September 28, 2009

Urbanisasi dan Agenda Reforma Agraria

Oleh Launa

Pada 24 September kita kembali memperingati Hari Tani/Hari Agraria Nasional. Bersamaan dengan itu, kepada kita juga disuguhkan siklus rutin tahunan pasca-Lebaran, yakni arus balik mudik yang biasanya disertai dengan berbondong-bondongnya orang desa baru masuk ke kota-kota besar. Ketika desa tidak lagi menjanjikan harapan hidup yang lebih baik, maka merantau ke kota menjadi pilihan terakhir. Kota megapolis atau metropolis semacam Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Makassar, Batam, dan Denpasar adalah wilayah yang selama ini menjadi "mimpi" kaum urban untuk mengubah nasib. Sebab, di kota-kota besar inilah sentra industri (barang dan jasa) dan basis pertumbuhan ekonomi berdenyut kencang.

Suka atau tidak, kota-kota besar akan terus menjadi target kaum urban dari ribuan desa terpencil dan terkebelakang, yang ingin mengais peruntungan hidup. Ironisnya, masalah "eksodus" ini tak kunjung tuntas diselesaikan. Instrumen rutin yang kerap digunakan pemda atau pemkot guna menangkal kaum urban hanya operasi yustisi atau razia.

Data arus balik mudik versi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Pemprov DKI Jakarta 2000-2002 menunjukkan peningkatan signifikan. Rinciannya, pada 2000, jumlah arus mudik 2.159.729 orang dan arus balik 2.416.452. Pada 2001, arus mudik mencapai 2.372.069 orang dan arus balik 2.507.255. Pada 2002, jumlah pemudik 2,6 juta orang dan arus balik sekitar 2,85 juta orang. Melihat rasio arus mudik dan arus balik, pertambahan penduduk Provinsi DKI Jakarta pasca-Lebaran diperkirakan rata-rata 9,24 persen.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), laju angka urbanisasi diprediksi terus meningkat. Sampai 2025, rata-rata tingkat urbanisasi nasional bakal 68 persen (di Jawa dan Bali persentasenya, bahkan mencapai 80 persen). Dari 35 juta penduduk miskin saat ini, 22 juta berada di desa, sementara 12,8 juta sisanya di perkotaan. Dari 10 juta penganggur terbuka, 4,4 juta berada di pedesaan. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, 51.000 merupakan desa tertinggal, 20.633 di antaranya tergolong desa miskin.

Sungguh, desa menjadi tak lagi menarik karena perekonomian tak lagi bisa diharapkan. Sektor pertanian, yang menjadi jantung ekonomi desa, praktis telah kehilangan daya pikat. Konversi lahan pertanian subur menjadi nonpertanian kian tak terbendung. Sawah dan perkebunan telah sejak lama tergusur oleh lapangan golf, realestat, objek wisata, atau pabrik. Ditinjau dari aspek kemiskinan desa, data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan, hingga kini masih 32.379 (45,86%) desa tertinggal. Rinciannya, sebanyak 9.425 desa belum dapat dilalui mobil, 20.435 desa tak punya sarana kesehatan, 29.421 desa belum memiliki pasar permanen, serta 6.240 desa belum dialiri listrik (HM Lukman Edy, 2008).

Data di atas menggambarkan, laju urbanisasi merupakan derivasi dari mandeknya pembangunan sektor pertanian dan kelembagaan ekonomi desa. Data itu juga menunjukkan, kemiskinan petani adalah kemiskinan struktural, kemiskinan aset, yang tidak bisa dipecahkan dengan langkah karitatif, tanpa disertai political will pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria atau Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960.


Keberpihakan Pemerintah

Pengendalian laju urbanisasi bukan perkara tambal-sulam. Pemerintah harus memiliki keberpihakan yang jelas dalam mem- bangun dan menumbuhkan ekonomi desa. Saatnya, desa digarap dan diberdayakan. Sebab, bagaimanapun desa merupakan produsen dan penyedia bahan baku bagi konsumsi warga kota. Desa jangan dimaknai sekadar area eksploitasi orang-orang kota. Produk desa dibeli dengan harga murah, sementara orang-orang desa dipaksa membeli produk kota dengan harga tinggi.

Jika pemerintahan SBY periode kedua memiliki tekad serius untuk mengatasi problem krusial urbanisasi, maka segera berdayakan kelembagaan ekonomi desa dan revitalisasi sektor pertanian (seperti kredit mikro, kredit usaha kecil, modal ventura, PNPM, dan koperasi unit desa, termasuk pemberian jaminan sosial bagi petani dan penduduk miskin). Sebab, sudah cukup banyak program pengembangan ekonomi desa yang di-create pemerintah reformasi, tinggal soal implementasi dan konsistensi kebijakan.

Pemerintah daerah juga harus dipacu untuk menarik investor ke desa dan konsisten menciptakan iklim investasi yang kondusif, seperti menghapus seluruh perda dan bentuk pungutan yang membuat para investor fobia. Jika tidak, pemerintah pusat wajib memberikan sanksi tegas bagi setiap kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) yang tak becus menyejahterakan warganya.

Terakhir, implementasikan hak-hak asasi petani, meliputi: hak atas kehidupan yang layak, hak atas sumber-sumber agraria, hak atas kebebasan budi daya dan tanaman, hak atas modal dan sarana produksi pertanian, hak atas akses informasi dan teknologi pertanian, hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian, hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian, hak atas keanekaragaman hayati, serta hak atas kelestarian lingkungan.


Penulis dari Komite Eksekutif ALNI Indonesia dan Redaktur Pelaksana Jurnal Demokrasi Sosial
Suara Pembaruan 24 September 2009