikat HGU misalnya hanya 2000, kebun bisa 3000 hektar. "Ini tidak semata-mata merugikan Negara dalam hal pajak, namun juga soal korupsi di dalam perkebunan," ucapnya. Karenanya, dia meminta PTPN II untuk membuka sertifikat HGU-nya, sehingga bisa diketahui apakah lahan yang disengketakan itu benar-benar masuk area yang ada di HGU.

Dia menduga, ketidaktransparannya PTPN II membuka berapa area di HGU yang sebenarnya, mendapat back up dari pemda maupun politisi setempat. "Keadaan ini banyak didiamkan karena perkebunan Negara adalah sapi perah bagi pejabat Negara, aparat hukum hingga partai politik," cetus Iwan. Disebutkan pula, banyak tukar guling areal eks perkebunan untuk menjadi areal komersil non perkebunan, juga tidak melalui proses hukum yang benar.

"Untuk menghentikan hal tersebut, harus dilakukan audit atas HGU-HGU di perkebunan Negara maupun swasta," ujarnya. Yang lebih penting lagi, dokumen HGU harus dapat diakses oleh publik, karena pada dasarnya HGU adalah tanah Negara yang disewakan kepada perusahaan. Oleh sebab itu, Komisi Nasional Informasi Publik kedepan harus menyatakan bahwa dokumen HGU adalah dokumen publik.

Iwan juga membeberkan sejarah sengketa perkebunan di Sumut dengan BPRPI. Dalam sejarahnya, tanah-tanah perkebunan Negara di Sumut berasal dari tanah-tanah konsesi dengan pihak kesultanan yang disewa oleh perusahaan belanda pada masa penjajahan. Kebun-kebun tersebut banyak ditanami dengan tembakau deli yang sangat terkenal di dunia.

Namun, lanjutnya, tanah-tanah tersebut sesungguhnya adalah tanah-tanah milik masyarakat adat, dan mereka tetap bisa menanami tanah tersebut dengan bergantian dengan tanaman tembakau khususnya saat tanah diistirahatkan perusahaan perkebunan.

Pada masa Jepang, perkebunan terbengkalai dan pemerintah Jepang meminta masyarakat menanam tanaman pangan untuk kebutuhan perang. Keadaan ini berlanjut hingga zaman revolusi kemerdekaan. Para petani dan masyarakat adat inilah yang menyediakan pangan bagi tentara pejuang.

Namun, sesuai dengan perjanjian KMB, perkebunan tersebut dikembalikan kepada pemilik lama (perusahaan belanda) sehingga rakyat yang menduduki perkebunan kembali keluar dari lahan. Meski pahit, perintah dari pemimpin diikuti oleh rakyat. Namun, hasil-hasil KMB dibatalkan oleh pemerintah pusat sejak Belanda mengulur ulur waktu soal Irian Jaya.

"Karena itu, kebun-kebun swasta Belanda tersebut di nasionalisasi oleh pemerintah dan dijadikan cikal bakal perusahaan perkebunan Negara (PTPN)," ulasnya. Menurut UUPA, hak-hak barat atas tanah dalam perkebunan (erpacht) harus dikonversi menjadi HGU selambat-lambatnya 20 tahun sejak 1960 (UUPA diundangkan). Artinya, pada tahun 1980 semua problem hak-hak barat sudah diselesaikan.

Pada saat mengundangkan UUPA 1960, pemerintah saat itu menyadari bahwa tanah-tanah perkebunan Belanda dahulunya bisa berdiri di atas perampasan tanah-tanah masyarakat. "Oleh sebab itu, sebagian akan dikembalikan kepada rakyat," pungkas Iwan. (sam/jpnn)