April 12, 2010

SBY dan Pembaruan Agraria



Akhir bulan januari 2007, presiden membacakan sebuah pidato awal tahun yang membuat hati para petani Indonesia berbunga-bunga. Presiden mengumumkan hendak membagi-bagikan tanah kepada rakyat miskin. Sebuah program yang ia awali dengan kalimat “dalam rangka mewujudkan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun janji tinggal janji. Sampai penghujung pemerintahan SBY jilid pertama pada bulan Oktober 2009, realisasi dari pidato tersebut nol besar.
Naiknya wacana Pembaruan Agraria dalam panggung politik selama pemerintahan SBY-JK tidak dapat dilepaskan dari visi dan misi calon presiden 2004-2009, pasangan ini memasukkan agenda Reforma Agraria sebagai salah satu misinya.
Menyambut terpilihnya SBY-JK, sekumpulan aktivis dan pakar agraria yang tergabung dalam Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA) kemudian mengeluarkan sebuah petisi (kemudian dikenal sebagai “Petisi Cisarua”) terkait dengan agenda reforma agraria.
Petisi ini berisi sebuah desakan sekaligus usulan tata cara pelaksanaan reforma agraria yang sebaiknya dijalankan oleh SBY-JK sebagai presiden. Secara singkat, petisi ini mengusulkan bahwa sebelum menjalankan proses pelaksanaan (pra-pelaksanaan) reforma agraria terlebih dahulu pemerintah melakukan review (kaji ulang) seluruh peraturan dan kebijakan agraria. Melalui kaji ulang ini, segala peraturan yang merintangi reforma agraria harus dicabut, kebijakan yang mendukung pembaruan agrarian diperkuat. Bersamaan dengan itu, kebijakan yang belum ada segera disyahkan.
Selanjutnya, presiden dalam melaksanakan program pembaruan agrarian, membentuk sebuah lembaga ad hoc yang langsung ia pimpin langsung dalam rangka melaksanakan program tersebut. Usulan kelembagaan pelaksana tersebut, menurut petisi ini adalah Badan Otoritas Reforma Agraria (BORA).
Setelah dilantik, SBY jilid satu memulai pemerintahannya menolak usulan KNuPKA dari Komnas HAM dan kalangan organisasi masyarakat sipil (baca: Megawati dan Mendung Pembaruan Agraria). Program ekonomi SBY banyak dimulai dari gelaran infrastructure summit. Hasil dari rembug ini adalah lahirnya perpres no36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan yang banyak diprotes bahkan menimbulkan perlawanan besar-besaran di seluruh Indonesia. Akibat perlawanan ini, perpres tersebut direvisi menjadi Perpres 65/2006 meski secara substansi tidak berubah banyak.
Selanjutnya, pada tanggal 11 Juni 2005, bertempat di Jati Luhur presiden meresmikan program RPPK (Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan) ini adalah program andalan SBY dibidang agraria secara luas. Dalam rencananya di bidang pertanian misalnya, pemerintah menyiapkan lahan abadi pertanian pangan seluas 30 juta hektar, revitalisasi perkebunan rakyat khususnya kakao dan karet.
Menurut Dianto Bachriadi (anggota Dewan Pakar KPA), dalam sebuah artikelnya,  menyatakan bahwa RPPK adalah gantungan pokok Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN yang sempat dihebohkan BPN itu digantungkan. Jadi, menurutnya, ia bukan bahkan jauh dari sebuah rencana perubahan struktural agraria nasional. Dengan begitu tidak ada hubungannya dengan reforma agraria sejati, bahkan bisa berlawanan dengan jiwa dan semangat reforma agraria sejati.

BPN dan Niat Agrarian Reform
Lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) semenjak pemerintahan SBY diatur dalam Perpres No.10/2006 tentang BPN. Tugas pokok dari lembaga ini adalah menyiapkan kerangka kebijakan nasional dan sektoral di bidang pertanahan, menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan serta menjalankan Reforma Agraria. Sangat disayangkan, tugas Reforma Agraria disandarkan kepada sebuah lembaga pemerintah non departemen yang secara politik lemah dan selama puluhan tahun bertugas mensertifikatkan tanah.
Di masa SBY, sesungguhnya alat tagih kepada pemerintah terhadap pelaksanaan pembaruan agraria atau reforma agraria sesungguhnya berimbang dengan kebijakan anti reforma agraria. Hal tersebut diungkapkan oleh Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye KPA, menurutnya sedikitnya alat tagi tersebut adalah: visi dan misi SBY dalam pencalonan sebagai presiden, ratifikasi Kovenan Internasional ECOSOC menjadi UU No. 11/2005, Perpres No.10/2006 tentang BPN, dan deklasari ICARRD (International Conference on Agraria Reform and Rural Development) yang juga dihadiri Indonesia pada 2006 di Porto Alegre, Brazil serta pidato politik SBY di Januari 2007.
Namun disisi lain, peraturan penghalang reforma agraria semasa SBY juga tumbuh bagai jamur, misalnya Perpres 36/2005 jo 65/2006 tentang Pengadaan Tanah, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang mengesahkan HGU 95 tahun meski kemudian dibatalkan oleh MK, UU No.26 tentang Penataan Ruang, UU No.27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Raport SBY akan lebih merah jika kita masukkan peraturan pemerintah di bidang kehutanan misalnya diperbolehkannya tambang di areal hutan lindung, lanjut Iwan.
Kalau SBY dinilai lemah komitmennya kepada Reforma Agraria, lalu bagaimana dengan BPN yang ditugaskan presiden melaksanakan reforma agraria?
BPN dibawah kepemimpinan Joyo Winoto, PhD. memulai gebrakan rencana pembaruan agraria dengan mengumumkan rencana redistribusi tanah seluas 8.1 juta hektar kepada rakyat miskin. Pengumuman ini dilakukan Kepala BPN bersama-sama dengan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian di istana negara september 2006.
Setelah pengumuman ini, BPN mengadakan simposium nasional tentang Reforma Agraria di Medan, Makassar, Jakarta, Bogor dan Yogyakarta yang menghasilkan kerangka kebijakan pembaruan agraria nasional. Kemudian, badan pemerintah ini menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria. Sayangnya draft ini, tidak jelas kelanjutannya. Sebab, sampai sekarang belum pernah terdengar RPP disetujui untuk disahkan.
Ditengah tidak ada kabar terkait RPP tentang Reforma Agraria sepanjang tahun 2008, Presiden SBY mencanangkan program BPN tentang Larasita (Layanan Rakyat tentang Sertifikasi Pertanahan) pada tanggal 16 Desember 2008 di pelataran Prambanan, Yogyakarta.
Ini adalah program mobile office atau kantor bergerak yang melayani sertifikasi pertanahan rakyat.
Menurut BPN, unit terendah kantor pertanahan hanya terdapat di ibukota kabupaten. Sementara, sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan. Sehingga, dengan terobosan ini mayoritas rakyat dapat terlayani dalam sertifikasi pertanahan. Sebab, petugas BPN dapat melayani rakyat hingga ke pelosok dengan mobil atau sepeda motor program Larasita.
Idham Arsyad, Sekjen KPA mempunyai penilaian sendiri terhadap program ini. Menurutnya Larasita sebaiknya secepatnya dihentikan sebab:
Pertama, program ini tidak akan berhasil sukses, sebab mayoritas rakyat memang berada di pedesaan, oleh sebab itu koordinasi BPN dengan pemerintah daerah yang mempunyai tangan hingga ke pemerintah desa adalah jawabannya. Jadi program ini sesungguhnya boros. Kedua, jika kita membaca Peraturan Kepala BPN tentang Larasita seolah-olah program ini juga ditujukan untuk menemukan objek reforma agraria pada saat petugas BPN turun ke desa-desa. Ini juga dapat dipastikan mustahil tercapai, sebab jika itu (baca: menemukan objek RA) pekerjaannya bukanlah sertifikasi tanah, tetapi melakukan registrasi tanah-tanah khususnya di pedesaan. BPN bisa merujuk pada jiwa PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah.  Registrasi dalam PP ini bukanlah sertifikasi, sehingga melalui proses registrasi akan ditemukan ketimpangan struktur agraria di desa sekaligus tanah objek land reform.
Ketiga, sertifikasi pada struktur agraria yang timpang justru akan melegalkan struktur yang timpang tersebut. Keempat, ini adalah program yang menjadi fondasi utama pasar tanah liberal, dan tentusaja sangat bertentangan dengan UUPA 1960.
Jadi, tidak ada alasan dan argumentasi yang kuat jika program ini diberi jalan untuk dilanjutkan, pungkas sekjen KPA. Meskipun BPN adalah lembaga dengan wewenang yang lemah dan diberi tugas besar menjalankan Pembaruan Agraria, tidaklah tepat membelokkannya menjadi program Larasita, demikian Idham.

No comments: