May 19, 2008

Buruh, de-Industrialisasi dan de-Agrarianisasi


Oleh: Iwan Nurdin
Setiap satu Mei (may day) dunia memperingati hari kemenangan buruh sedunia. Di Indonesia sendiri, aksi terkait momentum hari buruh tahun ini sangat menarik. Aliansi Buruh Menggugat (ABM) –organisasi konfederasi nasional buruh yang setiap tahun memenuhi Jakarta pada may day-- misalnya, selain menuntut pemenuhan hak-hak buruh, juga mengusung hak-hak petani pedesaan khususnya tanah.

Suara buruh dalam mayday sangat penting disimak. Sebab, tuntutan kaum buruh dan petani kali ini berhadapan dengan situasi resesi ekonomi AS dan Uni Eropa sekaligus ancaman global kelangkaan pangan. Bahkan, khusus yang terakhir ini IMF memberi peringatan bahwa kelangkaan pangan di beberapa negara berpotensi menyulut perang.

Dalam soal resesi ekonomi di AS dan Uni Eropa yang dipercaya dapat menyeret resesi ekonomi global, tentu akan berpengaruh besar dalam penciptaan lapangan kerja di negara kita. Sebab, interdependensi struktur keuangan dan produksi global ditambah kerentanan struktur ekonomi nasional kita terhadap situasi global akan menghasilkan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam keadaan yang demikian, posisi dan daya tawar buruh akan semakin melemah. Padahal, buruh juga sedang menghadapi ancaman kelangkaan pangan yang berarti kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut dipasaran sehingga nilai upah mereka semakin turun.

Perlambatan ekonomi nasional akan meneruskan gejala de-industrialisasi yang selama ini tengah terjadi. Sebab, usaha-usaha pemerintah kita dalam mendorong terjadinya pertumbuhan industri manufaktur melalui investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) sebagai lokomotif pertumbuhan sejauh ini tidak berhasil dilaksanakan. Bahkan, perusahaan elektronik, sandang dan tekstil besar terus menerus memindahkan basis produksinya dari negara kita (Rizal Ramli: 2008).

Itulah sebabnya, basis pertumbuhan sektor riil dan ekspor kita selama sepuluh tahun terakhir masih didominasi oleh ekstraksi sumber daya alam seperti tambang, perkebunan, kehutanan dan perikanan laut. Padahal, pertumbuhan industri keuangan dan pasar modal yang tumbuh pesat dalam tiga tahun terakhir juga harus mengalami masa tenggang akibat resesi global sebelum sempat secara nyata menggerakkan sektor riil.

de-Agrarianisasi
Anehnya, gejala de-industrialisasi tersebut bersamaan dengan terjadinya de-agrarianisasi di tanah air. Istilah de-agrarianisasi adalah sebuah kenyataan sosial dimana rumah tangga pertanian dan masyarakat petani semakin hilang beserta peran sosial ekonomi dan politik mereka terus melemah (Noer Fauzi: 2008).

de-Agrarianisasi di Indonesia dapat dilihat dari tiga hal: Pertama, hilangnya tanah-tanah rumah tangga pertanian akibat guremisasi dan konversi, bersamaan dengan itu meluasnya kehadiran perusahaan perkebunan, pertanian pangan skala besar yang perolehan tanahnya difasilitasi oleh negara. Kedua, tema-tema politik rumah tangga petani semakin lemah dipahami dalam pentas politik karena semakin diwakili oleh persoalan investasi, produksi dan perdagangan korporasi pertanian semata. Ketiga, semakin membesarnya arus urbanisasi.

de-Agrarianisasi inilah salah satu penyebab utama kelangkaan pangan saat ini. Sebab, orientasi produksi korporasi pertanian lebih mengarahkan hasil produksinya sebagai bahan baku industri konversi energi biofuel ketimbang pangan (Henry Saragih: 2007; Khudori: 2008).

Strategi Industrialisasi
Tak pelak, muara problem de-industrialisasi dan de-agrarianisasi adalah pengangguran terbuka yang semakin meluas baik diperkotaan maupun perdesaan.

Jika terencana dengan baik, seharusnya hilangnya rumah tangga pertanian akan diikuti dengan hadirnya lapangan kerja non pertanian khususnya industri. Namun, konsentrasi pembangunan industri yang melulu ditopang FDI telah menghilangkan relasi ini. Sebab, FDI tidak ditentukan oleh basis material dan historis sosial ekonomi nasional namun lebih disebabkan oleh relasi ekonomi produksi dan konsumsi global.

de-Industrialisasi yang melaju cepat dapat ditindaklanjuti dengan penanganan seperti memberikan hak kepada serikat buruh untuk mengambil alih pabrik-pabrik yang selama ini telah ditinggalkan pemodal. Kerjasama serikat buruh dengan perguruan tinggi, para ahli dan perbankan nasional dengan jaminan pemerintah dalam mengelola pabrik-pabrik pailit layak dibuat. Negara-negara di Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Brazil bahkan di Eropa seperti Perancis juga membolehkan hal seperti ini. Sebab, persoalan kemandegan produksi tidak bisa diselesaikan dengan aturan perburuhan yang koersif dan pro-investor; pun tidak oleh pembayaran pesangon yang pro-buruh. Sebab, pekerjaan jauh lebih baik ketimbang pesangon PHK.

Sementara, de-agrarianisasi haruslah dihentikan percepatannya dengan memberi tanah kepada petani dan membuat fondasi yang kuat bagi lahirnya koperasi serikat petani yang mengelola usaha pertanian, kehutanan dan perkebunan secara modern. Kesemuanya dalam bingkai reforma agraria. Sehingga hasil produksinya bukan untuk menyediakan bahan mentah bagi industri kapitalis global.

Pararel dengan agenda ini adalah menciptakan proses industrialisasi nasional yang kuat dimana penataan pangan dan energi nasional adalah dasar bagi proses industrialisasi yang kuat sehingga desa-kota, pertanian-industri mempunyai relasi yang menguatkan. Bukan jalan yang telah ditempuh selama ini, semata-mata diombang-ambingkan oleh persoalan tata kuasa, produksi dan konsumsi global yang nyata-nyata telah disetir oleh negara kuat semata. Sesuatu yang menjadi biang keladi kerusakan dalam mencitakan kesejahteraan sosial di Indonesia khususnya kaum buruh dan petani.

Jakarta, I Mei 2008

Iwan Nurdin.