April 19, 2010

Menggusur Mbah Priok


Kawan-kawan tentu sudah melihat kerusuhan di Priok yang disiarkan oleh teve berulang-ulang. Majalah Tempo, minggu ini, menulis dengan judul "Sabtu Berdarah". Yang pasti, korban sudah jatuh, satpol PP tewas yang tercatat tiga orang. Sementara, remaja dan warga sekitar Koja yang dirawat karena luka berat masih dua orang.

Apakah satpol PP akan kapok melakukan penggusuran. Apakah pemda tetap akan dengan mudah menggerakkan organisasi polisi pemda. Saya kira masih. Apalagi, setelah keadaan tenang, publik lupa, semua kembali kepada hal-hal normal yang biasa berlaku. Gusuran akan menjadi pemandangan sehar-hari.

Konflik Pertanahan
Bagaimana PT.Pelindo mendapatkan Hak Pengelolaan(HPL) atas tanah yang juga masih diklaim oleh ahli waris makam? Menurut berita, ahli waris makam, mempunyai eigendom (Hak Milik versi Belanda) atas tanah makam dan tanah disekitarnya seluas 5.4 hektar. Jika benar, lokasi tanah di sekitar pelabuhan peti kemas tersebut adalah benar-benar tanah emas. Bisa dibayangkan berapa nilai komersilnya jika rata-rata nilai tanahnya 5 juta permeter.

Bagaimana bisa eigendom ahli waris masih berlaku? Begini, perluasan wilayah pelabuhan (pelindo) tersebut tentu membutuhkan izin lokasi baru. Pihak pelindo ini, tentu harus mengajukan kepada pemda provinsi DKI. Setelah mengantongi izin lokasi, maka pihak pelindo harus melakukan pelepasan hak atas tanah yang berada dalam izin lokasinya. Jika ditemukan tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, ataupun hak-hak lama semacam eigendom tersebut. Dari situlah, pihak pelindo akan memperoleh Surat Pelepasan Hak. Kemudian, dari SPH ini Pelindo bisa mengajukan Hak atas tanah yang sudah dibebaskan kepada BPN. Oleh BPN diberi Hak Pengelolaan.

Menurut UUPA 1960, hak-hak barat di bidang agraria seharusnya hapus. Jadi, seharusnya eigendom ahli waris sudah tidak berlaku. Sertifikat eigendom tersebut memang sudah tidak berlaku. Namun, tidak menghapuskan serta merta hubungan hukum antara ahli waris dengan tanah warisa mereka. Mengapa ahli waris tidak mengubah sertifikat mereka menjadi HM. Tentu ada alasan yang melatarbelakanginya. 

Pertanyaannya, apakah Pelindo selama sudah memberi gantirugi kepada ahli waris makam yang mempunyai eigendom di atas tanah tersebut. Saya dengar, menurut keterangan ahli waris di media massa, belum menerima ganti rugi. Namun, Pelindo sudah merasa benar karena memiliki tanah tersebut sesuai sertifikat HPL. Bahkan, mereka menang gugatannya di PN Jakarta.

Mediasi
Namun, akhirnya kedua belah pihak bersepakat memakai jalur mediasi. Jadi, menurut saya, konflik tanah seharusnya memang diselesaikan lewat mediasi.
Pengadilan umum, memang saat sekarang ini putusannya jauh dari rasa keadilan rakyat. Apalagi dalam kasus dan sengketa tanah. Sebab, pengadilan hanya memberi ruang bagi sertifikat yang sudah pasti banyak hadir lewat proses pat gulipat dan akrobat hukum.

Soalnya, siapa lembaga kompeten yang bisa memediasi kasus-kasus tanah yang ada di Indonesia

April 12, 2010

SBY dan Pembaruan Agraria



Akhir bulan januari 2007, presiden membacakan sebuah pidato awal tahun yang membuat hati para petani Indonesia berbunga-bunga. Presiden mengumumkan hendak membagi-bagikan tanah kepada rakyat miskin. Sebuah program yang ia awali dengan kalimat “dalam rangka mewujudkan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun janji tinggal janji. Sampai penghujung pemerintahan SBY jilid pertama pada bulan Oktober 2009, realisasi dari pidato tersebut nol besar.
Naiknya wacana Pembaruan Agraria dalam panggung politik selama pemerintahan SBY-JK tidak dapat dilepaskan dari visi dan misi calon presiden 2004-2009, pasangan ini memasukkan agenda Reforma Agraria sebagai salah satu misinya.
Menyambut terpilihnya SBY-JK, sekumpulan aktivis dan pakar agraria yang tergabung dalam Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA) kemudian mengeluarkan sebuah petisi (kemudian dikenal sebagai “Petisi Cisarua”) terkait dengan agenda reforma agraria.
Petisi ini berisi sebuah desakan sekaligus usulan tata cara pelaksanaan reforma agraria yang sebaiknya dijalankan oleh SBY-JK sebagai presiden. Secara singkat, petisi ini mengusulkan bahwa sebelum menjalankan proses pelaksanaan (pra-pelaksanaan) reforma agraria terlebih dahulu pemerintah melakukan review (kaji ulang) seluruh peraturan dan kebijakan agraria. Melalui kaji ulang ini, segala peraturan yang merintangi reforma agraria harus dicabut, kebijakan yang mendukung pembaruan agrarian diperkuat. Bersamaan dengan itu, kebijakan yang belum ada segera disyahkan.
Selanjutnya, presiden dalam melaksanakan program pembaruan agrarian, membentuk sebuah lembaga ad hoc yang langsung ia pimpin langsung dalam rangka melaksanakan program tersebut. Usulan kelembagaan pelaksana tersebut, menurut petisi ini adalah Badan Otoritas Reforma Agraria (BORA).
Setelah dilantik, SBY jilid satu memulai pemerintahannya menolak usulan KNuPKA dari Komnas HAM dan kalangan organisasi masyarakat sipil (baca: Megawati dan Mendung Pembaruan Agraria). Program ekonomi SBY banyak dimulai dari gelaran infrastructure summit. Hasil dari rembug ini adalah lahirnya perpres no36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan yang banyak diprotes bahkan menimbulkan perlawanan besar-besaran di seluruh Indonesia. Akibat perlawanan ini, perpres tersebut direvisi menjadi Perpres 65/2006 meski secara substansi tidak berubah banyak.
Selanjutnya, pada tanggal 11 Juni 2005, bertempat di Jati Luhur presiden meresmikan program RPPK (Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan) ini adalah program andalan SBY dibidang agraria secara luas. Dalam rencananya di bidang pertanian misalnya, pemerintah menyiapkan lahan abadi pertanian pangan seluas 30 juta hektar, revitalisasi perkebunan rakyat khususnya kakao dan karet.
Menurut Dianto Bachriadi (anggota Dewan Pakar KPA), dalam sebuah artikelnya,  menyatakan bahwa RPPK adalah gantungan pokok Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN yang sempat dihebohkan BPN itu digantungkan. Jadi, menurutnya, ia bukan bahkan jauh dari sebuah rencana perubahan struktural agraria nasional. Dengan begitu tidak ada hubungannya dengan reforma agraria sejati, bahkan bisa berlawanan dengan jiwa dan semangat reforma agraria sejati.

BPN dan Niat Agrarian Reform
Lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) semenjak pemerintahan SBY diatur dalam Perpres No.10/2006 tentang BPN. Tugas pokok dari lembaga ini adalah menyiapkan kerangka kebijakan nasional dan sektoral di bidang pertanahan, menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan serta menjalankan Reforma Agraria. Sangat disayangkan, tugas Reforma Agraria disandarkan kepada sebuah lembaga pemerintah non departemen yang secara politik lemah dan selama puluhan tahun bertugas mensertifikatkan tanah.
Di masa SBY, sesungguhnya alat tagih kepada pemerintah terhadap pelaksanaan pembaruan agraria atau reforma agraria sesungguhnya berimbang dengan kebijakan anti reforma agraria. Hal tersebut diungkapkan oleh Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye KPA, menurutnya sedikitnya alat tagi tersebut adalah: visi dan misi SBY dalam pencalonan sebagai presiden, ratifikasi Kovenan Internasional ECOSOC menjadi UU No. 11/2005, Perpres No.10/2006 tentang BPN, dan deklasari ICARRD (International Conference on Agraria Reform and Rural Development) yang juga dihadiri Indonesia pada 2006 di Porto Alegre, Brazil serta pidato politik SBY di Januari 2007.
Namun disisi lain, peraturan penghalang reforma agraria semasa SBY juga tumbuh bagai jamur, misalnya Perpres 36/2005 jo 65/2006 tentang Pengadaan Tanah, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang mengesahkan HGU 95 tahun meski kemudian dibatalkan oleh MK, UU No.26 tentang Penataan Ruang, UU No.27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Raport SBY akan lebih merah jika kita masukkan peraturan pemerintah di bidang kehutanan misalnya diperbolehkannya tambang di areal hutan lindung, lanjut Iwan.
Kalau SBY dinilai lemah komitmennya kepada Reforma Agraria, lalu bagaimana dengan BPN yang ditugaskan presiden melaksanakan reforma agraria?
BPN dibawah kepemimpinan Joyo Winoto, PhD. memulai gebrakan rencana pembaruan agraria dengan mengumumkan rencana redistribusi tanah seluas 8.1 juta hektar kepada rakyat miskin. Pengumuman ini dilakukan Kepala BPN bersama-sama dengan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian di istana negara september 2006.
Setelah pengumuman ini, BPN mengadakan simposium nasional tentang Reforma Agraria di Medan, Makassar, Jakarta, Bogor dan Yogyakarta yang menghasilkan kerangka kebijakan pembaruan agraria nasional. Kemudian, badan pemerintah ini menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria. Sayangnya draft ini, tidak jelas kelanjutannya. Sebab, sampai sekarang belum pernah terdengar RPP disetujui untuk disahkan.
Ditengah tidak ada kabar terkait RPP tentang Reforma Agraria sepanjang tahun 2008, Presiden SBY mencanangkan program BPN tentang Larasita (Layanan Rakyat tentang Sertifikasi Pertanahan) pada tanggal 16 Desember 2008 di pelataran Prambanan, Yogyakarta.
Ini adalah program mobile office atau kantor bergerak yang melayani sertifikasi pertanahan rakyat.
Menurut BPN, unit terendah kantor pertanahan hanya terdapat di ibukota kabupaten. Sementara, sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan. Sehingga, dengan terobosan ini mayoritas rakyat dapat terlayani dalam sertifikasi pertanahan. Sebab, petugas BPN dapat melayani rakyat hingga ke pelosok dengan mobil atau sepeda motor program Larasita.
Idham Arsyad, Sekjen KPA mempunyai penilaian sendiri terhadap program ini. Menurutnya Larasita sebaiknya secepatnya dihentikan sebab:
Pertama, program ini tidak akan berhasil sukses, sebab mayoritas rakyat memang berada di pedesaan, oleh sebab itu koordinasi BPN dengan pemerintah daerah yang mempunyai tangan hingga ke pemerintah desa adalah jawabannya. Jadi program ini sesungguhnya boros. Kedua, jika kita membaca Peraturan Kepala BPN tentang Larasita seolah-olah program ini juga ditujukan untuk menemukan objek reforma agraria pada saat petugas BPN turun ke desa-desa. Ini juga dapat dipastikan mustahil tercapai, sebab jika itu (baca: menemukan objek RA) pekerjaannya bukanlah sertifikasi tanah, tetapi melakukan registrasi tanah-tanah khususnya di pedesaan. BPN bisa merujuk pada jiwa PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah.  Registrasi dalam PP ini bukanlah sertifikasi, sehingga melalui proses registrasi akan ditemukan ketimpangan struktur agraria di desa sekaligus tanah objek land reform.
Ketiga, sertifikasi pada struktur agraria yang timpang justru akan melegalkan struktur yang timpang tersebut. Keempat, ini adalah program yang menjadi fondasi utama pasar tanah liberal, dan tentusaja sangat bertentangan dengan UUPA 1960.
Jadi, tidak ada alasan dan argumentasi yang kuat jika program ini diberi jalan untuk dilanjutkan, pungkas sekjen KPA. Meskipun BPN adalah lembaga dengan wewenang yang lemah dan diberi tugas besar menjalankan Pembaruan Agraria, tidaklah tepat membelokkannya menjadi program Larasita, demikian Idham.

April 9, 2010

Pembaruan Agraria dan Para TKI

(Bukan Gambar Pelatihan TKI)

TKI dan Pembaruan Agraria apa hubungannya? Banyak juga. Ah, semua di dunia ini kalau kau hubung-hubungkan juga pasti ada hubungannya, demikian mungkin gerutuan anda. Eh, kalau tak percaya, coba pikirkan ini. Memangnya orang mau pergi meninggalkan rumah, istri, suami, anak, dan keluarga besar yang jaraknya bisa ribuan mil jangka waktu tahunan karena alasan yang remeh temeh.

Ada banyak jenis TKI di manca negara. Ada TKI kelas skill tinggi yang bekerja di pertambangan, kesehatan, teknologi dan dunia akademik dsb. Ada juga TKI level menengah seperti pekerja produksi di pabrik-pabrik. Terakhir ada jenis TKI yang bekerja sebagai pekerja informal yakni pegawai rumah tangga, pegawai toko kecil-kecilan, pekerja kasar perkebunan dsb.

Untuk jenis yang terakhir ini, mereka sebagian besar berasal dari desa-desa minus. minus karena terlalu sedikit lapangan kerja, minus karena alam yang tidak cocok buat pertanian atau daerah remote (jauh). Karena minus maka SDM-nya kerapkali minus. Mana ada sih di negara kita sekolah murah, bermutu, di tempat-tempat kategori minus. Jadi bekal skill sejak awal untuk menjadi TKI, kebanyakan, memang, sudah tipis.

Mereka kerap menjadi korban calo saat berniat atau berkeinginan besar menjadi TKI. Seringnya, karena minim informasi soal jenis pekerjaan, negara tempatan dan harga resmi mereka menjadi korban. Sementara bagi mereka yang masih ragu-ragu atau belum sempat terpikir menjadi TKI, banyak yang menjadi korban pemburu TKI. Para calo ini merangsek sampai ke desa-desa.

Omong-omong, saya baru ngeh, istri supir teman saya sekantor ternyata menjadi TKI. Beginilah kalau radar dan antena sosial begitu rendah. Orang yang sering ketemu aja, gak tahu siapa dan apanya. Istrinya pergi ke Saudi Arabia menjadi PRT untuk dua tahun. Membayar dua juta dan masih dipotong gajinya oleh penyalur. Padahal, di website harganya gratis dan pendaftaran hanya Rp.50.000. Kenapa kau kasih izin, tanyaku. "Gimana lagi, kalau saya yang berangkat, menjadi supir disana bayar pendaftarannya 7.5 juta. Selain mahal, kalau istri saya yang berangkat, berarti saya masih bisa kerja serabutan disini dan istri punya gaji. Kalau saya yang berangkat, uang gaji saya berarti habis juga buat saya disana dan keperluan istri dan anak di kampung. Kan, gak bisa nabung jadinya. Betul juga, pikirku bengong.


Eh, apa hubungannya sama pembaruan agraria? Kalau desa-desa tidak dibuat miskin sama pemerintah kan tidak perlu ada TKI kelas babu ke luar negeri. Kalaupun masih ada bukan karena jalur resmi yang dibuka negara. Pasti karena memang doyan menjadi babu.

Kok desa dibuat miskin. Iya lah, ada lebih 89.000 desa di Indonesia. lebih dari enampuluh persennya penduduknya masih status miskin banget alias berpendapatan kurang dari 1 dolar sehari. Mengapa, desa mengatur dirinya dan rakyat didalam wilayahnya. Negara dari pusat sampai kabupaten mengatur sektor-sektor. Berarti kan tangan pemerintah yang menjalar ke desa sesungguhnya tidak pernah ada.

Karena pengaturan sektor-sektor tadi, tanah-tanah didesa sudah dikuasai melalui kewenangan sektoralnya. Ada hutan tidak bisa dimanfaatkan oleh penduduk desa. Kalaupun sudah dimanfaatkan. Suatu hari kalau pemerintah memberi izin kepada pengusaha, kepada investor yang selalu diperebutkan itu, maka rakyat pasti minggir. Kalau ada potensi wisata, rakyat minggir. Kalau ada potensi tambang, rakyat minggir.

Ada juga yang berani manfaatkan. Kata pemerintah, "Rakyat tidak memiliki standar yang pengelolaan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Jadi, lebih baik jadi buruh dan karyawan investor". Kalaupun masih ngotot ya jadi mitra sajalah. He he he. Sering kecut sendiri. Istilahnya mitra, kenyatan masih baikan pola kemitraan tanam paksa atau sistemnya Raffles zaman baheula.


Ah, penjelasanmu sumir dan masih belum jelas nih. Okelah, saya lanjutkan besok saja.


Jakarta, 9 April 2010

Iwan Nurdin

April 8, 2010

Gonjang Ganjing Rumah Dinas



(Bukan Gambar Rumah Dinas)

Zaman Menpangab M.Yusuf adalah masa yang menyenangkan. Kami mengenangnya sebab anak-anak tentara diberi jatah susu krim. Itu kata-kata Untung, teman sekantor yang kebetulan anak kolong di Palembang. Manusia meninggalkan nama untuk dikenang. Lalu, seperti apa Menhan dan Paglima TNI sekarang dikenang? "Wah, mungkin, peristiwa gusuran-gusuran Rumah Dinas" ujar kawan yang lain.

Penggusuran rumah dinas memang sempat gaduh sekali. Bahkan, kelanjutan dalam versi yang lain misalnya perlawanan janda pahlawan vs Depkeu yang ramai diliput media massa saat ini. Namun, kesemuanya ujung-ujungnya adalah menggusur rumah para pensiunan.

Para penghuni Kompleks Zeni AD di Mampang saat ini telah menerima surat perintah (peringatan) pengosongan perumahan golongan III. Wah, mereka tidak cuma mengusir kami. Mereka mau tukar guling tanah ini untuk kepentingan properti mewah. Dulu, sebelum lokasi ini menjadi "emas", mana pernah mereka pikirkan. Sekarang mereka ingin beli lokasi saja. Saya belum tahu pasti.

Penertiban pembukuan dan pembenahan asset telah menjadi pintu masuk beragam kepentingan. Tidak hanya penertiban para penghuni Rumah Dinas. Masalahnya, Rumah Dinas Golongan III bagi TNI kok sering menjadi tidak jelas dimana saja.

Di tanah air kita, pendekatan hukum, yang semata-mata hukum positif saja memang seringkali tidak berhubungan dengan keadilan. Makanya, saya sering heran dan ragu-ragu dengan istilah "Supremasi Hukum". Soalnya kalau hukumnya jelek, bahaya juga kan! Mungkin Supremasi Keadilan harus dikedepankan. Bisa lewat jalur hukum formal juga informal.

Untuk itulah, gonjang ganjing Rumah Dinas harus diselesaikan dengan pendekatan yang lain. Mediasi kepentingan seluruh pihak. Soalnya, tanggung jawab negara menyediakan rumah yang layak bagi prajurit jangan sampai membuat para prajurit kita saling berperang dengan pensiunan prajurit. Kepentingan "bisnis" dibalik peraturan ini juga harus ditiadakan.

Jakarta, 8 April 2010

Iwan Nurdin

April 7, 2010

Seluk Beluk Rumah Dinas

(gambar pinjem www.beritajakarta.com)


Siap-siap, setelah rumah para pensiunan TNI dan Polisi, kini giliran rumah dinas para dosen akan ditertibkan. Jangan terkecoh, ditertibkan artinya diambil alih lagi sama pemerintah melalui instansinya yakni Kementerian Pendidikan. Pernyataan ini disampaikan oleh Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional kepada media massa.

Menurut pak wakil menteri, banyak rumah dinas yang berada di lingkungan kampus telah berpindah tangan menjadi hak milik para dosen. Kebanyakan adalah dosen senior. Padahal, rumas dinas tersebut adalah rumas dinas jabatan yang seharusnya segera dikembalikan setelah si dosen pensiun, mengundurkan diri ataupun pindah jabatan. Tapi kenyataannya banyak yang sudah jadi hak milik.

Bahkan, KPK, baru-baru ini menerima pengembalian rumah-rumah di Universitas Brawijaya Malang yang dikembalikan oleh para dosen, meskipun rumah tersebut sudah berstatus Hak Milik. Bagaimana caranya bisa berubah menjadi HM tentu ada banyak akrobat hukum disana.

Ada tiga macam rumah dinas yang dibedakan menjadi golongan. Rumah Dinas golongan 1 adalah Rumah Jabatan seperti Rumah Jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dsb. Rumah Dinas Golongan II yaitu Rumah Dinas yang disedeiakan negara dan digunakan untuk kepentingan/menunjang dinas (dosen, pengadilan, kompleks militer, dan kejaksaan dsb). Kemudian, Rumah Dinas Golongan III yang bisa dipindah tangankan menjadi Hak Milik setelah melalui prosedur yang ditentukan (pembelian).

Bagi anda yang berada di rumah negara. Harap periksa diri, ya.

Jakarta, 7 April 2010

Setelah PP Tanah Terlantar Disyahkan


Januari tahun ini, Presiden sudah menandatangani PP No.11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Akhirnya, PP ini dirubah juga ya, demikian sambutan kawan-kawan. Menurut kalangan pecinta pembaruan agraria, PP yang terdahulu (PP 36/1998) tidak cukup kuat menertibkan tanah terlantar yang ada. Bahkan disinyalir sebagai peraturan yang melindungi tanah terlantar tidak bisa ditertibkan.

Dua tahun sebelumnya, BPN-RI memang banyak mewacanakan soal perlunya revisi PP No.36/1998. Menurut mereka, peraturan ini tidak dapat mencegah penelantaran tanah. Bahkan, menjadi mustahil ditertibkan sebab pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi. Dalam berbagai kesempatan, BPN kerap menyatakan bahwa tanah yang terindikasi terlantar sebanyak 7,1 Juta hektar (google aja kalau mau cari datanya).

Setelah ditetapkan sebagai bagian dari program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, PP ini akhirnya disyahkan dengan segala kekurangannya.Pertama, PP ini tidak berani menyentuh tanah-tanah yang terkait dengan pemerintah dan BUMN, tanpa membedakan apakah sudah mendapat hak atau belum. Tanah-tanah tersebut dikecualikan dari penelantaran tanah. Jadi asset negara/pemerintah itu tidak bisa dikategorikan terlantar. Kedua, PP ini tetap tidak berani menjangkau kawasan hutan dan tambang. Jadi, hanya wilayah diluar kawasan tersebut. ketiga, setelah ditertibkan tanah-tanah tersebut dapat dijadikan objek pembaruan agraria.Padahal, peraturan tentang atau PP tentang Reforma Agraria belum ada. Jika mengacu pada PP 224/1961 mungkin bisa diterapkan. Namun, alat kelembagaan sesuai amanat PP 224 apakah masih relevan dengan BPN sekarang. Ada kelemahan lainnya, sayang kalau saya tulis menguntungkan pengusaha. Jadi saya rahasiakan sajalah.


Saya berharap, peraturan ini bisa memperluas objek tanah untuk kepentingan pembaruan agraria. Ini bisa dilakukan dengan memperbanyak penyebarluasan dan pendidikan soal ini di tengah-tengah masyarakat. Setelah peraturan tentang petunjuk pelaksanaan PP ini dikeluarkan, saya kira secepatnya peraturan ini harus disebarluaskan.

Iwan Nurdin
Jakarta, 7 April 2010